Sunday 31 December 2006

Buku Pilihan 2006

Mengikuti jejak Endah Perca di http://perca.blogdrive.com, inilah 15 buku berkesan yang saya baca selama tahun 2006.

Saya bagi dalam dua kategori, yaitu fiksi dan non fiksi, untuk non fiksi saya hanya memilih 5 buku saja karena keterbatasan bacaan saya terhadap buku-buku nonfiksi.

Buku-buku yang saya pilih tentunya sangat subyektif sekali, saya memilihnya berdasarkan tema yang unik, cara penyajian yang menarik, dan bagaimana buku-buku yg saya pilih ini membuat wawasan saya bertambah.

Urutan 1 s/d 10 bukan berdasarkan peringkat, melainkan berdasarkan urut alvabet

Fiksi :

1. Berjuta-Juta dari Deli - (Emil W. Aulia)
2. Balzac dan Penjahit Cilik dari Cina (Dai Sijie)
3. My Name is Red (Orhan Pamuk)
4. Perpustakaan Ajaib Bibi Bokkern (Jostein Gaarder)
5. The Kite Runner ( Khaleid Hosseini)
6. The Namesake (Jumpa Lahiri)
7. The Godfather (Mario Puzo)
8. To Kill A Mockingbird (Harper Lee)
9. Snow Flower (Lisa See)
10. Sang Pemimpi (Andrea Hirata)


Non Fiksi :
1. 1421 - Saat China Menemukan Dunia (Gavin Menzies)
2. Agar Anak Anda tertular Virus Membaca (Paul Jennings)
3. Ensiklopedia Sastra Dunia (Anton Kurnia)
4. Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali (Koesalah ST)
5. Menyusuri Lorong-Lorong Dunia (Sigit Susanto)

Selamat Tahun Baru 2007
Ayo Baca Buku!!!!!!

@h_tanzil

Monday 25 December 2006

Selamat Natal !



Selamat Natal !

Karena begitu besar Kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-NYA yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.

Yoh 3 : 16

Friday 22 December 2006

Tanda tangan asli Coelho


Memenuhi permintaan teman2, kupajang tanda tangan asli Paulo Coelho di buku The Zahir !
Buku bertanda tangan ini kudapat setelah memenangkan lomba komentar Paulo Coelho yang diselenggarakan oleh milis Bibliphile_GPU@yahoogroups.

Nah, ini foto waktu Coelho menandatangani bukuku :-)

Berikut komentar para pemenangnya :

Paulo Coelho adalah pujangga sekaligus filsuf. Dengan karya-karyanya ia mendongengkan filsafat hidup dan nilai-nilai spiritual universal dalam bahasa yang menawan, sarat makna dan mengaduk imajinasi.

Hernadi Tanzil, (htanzil@gmail.com )

Bukan 'ending' cerita yang menjadi tujuan terpenting saat membaca karya Coelho. Namun kalimat-kalimat dalam karyanya, mulai dari awal sampai akhirlah yang mampu mencerahkan dan menginspirasi. Coelho mampu menuangkan filsafat kehidupan dalam cerita yang mengalir dan tidak membuat kening berkerut.
Yoke Yuliana (do_thea@yahoo.com)



Coelho laksana fotografer profesional. Beliau memotret absurditas, mencetaknya dalam bingkai realitas yang penuh keindahan, dan memberikan kita ruang untuk menikmatinya.

Airin Sunandar (st0rm_78@yahoo.com)

-------------------

Tanpa kuduga bukunya tiba di meja kerjaku pagi ini....langsung kubuka dan kuperlihatkan pada teman-teman kantorku dengan bangga....he..he..

Terima kasih untuk teman2 di GPU yang telah menyelenggarakan lomba komentar ini..

salam,
tanzil






Saturday 16 December 2006

Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan aku

Judul : Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan aku
dan cerita-cerita lain
Penulis : Akmal Nasery Basral
Penerbit : Ufuk Press
Cetakan : I, Desember 2006
Tabal : 268 hal






Apa yang tercerap sebagai kesan bagi kita setelah membaca seluruh cerpen Akmal ?


Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Kurnia Effendi (cerpenis nominator KLA 2006) sebagai kalimat penutup dari makalah yang berjudul “Membongkar Ihwal di Kepala Akmal” yang disampaikan pada saat pre-launch buku ini di Potluck Book Festifal - Bandung, 2 Des 2006.

Pertanyaan itu menggelitik saya untuk segera menjawabnya setelah membaca habis ke-13 cerpen plus kata Pengantar, Memoria, Galeri Publikasi, Galeri Inspirasi , Galeri Apresiasi hingga endorsment di cover belakang buku ini.

Agar teman-teman tidak jenuh membaca [Ulasan] yang biasa saya buat secara formal, ijinkan saya mengulasnya dengan gaya personal.

Ketika melihat tampilan fisik buku ini, terus terang saya agak kurang suka dengan covernya. Terus terang saya paling cerewet dalam soal cover karena bagi saya cover sebuah buku berpengaruh terhadap minat baca saya. (jangan ditiru ya…).

Yang ‘mengganggu’ saya dalam cover buku ini adalah foto patung ibu dan anak. Padahal backgroundnya berupa foto bangunan tinggi dengan dominasi warna biru sangat indah dilihat. Entah apa yang mendasari ilustrasi cover ini, apakah mengacu pada cerpen yang dijadikan judul buku ini dimana salah satu tokohnya adalah seorang ibu yang membunuh anak-anaknya ? Ah, yang pasti foto patung dalam cover buku ini membuat tampilan buku ini menjadi kaku.

Lalu di cover belakang tersaji deretan 7 bh endorsment ! yang membuat saya berdecak kagum, pengendors buku ini adalah orang-orang hebat di bidangnya, mulai dari sastrawan, rohaniwan, kolumnis, aktor, novelis, penyanyi, dan dosen filsafat!

Menurut hemat saya, tak perlulah endorsment sebanyak itu, kesannya koq jadi seperti Kang Akmal nggak ‘pe de’ dengan karyanya sehingga perlu memajang 7 buah endorsment dari orang-orang terkenal. (Ups! Maaf ini anggapan ‘asal’ saya lho..). Menurut saya cukup 2 atau 3 orang saja sehingga tampak lebih elegan dan biarlah karya ini berjuang sendiri tanpa perlu di’bantu’ oleh komentar sekian banyak pakar.

Dari segi lay-out halaman dalam dan ukuran buku saya rasa sangat baik, ukurannya yang ‘handy’ membuat buku ini enak dibaca dan mudah dibawa-bawa. Yang menarik adalah adanya ilustrasi-ilustrasi grafis di tiap cerpennya. Yang mengejutkan adalah adanya halaman-halaman yang hanya diisi oleh satu kalimat dan halaman kosong yang di blok oleh tinta hitam. Lalu ada lagi yang unik, dalam cerpen Hiu di Secangkir Kopi terdapat coretan tanda lingkaran di kalimat-kalimatnnya seakan cerpen tersebut masih berupa draft.

Nah, sekarang saya akan masuk pada isi cerpen.

Cerpen favorit saya sekaligus yang paling inovatif dari ketiga belas cerpen dalam buku ini menurut saya adalah cerpen “Matinya Pengarang Tersantun di Dunia”. Cerpen ini menceritakan persekongkolan antara tokoh wanita dan pria untuk membunuh pengarang yang menciptakan mereka. Jadi seolah-olah tokoh2 fiktif itu ‘hidup’ untuk membunuh si pengarang.

Cerpen-cerpen lainnya tak kalah menariknya. Menurut saya, cerpen-cerpen dalam buku ini menggambarkan Akmal sebagai wartawan. Umumnya cerpen-cerpennya diangkat dari berbagai fakta, misalnya cerpen “Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku”, akan mengingatkan kita akan kejadian di Bandung dimana seorang ibu membunuh ketiga anaknya. Pada cerpen “Dilarang Bercanda Dengan Kenangan” setting ceritanya berkisar pada saat kunjungan seorang milyuner ke Aceh dan flash back ke masa meninggalnya Lady Di Paris. Peristiwa Bom Bali juga mengilhami Akmal untuk membuat cerpen “Prolog Kematian”. Bahkan kematian pesohor TV Steve Irwin oleh cambukan ekor ikan pari-pun disinggung dalam cerpen "Seekor Hiu di Cangkir Kopi”. Dan fakta yang paling gress adalah peristiwa lumpur panas Lapindo yang menjadi latar cerpen “Lebaran Penghabisan”.

Akmal juga saya lihat menyelipkan kritik-krtitik sosial pada beberapa cerpennya, misalnya pada cerpen “Lebaran Penghabisan” budaya open house yang kerap dilakukan oleh para pejabat saat hari Raya Idul Fitri kini dijadikan alat untuk menjilat atasan : “..karena pada hari itulah manusia saling bersilaturahmi dan saling memaafkan tanpa latar belakang sosial atau jabatan…Namun open house mengubah semuanya, bahkan sampai ke kampung-kampung. Siapa yang bisa menjamin bawahan yang datang ke rumah atasannya pada saat lebaran itu benar-benar murni bersilaturahmi dan bukan soal kondite?”. Lalu pada cerpen “Seekor Hiu di Cangkir Kopi”, disinggung pula realita kematian TKI di luar negeri yang sering luput dari perhatian dan terkesan ‘biasa’ dimata pemerintah kita. Dengan cerdas Akmal membandingkannya dengan Presiden Gloria Arroyo dari Filipina yang mempertaruhkan jabatannya untuk membebaskan seorang supir truk yang disandera kelompok bersenjata. (hal 207).

Selain itu ada juga cerpen yang kocak “Boyon” yang menceritakan seseorang yang diberi nama oleh ayahnya dengan Boyon karena ia lahir setelah ayahnya menonton film James Bond, karena namanya tak jamak maka Boyon sering diolok-olok oleh teman-temannya hingga akhirnya ia beberapa kali mengganti namanya. Namun kelak olok-olokan teman-temannya inilah yang akan mengantarnya pada kesuksesan.

Bagi saya seluruh cerpen dalam buku ini bisa dibilang menarik. Setting ceritanya menyebar mulai dari Aceh, Ambon hingga ke London. Kalimat-kalimatnya enak dibaca, kadang lugas dan sederhana tanpa metafora, namun ada juga yang menggunakan metafora-metafora indah. Semua tersaji dengan pas dan tidak berlebih-lebihan. Pengggalan-penggalan fakta dalam tiap cerpennya membuat kisah-kisahnya terasa dekat karena peristiwa2 yang diangkat sebagai latar cerpen merupakan bagian dari berita sehari-hari yang kerap kita baca dalam media cetak ataupun TV. Apalagi kalau kita lihat proses pembuatan cerpen-cerpennya dibuat di tahun 2006 (hanya satu yang dibuat pada tahun 2005)

Walau hampir semua cerpen-cerpennya pernah dimuat di media cetak, namun menurut Akmal cerpen-cerpen dalam buku ini memiliki perbedaan dengan versi media cetaknya karena terdapat sejumlah penyesuaian, revisi, atau penambahan karakter. Satu langkah yang patut diacungi jempol karena umumnya sebuah buku kumpulan cerpen hanya mencetak cerpen-cerpen sesuai dengan apa yang dimuat di media cetak sehingga lebih tekesan sebuah kliping.

Apakah ada cerpen yang jelek di buku ini….hmm entah karena saya terpesona oleh kemarihan akmal dalam bercerita, entah saya kurang kiritis, saya tak menemukan satu cerpen pun yang saya anggap buruk (ini bukan melebih-lebihkan lho…).

O ya, sedikit hambatan saya temui ketika membaca cerpen “Seekor Hiu di cangkir Kopi”. Coretan-coretan berupa lingkaran dalam kalimat-kalimat dalam cerpen ini sangat mengganggu kelancaran membaca. Entah apa maksud Akmal dan penerbitnya untuk melingkari beberapa kalimat dalam cerpen ini seakan cerpen yang tercetak ini adalah sebuah draft yang masih harus diperbaiki. Hingga kini saya masih penasaran…apa maksudnya ya…?????

Sebagai bonus buku ini juga memuat catatan dari salah seorang dewa sasta Prof.Dr. Budi Darma. Bagi saya masukan-masukan beliau benar-benar membuat saya manggut-manggut serasa dikuliahi secara langsung oleh beliau.

Akhir kata inilah kesan yang saya tangkap setelah membaca buku ini. Satu hal lagi karena profesi Akmal sebagai jurnalis, kadang ketika selesai membaca sebuah cerpen saya sering menduga-duga jangan-jangan ini peristiwa nyata!!!!

Mungkin itulah resiko membaca karya fiksi seorang jurnalis/wartawan, kita dibuat bingung mana fakta mana fiksi…..

Demikian kesan yang saya tangkap, saya harus menggakhirinya karena ada seseorang di kepalaku yang bukan aku yang menyuruhku untuk mengakhiri ulasan ini.

@h_tanzil

Saturday 9 December 2006

Siapa Bilang Kawin Itu Enak ?

Judul : Siapa Bilang Kawin Itu Enak ?
(Kumpulan certia pendek tentang pasangan muda)
Penulis : Tria Barmawi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : September 2006
Tebal : 176 hlm ; 21 cm
Harga : Rp. 29.000,-




Judul kumpulan cerpen ini sangat provokatif. Bagaimana tidak, dalam benak kita pernikahan adalah sesuatu yang indah dan menjadi peristiwa yang sangat dinantikan bagi mereka yang telah memiliki pasangan yang serius, menikah adalah momen paling membahagiakan seperti yang dilihat dalam film-film drama romantis.

