Monday 27 March 2006

The Kite Runner


Judul : The Kite Runner
Penulis : Khaled Hosseini
Penerjemah : Berliani M. Nugrahani
Penerbit : Qanita
Cetakan : I, Maret 2006
Tebal : 618 hl ; 17.5 cm

"Buku ini begitu dahsyat, hingga untuk waktu yang lama, buku lain yang kubaca terasa hambar"
-Isabel Allende-

The Kite Runner adalah novel yang ditulis oleh penulis kelahiran Afghanistan, Khaled Hoseeini. Hosseini yang kini bermukim di Amerika adalah seorang putra diplomat yang yang dilahirkan di Kabul pada 1965. Saat ayahnya ditugaskan ke Paris 1976, ia meninggalkan Afghanistan dan tak bisa kembali ke tanah kelahirannya karena pada 1980 Rusia telah menduduki Afghanistan. Keluarga Hossseini akhirnya mendapat suaka politik dari pemerintah Amerika Serikat dan hingga kini ia tinggal di California dan menjadi seorang dokter.

Novel The Kite Runner merupakan karya perdananya dan juga novel Afghan pertama yang ditulis dalam bahasa Inggris. Novel ini menggambarkan suasana Afghanistan sebelum Rusia menginvasi negara ini (1979) hingga jatuhnya kekuasaan rezim Taliban. Ceritanya sendiri mengisahkan tokoh Amir yang dalam novel ini bertindak sebagai narator. Di masa kecilnya, Amir-yang ditinggal mati ibunya ketika melahirkannya-tinggal bersama ayah yang dipanggilnya Baba, dan pelayannya Ali serta putra Ali, Hasan, yang juga menjadi sahabatnya.

Baba, ayah Amir adalah sosok pria Afghan perkasa, pengusaha sukses, seorang moralis yang kebaikannya membuat dia disegani oleh teman-temannya. Baba menginginkan Amir tumbuh menjadi seorang pria yang tegar, menyukai aktivitas-aktivitas yang layaknya dilakukan oleh anak laki-laki seusianya seperti bermain bola, layangan, bela diri, dll. Namun Amir lebih senang tenggelam dalam buku-bukunya, menjadi pria lemah dan tidak dapat melindungi dirinya sendiri. Tiap kali dirinya mendapat masalah dengan teman-temannya, Hasan-lah yang selalu menjadi penolong dan pembelanya.

Kenyataan ini membuat Baba kecewa dan khawatir terhadap masa depan anaknya, hal inilah yang membuat hubungan antara Amir dan ayahnya kadang menjadi kaku, Amir yang dituntut oleh ayahnya untuk melakukan hal-hal yang tidak disukainya membuat ia tertekan dan perasaan terhadap ayahnya menjadi campur aduk antara benci dan cinta.

Hasan adalah seorang anak dari suku Hazara, suku paria dalam strata masyarakat Aghanistan. Ayahnya, Ali, telah mengabdi pada keluarga Baba semenjak kakek Amir mengangkatnya sebagai pembantu di rumahnya. Sama seperti ayahnya, Hasan senantiasa mengabdi pada majikannya. Walau antara Amir dan Hasan telah terjalin suatu persahabatan, Hasan tetap menganggapnya sebagai majikan dan tetap melayaninya dengan pengabdian dan kesetiaan tanpa batas.

Persahabatan antara Amir dan Hasan terhempas. Ketika mereka mengikuti turnamen layang-layang. Sudah menjadi tradisi di Afghanistan dimana setiap musim dingin, semua distrik di Kabul mengadakan turnamen adu layang-layang. Turnamen ini merupakan peristiwa yang ditunggu-tunggu di tengah kebekuan udara musim dingin. Turnamen adu layang-layang dimuali pagi-pagi sekali dan baru berakhir saat tinggal satu layang-layang pemenang menari di langit, tak jarang turnamen ini belum juga berakhir meskipun matahari sudah tenggelam. Layang-layang dimainkan oleh dua orang, satu orang yang menerbangkan dan mengendalikan, seorang lagi betugas sebagai asisten yang membawakan gulungan benang dan mengulurnya. Tak ada aturan yang rumit dalam turnamen ini, terbangkan saja layang-layangnya dan putuskan benang layang-layang lainnya. Keasyikan lain dalam turnamen ini adalah mengejar layang-layang yang putus, dimana anak-anak dengan antusias berlomba untuk mendapatkan layang-layang itu. Bagi para pengejar layang-layang, hadiah yang paling berharga adalah layang-layang yang terjatuh paling akhir dalam sebuah turnamen musim dingin. Sebuah trofi kehormatan yang diperebutkan dan bisa jadi kebanggan bagi setiap anak yang memperolehnya.

Amir dan Hasan tentu saja tak melewatkan kesempatan ini, turnamen ini juga dijadikannya suatu pembuktian kepada ayahnya bahwa ia bisa jadi anak yang membanggakan bagi ayahnya.

