Friday 30 March 2007

Dari Penjara Taliban Menuju Iman

Judul : Dari Penjara Taliban Menuju Iman
Penulis : Anton Kurnia
Penerbit : PT. Mizan Pustaka
Cetakan : I, Maret 2007
Tebal : 190 hal
Harga : Rp. 25.000,-

Wartawati Yvonne Ridley Kembali ke Inggris

Kamis, 11 Oktober 2001
London, Sinar Harapan

Wartawati Inggris Yvonne Ridley, yang ditahan dan kemudian dibebaskan oleh pemerintah Taliban yang berkuasa di Afghanistan, hari Rabu kembali ke London dan berkumpul kembali dengan keluarganya.
Ridley, 43, tak mengatakan apa-apa kepada para wartawan yang menunggu setelah tiba di bandara Heathrow di luar London. Seorang juru bicara The Sunday Express, tempat ia bekerja, mengatakan ia akan menemui keluarganya, termasuk anak perempuannya yang berusia sembilan tahun bernama Daisy. Ridley ditahan di dekat kota Jalalabad, Afghanistan timur laut pada 28 September, yang berpakaian cadar dan tanpa dokumentasi, setelah melintasi perbatasan dari Pakistan untuk melaporkan krisis pengungsi. Dua pemandu wisata bersamanya juga ditahan. Tak jelas pada hari Rabu bagaimana nasib mereka. (AP/ren)
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0110/11/lua05.html

Yvonne Ridley, jurnalis terkemuka asal Inggris. Namanya mencuat diberitakan di media-media massa ketika ia disandera oleh tentara Taliban pada tahun 2001. Setelah dibebaskan dan kembali ke Inggris, ia menjadi seorang mualaf dan berjuang membela Islam dan membebaskan belenggu Islamofobia yang melanda dunia barat.

Bagaimana perjalanan hidup Yvonne Ridley hingga menjadi mualaf dan kini dikenal sebagai pembela Islam di barat ? Buku karya Anton Kurnia yang diberi judul “Dari Penjara Taliban Menuju Iman” ini ditulis berdasarkan kisah nyata Yvonne Ridley, bagaimana perjalanan hidup Yvonne sebelum ditangkap tentara Taliban hingga kehidupannya kini.

Di tahun 2001, menjelang serangan Amerika Serikat dan para sekutunya terhadap Afgahnistan, Yvonne pernah mengejutkan dunia ketika ditangkap oleh tentara Taliban saat melakukan tugas jurnalistiknya. Yvonne dibebaskan setelah sepuluh hari ditahan oleh penguasa Taliban.

Pengalamannya menjadi tahanan Taliban yang digembar-gemborkan sebagai rezim yang paling sadis di muka bumi ini sangat membekas dalam kalbunya dan mengubah jalan hidupnya. Di luar dugaan orang, selama dalam tahanan,Yvonne mendapat perlakuan yang baik dari penguasa Taliban. Secara mental memang ia menderita dan harus melalui jam-jam interogasi yang melelahkan. “Mereka mencoba mematahkanku secara mental dengan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sama terus menerus, hari demi hari, terkadang sampai pukul 9 malam,” (hal 80). Namun, diluar itu ia tak mendapat perlakuan kasar dan siksaan fisik dari tentara-tentara Taliban, malah ia mendapat perlakuan yang baik sebagai seorang tawanan. “Aku bertaruh bahwa orang-orang berpikir aku disiksa, dipukuli, dan mengalami perundungan seksual. Padahal aku diperlakukan dengan baik dan penuh hormat.” (hal 81).

Apa yang dialaminya menyadarkannya bahwa orang-orang Taliban tak seseram yang diberitakan oleh media-media barat. Beberapa saat sebelum dibebaskan ia didatangai oleh seorang Mullah yang menanyakan agama Yvonne dan apa pendapatnya tentang Islam. Dengan tegas ia mengatakan bahwa ia adalah penganut Kristen Protestan dan Islam menurutnya adalah agama yang memesona dan dia mengagumi para pemeluk agama Islam yang memiliki gairah yang luar biasa terhadap keyakinan mereka. Yvonne juga menambahkan bahwa ia berjanji akan mempelajari dan mencari tahu banyak soal Islam setelah kembali ke London.

Yvonne, menepati janjinya. Sekembalinya ke Inggris, ia mulai mempelajari Al-Quran dan bertanya pada orang-orang yang mengenal Islam. Dua tahun kemudian, Yvonne yang sebelumnya hidup secara sekuler dan penganut hidup bebas ini menyatakan diri masuk Islam. Setelah memeluk Islam kehidupan Yvonne berubah total. Pandangan-pandangannya terhadap Islam mulai berubah. Ia menata kembali kehidupannya dan menemukan jalan baru, yaitu sebagai pembela Islam sesuai dengan kapasitasnya sebagai jurnalis. Ia berhenti dari The Sunday Express dan bekerja untuk Al-Jazeera dan beberapa media Islam lainnya. Kini ia dikenal luas sebagai seorang kolumnis yang vokal dalam membela Islam dan mencoba membebaskan belenggu Islamofobia yang melanda dunia Barat saat ini.