Apakah buku ini memang mencoba menjungkirbalikkan pandangan umum tentang indahnya pernikahan ? Tentu saja tidak! Buku ini hanya memandang saat pernikahan dan masa-masa setelahnya dalam sudut pandang yang berbeda. Sesuai dengan sub judulnya, “Kumpulan cerita pendek tentang pasangan muda”, semua cerita pendek yang terdapat dalam buku ini menceritakan tentang suka duka pasangan muda dalam menjalani pernikahan mereka.

Buku yang diberi label Metropop oleh penerbitnya ini berisi 17 cerpen yang dipilah berdasarkan tema yang lebih sempit lagi menjadi 5 bagian yang terdiri dari, Dua Jadi Satu, Tabir Mulai Terkuak, Cinta tak lagi cukup, Bumbu Cinta, Bersama Selamanya.

Pada Bagian Dua Jadi Satu, bab ini berisi dua buah cerpen dengan kisah-kisah sebelum pernikahan itu berlangsung. Salah satunya cerpen yang dijadikan judul buku ini : “Siapa Bilang Kawin Itu Enak”. Cerpen ini menceritakan bagaimana ribetnya mempersiapkan sebuah pernikahan, mulai dari soal undangan, seragam, katering, dll. Sini, aku kasih tahu ya,! Satu. Camkan. Persiapan pernikahan adalah mimpi buruk. Dari beberapa bulan, bahkan mungkin satu tahun sebelum Hari-H, kalian bakalan dibuat sibuk segala macam hal. (hal 22). Tidak itu saja, ‘siksaan-siksaan’ yang harus dilalui sang pengantin di hari pernikahannya pun terungkap secara menarik dan lucu. Pada akhirnya alih-alih hari-H yang seharusnya menjadi puncak kebahagiaan, malah menjadi puncak dari sebuah mimpi buruk.

Di bagian kedua hingga bagian kelima, tema-tema cerpen bergeser pada masalah-masalah sepele yang kerap timbul bagi para pasangan muda yang belum lama menikah. Berbagai cerita yang menggelitik dan inspiratif terdapat didalamnya, antara lain keributan di kamar tidur seperti yang terungkap dalam cerpen “Di Kamar Tidur” yang mengungkap bagaimana kebiasaan suami dan istri menjelang dan pada saat tidur dapat memicu sebuah konflik seperti posisi tidur, suhu AC, menonton TV, lampu kamar, dll.

Tidak hanya masalah kebiasaan dalam tidur, persoalan yang menyangkut selera lidahpun terungkap dalam buku ini. Dalam cerpen “Ketika Lidah Jadi Masalah” dikisahkan pasangan berbeda bangsa yang bermukim di Malaysia dimana Raj seorang Malaysia keturunan India beristrikan seorang Indonesia bernama Nina. Dalam hal makanan Raj hanya bisa mengkonsumsi makanan kari khas India kesukaannya. Selama tinggal di Malaysia hal ini tak menjadi masalah karena Nina tetap setia memasakkan kari untuk Raj. Persoalan timbul ketika mereka mengunjungi keluarga Nina di Indonesia dan bumbu instan kari yang dibeli di Malaysia tertinggal. Cerpen ini menarik karena penulis memasukkan dialog-dialog khas melayu yang bagi kita terdengar lucu, misalnya komentar Raj terhadap sayur sop : “Tapi I tak suka apa itu..masakan Indonesia. Nanti you buat I makan macam masakan you di sini..sayur without spices itu…”,…“Sedep macam mane? Sayur dak de warna, tak de rasa…mana boleh cakap sedap lah!” (hal 56)

Tidak hanya itu, buku ini mengungkap pula bagaimana ketika cinta yang menggebu-gebu di awal masa pacaran menjadi hambar oleh rutinitas seperti yang terdapat dalam cerpen “Telah Terbiasa”. Apalagi ketika kehadiran seorang bayi membuat seolah cinta yang tadinya hanya untuk masing-masing pasangan kini harus berbagi dengan hadirnya buah cinta mereka (cerpen Jealousy).

Secara keseluruhan cerpen-cerpen yang terdapat dalam buku ini berisi cerita-cerita yang menghibur yang menceritakan bagaimana para pasangan muda harus beradaptasi dan berkompromi dengan pasangan hidupnya. Tidak ada cerita dengan konflik-konflik yang berat, tema-tema yang diangkat semuanya ringan-ringan saja, menggelitik, sederhana dan realistis dan sangat dekat dengan keseharian kita sehingga ketika kita membacanya kita seolah membaca kisah diri kita sendiri dan menertawakan diri sendiri.

Yang mungkin agak disayangkan adalah sudut pandang seluruh kisah dalam buku ini hanya diambil dari sisi pasangan muda nya saja. Andai beberapa cerpen disajikan dengan sudut pandang yang berbeda, misalnya dari sudut pandang orang tua atau mertua masing-masing pasangan, tentunya buku ini akan lebih ‘berwarna’

Selain itu walau tampaknya penulis mencoba menyuguhkan kisah-kisah yang realistis, ada dua buah cerpen yang tampaknya sedikit mengada-ngada. Pada cerpen “One Night in Valley” rupanya penulis terjebak dalam kisah-kisah romantis ala Hollywod dimana si pria memberikan cincin pada istrinya sambil mengungkapkan cintanya di sebuah restoran dengan disaksikan oleh para pengunjung restoran. Adegan ini mengingatkan kita pada adegan di film-film drama romantis. Kenyatannya untuk budaya timur rasanya hal seperti ini agak janggal untuk dilakukan.

Lalu pada cerpen “Telah Terbiasa”, dikisahkan untuk mengatasi kejenuhan akibat rutinitas kehidupan perkawinan mereka, si istri menganjurkan suaminya untuk meminta tugas ke luar kota selama beberapa waktu. Rasanya hal ini tak lumrah dilakukan oleh seorang istri yang pada kisah ini masih sangat mencintai suaminya, mana ada sih istri yang mau ditinggal oleh suaminya dengan alasan jenuh pada pernikahan mereka ?

Namun terlepas dari hal-hal di atas ,secara keseluruhan kumpulan cerpen dalam buku ini tampaknya mampu memotret kehidupan pasangan muda dalam keseharian mereka. Semua cerita-ceritanya menghibur namun bukan sekedar membuat pembacanya tertawa, namun buku ini memberikan gambaran realistis bahwa kehidupan perkawinan tidak selamanya indah seperti dalam kisah-kisah dongeng. Pernikahan bukan hanya sekedar bukti cinta kita pada pasangannya melainkan pertautan dua hati beserta kebiasaan-kebiasaan masing-masing pribadi yang jika tidak dikomunikasikan dan diselaraskan akan memicu konflik dalam kehidupan perkawinan.

Sebagai tambahan, bagi pembaca yang telah menikah, beberapa cerpen dalam buku ini bisa dikatakan merupakan cerminan dirinya sehingga mereka umumnya akan berkata bahwa buku ini “Gue Banget!!!!”

@h_tanzil

Saturday 2 December 2006

Beijing Doll

Judul : Beijing Doll
Penulis : Chun Sue
Penerjemah : Ferina Permatasari
Penyunting : Yusi Avianto Pareanom
Penerbit : Banana Publisher
Cetakan : Pertama, Oktober 2006
Tebal : 292 hlm
Harga : Rp. 33.500,-



Beijing Doll adalah novel semi autobiografis karya Chun Sue, penulis muda China yang ketika novel ini ditulis baru berusia tujuh belas tahun. Dalam novel ini Chun Sue merekam berbagai kejadian di masa remajanya dan hal-hal lain tentang generasinya di tahun 90-an. Novel ini sempat menjadi kontoversi dan dilarang di China karena pemaparannya yang jujur akan perilaku seks dan kehidupan kaum remaja China di era 90-an. Hal ini memperpanjang daftar novel-novel karya penulis muda China yang dilarang beredar di negaranya sendiri namun mendapat sambutan yang baik di negara-negara Barat. Sebut saja Shanghai Baby – Wei Hui (1999) dan Candy – Mian Mian.(2000)

Tak dapat dipungkiri, Beijing Doll (2002) akan mengingatkan orang pada Shanghai Baby, sehingga sebelum membaca novel ini banyak pembaca berharap akan mendapatkan kehebohan yang sama dengan Shanghai Baby. Walau tema yang diangkat hampir sama, yaitu mengenai generasi baru yang tumbuh di China, namun novel ini berbeda dengan Shanghai Baby yang lebih menyerupai episode Sex in The City. Dalam Beijing Doll tampaknya Chun Sue sangat setia dalam pengalaman kehidupannya sebagai seorang gadis remaja, sehingga konflik-konfilknya tak sedalam Shanghai Baby.

Chun Sue dalam Beijing Doll menulis kesehariannya layaknya sebuah ‘diary’. Ia memulai kisahnya ketika ia duduk di kelas 3 SMP, gagal melanjutkan ke tingkat SMU akhirnya ia melanjutkan ke SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Chun Sue adalah tipikal gadis berusia empat belas tahun yang berasal dari kaluarga kelas menengah di Beijing. Ia gadis yang bebas, menyukai musik rock, menulis puisi dan novel, ia juga memiliki pandangannya yang liberal terhadap seks. Saat masih duduk di kelas 3 SMP ia telah kehilangan kegadisannya. Hobinya akan musik rock mengantarnya pada pergaulannya dengan para musisi rock underground. Ia rela mengambil cuti panjang untuk bisa berkunjung ke Kaifeng dimana sebuah band rock pujannya berada. Selain itu Chun Sue juga memiliki hobi menulis, hobinya ini ia salurkan dengan bekerja sebagai jurnalis di sebuah majalah

Hobi menulis dan mengikuti kehidupan para musisi ini rupanya yang sesuai dengan jiwa Chun Sue yang bebas. Ia tak mau terikat oleh apapun. Ketika akhirnya ia kembali dari cuti panjangnya dan harus mengulang di kelas tiga SMK, ia dimasukkan dalam sebuah kelas yang berprestasi yang menjalankan berbagai aturan untuk mempertahankan prestasi kelasnya tersebut, Chun Sue menjadi tak kerasan dan akhirnya memutuskan untuk keluar selamanya dari sekolah.

Chun Sue juga kerap memiliki hubungan dengan sejumlah laki-laki, semenjak SMP ia sudah beberapa kali berganti kekasih. Namun tak satupun yang mampu memberinya kehangatan kasih, semua berakhir dengan kekecewaan dan berlalu dengan begitu saja.
Dalam keluarganya pun Chun Sue kerap memberontak, hal ini dimanifestasikan dengan mengecat rambutnya dengan warna merah, hijau, pirang secara berganti-ganti walau orang tuanya tak menyetujuinya, namun Chun Sue tak bergeming karena baginya tak seorangpun bisa memiliki dirinya seutuhnya dan tak ada yang benar-benar bisa mengerti dirinya termasuk keluarganya sendiri.

Chun Sue seakan tak puas dengan sekelilingnya, baginya keluarganya seakan tak peduli dan tak memperhatikannya, ia juga merasa gamang dan tertekan dengan masa depannya. untunglah dibalik kesehariannya yang bebas dan tanpa batas itu ia menulis novel atau puisi sebagai satu-satunya jalan untuk melarikan diri dari kenyataan hidupnya.

Kisah-kisah kehidupan Chun Sue ditulis dengan mengalir, blak-blakan dan apa adanya. Sehingga bisa dikatakan gaya bertuturnya ini menghadirkan gaya baru dalam sastra kontemporer China. Sayangnya novel ini nyaris tanpa konflik-konflik yang memuncak hingga akhir cerita. Hal ini membuat novel ini cenderung membosankan. Munculnya rentetan nama-nama sejumlah tokoh yang menghiasi novel ini juga berpotensi membuat pembacanya sulit untuk mengingat siapa dan apakah tokoh-tokoh itu pernah muncul di awal-awal cerita.

Namun bagaimanapun juga dibalik kisahnya ini, Chun Sue tampaknya berhasil dalam memotret secara gamblang masa remajanya dengan segala tawa dan tangisnya. Mungkin saja apa yang dialami dan dirasakan oleh Chun Sue juga dirasakan banyak kalangan kaum muda karena novel ini telah melukiskan perasaan mereka dan mencerminkan tekanan batin, kebingungan, sikap keluarga dan kegelisahan-kegelisahan di masa remaja yang mereka alami. Hal ini seperti yang diungkap dalam kata pengantarnya : Aku harap semua orang di dunia ini, yang muda dan yang pernah muda, akan punya kesempatan membaca buku ini. Meskipun aku menulis pengalaman gadis Cina, remaja di manapun menghadapi masalah yang sama. Aku berharap bisa menjadi teman bagimu. (hal 7)

Selain itu ini novel ini juga memberikan gambaran mengenai perilaku generasi baru China lengkap dengan kultur anak muda urban yang suka akan musik rock, mengekspresikan diri dengan bebas, menolak tradisi lama hingga pandangan seks yang bebas.

Mungkin inilah dampak dari globalisasi dan liberalisasi yang dilakukan di China. China menjadi lebih liberal dan terbuka. Semakin banyak orang asing yang datang ke China, mau tak mau transfer budaya asing tak bisa dibendung lagi. Generasi baru China menyerap semua itu, mereka tergerak untuk mengaktualisasikan diri mereka sesuai dengan keinginan mereka karena bagi mereka yang dibutuhkan adalah keragaman, bukan keseragaman.