Ketika turnamen berakhir dan layang-layang terakhir terhempas, terhempas pulalah persahabatan antara Amir dan Hasan. Suatu tragedi menimpa Hasan, sebenarnya Amir memiliki kesempatan untuk menolongnya, namun keraguan dan ketakutannya membuat dirinya berlari meninggalkan sahabatnya sendirian, hal ini kelak akan membuat Amir dihantui rasa bersalah dan merasa dirinya telah menghianati sahabatnya. Segala cara dilakukannya agar ia bisa terbebas dari rasa bersalahnya. Alih-alih lari dari rasa bersalahnya, Amir mencoba berjarak dengan Hasan. Persahabatan mereka menjadi kaku dan tak lebih menjadi hubungan antara majikan dan pembantu. Namun perasaan bersalah itu tak pernah lepas dari kehidupannya

Situasi politik di Afghanistan memanas, Rusia menginvasi Afghanistan, hal ini membuat Amir dan ayahnya harus mengungsi meninggalkan negerinya. Hasan dan ayahnya tetap berada di Afghanistan (Hassan kan tidak di Kabul?) sementara Amir dan ayahnya mengungsi meninggalkan tanah airnya. Perjalanan dramatis keluar dari Afghanistan harus mereka lewati hingga akhirnya mereka berhasil sampai di Pakistan dan terus mengungsi menuju Amerika Serikat.

Walau Amir berada ribuan kilometer dari tanah kelahirannya. Ia tak bisa lari dari masa lalunya. Kehidupan baru dijalaninya, ia menikah dengan sesama pelarian Afghan, namun hidupnya selalu dihantui rasa bersalah sampai akhirnya Amir menerima telepon dari sahabat ayahnya yang memintanya untuk menemuinya, hal ini membuat dirinya melihat satu kesempatan untuk kembali ke Afghanistan untuk menebus dosa-dosanya yang telah ia pendam dan coba kuburkan selama berpuluh-puluh tahun. Dan seperti layang-layang, tak kuasa menahan badai, Amir harus menghadapi kenangannya yang mewujud kembali.

Ketika Amir kembali ke Afghansitan, tanah kelahirannya telah berubah, perang dengan Rusia dan perang saudara yang melahirkan rezim Taliban di bumi Afghanistan membuat negeri itu porak poranda dan menjadi negeri yang dijuluki negeri tanpa harapan. Amir secara dramatis harus menghadapi berbagai tantangan, menembus kekejian perang untuk menebus dosa-dosa masa lalunya.

Novel yang ditulis dengan gaya memoar ini memang sangat menyentuh pembacanya. Ceritanya kuat, eksplorasi karakter tokoh-tokohnya disajikan secara pas sehingga tidak ada karakter yang sia-sia dalam buku ini. Selain itu kalimat-kalimat yang mengaduk-ngaduk emosi pembacanya dan tema abadi yang diangkat mengenai kehidupan manusia: cinta, kehormatan, pengkhianatan, ketakutan, pengabdian, dan penebusan membuat buku ini menjadi sebuah buku yang memorable, buku yang akan selalu diingat sepanjang masa.

Novel ini juga memberi pemahaman kepada pembacanya mengenai konflik-konflik politik yang terjadi di Afghanistan, terutama mengenai kaum, Sunni dan Syi'ah. Kekejaman kaum Taliban, kesengsaraan rakyat Afghan dan porak porandanya infrastruktur kota-kota di Kabul dan sekitarnya juga terungkap dengan baik dalam buku ini. Selain itu, sisi-sisi menarik dari komunitas mayarakat Afghan-Amerika yang memiliki perkampungannya tersendiri memperluas wawasan pembacanya mengenai kehidupan rakyat Afghan yang harus memulai hidupnya dari nol dan melupakan status dan kehidupan mewah mereka di negara asalnya agar bisa bertahan hidup

Selain itu pembaca juga akan banyak dikejutkan oleh berbagai peristiwa yang tak terduga, hal ini menyebabkan akhir dari kisah novel ini menjadi unpredictable sehingga novel ini jadi tak membosankan dan membuat pembaca terus bertanya-tanya bagaimana akhir dari novel menarik ini.

Dari segi terjemahan novel ini patut mendapat pujian, pilihan kalimat-kalimatnya tersaji dengan lancar, enak dibaca, dan mudah dinikmati. Tak ada ganjalan berarti dalam membaca novel terjemahan ini. Kerja yang patut dihargai dari penerjemah dan editor novel ini.

Novel The Kite Runner adalah buku terlaris sepanjang tahun 2005 versi Publisher's Weekly dengan menduduki tangga atas best-seller selama lebih dari 50 minggu, selain itu novel ini diganjar sebagai buku terbaik tahun 2004 versi San Francisco Chronicles. Menurut situs imdb.com, novel ini sedang dipersiapkan untuk diadaptasi ke layar lebar oleh Marc Forster yang menyutradai film Finding Neverland (2004). Film Kite Runner rencananya akan dirilis pada 2007, kini masih dalam tahap Pre-production.

@ h_tanzil

Monday 20 March 2006

Kara Ben Nemsi II : Penyembah Setan


Judul : Kara Ben Nemsi II - Penyembah Setan
Penulis : Karl May
Penerjemah : Harsutejo
Penerbit : Pustaka Primatama & PKMI
Tebal : 434 hlm

Melanjutkan petualangannya di Padang Gurun, kini Kara Ben Nemsi yang didampingi oleh Hajji Halef Omar, Sir Lindsay David dan seorang kepala suku Arab Shammar Haddedihn, Sheikh Mohhamed Emin meneruskan petualangan mereka menuju Benteng Amadijah untuk membebaskan putra sang Sheikh, Amad el Ghandur. Dalam perjalanannya mereka harus melintasi wilayah kaum Jesidi 'Kaum Penyembah Setan' yang dikenal sebagai suku yang jahat dengan kepercayaan aneh, menyembah setan, dan kerap melakukan ritual-ritual pengorbanan yang mengerikan.