Buku ini secara lengkap memuat kisah Yvonne baik sebelum, pada saat, dan setelah ditangkap oleh tentara Taliban, hingga aktifitasnya saat ini. Untuk kisah hidupnya hingga ditangkap oleh tentara Taliban, Yvonne telah menulis memoarnya yang berudul “In The Hands of the Taliban : Her Extraordinary Story. (2001). Selain itu ia juga menulis novel fiksi yang diilhami dari pengalamannya yang diberinya judul Ticket to Paradise (2003). Kedua buku ini ditulisnya sebelum ia menjadi seorang Muslim.

Bagaimana pengalamannya setelah ia dibebaskan dan menjadi muslim dan apa aktifitasnya kini? Rasanya belum ada yang menulisnya secara khusus dalam sebuah buku. Paling-paling kisahnya dapat ditemui di wawancara-wawancara dengan sejumlah media, ceramah-ceramahanya, dan jurnal-jurnal rohani Islam. Tidak adanya buku yang memuat kisah hidup Yvonne secara lengkap termasuk perjalanan ziarahnya menjadi seorang Muslim dan sepak terjangnya hinga kini inilah yang menggerakkan penerbit Mizan dan Anton Kurnia untuk membuat buku ini.

Buku ini ditulis dengan simpel. Kalimat-kalimat yang digunakan Anton sederhana. lugas dan enak untuk dibaca sehingga menggiring pembacanya untuk terus membaca buku ini hingga habis. Hal ini juga didukung oleh lay out buku ini yang terkesan simpel disertai beberapa foto pendukung yang membuat pembaca betah untuk menelusuri kehidupan Yvonne Ridley . Sebagai pelengkap, buku ini memuat kutipan wawancara situs cagerpisoner.com dengan Yvonne Ridley. Dan di akhir buku ini terdapat pula teks naskah ceramah Yvonne Ridley di Global Peace & Unity Conference 2006, London (30/11/2006)

Selain kisah kehidupan dan ziarah batin Yvonne dalam menemukan keyakinan barunya, pembaca juga akan mendapat banyak informasi mengenai lanskap Afghanistan, beserta perilaku tentara-tantara Taliban yang tidak sekeji yang diberitakan media massa. Di bab-bab terakhir buku ini pembaca akan disuguhkan pandangan-pandangan dan perjuangan Yvonne dalam membela Islam yang disampaikan secara lugas dan lantang termasuk ketika menghantam kebijakan Amerika dan Inggris yang kerap memperlakukan negara-negara Islam dengan tidak adil.

Sayangnya, buku ini tak mengungkap sisi kehidupan Yvonne yang dikatakan setelah menjadi seorang muslim menjadi pribadi yang lebih toleran terhadap orang lain (hal 115). Dalam aktivitasnya setelah menjadi muslim, di buku ini kita hanya akan membaca bagaimana dia membela Islam dan menyerang pandangan-pandangan barat yang negatif terhadap Islam. Sedangkan sisi kehidupannya yang dikatakan menjadi toleran terhadap orang lain tak terungkap dalam buku ini.

Walau buku ini banyak mengungkap kisah beralihnya keyakinan seorang perempuan Barat menjadi muslimah, dan berisi berbagai pandangan-pandangan Islam menurut kacamata Yvonne Ridley sebagai seorang pembela Islam di barat. Bukan berarti buku ini adalah sebuah ‘buku dakwah” yang hanya ditujukan kepada pembaca Muslim. Buku layak dibaca siapa saja. Anton Kurnia dalam kata pengantarnya mengatakan bahwa “Kisah hidup Yvonne Ridley mengandung hikmat universal yang bisa dimaknai oleh siapa pun yang mau membacanya” (hal 8).

Setidaknya kisah kehidupan Yvonne Ridley bisa menjadi contoh bagaimana jalan hidup seseorang sesungguhnya susah ditebak. Siapa yang menyangka jika Yvonne yang dahulu ini hidup secara bebas, gemar berpesta, akrab dengan rokok dan alkohol ini bisa berubah menjadi seorang pembela Islam yang gigih. Bukan pilihan yang tanpa resiko, selain mendapat tantangan dari keluarga dan teman-temannya. Yvonne juga harus menghadapi pandangan masyarakat di negaranya akan citra Islam yang buram dan selalu dicurigai dengan berbagai hal yang negatif.

Kegigihan dan keberanian Yvonne dalam membela keyakinnya di tengah arus yang berlawanan bisa juga menjadi inpspirasi bagi siapapun yang berjuang untuk membela keadilan, bagaimanapun caranya, dimanapun, dan sesulit apapun keadaannya.