Kini pembaca tanah air bisa menikmati novel yang telah diterjemahkan dengan baik ini.
Ada beberapa ketidakkonsistenan penggunaan huruf dalam cetakan buku ini, bisa dipastikan hal ini bukan disengaja (salah cetak), juga terdapat bab yang diulang (dobel) sehingga mengganggu dalam kenikmatan membacanya.

Beberapa bulan setelah Beijing Doll terbit, pemerintah China segera melarangnya. Namun novel ini telah terlanjur terbaca di kalangan anak muda Beijing dan kabarnya telah memberi inspirasi bagi banyak anak muda di Beijing.

Apakah novel ini kelak akan memberi inspirasi bagi pembaca muda kita, atau hanya sekedar menjadi novel yang memuaskan rasa ingin tahu pembacanya akan kehidupan generasi baru di China ?

@h_tanzil

Friday 24 November 2006

Perempuan Kembang Jepun

Judul : Perempuan Kembang Jepun
Penulis : Lan Fang
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Oktober 2006
Tebal : 288 hal ; 20 cm
Harga : Rp. 35.000,-






Kembang Jepun adalah nama sebuah kawasan di kota Surabaya. Entah didapat dari mana asal muasal istilah Kembang Jepun. Konon, di jaman Jepang kawasan ini adalah tempat berkumpulnya para serdadu Jepang untuk mencari hiburan lengkap dengan kembang-kembang (‘gadis-gadis’) yang setia menghibur serdadu-serdadu dan penguasa Jepang yang saat itu lazim disebut ‘Jepun’ sehingga kemudian daerah itu dinamakan “Kembang Jepun” yang berarti “kembangnya jepang”

Selain itu Kembang Jepun sejak jaman Belanda dan Jepang juga dikenal sebagai kawasan perdagangan yang banyak didiami oleh orang-orang China. Mereka membuka toko-toko dan restoran lengkap dengan tempat hiburan malamnya, bahkan hingga kini Kembang Jepun merupakan daerah sentra perdagangan terbesar di Surabaya dan juga dikenal sebagai China Town-nya Surabaya.

Ketenaran dan legenda kawasan ini pula setidaknya telah mengilhami para sastrawan untuk berkreasi berdasarkan legenda yang menyelimutinya. Sebut saja sastrawan senior Remy Sylado yang pada tahun 2003 menerbitkan novel berjudul “Kembang Jepun”, kini di tahun 2006 ini penulis asal Surabaya Lan Fang melahirkan sebuah novel yang memiliki judul yang hampir sama dengan novel Remy Sylado. Novel keempat Lan Fang yang kabarnya dikerjakan selama 3 tahun ini diberinya judul “Perempuan Kembang Jepun”.

Dengan latar belakang kawasan Kembang Jepun di Surabaya pada tahun 1940-an, novel ini bercerita tentang tokoh Matsumi, seorang perempuan Jepang yang berprofesi sebagai geisha. Matsumi adalah wanita cantik yang lahir dari sebuah keluarga miskin di Jepang, kemiskinannya membuat dirinya dijual oleh keluarganya sebagai geisha di distrik Gion di Kyoto

Matsumi tumbuh menjadi geisha yang berbakat. Berkat kecantikan dan kemahirannya dalam memainkan shamisen, bernyanyi, membaca puisi, menemani tamu, memijat, hingga memuaskan hasrat seks para tamunya, lambat laun ia menjadi seorang geisha yang terkenal di Kyoto. Pada saat puncak ketenarannya itulah Matsumi ditawari untuk mengikuti Shosho Kobayashi ke Indonesia. Baginya ini adalah kesempatan emas karena Shosho Kobayashi akan memegang peranan posisi penting di Indonesia selaku panglima perang tentara Jepang. Hal ini berarti Matsumi akan menjadi perempuan penting.

Karena geisha hanya ada di Jepang sedangkan jika ada perempuan Jepang yang menjadi penghibur di luar Jepang dianggap merendahkan martabat bangsanya, maka Matsumi masuk ke Indonesia dengan menyamar sebagai wanita China dengan nama Tjoa Kim Hwa.
Sesampai di Surabaya Matsumi menjadi wanita penghibur di klub hiburan milik Hanada-San yang melayani Sosoho Kobayasi dan tamu-tamu penting lainnya di kawasan Kembang Jepun

Di klub hiburan Hanada-san Matsumi beremu dengan Sujono, seorang kuli angkut kain yang bekerja di Toko Babah Oen yang kerap menantar kain di tempat Matsumi bekerja. Sujono memang sangat lihai memikat hati wanita, lambat laun Matsumi jatuh ke pelukan Sujono. Matsumi sadar bahwa Sujono telah beristri dan memiliki anak, namun ia tak kuasa menahan bujuk rayu Sujono yang piawai meluluhkan hatinya. Belum lagi Matsumi berkeyakinan jika ia tinggal bersama Sujono maka ia akan membentuk sebuah keluarga yang indah dan membuat dirinya menjadi seorang perempuan yang utuh dan melayani suami

Dari hubungan tersebut kemudian lahirkan seorang anak perempuan bernama Lestari. Namun apa yang diidam-idamkan Matsumi untuk membentuk keluarga yang indah dengan Sujono sangat jauh dari kenyataan. Lambat laun sifat buruk Sujono terungkap. Sujono yang gila sex lebih menikmati keindahan tubuh Matsumi dibanding bertanggung jawab terhap pemenuhan kebutuhan pokok keluarga yang telah dibentuknya. Walau Sujono mencintai Matsumi namun baginya Matsumi hanyalah pemuas nafsu sex-nya dan pelarian dari kehidupan rumah tangganya dengan istirnya (Sulis) yang kerap diwarnai pertengkaran.

Pekerjaan Sujono sebagai seorang kuli tentu saja tak bisa memenuhi kebutuhan dua istrinya. Matsumi terpaksa menggunakan uang tabungannya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Di sinilah konflik mulai meruncing. Ketika tabungan Matsumi habis sedangkan Sujono tetap tak berusaha untuk memenuhi kebutuhannya, akhirnya setelah Jepang kalah Matsumi lari meninggalkan Sujono. Matsumi kembali ke negaranya dengan meninggalkan anak dan suaminya.

Tema pencarian cinta sangat kuat dalam novel ini. Ibu mencari anak, anak mencari ibu, suami mencari cinta istri, dan seorang geisha mencari cinta sejati. Lan Fang menyuguhkan novel ini dengan menarik. Selain tokoh Matsumi dan Sujono, novel ini mengupas juga kehidupan tokoh-tokoh lain yang masing-masing diceritakan dalam bab-bab tersendiri.

Pada tiap bab, penutur ceritanya adalah tokoh yang menjadi kupasan pada bab tersebut. Jadi novel ini memiliki bab-bab tersendiri yang mengisahkan dan mengungkap karakter-karakter Sulis, Matsumi, Tjoa Kim Hwa, Sujono, dan Lestari . Hampir seluruh tokoh digambarkan secara kelam dan memiliki pilihan-pilihan hidup yang salah dan sulit untuk dijalani.

Dengan adanya bab-bab tersendiri dari masing-masing tokoh dalam novel ini, maka semua karakter tokoh yang muncul tereksplorasi dengan baik, dan masing-masing peristiwa dilihat dari sudut pandang tokohnya masing-masing. Membacanya seperti menyusun sebuah rangkaian puzzle yang lambat laun akan memberikan gambaran utuh dari kisah dalam novel ini.

Dibalik kisah cinta yang pedih, novel ini juga mengungkap bagaimana kejinya para tentara-tentara Jepang dalam memuaskan nagsu berahi mereka. Seorang wanita penghibur bisa digilir sepuluh hingga lima belas tentara Jepang karena jumlah mereka lebih banyak dibanding wanita penghibur. Selain itu merekapun tidak dibayar, alih-alih membayar para perempuan itu diberi tempelengan dan siksaan yang diluar peri kemanusiaan.

Selain itu novel ini juga menyajikan sekilas kehidupan dan filosofis kehidupan seorang geisha. Bagi mereka yang pernah membaca Memoir of Geisha – Arthur Golden mungkin bukan hal yang asing, namun bagi yang belum pernah membacanya novel ini setidaknya bisa memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai perbedaan seorang geisha dengan wanita penghibur biasa.

Untuk memudahkan imajinasi pembacanya akan sosok Matsumi novel ini juga menyajikan beberapa buah foto yang menampilkan seorang wanita berpakaian kimono yang tak lain adalah foto diri Lan Fang, penulis novel ini.



Novel ini memang sarat dengan konflik yang pedih, pembaca akan disuguhkan berbagai rentetan peristiwa yang menyesakkan dada, semua dirangkai dengan kalimat-kalimat yang menyentuh dan indah, pilihan kalimat-kalimatnya yang puitis sangat pas dalam menggambarkan kepedihan yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Karakter-karakter tokohnya juga begitu kuat dan hidup sehingga membuat pembacanya seolah masuk dalam cerita yang ditulisnya. Pembaca akan dibuat bergelora dalam birahi, menangis, kesal, dan marah melalui karakter dan pengalaman para tokoh-tokohnya

Namun tentunya novel ini tidak dimaksudkan untuk membuat pembacanya tercekat dalam kepedihan para tokoh-tokohnya, ada berbagai makna yang bisa diambil dari novel yang menguras air mata ini. Setidaknya novel ini menyadarkan pembacanya bahwa uang dan seks bukanlah segala-galanya. Masih ada yang harus dicari dan dipertahankan yaitu cinta. Bukan sekedar cinta yang dirangkai dengan kalimat-kalimat manis dan sekedar diwujudkan dalam hubungan seks yang menggelora, melainkan cinta yang dilandasi kasih sejati yang kelak akan membangun rasa kebersamaan dan tanggung jawab dari orang yang dicintainya.

@h_tanzil

Sunday 19 November 2006

Ensiklopedia Sastra Dunia















Judul : Ensiklopedia Sastra Dunia
Penyusun : Anton Kurnia
Penerbit : iboekoe (Indonesia Buku)
Cetakan : I, Oktober 2006
Tebal : xvi + 314 hlm ; 15x24 cm
Harga : Rp. 55.000,-

Dalam konteks perbukuan indonesia rasanya tak banyak buku yang secara khusus menyingkap riwayat hidup dan karya sejumlah sastrawan dunia yang menulis dalam beragam genre seperti cerpen, novel, puisi, essai, dll. Kalaupun ada mungkin hanya sebatas nama-nama beserta karya-karya para pemenang nobel seperti yang pernah ditulis oleh Djoko Pitono Hadiputro dalam bukunya yang berjudul Seabad Para Pemenang Nobel Sastra (2001, Edumedia). Lalu ada lagi karya penulis senior Korie Layun Rampan yang berjudul Tokoh-Tokoh Cerita Pendek Dunia (Grasindo, 2005).

Selain dua buku di atas masih ada beberapa karya terjemahan yang masih berputar pada nama-nama pemenang nobel sastra. Sedangkan buku-buku berbahasa indonesia yang berisi peta sederhana mengenai tokoh-tokoh serta karya-karya sastra dunia secara komprehensif dan menyeluruh rasanya belum ada dalam ranah perbukuan kita.

Buku Ensiklopedia Sastra Dunia yang disusun oleh Anton Kurnia ini mencoba mengisi kekosongan buku tersebut. Satu langkah yang berani dan jenial bagi Anton Kurnia, penulis muda yang namanya lebih dikenal sebagai penerjemah karya-karya sastra dunia.

Buku ini dibagi menjadi 3 bagian yang terdiri dari ; Tentang Sejumlah Nama, Tentang Sejumlah Karya dan Tentang Sejumlah Hadiah Sastra. Pada Bab Tentang Sejumlah Nama memuat profil 315 sastrawan dari berbagai penjuru dunia dan zaman – dari Homer hingga pemenang Nobel Sastra 2006 Orhan Pamuk. Juga tak ketinggalan daftar semua karya-karya monumental yang dihasilkan oleh para sastrawan dunia yang meliputi prosa,puisi, naskah drama, dll.

Di bab kedua yang diberi judul Tentang Sejumlah Karya, berisi 5 kategori Seratus Karya Terbaik dalam hal ; Terbaik Sepanjang Masa, Novel Abad ke Dua Puluh, Buku sastra terpilih karya Perempuan, Novel Gay dan Lesbian Terbaik, dan Tokoh Fiksi Paling Mengesankan.

Pada Bab Tentang Sejumlah Hadiah Sastra, buku ini memuat daftar sejumlah hadiah sastra terkemuka, seperti Hadiah Nobel Sastra, Booker Prize, Putlitzer Prize, Akutagawa Prize, dll. Pada bab ini memuat 19 penghargaan sastra, mulai dari tingkat dunia, lokal (Amerika, Perancis, Jepang,dll) dengan beragam genre seperi prosa, cerpen, puisi, dll. Semuanya tersaji dengan rinci lengkap dengan keterangan mengenai jenis penghargaan, hadiah yang diperoleh, berserta nama-nama pemenang dan karya-karyanya dari awal diberikannya penghargaan hingga kini.

Yang juga melengkapi isi buku ini adalah terdapatnya keterangan mengenai karya-karya sastra dunia yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia lengkap dengan penerjemahnya. Hal ini mungkin yang paling membedakan dari buku-buku sejenis yang ditulis oleh penulis-penulis asing.