Karena jiwa petualangan Kara Ben Nemsi, maka ia dan kawan-kawannya singgah ditengah-tengah kaum Jesidi yang memiliki reputasi buruk itu. Apa yang tadinya ditakutkan oleh kawan-kawannya bahwa kaum Jesidi akan menangkap mereka dan mendapat perlakuan buruk dari kaum Jesidi tidak menjadi kenyataan, rupanya nama Kara Ben Nemsi yang dikenal karena pernah menyelamatkan tiga orang kaum Jesidi yang ditangkap oleh suku Haddedihn membuat pemimpin kaum Jesidi menganggapnya sebagai tamu kehormatan sekaligus mendapat kesempatan untuk menyaksikan secara langsung perayaan suci kaum Jesidi. Suatu perayaan besar yang seharusnya tertutup bagi orang diluar kaum Jesidi. Dari persinggungannya dengan kaum Jesidi dan melihat langsung dengan mata kepala sendiri maka KBN dan kawan-kawannya akan melihat bagaimana anggapan terhadap kaum ini tidaklah sepenuhnya benar. Selain itu KBN juga berusaha untuk menyelamatkan kaum Jesidi dari serbuan suku Kurdi yang hendak menumpas dan merampas harta karun mereka.

Setelah petualangannya dengan kaum Jesidi berakhir, KBN dan kawan-kawannya melanjutkan rencana mereka untuk membeaskan putra Sang Sheik di Benteng Amadijah. Sesampai di Benteng Amadijah KBN disambut dengan baik oleh Mutasselim, Sang komandan benteng dan dipersilahkan untuk menginap di sebuah rumah yang ternyata halaman belakangnya berbatasan langsung dengan tembok penjara. Setelah diselidiki ternyata putra Sang Sheikh, Amad el Ghandur berada dalam penjara tersebut karena merupakan tahanan Mutasellim yang hendak diserahkan kepada Hakim Agung Anandoli di Mosul. Melihat keadaan ini KBN harus menggunakan kecerdikannya agar ia berhasil membebaskan putra Sang Sheikh tanpa harus 'merusak' statusnya sebagai tamu sang Mutasselim di Benteng Amadijah.

Secara garis besar buku ini mengisahkan dua buah petualangan menarik Kara Ben Nemsi dan kawan-kawannya.
Dalam petualangan pertamanya bersama kaum Jesidi, pembaca diajak menyelami kehidupan dan prosesi upacara suci kaum Jesidi yang dikenal sebagai kaum 'Penyembah Setan'. Kaum Jesidi yang diceritakan dalam buku ini adalah kaum yang sama dengan yang disebut kaum 'Yesidi'. Berdasarkan fakta yang ada, masyarakat Kurdi ini masih ada sampai sekarang dalam jumlah yang sudah sangat sedikit dan merupakan kaum rahasia yang mencampur adukkan unsur-unsur penyembahan berhala, Islam, Kristen, Yahudi, dan agama Zorooaster.

Kaum Jesidi serta kepercayaannya ini pada zaman Karl May hidup banyak diserang oleh banyak penulis-penulis Barat yang sayangnya, mereka hanya mendengar tentang kaum ini dari penuturan para pelancong yang diragukan kebenarannya. Mereka percaya kaum Jesidi kerap melakukan upacara-upacara penyembahan Setan dan tidnakan -tindakan jahat lainnya, tentu saja hal ini menyebabkan kaum Jesidi menjadi kaum yang tersudut oleh anggapan buruk tadi.

Rupanya hal inilah yang menjadi pertimbangan mengapa Karl May memilih kaum ini menjadi pokok bahasan. Dalam setiap karya-karyanya Karl May memang sangat peduli terhadap nasib maysarakat yang tertindas baik secara fisik maupun mental. Melalui kisah petualangan ini pembaca akan diajak melihat kenyataan sesungguhnya dari suatu bangsa yang dikucilkan karena kepercayaan yang dianutnya.

Petualangan kedua dalam buku ini yang mengisahkan upaya Kara ben Nemsi untuk menyelamatkan putra kepala suku Arab Shamar Haddedihn. Kisah ini tidaklah kalah menariknya dengan petualangan dengan kaum Jesidi. KBN kini berada dalam suatu masyarakat miskin yang haus akan harta, segala sesuatu dinilai dengan harta. Disini pembaca akan diajak melihat bagaimana harta bisa demikian kuatnya mempengaruhi kehidupan suatu masyarakat mulai dari pemimpinnya hingga para bawahannya.

Dalam petualangannya di di Benteng Amadijah ini KBN kembali berhasil menyelamatkan nyawa seorang wanita yang semula diduga kerasukan roh jahat. Dengan akal sehatnya KBN berusaha untuk menyembuhkan si wanita yang ternyata merupakan cicit dari tokoh spritual masyarakat Kurdi yang kelak akan ditemuinya kembali dalam petualangannya di Kurdistan (baca KBN III : Petualangan di Kurdistan - Pustaka Primatama,2005). Selain itu trik-trik menarik KBN dalam usahanya menyelamatkan putra Sang Kepala Suku juga menjadi hal yang menarik dan membuat penasaran untuk diikuti hingga halaman terakhir buku ini.

