Wednesday 25 January 2006

Kembang Kertas


Judul : Kembang Kertas
Penulis : Kurniasih
Penerbit : Jalasutra, cet 1 2005
Tebal : 200 hal
ISBN : 979-3684-37-2
Harga :

Kurniasih , adalah bibit baru yang menjanjikan sesuatu. (hal 13) , demikian komentar Bambang Sugiharto, filsuf dan pengamat sastra "jebolan" Unpar ( Universitas Parahyangan) Bandung dalam menutup kata pengantarnya di buku ini. Kurniasih, penulis muda kelahiran Bandung ini, tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir di Sastra Inggris IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Kini ia aktif di FSK (Forum Studi Kebudayaaan) ITB, sebuah forum yang bergiat dalam pengkajian berbagai permasalahan budaya kontemporer. Di FSK inilah ia sering mendiskusikan dan menuliskan kajiannya tentang sastra. Kegiatan hariannya saat ini adalah menjadi editor buku fiksi dan nonfiksi di penerbit Jalasutra, Aktifitasnya yang dekat dengan dunia baca-tulis inilah yang mendorongnya untuk menulis fiksi yang antara lain tertuang dalam buku kumpulan cerpen ini.

Kembang Kertas, adalah kumpulan cerpen pertamanya yang ditulis dan dikumpulkannya sejak 2003 hingga 2004. Cerpen-cerpennya ini menurut pengakuan penulisnya berangkat dari kebingungan-kebingungannya yang kompleks dan tak berujung. (hal 46). Mungkin inilah yang menjadikan cerpen-cerpennya dalam buku ini menggunakan gaya bahasa yang melambung-lambung, puitis dan metaforik. Buku ini memuat 13 cerpen, pada cerpen-cerpen awal seperti TabikLoreda, Kembang Kertas, Musafir, Anak Kesunyian, Sang Pelaut, pembaca akan dibawa pada kisah-kisah surealistik dengan metafor-metafor indah yang akan membawa pembacanya menukik kedalam imaji-imaji bawah sadarnya. Beberapa cerpen menggunakan imaji-imaji sadistik dan berdarah-darah , hal ini antara lain tampak dalam cerpen Musafir yang tertulis : Menjelang malam kapalku berlabuh di pantai yang digenangi air laut berwarna darah. Lidah-lidah para penduduk terapung-apung seperti anak ikan yang telah mati. (hal73). Dalam cerpen-cerpen awalnya pembaca melalui metafor-metafornya akan dibawa pada tema-tema penting dan filosofis seperti kekerasan patriaki (Kembang Kertas), hubungan anak dengan ibunya (Musafir), gugatan terhadap lembaga negara (Anak Kesunyian), dan sebagainya

Namun tak semua cerpen dalam buku ini berkisah dalam kepekatan alam surealistik, beberapa cerpen seperti MataMati, Cecilia, dan Mouli ditulis dengan pelukisan yang lebih realis dan sederhana yang memotret suasana-suasana batin para tokoh-tokohnya. Tema-tema ceritapun berangkat dari keseharian seperti rasa kehilangan kekasih, kerinduan terhadap sosok idola yang tak tergapai(MataMati) hingga soal kekasih gelap(Sesaat Saja).

Penjelajahan imaji dan penggunaan metafor-metafor dalam buku ini setidaknya akan mengingatkan pembaca pada karya-karya awal Danarto dan Nukila Amal. Tak dapat dipungkiri dalam beberapa cerpen di buku ini pengaruh dan jejak-jejak Nukila Amal pun tak terhindarkan.
Bagi beberapa pembaca, seperti diakui Kurniasih dalam kata pengantarnya, mungkin akan menemui kesulitan dalam memahami apa makna dari cerpen-cerpen yang terdapat dalam buku ini. Memang pengisahan dalam gaya surealistik yang kaya akan imaji membuat kalimat-kalimat dalam sebuah kisah menjadi terasa indah oleh metafor-metafornya. Namun kadang hal ini dapat mengakibatkan sebuah cerita menjadi absurd dan sulit untuk dipahami. Beberapa cerpen dalam buku ini mungkin berpotensi menjadi demikian, namun hal ini juga membuat cerpen-cerpen dalam buku ini menjadi lebih bebas untuk ditafsirkan secara luas oleh masing-masing pembacanya.

Buku ini juga diperkaya oleh 3 buah kata pengantar yang ditulis oleh filsuf Bambang Sugiharto, pemerhati masalah Feminisme Aquarini Priyatna P, dan Himawijaya, editor pada kumpulan cerpen ini. Masing-masing menulis dari sudut pandangnya masing-masing, Bambang Sugiharto mengamati cerpen-cerpen Kurniasih dari sudut permainan Imaji dan Simbolisme, Aguarini memberikan pengertian baru mengenai Abjek dan Perempuan yang terdapat dalam buku ini, sementara Himawijaya meninjau buku ini dari sudut pandangnya yang sarat dengan muatan filsafat.

Akhirnya buku ini memang sangat layak untuk diapresiasi, keseluruhan cerpen-cerpennya menjanjikan ‘sesuatu’ dalam khazanah sastra kita. Tak berlebihan jika Bambang Sugiharto mengatakan bahwa Kurniasih adalah bibit baru yang menjanjikan. Kini dunia sastra tanah air tinggal menunggu apakah bibit baru ini akan tumbuh menjadi salah satu penulis yang namanya akan diperhitungkan dalam khazanah sastra nasional? Kita tunggu apresiasi para pengamat sastra terhadap kehadiran karya ini. Asal saja Kurniasih tetap konsisten dalam berkarya sesuai dengan jalur yang kini tengah ditekuninya. Bukan tak mungkin jika bibit baru itu memang sedang bertumbuh.

@h_tanzil

No comments:

Post a Comment

 
ans!!