Namun dibalik kelengkapan isi buku ini, jika dicermati terdapat beberapa kekurangan, yang pertama adalah tidak adanya foto diri sastrawan-sastrawan dunia. Padahal dalam sebuah ensiklopedia pemuatan foto adalah hal yang sepatutnya ada. Tentunya di era cyber ini sangat mudah menemukan foto-foto sastrawan dunia.

Yang kedua, dalam keterangan mengenai karya-karya yang pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia hanya memuat judul terjemahan, tahun terbit dan penerjemahnya, tidak satupun memuat keterangan mengenai siapa penerbitnya. Padalah keterangan penerbit sangat bermanfaat jika pembaca ingin mencari buku-buku terjemahan yang tercantum dalam buku ini.

Terlepas dari dua kekuarangan dalam buku ini, kelengkapan materi dan entri-entri dalam buku ini memang sangat layak diberi judul Ensiklopedi Sastra Dunia. Jika kita mendengar judul buku yang diberi titel ‘Ensiklopedia’ tentunya dalam pikiran kita akan terbentuk gambaran sebuah buku tebal, mewah, hard cover dengan harga yang mahal. Namun gambaran tersebut akan sirna setelah kita melihat wujud buku ini.

Buku Ensikopedia Sastra Dunia ini memang dikemas dalam bentuk yang sederhana, dicetak dalam kertas non HVS. Lay out isi buku inipun dibuat dengan sederhana namun informatif. Wujud buku yang sederhana namun padat dalam isi ini rupanya yang membuat buku ini reltif murah dan terjangkau oleh berbagai kalangan. Pilihan yang tepat karena jika buku ini dicetak dalam kemasan mewah tentunya harganya menjadi mahal sehingga informasi-informasi yang terdapat dalam buku ini menjadi tak terbaca dan hanya akan dimiliki oleh segelintir orang yang berkantong tebal saja.

Selain kelengkapan isinya, buku ini juga bisa menjadi bahan perenungan bagi kita, diantara ratusan nama yang terdapat dalam buku ini pembaca hanya akan menemukan satu nama melayu dan satu nama Indonesia. Dari tanah melayu kita akan menemukan satu nama Abdullah bin Abdul Kadir, sedangkan dari Indonesia hanya tercantum nama Pramoedya Ananta Toer. Tentunya dengan hanya terdapat dua nama ini membuat kita menyadari jika selama ini sastrawan melayu khususunya sastrawan Indonesia hanya mampu’bermain’ dalam wilayah lokal. Padalah sesama negara Asia lainnya seperti India, Jepang, dan Cina telah melahirkan sastrawan-sastran dunia peraih Nobel Sastra.

Dalam kaitannya dengan hal ini Anton Kurnia dalam kata pengantarnya memberi gambaran yang sangat baik sbb “ Mereka memang memiliki tradisi sastra yang kuat dan sejarah yang panjang. Mereka juga mau belajar dengan menyalin karya-karya asing dari khazanah sastra dunia ke bahasa mereka, menerbitkannya sebagai buku, serta menelaah dan menarik manfaat darinya. Kemudian, bila saatnya telah tiba, mereka kembali melahirkan karya-karya yang setara dengan karya-karya terbaik dunia lainnya.” (hl xiii).

Dari pendapat Anton ini kita bisa melihat bahwa salah satu solusinya adalah dengan menerjemahkan karya-karya sastra dunia kedalam bahasa kita. Solusi yang masuk akal dan tampaknya bukan hal yang sulit jika kita memiliki kesungguhan hati dalam menerjemahkan sastra-sastra dunia secara serius disertai idealisme yang kuat sehingga karya-karya terjemahannya pun bukan sekedar terjemahan yang asal-asalan guna kepentingan bisnis penerbitan semata.

Akhirnya buku yang ‘kaya’ ini memang telah hadir di tengah-tengah kita. Sebuah buku yang langka dan sangat baik diapresiasi bagi para pecinta buku, peminat sastra, penulis, kaum akademisi, atau pembaca awam. Dengan hadirnya buku ini tampaknya tujuan penulis agar buku ini dapat membantu mereka yang berminat membaca, dan menyingkap khazanah sastra dunia, serta mencari tentang riwayat hidup, proses kreatif, dan intisari sejumlah sastrawan dunia dapat terwujud. Tak berlebihan pula jika buku ini dijadikan buku wajib bagi sekolah-sekolah dalam bidang studi Sastra dan Bahasa.

Karena seiring bertambahnya waktu akan bermunculan pula nama-nama baru yang mengguncang sastra dunia dan terus diberikannya berbagai pengharaan sastra, alangkah baiknya jika dalam periode tertentu buku ini terus di-update sehingga kelak buku Ensiklopedi Sastra Dunia akan menjadi buku pegangan yang akan terus dibaca dan dimiliki pembacanya dari waktu ke waktu.

@h_tanzil

Sunday 12 November 2006

The Year of Magical Thinking

Judul : The Year of Magical Thinking
Penulis : Joan Didion
Penerjemah : Leinovar
Penerbit : Ufuk Press
Cetakan : I, Agustus 2006
Tebal : 254 hlm
Harga :





Hidup berubah cepat,
Hidup berubah seketika,
Kau duduk makan malam,
Lalu hidup yang kau jalani berakhir,

Kematian seseorang yang dikasihi adalah hal yang bisa menimpa siapa saja. Kapan waktunya masih merupakan misteri dan rahasia sang pemberi kehidupan. Kadang kita bisa menduga-duga jika orang yang kita kasihi itu telah menderita penyakit akut yang telah lama dideritanya, namun tak jarang kematiannya datang begitu tiba-tiba sehingga kita tak siap menerima kenyataan itu.

Joan Didion (74 thn), jurnalis dan penulis novel asal Amerika adalah salah satu diantara sekian banyak orang yang harus menerima kenyataan bagaimana kematian orang yang dikasihinya datang secara tiba-tiba tanpa ada tanda-tanda atau firasat apapun sebelumnya.

Beberapa hari menjelang Natal 2003, Joan Didion beserta suaminya yang juga seorang novelis : John Gregory Dunne baru saja menjenguk putri semata wayang mereka Quintana (36 thn) yang menderita pneunomia di Pusat Pengobatan Beth Israel di East End Avenue. Tak ada yang janggal dalam perjalanan pulang mereka menuju rumah. Setiba di rumah sementara John duduk di samping perapian sambil minum wiski, Didion sibuk menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Semua tampak normal. Mereka membicarakan berbagai topik yang ringan. Tiba-tiba tangan kiri John terangkat dan terkulai lemas. Awalnya Didion menyangka suaminya bercanda, namun segera ia mnyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan suaminya.

Setelah memanggil petugas paramedis, John segera dilarikan ke rumah sakit, malangnya nyawanya tak tertolong. John didiagnosa mendapat serangan jantung yang hebat yang menghantarnya pada kematian mendadak. Hal ini membuat kehidupan Didion berubah seketika. Bagaimana tidak, kebersamaan dengan John yang telah terbina dengan baik selama empat puluh tahun tiba-tiba terhenti seketika. Didion harus berjuang sendiri menghadapi kematian suaminya, sementara putri semata wayang mereka masih terbaring di ICU RS Beth Israel.

Empat minggu kemudian Quintana dinyatakan sembuh. Namun dua bulan sesudah itu, Quintana terjatuh ketika hendak bepergian bersama suaminya. Ia kemudian dibawa ke UCLA Medical Center dan harus menjalani pembedahan otak karena didiagnosa menderita penyakit hematoma yang parah. Ini berarti terdapat bekuan darah sehingga menyebabkan gangguan neurologis karena terjadi penekanan di otak.

Joan Didion kini hidup dalam kesendirian ditengah cobaan yang bertubi-tubi. Tahun-tahun ini disebutnya sebagai “The Year of Magical Thinking”, dimana ia menjalani kehidupannya dengan tabah sambil mencoba menapak kenangan manis yang pernah dilaluinya bersama John dan Quintana.

Pada tanggal 4 Oktober 2004, tepat sembilan bulan lebih lima hari setelah kematian sauminya Didion menggoreskan penanya untuk mencatat hari-hari terberat dalam hidupnya. Catatan-catatan inilah yang akhirnya diterbitkan pada tahun 2005 dengan judul “The Year of Magical Thinking”.

Walau tema utama memoar ini adalah kematian dan kedukaan, namun Didion menuliskannya tidak dengan cengeng. Mungkin saja isi buku ini tak memberikan ‘makna’ pada kematian suami dan anaknnya, tapi dengan gamblang buku ini menjelaskan efek yang ditimbulkan pada hati dan perasaan Didion, sehingga bisa dikatakan buku ini adalah buku yang jujur, jernih dan apa adanya. Dalam buku ini pembaca akan digiring untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran Didion saat berada dalam kabut kedukaan sekaligus memperlihatkan pada pembacanya akan apa yang hilang dari dirinya.

Pengalamannya sebagai jurnalis dan novelis senior membuat hal-hal yang dia alami sebelum dan setelah kematian John, maupun diskripsi mengenai penyakit dan penanganan medis terhadap John dan Quintana terurai secara detail dan kronologis melalui penyajian yang bersifat reportase. Alur cerita terus bergerak antara masa lalu dan masa kini sehingga pembaca memiliki gambaran yang utuh seperti apa keluarga Didion dan merasakan bagaimana pedihnya hubungan harmonis yang telah terbina selama 40 tahun itu tiba-tiba harus tercerabut dari kehidupannya.

Buku ini juga menyajikan bagaimana detailnya gambaran medis lengkap dengan istilah-istilah kedokteran yang bertaburan di lembar-lembar buku ini. Di satu sisi hal ini mungkin bermanfaat bagi pembaca yang mungkin pernah bersentuhan dengan pengobatan medis atau mereka yang berprofesi sebagai petugas medis, namun bagi pembaca awam hal ini bisa menjadi hal yang mengganggu kelancaran membacanya walau di halaman terakhir tersaji catatan penjelasan mengenai istilah-istilah medis yang terdapat di buku ini

Di halaman-halaman akhir ada sedikit yang mengejutkan yaitu dengan masuknya frasa mengenai Tusnami yang melanda pesisir Sumatera. Hal ini terungkap ketika suatu saat Didion membaca kembali novel pertamanya yang berjudul Democracy yang mengungkap mengenai gempa. “Aku membaca uraian tersebut setelah gempa berkekuatan 9.0 skala Richter mengguncang zona bawah laut Sumatera sepanjang enam ratus mil dan memicu tsunami yang menyapu bersih sebagian besar wilayah pesisir yang membatasi Samudera Hindia” (hal 239).

Pada akhirnya buku yang merupakan pengalaman nyata penulisnya yang sangat personal namun bersifat universal ini tentunya diharapkan dapat memberikan potret tentang sebuah keluarga yang harmonis yang keutuhannya secara tiba-tiba harus terpisah satu dengan lainnya karena kematian sehingga menyentuh setiap pembacanya yang diharapkan tak pernah berhenti mencintai suami atau istri atau anak mereka.

Tampaknya buku yang memprroleh penghargaan National Book Award 2005 dan Powell’s Pudly Award 2006 dan dinominasikan dalam National Book Critics Circle Awards untuk kategori nonfiksi ini memang sangat baik dibaca untuk mereka yang mungkin baru saja atau pernah mengalami kehilangan seseorang yang dikasihinya, atau setidaknya pengalaman Didion yang tertuang dalam buku ini akan menyadarkan orang akan arti kehilangan dan memberikan gambaran bagaimana pengaruh kehilangan bagi orang yang ditinggalkan oleh seseorang yang dicintainya.


Sedikit tentang Joan Didion

Bagi pembaca Indonesia nama Joan Didion (lahir 5 Desember 1943) mungkin masih terasa asing ditelinga. Tidak demikian dengan publik Amerika. Ia adalah penulis legendaris beberapa novel diantaranya ; Run, River (1963), Play It As It Lays (1970), A Book of Common Prayer (1977), Democracy (1984), The Last Thing He Wanted (1996), selain itu Didion juga kerap menulis beberapa tulisian non fiksi seperti kumpulan essai Slouching Towards Bethlehem (1968) and The White Album (1979), dll

Didion juga dikenal sebagai seorang jurnalis senior. Ia merupakan kontributor tetap The New York Review of Books dan The New Yorker. Bersama suaminya John Gregory Dunne (1932 – 2003) yang juga seorang penulis mereka berkoloborasi membuat beberapa naskah skenario film. Ia kini tinggal di New York City

The Year of Magical Thinking merupakan karya terbaru Didion. Buku ini diterbitkan pada Oktober 2005 yang lalu dan langsung mendapat respon yang baik dari para kritikus perbukuan Amerika, hal ini terbukti pada bulan November 2005, (satu bulan setelah bukunya terbit), buku yang dibaca oleh para ibu rumah tangga hingga ibu negara ini diganjar sebagai pemenang National Book Award 2005 untuk kategori non fiksi. Award ini merupakan salah satu penghargaan sastra terkemuka di Amerika, dimana pemenangnya memperoleh uang hadiah sebesar 10.000 dolar atau sekitar 100 juta rupiah dan sebuah patung kristal dari The National Book Foundation.

Dua minggu setelah buku ini selesai diekerjakan, putri semata wayang Didion, Quintana akhirnya meninggal dunia. The New York Times dalam reportasenya mengungkapkan bahwa Didion tak berniat merevisi atau mengubah bukunya setelah kematian putrinya. "It's finished," ujarnya.