Berbagai pernak-pernik menarik yang menghibur juga akan kita temui dalam buku ini. Mulai dari kepiawaian KBN yang harus mencabuit gigi seorang Pasha tanpa rasa sakit, kepiawaian KBN dalam membuat bir yang 'halal', hingga cara cerdas agar keledai berhenti menguak dimalam hari membuat petualangan KBN benar-benar menarik dan penuh warna. Selain itu adat istiadat, makanan, dan perilaku sosial dari masyarakat yang ditemuinya dalam petualangan kali ini membuat buku ini tidak hanya menghibur namun juga membuka wawasan pembacanya akan kehidupan di Dunia Timur yang eksotis. Dan yang selalu ada dalam kisah petualangan Karl May dimanapun, kisah ini menyiratkan berbagai nilai-nilai humanisme, toleransi dan perdamaian antar suku-suku bangsa yang tentunya masih sangat relevan dibaca hingga kini.

Sebagai catatan yang eprlu diketahui, Kisah Penyembah Setan dalam buku ini, khususnya pada bab 21-29, ternyata belum pernah diterbitkan sebelumnya di Indonesia. Sedangkan bab 30 dst, pernah diterbitkan oleh Pradnya Paramita (penerbit buku2 KM) pada tahun 1960-an dan diberi judul "Di Kurdistan". Tak diketahui dengan pasti mengapa Pradnya tidak menerbitkan kisah ini. Kini dengan terbitnya buku ini, maka pembaca Karl May di Indonesia yang telah bersabar sedemikian lamanya akhirnya bisa menikmati sebagian kisah yang hilang selama lebih dari 40 tahun!

Satu hal yang agak disayangkan dalam buku ini adalah masih banyaknya kesalahan cetak berupa salah ketik kata maupun salah dalam penempatan spasi antar kata. Mungkin dalam cetakan selanjutnya ke depan perlu kerja keras dari para "proof reader" agar kenikmatan pembaca dalam menyelami petualangan KBN tidak terganggu karena adanya kesalahan dalam pengetikan naskah buku ini.

@ Tanzil Ben Bandung
http://bukuygkubaca.blogspot.com/

Tuesday 14 March 2006

Kerlip Istana Bintang


Judul : Kerlip Istana Bintang
Penulis : Mei Rose
Penerbit : Grasindo
Cetakan : I, 2006
Tebal : 199 hlm
Harga : Rp. 24.000,-

Mei Rose (http://mei-rose.blogspot.com). Bagi sebagian orang nama penulis ini mungkin masih terasa asing, namun bagi yang sering membaca cerpen-cerpen di berbagai media seperti Femina, Kartini, Swara Cantika, majalah Aksara, dll, nama Mei Rose mungkin tak terasa asing.
Setelah sekian lama menulis cerpen dan puisi, kini penulis kelahiran Surabaya ini menelurkan novel genre chick-lit pertamanya " Kerlip Istana Bintang"

Novel perdananya ini mengisahkan lika-liku kehidupan Zamara, seorang gadis yang meniti karir sebagai seorang presenter handal disebuah stasiun TV swasta terkenal. Bermula dari pekerjaannya sebagai seorang penyiar radio Zamara adalah sosok pekerja keras yang mengisi hari-hari diluar jam siarannya untuk mencari tambahan penghasilan untuk membantu ibunya, seorang pembuat kue yang sakit-sakitan dan kedua saudara kembarnya yang masih bersekolah, ayahnya sudah lama meninggal, otomatis Zamara menjadi tulang punggung bagi keluarganya

Secara kebetulan Zamara yang sedang bekerja sebagai SPG disebuah pameran mobil, bertemu dengan Adam, seorang presenter disebuah stasiun TV terkenal. Tertarik oleh gaya Zamara dalam melakukan promosi sebuah mobil, Adam menyarankannya untuk melamar di stasiun TV tempatnya berkerja. Zamara akhirnya diterima sebagai eorang presenter sekaligus reporter lapangan. Kehidupan seorang presenter yang nampaknya glamour tak merubah kepribadian Zamara. Ia tetap menjalani kehidupannya seperti biasa, ia tetap berkawan dengan teman-teman lamanya, bahkan Zamara menjadi sosok yang membuat teman-temannya terhibur ketika mereka diperhadapkan dalam masalah cinta dengan pasangannya masing-masing.

Perlahan tapi pasti Zamara menjadi seorang presenter berita dan reporter yang handal, hal ini mengantarnya untuk meliput berbagai peristiwa demonstrasi mahasiswa pada bulan Mei 1998. Kegigihannya dan keberaniannya dalam mencari sumber berita dilakoninya tanpa rasa takut, hampir saja dirinya terseret dalam amuk massa disaat situasi chaos kota Jakarta mencapai puncaknya. Keberaniannya ini pulalah yang mengantarnya untuk meliput situasi perpindahan kekuasaan di Istana Negara. Zamara semakin terkenal, kepopulerannya mencapai puncaknya ketika dirinya dianugerahi sebuah award untuk presenterwanita terbaik pilihan permirsa TV.

Dengan semakin terkenalnya Zamara, kesibukan semakin menuntutnya untuk selalu mencurahkan seluruh waktunya untuk pekerjaannya. Kehidupan pribadinya mulai tersingkirkan, hubungan dengan Island, kekasihnya menjadi terganggu, pertengkaran dengan Island tak terhindarkan, Zamara mencoba lari dari kenyataan, suatu tragedi harus dihadapinya, namun hal ini nantinya akan membawa Zamara pada suatu perenungan akan apa yang sesungguhnya sedang dicarinya.

Sisi menarik dari novel ini adalah pengungkapan sisi-sisi menarik kehidupan seorang presenter TV yang dalam novel ini diwakilkan kedalam tokoh Zamara. Sebuah dunia yang tampaknya serba glamour ini akan diungkap dalam kehidupan Zamara. Melalui tokoh Zamara pembaca novel ini akan mengetahui kehidupan seorang presenter terkenal tidaklah seglamour yang dibayangkan, kalau selama ini kita hanya mengenal seorang presenter dengan pakaian yang rapih, rias wajah yang segar, semua tampak serba mudah dan glamour, namun dibalik itu lewat tokoh Zamara kita akan melihat bagaimana kehidupan dan kerja keras yang terkadang tak mengenal waktu dan bahaya yang harus dilakukan seorang presenter guna menyajikan laporan yang terbaik untuk sebuah tayangan informasi.

Novel ini juga menyajikan penggalan peristiwa sejarah Tragedi Mei 1998 dimana tokoh Zamara dikisahkan terlibat secara langsung didalamnya. Seperti dituturkan Mei Rose dalam emailnya pada saya, beberapa kejadian yang dialami oleh Zamara adalah peristiwa yang sesungguhnya yang dialami oleh beberapa reporter terkenal dalam meliput peristiwa Tragedi Mei 1998, dan peristiwa liputan pergantian kekuasaan di Istana Negara pada tgl 21 Mei 1998. Dengan demikian bisa dikatakan novel ini mencoba merekam peristiwa sejarah bangsa dan pengalaman pribadi beberapa reporter TV terkenal dalam meliput sebuah peristiwa bersejarah.

Beberapa pesan-pesan mengenai ketekunan terhadap profesi, makna cinta, penghianatan, persahabatan, egoisme dan penemuan arti kehidupan bagi seseorang yang berada dalam puncak kesuksesan akan kita temui dalam buku ini. Namun tak berarti novel ini terkesan menggurui, kesemuanya itu terangkai dalam sebuah kisah yang renyah, kalimat-kalimatnya mengalir lincah dan enak dibaca. Di novel ini terungkap juga tips-tips menarik bagaimana menjadi seorang presenter yang baik yang mungkin bermanfaat bagi pembacanya, karena tips-tips tersebut juga bermanfaat bagi pengembangan kepribadian pembacanya apapun profesinya.


Yang mungkin agak disayangkan adalah adanya beberapa peristiwa serba ‘kebetulan’ yang tersaji dalam novel ini. Seperti peristiwa kebetulan yang ditemui oleh para sahabat Zamara ketika mereka terlibat dalam masalah dengan para kekasihnya di sebuah kapal pesiar. Lalu ada juga peristiwa kebetulan yang mempertemukan Zamara dengan Island. Walau kejadian serba ‘kebetulan’ itu bukan merupakan cerita inti dari novel ini namun tak ada salahnya penulis untuk sedikit me’milin’ peristiwa diatas agar unsur ‘kebetulan’ nya menjadi tak telalu ‘kentara’.

Selain itu beberapa hal yang bisa membuat cerita ini semakin menarik seperti kisah kehidupan keluarga Zamara setelah dirinya mencapai puncak kesuksesan tampaknya tak tereksplorasi dengan baik di novel ini. Padahal di awal-awal cerita keluarga Zamara cukup tereksplorasi dengan cukup baik.

Seperti dituturkan penulis melalui emailnya, biografi penulis pada halaman belakang novel ini bukanlah biografinya, entah bagaimana kesalahan fatal ini bisa terjadi, semoga dicetakan berikutnya biografi ini bisa diperbaiki.

Terlepas dari hal-hal diatas sebuah novel chick-lit yang menghadirkan tokoh seorang presenter ini sepertinya sangat layak untuk diapresiasi oleh siapa saja, karena selain menghibur, novel ini juga nampaknya memiliki berbagai pesan seperti yang telah diuangkapkan diatas, selain itu novel ini nampaknya bagus juga untuk disimak oleh mereka yang bercita-cita sebagai seorang presenter.

@h_tanzil

Saturday 11 March 2006

Menyusuri Lorong-Lorong Dunia


Judul : Menyusuri Lorong-lorong Dunia
(Kumpulan Catatan Perjalanan]
Penulis : Sigit Susanto
Pengantar : Puthut EA
Penerbit : Insist Pers
Tebal : 373 hal

Buku ini belum selesai kubaca, jadi ini bukan ulasan buku utuh seperti yang biasa kubuat.
Kemarin aku mendapat kabar di milis Apresiasi-Sastra kalau buku "Menyusuri Lorong-Lorong Dunia" – Sigit Susanto telah terbit!

Tanpa pikir panjang aku segera membeli buku itu.
Apa yang membuatku tertarik dengan buku ini ?

Sigit Susanto / Kang Sigit adalah sahabat cyberku. Kini ia bermukin bersama istrinya di Swiss. Aku telah bertemu denganya sebanyak dua kali ketika ia pulang kampung dan mengunjungi Bandung yang selalu menjadi kota tujuannya jika kembali ke tanah air.