@h_tanzil



Friday 3 November 2006

The Godfather


Judul : The Godfather (Sang Godfather)
Penulis : Mario Puzo
Penerjemah : B. Sendra Tanuwidjaja
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : September 2006
Tebal : 680 hlm ; 23 cm
Harga : Rp.75.000,-





The Godfather menceritakan kisah keluarga Mafia yang dipimpin oleh Don Vito Corleone, ia dikenal sebagai salah satu pemimpin Mafia – Sisilia yang disegani di New York City Amerika, walau ia seorang pemimpin kerajaan bawah tanah raksaksa yang menguasai berbagai kegiatan bisnis ilegal dan hidup dalam dunia kejahatan yang kelam, dirinya tidak bersikap kejam seperti pemimpin mafia-mafia lainnya. Corleone dikenal sebagai seorang pria yang logis, adil dan murah hati.

Di samping menjalankan bisnisnya ia kerap didatangi siapa saja untuk dimintai bantuan. Ia tidak pernah memberikan janji kosong. Tidak peduli semiskin atau selemah apapun orang yang meminta bantuan, Corleone akan memasukkan kesulitan orang itu ke dalam hatinya dan ia akan melakukan apapun untuk menolong orang tersebut. Hanya satu hal yang diinginkanya. Yaitu orang itu menyatakan persahabatannya pada Corleone. Hal ini menyebabkan dirinya digelari “Don” yang terhormat, dan panggilan lainnya yang lebih penuh kasih, “Godfather”.

Keluarga Corleone merupakan keluarga mafia yang paling berpengaruh dan disegani diantara keluarga Mafia lainnya di Amerika Serikat. Pengaruhnya menyebar mulai dari kepolisian, kejaksaan, serikat buruh, hollywood, hingga gedung putih. Bisnis ilegalnya yang berpusat di Long Island menyebar dari mulai perjudian, minuman keras, real estate, taruhan pacuan kuda, dll. Salah satu bisnis yang tidak disentuhnya adalah narkotika. Don Corleone menganggap narkotika adalah bisnis kotor yang akan merusak pengaruhnya di pemerintahan resmi.

Awalnya keluarga Corleone hidup secara aman. Bisnis ilegalnya berjalan dengan lancar dan menguntungkan, tanpa bahaya, tanpa gangguan baik dari pemerintah resmi maupun dari keluarga mafia lainnya. Namun ketentraman ini terganggu ketika Sollonzo yang didukung keluarga mafia Tattaglia, salah satu dari Lima Keluarga Mafia yang berpengaruh di Amerika sekaligus saingan utama keluarga Corleone mengajaknya untuk bekerja sama melakukan bisnis narkotika. Tentu saja Don Corleone menolaknya.

Penolakan Don Corleone menimbulkan sakit hati bagi Sollonzo dan keluarga Tattaglia. Ditambah dengan kenyataan bahwa tanpa dukungan Corleone tak mungkin bagi Sollonzo untuk melaksanakan bisnis narkotikanya. Tanpa diduga Don Corleone ditembak oleh kaki tangan Sollonzo ketika sedang membeli buah-buahan bersama Freddie, putra sulungnya. Tentu saja penembakan ini berpotensi memicu terjadinya perang antar mafia.

Don Corleone luput dari maut, namun terluka cukup parah, sementara Freddie tampak sangat tertekan karena peristiwa tersebut. Selama Don Corleone dalam perawatan, tampuk pimpinan keluarga Corleone dikendalikan oleh Sonny Corleone, putra kedua Don Corleone dan dibantu oleh Tom Hagen selaku consigliere (penasehat) keluarga Corleone.

Sonny mengambil inisiatif menghabisi nyawa Sollonzo melalui Michael (putra ketiga Don Corleone). Misi ini berhasil dilaksanakan dengan sempurna dan untuk menghindari dari jerat hukum, Michael dilarikan ke Sisilia, Itali.

Belum pulihnya Don Corleone dimanfaatkan oleh keluarga Tattaglia untuk membalas dendam kematian Sollonzo dan memuluskan bisnis narkotikanya. Sebuah peristiwa tragis kembali menimpa keluarga Corleone sehingga melemahkan bisnisnya.

Hal ini membuat Don Corleone yang bijak mengambil langkah kenegarawan untuk menghentikan balas dendam antar keluarga yang tiada akhir. Suskes dengan misi damainya Sang Godfather mengundurkan diri dari dunia mafia. Cerita belum berakhir. Putra bungsu Corleone, Michael Corleone dengan langkah-langkah briliannya terus berusaha untuk mengembalikan kejayaan kerajaan keluarga Corleone.

Mario Puzo dalam novelnya ini mengemas kisah keluarga Corleone dengan kerajaan bawah tanahnya dengan menarik. Sejak awal. pembaca akan diikutsertakan dalam sebuah petualangan sepak terjang sang Godfather beserta tokoh-tokohnya yang memiliki beragam karakter yang kompleks yang memiliki harapan, impian, dan ketakutan, tapi juga merupakan pembunuh keji.

Selain tokoh Don Corleone beserta keluarganya, Puzo juga menghadirkan tokoh Tom Hagen selaku consiliegri, satu-satunya consiliegri yang bukan berdarah Italia. Juga terdapat tokoh Jhonny Fontane, penyanyi tenar sekaligus aktor terkenal. Melalui karakter Jhonny ini pembaca akan diajak menyelami kehidupan dunia selebritis Hollywood di tahun awal tahun 70-an lengkap dengan gaya hidup hedonis dan intrik-intrik di dalamnya yang memiliki persinggungan dengan keluarga Mafia.

Selain karakter-karakter tokoh-tokoh yang dipaparkan dengan begitu hidup, novel ini juga mengungkap sepak terjang dunia mafia dengan gamblang, lengkap dengan istilah-istilah yang umum digunakan seperti “Don”, Caporegime, Consilegri, dll, sehingga ketika novel ini terbit di tahun 1969, novel ini memberikan pengaruh yang besar bagi masyarakat dalam budaya populer Amerika, hal ini terbukti dengan semakin banyaknya mafia dan reputasinya yang tertuang dalam buku, iklan hingga film-film.

Terlepas dari benar tidaknya gambaran yang diberikan Puzo dalam novelnya ini sepak terjang Mafia dalam kehidupan masyarakat Amerika memang tak dak dapat dipungkiri keberadaannya. Wikipedia on line mengutip bahwa di tahun 60-an pemerintah Amerika Serikat telah melakukan kerjasama dengan Mafia antara lain dalam usaha pembunuhan terhadap pemimpin Cuba, Fidel Castro.

Kegambalangan dan cara berutur Puzo yang detail dan sangat hidup dalam The Godfather membuat pembacanya bertanya-tanya, apakah ini merupakan kisah nyata ? apalagi karakter Johnny Fontane dalam novel ini mengingatkan orang pada penyanyi Frank sinatra. Ada juga yang menduga kalau Puzo memiliki ‘link’ dengan Mafia sehingga ia mampu menuliskan novel ini dengan sangat detail. Namun dalam wawancaranya Puzo mengelak dan mengatakan bahwa novel yang diselesaikannya selama tiga tahun ini disusun hanya berdasarkan riset pustaka belaka.

Sebelum The Godfather meraih kesuksesan Puzo adalah penulis miskin, sudah dua novel ditulisnya The Dark Arena (1955), dan The Fortunate Pilgrim (1965). Kedua novel ini, walau banyak dipuji oleh para kritikus, bahkan Puzo sendiri menganggap karya keduanya merupakan karya terbaiknya, gagal di pasaran.

Puzo menulis The Godfather karena ia membutuhkan sejumlah uang. Ia terjerat hutang sebesar $20,000, keadaan ini membuat ia mengatakan kepada editornya bahwa ia akan menulis sebuah buku tentang mafia. The Godfather diselesaikannya selama hampir tiga tahun, selama waktu tersebut Puzo juga menulis beberapa cerita lainya.

Ketika the Godfather terbit di tahun 1969, novel ini mendapat sambutan yang sangat baik oleh pasar. Puzo bukan hanya bisa melunasi hutang-hutangnya, ia bahkan menjadi penulis tenar dan The Godfather kini menjadi novel klasik yang akan dikenang sepanjang masa. Novel ini telah terjual lebih dari 21 juta copy dan bertahan di daftar best-seller surat kabar The New York Times selama 67 minggu.

Kesuksesan The Godfather berlanjut ketika novel ini dilirik oleh sutradara bertangan dingin Francis Ford Copolla yang bersama-sama Puzo mengadaptasi novel ini ke layar perak. Puzo dan Copolla memperoleh Oscar untuk Skenario Adaptasi Terbaik. Sedangkan The Godfather I dan The Godfather II terpilih sebagai film terbaik tahun 1972 dan 1974

Gaung The Godfather kini terdengar kembali, di tahun 2004 Mark Winegardner, penulis asal Amerika menerbitkan The Godfather Return yang merupakan sequel dari The Godfather. – Mario Puzo. Dan pada Novemeber 2006 ini Mark Wineggarder kembali akan menerbitkan sekuel lanjutannya yang berjudul The Godfather's Revenge.

Apakah 2 sekuel karya Mark Winegarder ini akan sesukses The Godfather karya Mario Puzo ?


@h_tanzil

Saturday 21 October 2006

Carry Me Down

Saya baru saja menyelesaikan novel “Carry Me Down” karya M.J Hayland, nominator The Man Booker Prize 2006.

Saya membaca versi terjemahannya (masih dlm bentuk dummy) yang diberikan oleh penerbit Ufuk pada saya untuk diberikan edrosment.

Rencananya terjemahan novel ini akan diterbitkan di bulan November 2006. Untuk itu, sebagai pemanasan saya postingkan Review Patricia Craig yang dimuat di situs The Independent Online.

Nanti jika terjemahannya sudah terbit baru saya postingkan review yang saya buat sendiri.

Selamat membaca…..

juga

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1427 H
Mohon Maaf Lahir dan batin




Carry Me Down, by M J Hyland
Dry wit and sticky moments of an Irish childhood
By Patricia Craig
Published: 28 April 2006

This is a novel about family friction. John Egan, an overgrown 11-year-old, lives in his grandmother's cottage near Gorey, Co. Wexford, with his mother, father and his father's mother. John's favourite reading is The Guinness Book of Records, and he cherishes an ambition to feature in his work himself on account of an unusual ability he believes he possesses. He is a human lie-detector, whose ears tingle and whose stomach churns whenever someone tries to palm him off with an untruth. He has quite a lot of scope to exercise this gift, since the adults around him are not invariable truth-tellers. Lying and other forms of dishonesty, though, are not peculiar to grown-ups. John himself isn't above indulging in a spot of petty larcency from time to time.

The Egans are an odd family. They are all very tall. John's mother is a puppet-maker and his father, a one-time electrician, is studying with a view to enrolling for a degree course in criminal psychology at Trinity College Dublin. The grandmother, not entirely happy about the invasion of her home, spends a lot of time attending horse races at Leopardstown.

John is at the same time severely critical of his parents and mightily attached to them, and the whole family is subject to lightning changes of mood, which makes for an unsettling atmosphere. This atmosphere is not conducive to steady emotional development. One might go so far as to call John retarded in some areas - though advanced in others.

At Gorey National School John has made only one friend, Brendan, and he loses this friend after an "experiment" goes wrong and he wets the classroom floor, to the disgust and taunts of his classmates. He was only trying to break a urine-retaining record. But one of John's characteristics is an inability to envisage the consequences of his actions, and this culminates in a melodramatic incident involving an ambulance and a number of Gardai.

By this stage the family has moved to Dublin, where the only accommodation available is in a high-rise block in Ballymun, with the stink of rubbish in their noses and gangs of youths assembling for no good purpose in the stairwell. In these dispiriting surroundings, the combined forces of domestic uncertainty and personal peculiarity engender a bitter outcome. The events of these crucial months in the lives of the Egan family are narrated by M J Hyland's protagonist, John; and the impersonation of a pre-adolescent's preoccupations is effective and, at times, funny. At other times a kind of low-intensity frustration and dissatisfaction saturates the narrative, to lowering effect. And occasionally an emblem occurs whose meaning is obscure. However, as a record of country-school bleakness, home unpredictability and city grimness, Carry Me Down can be said to carry the day.

Patricia Craig's biography of Brian Moore is published by Bloomsbury



http://enjoyment.independent.co.uk/books/reviews/article360560.ece

Monday 16 October 2006

Kacamata Kuda


Judul : Kacamata Kuda
Penulis : Ardian Syam
Penerbit : Amara Books
Cetakan : I, Juli 2006
Tebal : 201 hlm

Andrias Harefa (penulis 25 buku laris) dalam endorsment buku ini mengatakan bahwa setiap orang dalam aspek tertentu pastilah memiliki “kacamata kuda”nya masing-masing. Kacamata kuda adalah istilah yang berarti bahwa cara pandang orang umumnya diarahkan oleh orang tua, atasan, guru, dll, seperti kuda yang dipasangi kacamata kuda yang harus tunduk pada arah pandangan yang ditetapkan oleh kusirnya.

Terkadang kita tak menyadari bahwa kitapun memakai kacamata kuda dalam berbagai aspek kehidupan kita, kita terlalu ‘biasa’ menggenakannya sehingga kacamata kuda yang kita kenakan seakan menjadi bagian dari diri kita sehingga tak pernah sedikitpun terbesit untuk mencoba membuka kacamata kuda kita dan melihat berbagai aspek dengan cara pandang baru.

Untuk itulah buku Kacamata Kuda yang merupakan kumpulan tulisan Ardian Syam, penulis kolom di situs Pembelajar.com yang kini bekerja sebagai Bussiness Analyst di divisi I Regional Sumatera, PT. Telekomunikasi Indonesia mengajak pembacanya untuk membuka kacamata kuda-nya dan melihat dengan sudut pandang yang baru.

Buku ini berisi 39 tulisan dalam konteks bisnis, entrepreunership, dan pemasaran yang dibagi dalam enam bab yang masing-masing berjudul : Produsen dan Konsumen, Manajemen Usaha, Pribadi, Produsen dan Konsumen, Lagi, Korupsi, dan Manajemen Usaha, juga.

Pada bab Produsen dan Konsumen antara lain berisi pembahasan mengenai bagaimana hubungan antara produsen dan konsumen dan bagaimana kiat-kiat produsen agar produk-produknya dapat terserap dengan baik oleh konsumen. Dalam artikel yang berjudul Psikografi, dibahas bagaimana sebenarnya pelanggan atau konsumen adalah manusia yang memiliki emosi dan akal sehat, karena setiap produk atau jasa yang tersedia selain harus dipilih berdasarkan akal sehat juga harus mempertimbangkan sentuhan emosi yang diberikan pada konsumen. Di sini penulis memberikan contoh dalam produk mobil-mobil mungil hingga botol-botol shampo dan sabun cair yang saat ini tidak lagi sama bentuknya dalam dengan botol-botol sebelumnya yang berbentuk konvensional. Bentuk produk ini menjadi bagian dari kepedulian produsen terhadap emosi konsumen. Bentuk yang manarik minat berarti bentuk yang menggugah rasa estetika konsumen.

Dalam bab Manajemen Usaha, selain menyajikan bahasan mengenai konsep-konsep manajemen seperti quality time, mitra, budaya dalam organisasi, loyalitas, dll juga dibahas mengenai Seragam. Hal kecil yang setelah dicermati ternyata memberikan pengaruh terhadap manajemen usaha. Penulis berkesimpulan bahwa seragam tidak hanya sekedar menjadi identitas melainkan menjadi uniform. Karena ketika semua orang dalam kelompok tersebut menggunakan seragam, maka hampir tiada perbedaan sikap dan perilaku yang ditunjukkan (hal 191). Hal ini dikarenakan ketika memakai seragam, orang akan cenderung mengikuti perilaku dari teman-teman yang berseragam sama.

Pada Bab Pribadi, dibahas hal-hal yang menyangkut pribadi dalam hal investasi, kesewenang-wenangan, sikap, pengaruh guru, dll. Yang menarik adalah tulisan yang berujudul Investasi, di bagian ini terungkap sebuah penelitian bahwa paling banyak hanya akan ada 6 orang antara kita dengan seorang lain. Dengan kata lain mungkin ada kurang dari 6 orang antara kita dengan Rhenald Kasali. Artinya salah seorang orang yang kita temui mungkin kenal dengan B yang kenal dengan C, C dikenal oleh D, D dikenal oleh E dan E dikenal oleh seorang yang menjadi sahabat Rhenald Kasali. Karena itu penulis menyarankan kita agar selalu bersiap untuk bertemu salah satu dari 6 orang yang akan mempertemukan kita dengan orang yang selama ini kita cari-cari. Caranya dengan selalu melengkapi diri dengan bussines card yang menginformasikan siapa diri kita dan dimana kita bisa dihubungi. Karena siapa tahu orang yang berada di sebelah kita saat kita mungunggu giliran di ruang tunggu dokter, atau seseorang di depan kita yang sedang antri tiket di bioskop adalah orang yang membawa kita pada orang yang kita cari-cari untuk menyukseskan bisnis kita.

Secara keseluruhan, seperti diungkap Edy Zaqeus (editor Pembelajar.com) dalam kata pengantarnya, buku ini akan mengingatkan kita pada gaya penuturan para penulis dalam bidang manajemen dan marketing seperti Hermawan Kertajaya, Rhenald Khasali, Gede Prama, dll. Dimana konsep-konsep majamemen yang aslinya bisa membuat dahi berkerut, di tangan mereka menjadi hal-hal yang mudah dicerna. Ardian melakukan hal yang sama, walaupun tentu saja dengan gaya yang berbeda.

Salah satu yang membuat buku ini berbeda dengan penulis-penulis manajemen lainnya adalah usaha penulis dalam membuat buku ini segar melalui humor-humornya yang menjadi pengantar di tiap babnya.

Jika kita melihat cover buku ini yang berwarna merah dengan ilustrasi kepala kuda yang sedang ‘nyengir’ dan berkacamata, tampaknya sedari awal pembaca diajak menyimpulkan bahwa buku ini bukanlah buku yang ‘berat’. Sayang halaman dalamnya tak didukung dengan ilustrasi-ilustrasi atau karikatur-karikatur segar yang mendukung gambaran bukan buku berat yang dicoba ditampilkan di cover depannya.

Penyajian bab yang unik seperti Korupsi juga menjadi hal yang menarik, di bab ini pembaca akan disuguhkan dengan pandangan-pandangan penulis terhadap praktek korupsi beserta contoh-contoh kasusnya. Entah apa yang membuat bab Korupsi disertakan dalam buku ini, sekilas agak melenceng dari tema utama buku ini yang berbicara dalam konteks manajeman dan pemasaran. Mungkin ini sebuah bentuk kepedulian penulis terhadap praktek korupsi yang sudah menjadi hal yang wajar di negeri ini. Seperti bab-bab lainnya bab inipun menyajikan sudut pandang yang berbeda dan gagasan inopvatif mengenai bagaimana menyadarkan sikap anti korupsi di kalangan kaum terpelajar sedini mungkin.

Setiap tulisan-tulisan dalam buku ini menawarkan berbagai gagasan-gagasan baru yang kreatif dan inovatif. Tips-tipsnya aplikatif sehingga mudah dicerna oleh siapa saja. Walau kasus atau permasalahan yang diangkat mungkin pernah kita dengar, namun secara cerdas Ardian melihat dan memecahkannya dari sudut pandang yang berbeda. Pembaca akan diajak berefleksi dan berkontempelasi lewat tulisan-tulsiannya sehingga pembaca akan mendapat wawasan baru yang mungkin saja akan menginspirasi pembacanya untuk mengembangkankan bisnis yang digelutinya. Selain itu bagi bukan pebisnis ataupun pelaku menajemen usaha, ulasan-ulasan dalam buku ini tampaknya dapat juga diterapkan dalam pengembangan diri pribadi pembacanya.

Secara keseluruhan rangkaian tulisan-tulisan dalam buku ini menarik dan memberi pandangan baru, sayang tulisan yang dikumpulkan dalam rentang waktu 2004 hingga 2006 ini tak menyebutkan sumber-sumber dimana tulisan ini pernah dimuat, apakah semuanya memang pernah dipublikasikan di situs Pembelajar.com ? atau pernah dimuat di media-media lainnya ? Rasanya tak ada penjelasan eksplisit dalam buku ini. Memang bukan hal yang mutlak namun bagi sebuah buku kumpulan tulisan hal ini wajar untuk diungkapkan.

Akhirnya buku ini memang sangat berpotensi dalam membantu membuka wawasan pembacanya dalam memandang masalah dari sisi yang tidak pernah diperhatikan orang, menerobos pemikiran-pemikiran klise, dan yang pasti membuka (dan membaca) buku ini, berarti Anda sedang membuka “Kacamata Kuda Anda”.

Bacalah buku ini dan bukalah Kacamata Kuda Anda!

@htanzil

Saturday 14 October 2006

The Nobel Prize in Literature 2006

Press Release
12 October 2006


The Nobel Prize in Literature 2006
Orhan Pamuk



The Nobel Prize in Literature for 2006 is awarded to the Turkish writer Orhan Pamuk

"who in the quest for the melancholic soul of his native city has discovered new symbols for the clash and interlacing of cultures".

--------------------------


Biobibliographical Notes

Orhan Pamuk was born 7 June 1952 in Istanbul into a prosperous, secular middle-class family. His father was an engineer as were his paternal uncle and grandfather. It was this grandfather who founded the family's fortune. Growing up, Pamuk was set on becoming a painter. He graduated from Robert College then studied architecture at Istanbul Technical University and journalism at Istanbul University. He spent the years 1985-1988 in the United States where he was a visiting researcher at Columbia University in New York and for a short period attached to the University of Iowa. He lives in Istanbul.

Pamuk has said that growing up, he experienced a shift from a traditional Ottoman family environment to a more Western-oriented lifestyle. He wrote about this in his first published novel, a family chronicle entitled Cevdet Bey Ve Oğulları (1982), which in the spirit of Thomas Mann follows the development of a family over three generations.

His second novel, Sessiz Ev (1983; The House of Silence, 1998), uses five different narrator perspectives to describe a situation in which several family members visit their ageing grandmother at a popular seaside resort with Turkey teetering on the brink of civil war. The period is 1980. The grandchildren's political discussions and their friendships reflect a social chaos where various extremist organisations vie for power.

Pamuk's international breakthrough came with his third novel, Beyaz Kale (1985; The White Castle, 1992). It is structured as an historical novel set in 17th-century Istanbul, but its content is primarily a story about how our ego builds on stories and fictions of different sorts. Personality is shown to be a variable construction. The story's main character, a Venetian sold as a slave to the young scholar Hodja, finds in Hodja his own reflection. As the two men recount their life stories to each other, there occurs an exchange of identities. It is perhaps, on a symbolic level, the European novel captured then allied with an alien culture.

Pamuk's writing has become known for its play with identities and doubles. The issue appears in his novel Kara Kitap (1990; The Black Book, 1995) in which the protagonist searches the hubbub of Istanbul for his vanished wife and her half-brother, with whom he later exchanges identities. Frequent references to the mystic tradition of the East make it natural to see this in a Sufi perspective. Kara Kitap represented a definite break with the governing social realism in Turkish literature. It provoked debate in Turkey not least through its Sufism references. Pamuk based his screenplay for the film Gizli Yüz (1992) on the novel.

Yeni Hayat (1994; The New Life, 1996) is a novel about a secret book with the capacity to irrevocably change the life of any person who reads it. The search for the book provides the structure of a physical journey but bordered by literary references, thought experiments in the spirit of mysticism, and reminiscences of older Turkish popular culture, turning the plot into an allegoric course of events correlated with the Romantic myth of an original, lost wisdom.

According to the author, the major theme of Benim Adim Kırmızı (2000; My Name is Red, 2002) is the relationship between East and West, describing the different views on the artist's relation to his work in both cultures. It is a story about classical miniature painting and simultaneously a murder mystery in a period environment, a bitter-sweet love story, and a subtle dialectic discussion of the role of individuality in art.

Pamuk has published a collection of essays, Öteki Renkler : Seçme Yazılar Ve Bir Hikâye (1999), and a city portrait, İstanbul : Hatıralar Ve Şehir (2003; Istanbul : Memories and the City, 2006). The latter interweaves recollections of the writer's upbringing with a portrayal of Istanbul's literary and cultural history. A key word is hüzün, a multi-faceted concept Pamuk uses to characterise the melancholy he sees as distinctive for Istanbul and its inhabitants.

Pamuk's latest novel is Kar (2002; Snow, 2005). The story is set in the 1990s near Turkey's eastern border in the town of Kars, once a border city between the Ottoman and Russian empires. The protagonist, a writer who has been living in exile in Frankfurt, travels to Kars to discover himself and his country. The novel becomes a tale of love and poetic creativity just as it knowledgeably describes the political and religious conflicts that characterise Turkish society of our day.

In his home country, Pamuk has a reputation as a social commentator even though he sees himself as principally a fiction writer with no political agenda. He was the first author in the Muslim world to publicly condemn the fatwa against Salman Rushdie. He took a stand for his Turkish colleague Yaşar Kemal when Kemal was put on trial in 1995. Pamuk himself was charged after having mentioned, in a Swiss newspaper, that 30,000 Kurds and one million Armenians were killed in Turkey. The charge aroused widespread international protest. It has subsequently been dropped.