Aku mengenal Kang Sigit dari tulisan-tulisannya baik di sejumlah milis maupun media cetak nasional.
Tulisan-tulisannya umumnya berupa catatan perjalanan selama ia bersama istrinya ‘jalan-jalan’ ke berbagai penjuru dunia. Aku sangat suka tulisan-tulisannya karena ditulis dengan bahasa yang lancar dan enak dibaca. Selain itu setiap catatan perjalananya juga berisi drama kultural, ironi politik dan kelembutan sastra. Sastra! Itu yang membuat catatan perjalanan Kang Sigit ‘lain’ dengan catatan perjalanan yang ditulis oleh penulis-penulis lain. Di setiap tulisannya ia selalu menulis dengan menyinggung sastrawan2 dunia di tempat yang ia kunjungi. Ini yang rupanya menjadi ciri khas tulisan2nya.

Kini catatan-catatan yang selama ini tersebar di beberapa milis akhirnya dibukukan juga.
Tentu saja hal ini membuatku ingin segera membaca ulang karya sahabatku yang catatan-catatannya telah memesonaku selama ini. Walau sebagian besar catatannya pernah kubaca di milis namun membacanya dalam bentuk buku membuatku tetap ingin membacanya lagi…..

Sebagai informasi berikut bab2 yang ada di buku ini :

Kisah Penyuntingan
Berangkat...
Glosari
Daftar isi
- Pertama Kali ke Eropa
- Danau Zug
- Bersepeda Keliling Amsterdam
- Che Masih Hidup di Kuba
- Pulai Ischia
- Ziarah ke Makam Kafka di PRaha
- Sahara dan Oase di Tunisia
- Hotel Trotoar
- Membelah Bulgaria
- Goethe dan Starbourg
- Venesia Surga Sastrawan Dunia
- Jalan-jalan ke Roma
- Jejak Suku Maya di Meksiko
- Dari Leningrad ke Moskow
- Makam Mbah MArx di London
Shakepeare & Co di Paris

Bagi mererka yang berjiwa petualangan aku rasa buku ini sangat layak untuk dikoleksi.

Demikian dulu, kini aku akan berangkat bersama Kang Sigit untuk menyusuri Lorong-lorong dunia, jika aku sudah menyelesaikan perjalanan imajinatifku ini, seperti biasa akan kutulis dalam ulasan yang utuh dalam blog ini.


@h_tanzil

Monday 6 March 2006

Kereta dengan Satu Gerbong


Judul : Kereta dengan satu Gerbong
Penulis : Eko Sugiarto
Penerbit : Lanarka Publisher
Tebal : xvi + 79 hlmn

Kereta, stasiun, peron, rel, dan semua hal-hal yang berkaitan dengan kereta akan kita temui dalam tiap cerpen yang terangkum dalam sebuah buku kumpulan cerpen "Kereta Dengan Satu Gerbong" karya cerpenis muda Eko Sugiarto (Ugie). Seperti diungkapkan oleh Eko Sugiarto dalam kata pengantarnya, cerpen-cerpen yang terangkum dalam buku ini lahir dari kenangan sekitar 16 tahun yang lampau ketika keluarganya pindah rumah. Dari rumah barunya ini usai azan magrib ia sering mendengar lantunan pujian dengan bahasa jawa lewat pengeras suara dari masjid yang ada di dekat rumahnya. Di antara pujian yang sering didengarnya itu penulis sering menangkap kata "kereto" (kereta) yang melukiskan keranda, "kendaraan" untuk mengantar orang yang meninggal menuju pemakaman. Lantunan pujian yang berasal dari masjid ini membuat dirinya "merinding" setiap kali mendengarnya dan akhirnya menggerakkan otot-otot kreatifitasnya untuk melahirkan sejumlah cerpen yang berkaitan dengan kereta.

Kata kereta dalam kumpulan cerpen ini terkadang bermakna lugas dan apa adanya, namun ada juga yang bermakna kias. Beberapa cerpen seakan mengajak pembacanya untuk menyelami makna hidup yang penuh misteri. Pembaca akan dituntun menuju batas misteri antara dunia nyata dan imajinasi, antara kehidupan dan kematian, antara harapan dan kenyataan, dan misteri-misteri alam batas lainnya (hlm. vi). Batas-batas misteri ini tampak jelas pada cerpen yang dijadikan judul buku ini ‘Kereta dengan Satu Gerbong’. Cerpen ini menuturkan tokoh Aku yang sedang berada dalam sebuah stasiun kereta yang lenggang dimana tak nampak satupun kesibukan yang biasanya terdapat dalam sebuah stasiun kereta api. Tak ada pedagang asongan, penjual koran, pengemis, dll. Yang nampak hanya beberapa orang yang tengah duduk menunggu datangnya kereta dengan wajah yang pucat.

Tak lama kemudian datanglah sebuah lokomotif dari arah timur yang hanya menarik satu gerbong. Beberapa orang yang terlihat menunggu tadipun segera memasuki gerbong tersebut, namun tak ada ekspresi kebahagiaan pada wajah mereka seperti halnya calon penumpang yang gembira karena keretanya tiba. Semua masuk dengan wajah yang nampak pasrah. Ketika semua telah masuk, kereta dengan satu gerbong itu tetap menunggu. Heran karena kereta itu tidak segera berangkat, si Aku segera masuk kedalam gerbong. Iapun tercengang ketika mendapati bahwa gerbong tersebut ternyata memiliki panjang yang tak terbatas, dan didalamnya telah duduk ratusan ribu hingga jutaan orang. Berbagai keanehan lain akan ditemui oleh si Aku dalam gerbong ini. Melalui cerpen ini pembaca diajak untuk menyelami sebuah gerbong misteri yang nantinya akan melakukan perjalanan menuju batas antara misteri kehidupan dan kematian.