Literary Prizes and Awards: Milliyet Roman Yarışması Ödülü (1979, shared with Mehmet Eroğlu), Orhan Kemal Roman Ödülü (1983), Madaralı roman Ödülü (1984), the Independent Award for Foreign Fiction (1990), Prix de la Découverte Européenne (1991), Prix France Culture (1995), Prix du Meilleur Livre Étranger (2002), Premio Grinzane Cavour (2002), the IMPAC Dublin Award (2003), Ricarda-Huch-Preis (2005), Der Friedenspreis des Deutschen Buchhandels (2005), Prix Médicis étranger (2005), Prix Méditerranée Étranger (2006).
Works in Turkish
Cevdet Bey Ve Oğulları. – İstanbul : Karacan Yayınları, 1982
Sessiz Ev. – İstanbul : Can Yayınları, 1983
Beyaz Kale. – İstanbul : Can Yayınları, 1985
Kara Kitap. – İstanbul : Can Yayınları, 1990
Gizli Yüz : Senaryo. – İstanbul : Can Yayınları, 1992
Yeni Hayat. – İstanbul : İletişim, 1994
Benim Adım Kırmızı. – İstanbul : İletişim, 1998
Öteki Renkler : Seçme Yazılar Ve Bir Hikâye. – İstanbul : İletişim, 1999
Kar. – İstanbul : İletişim, 2002
İstanbul : Hatıralar Ve Şehir. – İstanbul : Yapı Kredi Kültür Sanat Yayıncılık, 2003

Works in English
The White Castle / translated from the Turkish by Victoria Holbrook. – New York : Braziller, 1991. – Translation of Beyaz Kale
The Black Book / translated by: Güneli Gün. – New York : Farrar, Straus, 1994. – Translation of Kara Kitap
The New Life / translated by Güneli Gün. – New York : Farrar, Straus, and Giroux, 1997. – Translation of Yeni Hayat
My Name is Red / translated from the Turkish by Erdağ M. Göknar. – New York : Knopf, 2001. – Translation of Benim Adım Kırmızı
Snow / translated from the Turkish by Maureen Freely. – New York : Knopf, 2004. – Translation of Kar
Istanbul : Memories and the City / translated from the Turkish by Maureen Freely. – New York : Knopf, 2005. – Translation of İstanbul : Hatıralar Ve Şehir

Works in French
La maison du silence / trad. du turc par Münevver Andaç. – Paris : Gallimard, 1988. – Traduction de: Sessiz Ev
Le livre noir / trad. du turc par Münevver Andaç. – Paris : Gallimard, 1994. – Traduction de: Kara Kitap
Le château blanc / trad. du turc par Münevver Andaç. – Paris : Gallimard, 1996. – Traduction de: Beyaz Kale
La vie nouvelle / trad. du turc par Münevver Andaç. – Paris : Gallimard, 1998. – Traduction de: Yeni Hayat
Mon nom est Rouge / trad. du turc par Gilles Authier. – Paris : Gallimard, 2001. – Traduction de: Benim Adım Kırmızı
Neige / traduit du turc par Jean-François Pérouse. – Paris : Gallimard, 2005. – Traduction de: Kar

Works in Swedish
Den vita borgen / översättning från turkiskan av Kemal Yamanlar i samarbete med Anne-Marie Özkök. – Stockholm : Tiden, 1992. – Originaltitel: Beyaz Kale
Den svarta boken : roman / översatt av Jan Verner-Carlsson. – Stockholm : Tiden, 1995. – Översättning från den norska utgåvan med titeln: Svart bok och den engelska utgåvan med titeln: The black book. – Originaltitel: Kara Kitap
Det nya livet : roman / översatt från turkiskan av Dilek Gür. – Stockholm : Rabén Prisma/Arleskär, 1996. – Originaltitel: Yeni Hayat
Det tysta huset : roman / översatt från turkiskan av Dilek Gür. – Stockholm : Norstedt, 1998. – Originaltitel: Sessiz Ev
Mitt namn är röd / översättning: Ritva Olofsson. – Stockholm : Norstedt, 2002. – Originaltitel: Benim Adım Kırmızı
Snö / översättning Inger Johansson. – Stockholm : Norstedt, 2005. – Översättning från den engelska utgåvan med titeln: Snow. – Originaltitel: Kar
Istanbul - minnen av en stad / översatt av Tomas Håkanson. – Stockholm : Norstedt, 2006. – Originaltitel: İstanbul : Hatıralar Ve Şehir

Works in German
Die weisse Festung / Aus dem Türk. übertr. von Ingrid Iren. – Frankfurt am Main : Insel, 1990. – Originaltitel: Beyaz Kale
Das schwarze Buch / Aus dem Türk. von Ingrid Iren. – München : Hanser, 1995. – Originaltitel: Kara Kitap
Das neue Leben / Aus dem Türk. von Ingrid Iren. – München : Hanser, 1998. – Originaltitel: Yeni Hayat
Rot ist mein Name / Aus dem Türk. von Ingrid Iren. – München : Hanser, 2001. – Originaltitel: Benim Adım Kırmızı
Schnee / Aus dem Türk. von Christoph K. Neumann. – München : Hanser, 2005. – Originaltitel: Kar
Der Blick aus meinem Fenster : Betrachtungen. – München : Hanser, 2006

The Swedish Academy

sumber : http://nobelprize.org/nobel_prizes/literature/laureates/2006/

Monday 9 October 2006

The Voice of Demons


Judul : The voice of Demons : Suara-suara Iblis
Penulis : Lori Schiller dan Amanda Bennet
Penerjemah : Edrijani
Penyunting : Berliani M. Nugrahani
Penerbit : Qanita


Dia ingin kamu mati.
Bunuh dia sebelum dia membunuhmu!
Cekik saja lehernya!
Atau, potong nadimu sendiri!
Bunuh dirimu sebelum dia membunuhmu….

Suara-suara yang menyiksa itu terus berdengung di telingaku. Suara-suara itu tak pernah diam, terus memerintahku, merasuki kepalaku. Mereka mengutuk dan mencaci makiku.


Suara-suara iblis itu pertama kali didengar oleh Lori Schiller di usianya yang ke tujuh belas pada saat ia mengikuti perkemahan musim panasnya yang terakhir di SMA. Sebelumnya tak ada yang salah dalam dirinya, ia dilahirkan dari orang tua yang terpelajar, masa kanak-kanak hingga remaja ia lalui bersama keluarganya yang harmonis. Di sekolahnya Lori tergolong anak yang cerdas. Ia memiliki sejuta mimpi untuk melanjutkan hidupnya, masuk perguruan tinggi, bekerja, dan menata hidupnya dengan penuh tanggung jawab.

Namun siapa yang menyangka impiannya semakin jauh dari kenyataan. Di Musim panas yang naas pada tahun 1976 tiba-tiba saja suara-suara iblis itu terdengar dalam kepalanya dan terus mengganggunya hingga menghancurkan hidupnya.

Walau berhasil memasuki bangku kuliah, hidup Lori menjadi berantakan, perilakunya menjadi aneh, ia berusaha menghalau suara-suara itu dari kepalanya, namun suara-suara itu tak juga mau pergi, semakin ia melawan semakin keras suara itu terngiang di kepalanya. Berkali-kali Lori hilang kendali diri dan mencoba melakukan bunuh diri seperti yang diperintahkan oleh suara-suara itu. Hal ini membuat dirinya didiagnosa menderita skizofrenia dan harus keluar masuk rumah sakit jiwa untuk mendapat perawatan.

Dalam perawatan rumah sakit, kondisi Lori semakin memburuk, tak jarang ia menjadi lepas kendali, mencoba untuk lari, berperilaku destruktif dengan mengancurkan benda-benda di sekitarnya dan melukai dirinya. Tak jarang ia harus mendekam dalam ruang isolasi bahkan harus mengalami pengekangan yang dinamakan cold-wet-pack. Sebuah cara pengekangan yang digunakan untuk meredam amukan pasien yang sudah tak terkendali lagi. Tujuannya adalah untuk membekukan pasien sehingga pasien akan kehabisan tenaga dan menjadi tenang.

Berbagai pengobatan sudah diberikan pada Lori, namun efek obat-obat itu hanya bereaksi sementara karena lambat laun ketika tubuhnya telah menyesuaikan diri dengan obat-obatan tersebut, penyakitnya kembali akan kambuh. Selain itu pemberian obat-obatan bukan tanpa efek samping, seringkali obat-obatan yang diminumnya mengakibatkan tubuhnya gemetaran, tenggorokannya terbakar, dll. Selain itu cara yang paling ekstrim dengan memberikan terapi kejutan listrik pun sudah dialaminya. Namun semua itu tak menyembuhkannya hingga akhirnya Lori terjerat dalam penggunaan Narkoba. Baginya Narkoba adalah cara yang paling efektif untuk menghalau suara-suara itu dalam kepalanya.

Beruntung Lori mendapatkan penanganan yang baik, walau berulangkali mencoba menghabisi nyawanya sendiri dan harus keluar masuk beberapa rumah sakit, hal ini tak membuat putus asa kedua orang tua dan psikiater yang menganganinya. Di New York Hospital, White Plains, Lori mendapat penanganan dari Dr. Fischer dan Dr. Doller. Melalui kedua psikiater ini Lori mendapat penangan yang ‘lain’, tak hanya memfokuskan pada penggunaan obat-obatan melainkan melalui sentuhan personal dan lebih berkonsentrasi pada upaya mengetahui apa yang ada di kepala Lori.

Lambat laun Lori mampu mengenali masalahnya, untuk kemudian menghentikannya. Ketika pada akhirnya dia mengetahui bahwa dirinya sakit, dia tidak membiarkan apa pun menghalangi niatnya untuk sembuh.

Di banding buku-buku lain yang bertema skizofren seperti "Mereka Bilang aku Gila – Ken Steele & Claire Berman (Qanita 2004) atau A Beautiful Mind – Sylvia Nashar (GPU,2005) yang hanya mengupas memoar seorang penderita skizofren dari sisi penderitanya, buku The Voice of Demons (Suara-suara Iblis) ini bisa terbilang istimewa. Selain mengungkap derita-derita dan perjuangan yang dialami oleh si penderita Skizofren yang diwakili oleh Lori. Buku ini memuat pula pandangan-pandangan dari orang-orang yang bersinggungan secara langsung dengan Lori.

Kisah dalam buku ini selain diceritakan oleh Lori sendiri, juga dicertiakan secara langsung oleh Marvin & Nancy Schiler (ayah & ibu Lori), Steven & Mark Schiler (adik2 Lori), Lori Winters (teman sekamar Lori), dan Dr. Jane Doller (psikiater Lori).
Dari sudut pandang Marvin & Nancy schiller, pembaca akan merasakan bagaimana galaunya perasaan orang tua Lori dalam menerima kenyataan pahit harus memiliki seorang anak penderita Skiizofrenia, padahal sebelum sakit Lori adalah anak yang sangat dibanggakannya. Bagi Marvin yang pernah menjalani pendidikan sebagai seorang psikiater tentu saja sangat memukul perasaannya. Apalagi saat itu masih berkembang anggapan bahwa penyakit jiwa diakibatkan oleh pola asuh yang salah dari orang tua terhadap anaknya. Dari sudut pandang Steven & Mark Schiler akan terungkap bagaimana perasaan mereka memiliki seorang kakak yang harus dirawat di rumah sakit jiwa, hal ini berpengaruh pada Steven yang enam tahun lebih muda dari Lori, diam-diam ia merasa takut jika apa yang dialami Lori juga kelak akan menimpa dirinya.

Dari sudut pandang Lori Winters selaku teman sekamar Lori Schiler ketika Lori belum didiagnosis sebagai penderita Skrizofrenia, akan terungkap bagaimana awal dari keanehan-keanehan jiwa Lori yang tidak stabil. Ketika masih sekamar dengan Lori Winter-lah Lori Schiller pertama kali melakukan usaha bunuh dirinya.

Yang tak kalah menarik adalah bab yang diceritakan oleh Dr. Jane Doller. Di bab ini pembaca akan memperoleh pengetahuan mengenai skrizofren beserta tahap-tahap penderitaan dan penanganannya. Juga akan diungkap bagaimana dan apa alasan Dr. Doller dalam melakukan pendekatan baru pada Lori dalam menyembuhkan dirinya dari Skizofren.

Walau buku ini terdiri dari beberapa penutur, penempatan siapa yang menuturkan cerita di setiap bab-nya tampaknya disusun mengikuti alur cerita yang berkesinambungan sehingga terkesan mengalir dan tak membingungkan pembacanya. Malah dengan adanya beberapa penutur dalam buku ini membuat buku ini menjadi buku yang lengkap dalam mengungkap penderitaan seorang penderita Skriizofen karena pembaca dapat melihatnya dari berbagai sudut pandang. Tampaknya peran Amanda Bennett sebagai editor dalam buku ini memegang peranan penting.

Lori dalam kisah ini termasuk satu diantara mereka yang menderita skrizofrenia, gangguan kejiwaan ini semakin lama semakin meningkat jumlahnya. Sebuah penelitian di tahun 2000-an mengungkap bahwa di Indonesia saja ada sekitar 2.5 juta penderita skrizofenia, itu pun yang tercatat, tentunya angka ini lebih kecil dari kenyataannya karena umumnya banyak yang menutup-nutupi jika ada salah satu anggota keluarganya yang mengidap skriizofenia.

Lori beruntung mendapat dukungan dari orang tua yang mencintainya, kepedulian dari rumah sakit, dan tersedianya perawatan yang terbaik. Tak semua penderita skrizofrenia di Indonesia mendapat kesempatan pengobatan yang sama dengan Lori. Alih-alih mendapat perawatan yang baik mereka umumnya dikucilkan, diasingkan, dipenjara, bahkan dipasung dalam rumahnya sendiri.

Untuk itu kehadiran buku ini setidaknya memberikan pesan penting bagi pembacanya. Untuk para ahli jiwa dan dokter, ini merupakan suatu contoh bagaimana para dokter sebaiknya untuk melihat ke dalam dunia penderita penyakit jiwa melalui sentuhan personal, dunia yang terkadang dilupakan oleh para dokter karena terlalu beroientasi pada pengobatan secara medis melalui obat-obatan psikotik.

Untuk para orang tua yang anak-anaknya mungkin menderita skrizofren buku ini memberikan pengertian bagi mereka akan bagaimana memahami perasaan seorang anak yang begitu menderita karena penyakitnya.

Sedangkan bagi penderita sendiri, kisah Lori memberikan sekilas pandangan adanya kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk mengatasi penyakit mereka seperti halnya Lori.

Dan akhirnya untuk kita semua, seperti yang diungkapkan oleh DR. Jane Doller, M.D dalam kata pengantarnya, kisah Lori merupakan kisah perjalanan pribadi yang menggugah hati. Bukan hanya cerita tentang penyakit jiwa, tetapi cerita tentang manusia, kisah tentang ketetapan hati, keberanian dan harapan.