Beberapa cerpen lainnya masih mengusung ke-misteri-an kereta yang dikatikan dengan msiteri kehidupan, cerpen ‘Kereta Keempat mengisahkan seorang wanita yang ditemui oleh si Aku yang sedang sama-sama menunggu sebuah kereta yang akan menjemputnya. Cerpen ini berbicara mengenai rahasia kehidupan siapa yang akan terlebih dahulu harus ‘pergi’ dengan kereta yang lebih awal dimana tak seorangpun tahu, sebab itu adalah rahasia milik Yang Maha Kuasa.

Tak hanya menyuguhkan cerita misteri kehidupan, dalam buku ini pembaca juga disuguhkan cerpen yang mengungkap realita sosial seputar sengketa tanah dengan pemerintah. Hal ini terungkap pada cerpen ‘Kuharap Kau [Tak] Singgah ke Rumahku’. Dikisahkan tokoh dalam cerpen ini memiliki sebuah rumah yang penuh dengan aksesori kereta, mulai dari foto, mainan anak, patung, semua berwujud kereta. Rumah ini terbuka bagi siapa saja dan tak jarang banyak orang yang singgah bermalam dirumah ini. Menurut mereka, rumah tersebut memberikan rasa tenteram bagi siapa saja yang singgah. Kabar kenyamanan rumah ini tersebar dari mulut kemulut hingga akhirnya terekspose ke media massa. Rumah yang nyaman ini akhirnya tercium oleh pemerintah setempat dan dibuatlah rencana agar rumah tersebut diperluas untuk dijadikan sebuah museum. Namun si pemilik rumah menolaknya karena ia pikir jika dijadikan museum tentu saja orang yang hendak datang harus membeli tiket, bagaimana dengan orang miskin nanti? Dan bagaimana kalau rumah itu diperluas dan para tetangganya terkena gusur yang berarti harus menerima ganti rugi yang biasanya tak layak ? Penolakannya ini menghasilkan sengketa dan rumah tersebut harus dieksekusi. Hal ini menimbulkan protes dari pemilik rumah dan sejumlah tokoh masyarakat untuk mempertahankan rumah tersebut dengan melakukan perlawanan.

Soal-soal romantisme cinta yang berkaitan dengan kereta pun tak luput dari kretifitas Eko Sugiarto, seperti pada cerpen ‘Memoar Kereta Malam’ dan ‘Catatan untuk Boneka Kecilku’ terungkap bagaimana rasa cinta dan konlik batin muncul dari diri si tokoh utama dalam masing-masing cerita tersebut.

Secara keseluruhan cerpen-cerpen dalam buku ini menarik untuk dibaca. Delapan buah cepen yang ada dalam buku ini setia dalam mengangkat nuansa kereta, stasiun, peron, dll. Uniknya tema-tema itu dirangkai dalam balutan keragaman tema. Ada tema misteri kehidupan, percintaan, ralita sosial, bahkan ada satu cerpen yang membuat pembacanya tersenyum dikala mengakhiri cepen ‘Dari Tugu ke Pakistan’. Semua itu hanya berdasarkan satu kata ‘kereta’ yang menggerakkan imajinasi penulisnya untuk membuat cerita-cerita pendek yang menarik.
Eko Sugiarto (Ugie) adalah penulis kelahiran Gunung Balak. Lampung Tengah, 23 September 1980. Menyelesaikan pedidikan sarjananya di Jurusan Sastra Indonesia, fakultas Ilmu Budaya UGM. Tulisan-tulisannya sudah dimuat di beberapa media massa dan situs internet. Prestasi di beberapa lomba penulisan yang pernah diikuti antara lain :

1) Terbaik kelima lomba menulis surat budaya kepada Sri sultan Hamengku Buwono X, universitas Negeri Yogyakarta (2003)
2) Pemenang harapan I lomba karya tulis milad II sinology center Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (2004)
3) Pemenang kedua sayembara penulisan cerpen Lampung Pos 2004

@h_tanzil

Friday 3 March 2006

Sexual Quotient


Judul : Sexual Quotient - Melampaui Kamasutra Memasuki Tantra
Penulis : Anand Krishna
Penerbit : PT. One Earth Media
Cetakan : Februari, 2006
Tebal : vii + 106 hlm.

Seks adalah hal yang paling alamiah yang diberikan Tuhan pada manusia. Namun seks sering dipandang dalam dua pandangan yang ekstrim. Menjauhi atau menikmati sepuas-puasnya. Dari dua titik esktrim ini lahir pula dua kelompok masyarakat yang saling bertolak belakang, satu sangat tertutup dan menganggap seks sebagai hal yang paling tabu untuk dibicarakan, yang lainnya menganggap seks sebagai sumber kenikmatan duniawi yang bisa dipelajari hanya untuk melampiaskan nafsu semata. Karenanya tak heran saat ini banyak buku-buku panduan seks yang berisi petunjuk-petunjuk praktis bagaimana mencapai kenikmatan seks dengan berbagai cara. Hanya sebatas itu. Sangat jarang buku yang mengungkap seks dari segi filosofinya.
Buku Sexual Quotient – Melampaui Kamasutra Memasuki Tantra yang ditulis oleh Spritualis Anand Krishna ini mencoba untuk memperkenalkan kembali budaya dunia Timur (termasuk budaya Nusantara) di masa lampau yang tidak melihat seks sebagai sarana untuk melampiaskan hawa nafsu belaka namun sebagai anak tangga pertama menuju cinta kasih.

Dalam buku ini nilai-nilai filosofis seks terungkap dengan jelas dan aktivitas seks tidak ditempatkan sebagai tujuan utama , juga bukan untuk dijauhi, melainkan seks dijadikan sarana untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi, sehingga tiap-tiap orang tidak dikuasai oleh nafsu melainkan "menguasai" nafsunya agar dapat membangun sebuah kesadaran baru dan mencapai sebuah peradaban baru yang lahir dari manusia-manusia yang telah "menguasai nafsunya"

Acuan utama yang digunakan untuk membahas seks dalam buku ini diambil dari dua ajaran dari Dunia Timur yaitu Kamasutra dan Tantra. Kamasutra adala cara untuk mengeksplorasi energi seks, sedangkan Tantra adalah tingkatan yang lebih tinggi dimana nafsu seks diolah untuk meningkatkan kesadaran seseorang demi evolusi spiritual. Buku ini tidak mengungkapkan hal-hal detail mengenai teknik-teknik seks Kamasutra. Lebih dari itu, melalui buku ini pembaca diajak melangkah lebih lanjut– beyond Kamasutra. Berusaha untuk memahami pola pikir Vatsayana (penyusun Kamasutra) dan berevolusi lebih lanjut bersamanya. Memasuki wilayah Tantra – The Way of Path, menuju Yang Tak Terungkap Lewat Kata-Kata, Tak Terlihat Namun Maha Ada, Tak Tersentuh Namun Meliputi Segala…(hlm. 17)

Adapun dasar-dasar filosofis Kamasutra yang dibahas dalam buku ini antara lain meliputi "Energy" atau hawa yang berarti kekuatan, Kundalini, Consciousness (Kesadaran tertinggi), The Divine, Kama, Human Mandala, Mandala Energizing, Maithuna, Sangam, dll. Istilah-istilah diatas bagi sebagian orang mungkin terasa asing, namun di buku ini semua hal diatas diurai secara jelas dan padat disertai contoh-contoh praktis yang sesuai dengan kekinian. Selain itu buku ini berisi pula beberapa latihan praktis untuk mencapai hal-hal diatas yang bisa dilakukan pembacanya ketika membaca buku ini.
Tak dapat dipungkiri ada beberapa bagian dalam buku ini yang mungkin tidak sesuai dengan kepercayaan yang dianut pembaca. Namun dengan bijak Anand Krishna memberi peringatan dan memberi kebebasan kepada pembacanya agar jika pembaca merasa ragu, bimbang dan dirasa bertentangan dengan keyakinan pembacanya maka disarankan untuk tidak melanjutkan buku ini (hlm.75)

Buku ini ditutup dengan bab "Menggapai Orgasme Spiritual". Bab ini berisi kesaksian pasangan bahagia yang usianya tidak lagi muda (56 dan 52 tahun) yang telah meyakini bahwa hubungan seksual dengan pasangannya merupakan pengabdian jiwa-raga dari suami kepada istrinya dan sebaliknya, serta dari mereka berdua kepada Sang Pencipta. Karenanya kepuasan spiritual menjadi tujuan utama mereka. Dalam konteks energi pasangan ini berpegang pada filosfi Kamasutra bahwa hubungan seksual merupakan proses pemberian energi kebahagiaan/kasih pada masing-masing pasangannya sehingga kepuasan yang terjadi bukanlah kepuasan pribadi melainkan kepuasan untuk pasangannya.

Secara ringkas buku ini bisa disimpulkan sebagai buku yang mengajak pembacanya untuk memahami dan membuka kesadaran baru bahwa seks bukanlah urusan nafsu diatas ranjang belaka. Energi seks yang dimiliki tiap manusia bisa digunakan dalam keseharian kita untuk keperluan apa saja. Karenanya energi ini perlu diolah, diperlembut dan disesuaikan dengan tugas dan kewajiban kita sehari-hari. Jika tidak, energi seks akan bermanifestasi sebagai nafsu liar yang merusak seperti nafsu untuk memperoleh jabatan secara tidak halal, keserakahan, mencelakai saingan, dll. Sebaliknya jika energi itu dapat kita kendalikan maka energi atau nafsu itu akan berubah menjadi cinta, dan cinta menjadi kasih.

Pada akhirnya buku ini akan mengajak kita untuk menjadi lebih "beradab" lewat seks. Dan bila kita sudah mampu mengendalikan dan mengolah nafsu seks, barulah kita bisa beradab sebagai bangsa.

Ada beberapa koreksi yang perlu diperbaiki dalam buku ini, antara lain :
1. Credit title - jumlah halaman buku salah harusnya viii + 106 bukan 200
2. Daftar Isi ; hal 90 seharusnya Orgasme bukan Organisme
3. Pada hal 90 seharusnya terdapat nama penulis yaitu I Gede Agung Yudana

@h_tanzil
 
ans!!