@h_tanzil

Monday 2 October 2006

1421 - Saat China Menemukan Dunia


Judul : 1421 - Saat China Menemukan Dunia
Penulis : Gavin Menzies
Penerjemah : Tufel Najib Musyadad
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Juli 2006
Tebal : 524 hlm 15x23 cm
Harga : Rp. 75.000,-

Sang Kaisar telah memerintahkan kami [Cheng Ho] dan lainnya [Zhao Man, Hong Bao, Zhou Wen, dam Yan Qing] di depan puluhan ribu pejabat dan tentara kekaisaran untuk melakukan perjalanan menggunakan lebih dari seratus kapal…untuk memperlakukan orang-orang asing dengan baik … Kami telah pergi ke wilayah-wilayah barat … total semuanya lebih dari tiga ribu negara besar dan kecil. Kami telah melewati lebih dari seratus ribu li (empat puluh mil laut) perairan luas.

- Prasasasti Cheng Ho di muara Yangtzhe – China –


Sejarah eksplorasi dunia mencatat bahwa pelaut-pelaut Eropalah yang menemukan dunia baru. Kisah perjalanan mereka selalu dikenang, dimulai dari Bartolomeu Diaz (1450-1500) yang meninggalkan Portugal pada tahun 1487 dan menjadi orang pertama yang mengelilingi Tanjung Harapan di ujung Selatan Afrika. Vasco Da Gama (1469-1525) mengikuti jalur Diaz sepuluh tahun kemudian. Ia mengarungi lautan timur Afrika dan menyeberang Samudera Hindia menuju India, membuka jalur perdagangan rempah-rempah melalui laut. Dan yang paling populer, Christopher Columbus (1451-1506), sejarah mencatat bahwa dialah orang yang pertama melihat Dunia Baru – Benua Amerika. Lalu mucullah Ferdinand Magellan (1480-1521) mengikuti jejak Columbus dan dikenal karena menemukan selat antara lautan Atlantik dan Pasifik yang kemudian dikenal dengan selat Magellan.

Lima belas tahun yang lalu, Gavin Manzies (69 thn), mantan perwira Angkatan Laut Kerajaan Inggris tengah melakukan riset mengenai sejarah abad pertengahan. Secara kebetulan ia mendapati sebuah hasil temuan yang sangat mengagumkan, sebuah petunjuk tersembunyi di dalam sebuah peta kuno. Peta tersebut bertuliskan tahun 1424 dan ditandatangani oleh seorang pembuat peta dari Venezia bernama Zuane Pizzigano. Peta tersebut memperlihatkan beberapa buah pulau yang baru saja ditemukan oleh pembuatnya yang ternyata merupakan pulau-pulau di kepulaun Karibia, Puerto Rico dan Guedepole. Hal ini mengejutkannya karena berarti seseorang telah menjelajah kepulauan tersebut sekitar tujuh puluh tahun sebelum Columbus singgah di Karibia. Ini temuan baru, sebelum Columbus sudah ada yang terlebih dahulu menemukan Dunia Baru. Siapa yang melakukan pernjelajahan sebelum Columbus ? Berdasarkan riset awalnya terhadap peta tersebut, Mandiez mengambil satu kesimpulan awal bahwa saat itu hanya satu negara dengan segala perlengkapan dan pengetahuannya ilmiah yang tinggi yang dapat melakukan penjelahan tersebut. Negara tersebut adalah China.

Mandiez tak berhenti dengan meneliti peta Pizzigano, berbekal pengetahuannya mengenai masa Peradaban Yang Agung, ia menghabiskan bertahun-tahun mengelilingi dunia di jalur perjalanan armada China abad ke 15. Ia meneliti arsip, museum, dan perpustakaan, mengunjungi monumen kuno, kastil, istana, dan pelabuhan besar pada akhir Abad Pertengahan, mengesplorasi tanjung berbatu, karang koral, pantai dan pulau terpencil. Ke mana pun ia pergi, ia menemukan semakin banyak bukti fisik berupa porselen China, sutera, artefak, batu pahatan, tanaman yang berasal dari China yang tersebar di pantai Afrika, Amerika, Australia dan Selandia Baru yang akan memperkuat tesisnya bahwa China lah yang menemukan Dunia Baru!

Walau hingga kini risetnya masih terus berlangsung dan berbagai temuan baru masih ia peroleh, pada tahun 2002 Mandiez medokumentasikan tesisnya yang memutar balikkan sejarah tersebut kedalam sebuah buku yang mencengangkan dunia : 1421: The Years China Discovered The World.

Kini, empat tahun setelah bukunya diterbitkan, penerbit Alvabet menerjemahkannya dengan judul 1421 : Saat China Menemukan Dunia. Secara sistematis buku ini mengulas bagaimana China di abad ke 15 yang telah memiliki pengetahuan navigasi yang luas memulai penjelajahannya mengelilingi dunia.

Buku ini dibagi kedalam tujuh bab besar yang masing-masing berjudul : Kekaisaran China, Bintang-bintang Petunjuk, Pelayaran Hong Bao, Pelayaran Zhou Man, Pelayaran Zhou Wen, Pelayaran Yang Qing, dan, Portugal Mewarisi Tahta.

Pada bab Kekaisaran China dan Bintang-bintang Petunjuk, secara rinci dijelaskan bagaimana latar belakang Zhu Di, putra keempat Zhu Yuanzhang – yang tumbuh menjadi kaisar Ming pertama., dan bagaimana Zhu Di merebut Nanjing Ibukota kekaisaran dari tangan kaisar Zhu Yunwen yang hendak membunuhnya. Setelah berhasil menduduki Istana Naga, ia memroklamirkan dirinya sebagai kaisar dengan menggunakan gelar dinasti Yong Le. Cheng Ho seorang kasim yang sebelumnya merupakan penasehat tredekat Zhu Di kini menjadi salah satu kasim yang berada dalam lingkaran dalam kekaisaran. Di era kaisar Zhu Yunwen, kelompok kasim merupakan kelompok yang terpinggirkan, kini di era Zhu Di kaum kasim menjadi salah satu kekuatan politik China, dan tokoh yang paling berkuasa dari semua itu adalah Kasim Agung, Cheng Ho

Oleh Zhu Di, Ceng Ho dijadikan kepala komandan salah satu armada perang. Ia diperintahkan untuk melipatgandakan ukuran galangan kapal Longjiang, dekat Nanjing. Tujuan Zhu Di adalah untuk menciptakan apa yang telah gagal diraih oleh Kubilai Khan : Kerajaan Maritim yang merentang samudera.

Untuk mewujudkan ambisinya Zhu Di menyiapkan ribuan kapal baru. Kapal-kapal ini akan berlayar menuju samudera dunia dan menggambarnya, mengesankan sekaligus mengintimidasi para penguasa asing, membawa seisi dunia ke dalam ‘sistem upeti’ China. Selain itu Zhu Di juga memindahkan ibukota China dari Nanjing ke Beijing. Ia membangun Kota Terlarang yang pada saat pembukannya diperingati secara besar-besaran dan mengundang para duta besar dari berbagai negara.

Beberapa bulan kemudian, pada 3 Maret 1421, sebuah upacara besar digelar kembali untuk mengantar keberangkatan para duta besar ke negara asalnya. Lima Armada besar telah disiapkan oleh Cheng Ho untuk membawa para tamu itu ke negaranya masing-masing. Kembalinya para duta besar ke negeri asal mereka masing-masing hanyalah salah satu dari bagian dari seluruh misi armada itu. Kelak armada itu akan melanjutkan mengarungi lautan menuju ujung dunia untuk mengumpulkan upeti dari kaum Barbar yang berada di seberang lautan, menarik semua yang berada di bawah langit untuk hidup bermasyarakat dalam kerukunan ajaran Confusius (hal 33). Dan ini terjadi 70 tahun sebelum Columbus mengarungi samudera.

Selanjutnya buku ini secara berturut-tutur membahas pelayaran Hong Bao, Zhou Man, Zhou Wen dan Yang Qing. Armada Hong Bao dan Zhao Man berlayar dengan mengambil jalur arus khatulistiwa barat daya menuju Amerika Selatan. Sesampai di kepualauan Fakland Hong Bao bergerak menuju menuju Antartika dan Australia, sementara armada Zhou Man menjelajahi wilayah Barat Amerika Selatan menuju Australia dan sampai di kepulauan rempah-rempah di Asia Tenggara yang terletak antara Australia dan China.

Sementara itu Armada Zhou Wen yang mengambil jalur ke barat daya laut mengikuti arus khatulistiwa utara hingga akhirnya tiba di Kepulauan Tanjung Verde, menuju Karibia, pesisir Timur Florida hingga Amerika Utara, dan menuju Kutub Utara dengan mengelilingi Greenland.

Armada Yang Qing yang telah meniggalkan Beijing satu bulan lebih awal dari armada lainnya, menghabiskan seluruh pelayarannya di perairan Samudera Hindia dan berdagang dengan negara-negara di wilayah sekitarnya. Namun bukan berarti palayaran Yang Qing kalah pamor dibanding armada lainnya. Selain sukses berdagang, di akhir pelayarannya orang-orangnya berhasil menyempurnakan metode menentukan garis bujur lebih dari dari tiga abad sebelum penemuan kronometer oleh John Harisson.

Pada Bab terakhir yang berjudul Portugal Mewarisi Tahta, terungkap bahwa pelaut-pelaut Portugal yang menyusuri dunia ternyata telah memiliki peta yang dibuat oleh pelaut-pelaut China. Dengan peta China sebagai pemandu, maka tak ada tempat yang tak bisa dilalui oleh para kapten kapal laut Portugis, dan bagi mereka menjelajah batas-batas dunia hanyalah masalah waktu saja.

Buku ini memang sangat komprehensif dalam mengungkap siapa sebenarnya yang telebih dahulu menjelajahi dunia. Pengalaman Menzies sebagai marinir Angkatan Laut Kerajaan Inggris yang terbiasa dengan peta, navigasi, arah angin, dan arah bintang sebagai petunjuk memudahkan dirinya untuk menelusuri jejak-jejak armada China baik melalui peta-peta kuno maupun bukti-bukti yang ia peroleh dalam perjalanan dan risetnya.

Bukan hal yang mudah bagi Menzies untuk melakukan risetnya ini. Seperti diungkap dalam buku ini banyak bukti tertulis pelayaran penjelajahan bangsa China telah hilang atau dimusnahkan secara sengaja ketika kaisar Zhu di mangkat dan digantikan oleh putranya. Kebijakan politik yang berbeda dengan Zhu Di menyebabkan warisan Zhu Di, Ceng Ho berupa arsip-arsip, catatan perjalanan, dll dirampas dan dihancurkan oleh penguasa baru

Bukti resmi tertulis yang dimiliki China sebagian besar telah lenyap, namun pelayaran armada-armada China di abad 15 meninggalkan warisan berharga di tiap daerah yang dikunjunginya. Berbagai bukti warisan pelayaran China tersebut terungkap secara mendalam dan rinci dalam buku ini, misalnya satu bukti yang bisa disaksikan dimana-mana : tanaman dan binatang yang dibawa oleh armada China menuju kepualauan baru, juga tanaman dan binatang yang dibawa kembali ke China.

Selain itu beberapa artefak, prasasti, bangkai kapal China yang terdapat di pesisir Amerika Selatan, Australia, Kepulauan Pasifik menjadi saksi bisu tentang kedatangan armada China ke pulau-pulau tersebut. Lalu ditambah lagi legenda yang mengisahkan kedatangan orang-orang berkulit kuning yang menggenakan jubah panjang di kalangan suku Aborigin juga menjadi saksi kedatangan bangsa China jauh sebelum bangsa Eropa sampai di Australia.

Buku ini dilengkap pula dengan Catatan Tambahan yang memuat temuan-temuan terbaru mengenai ekspedisi China ke berbagai negara di dunia, antara lain hasil tes DNA terhadap suku Indian Sioux dan Cree Ojibwa di wilayah Wiscosin Amerika ternyata memiliki DNA China!. Selain catatan tambahan, di bagian akhir buku ini juga memuat lampiran ringkasan Bukti setebal 84 halaman yang berisi ribuan bukti-bukti primer dan sekunder yang menunjukkan bahwa China lah yang membuka jalan bagi penjelajahan dunia.

Buku yang ditulis dengan mendetail ini memang menarik untuk dibaca. Di setiap lembar halamannya pembaca akan diajak menyelami bukti-bukti yang menegaskan kedatangan bangsa China ke berbagai penjuru dunia, hanya saja bagi pembaca awam yang asing dnegan istilah-istilah navigasi, peta, arah angin, dan letak-letak garis lintang dan bujur dalam menentukan arah pelayaran, beberapa bagian dalam buku ini mungkin menjadi sangat membosankan.

Publik Indonesia patut bersyukur dengan diterjemahkannya buku ini. Seperti kita ketahui Indonesia memiliki persinggungan sejarah dan budaya dengan Cheng Ho, bahkan di Semarang terdapat sebuah kuil yang didirikan khusus untuk menghormatinya. Tentunya buku ini layak dijadikan buku referensi bagi mereka yang hendak melakukan riset mengani sejarah eksplorasi dunia dan memberikan fakta baru mengenai siapa sesungguhnya penemu dunia Baru, Columbus kah, atau Laksamana-laksamana China di bawah komando Cheng Ho?

Yang pasti buku ini akan menjadi sebuah karya legendaris dan cerdas yang melacak sejarah hingga mengubah pemahaman kita tentang penjelajahan dunia. Dengan buku ini, sejarah telah ditulis ulang.


@h_tanzil
 
ans!!