@h_tanzil

Friday 23 March 2007

Terorist- John Updike

Judul : Terorist
Penulis : John Updike
Penerjemah : Abdul Malik
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Des 2006
Tebal : 499 hal


Ahmad Ashamy Mulloy, seorang pemuda berusia delapan belas tahun adalah seorang remaja cerdas yang taat pada ajaran agamanya. Ia tinggal di New Prospect (New Jersey) yang materialistis dan hedonis bersama ibunya, Teresa Malloy yang berdarah Irlandia-Amerika. Ayahnya yang berkebangsaan Mesir, meningalkannya sejak Ahmad berusia tiga tahun. Ketika berusia sebelas tahun ia memeluk agama Islam dan semenjak itu pula dua kali dalam seminggu ia mempelajari Kitab Suci al-Quran dibawah bimbingan Syaikh Rasid, seorang imam masjid di West Main Stret – New Prospect.

Di sekolahnya, Ahmad dikenal sebagai murid yang pintar. Agamanya menjaganya dari obat-obatan terlarang dan tindakan asusila, meski hal ini membuatnya agak tersisih dari teman-teman kelasnya. Karena hidup selama bertahun-tahun tanpa ayah, dan hidup bersama ibunya seorang penganut Katolik yang tanpa iman, dan digembeleng dengan keras oleh guru agamanya, Ahmad tumbuh menjadi pengabdi setia pada Allah, menjadikanNYA sebagai teman sejati yang lebih dekat dari urat lehernya.

Pengaruh Syaikh Rasyid sedemikian besarnya dalam kehidupan Ahmad, tak seorangpun yang dapat mengalihkan perhatian Ahmad dari mengikuti ajaran agamanya yang disebut sebagai “Jalan yang Lurus”. Selain belajar membaca ayat-ayat suci Al-Quran, Ahmad juga diwajibkan untuk mengikuti petunjuk Allah secara total dalam kehidupannya, termasuk melakukan jihad dan mati syahid untuk melawan musuh-musuh Allah, antara lain bangsa Amerika yang dianggapnya sebagai bangsa yang kafir.

Setelah lulus dari SMA, Jack Levy, guru pembimbingnya menganjurkan agar Ahmad melanjutkan ke univeritas terkemuka. Namun Ahmad lebih mentaati anjuran Syaikh Rasyid agar ia menjadi supir truk. Ketika ia memperoleh pekerjaan sebagai supir truk di sebuah toko perabotan yang dimiliki oleh keluarga Libanon, ternyata sejumlah rencana telah diatur dengan rapih. Sejak awal Ahmad memang disiapkan oleh Syaikh Rasyid untuk menjalankan jihad dan melakukan misi bunuh diri dengan menjadikan dirinya pembawa truk berisi bom yang siap untuk diledakkan di terowongan di Lincoln – New Jersey. Akankah Ahmad bersedia menjalankan misi yang diyakininya sebagai misi suci untuk menghancurkan musuh-musuh Allah ?


Kisah diatas adalah karya teranyar dari John Updike, novelis senior yang produktif dan pemenang dua kali Putlitzer Prize (1981 & 1991). Novel ke duapuluh dua John Updike ini diberi judul Terorist (2006). Novel ini mendapat respon yang baik dari pembacanya. Baru saja beberapa minggu terbit, novel ini telah dicetak ulang sebanyak enam kali dengan jumlah 118.000 copy dan habis terjual dalam waktu yang singkat.

Apa yang menarik dari novel ini ? Novel ini memang tak seseram judulnya. Pembaca mungkin akan terkecoh melihat judulnya yang provokatif dan menyangka novel ini sarat dengan kekerasan dan baku tembak dengan plot yang cepat dan menegangkan.
Tidak!, kita tak akan menemukan adegan baku tembak atau berbagai peledakan yang menghiasi lembar-lembar novel ini. Novel ini memiliki alur yang cenderung lambat dan lebih mengutamakan eksplorasi karakter, kondisi psikologis beserta pemikiran para tokoh-tokohnya. Wikipedia mengkategorikan novel ini kedalam genre Philosophical, War.

Seperti dalam novel-novel lainnya Updike memang gemar mengkolase tema filsafat dengan tema aktual. Dalam Terorist, ia banyak
bermain-main dengan apa yang ada dalam pikiran dan dialog-dialog para tokohnya yang sarat dengan debat filosofis dan teologis akibat benturan antara keyakinan tokoh-tokoh radikal dengan tokoh-tokoh sekuler yang hidup secara hedonis materialistis yang bisa dikatakan merupakan gambaran umum masyarakat Amerika.

Dari novelnya ini John Updike tampak menguasai Islam. Menurut Amitav Ghosh dalam reviewnya yang dimuat dalam Washington Post, Updake tak hanya sekedar membaca Al-Quran, ia juga mempelajarinya secara intens. Tak heran jika Updike menyertakan banyak kutipan ayat-ayat Al-Quran beserta pemahamannya dalam novelnya ini.

Seperti diungkap diatas, karakter tokoh-tokoh di novel ini dideskripsikan secara detail, selain tokoh Ahmad, tokoh-tokoh lainnya seperti Jack Levy (guru pembimbing Ahmad) Beth Levy , Teresa Malloy , Charlie Chebab (atasan Ahmad), mendapat porsi yang banyak dikupas sehingga mengakibatnya alur novel ini terasa lambat. Sayangnya juga karakter Syaikh Rasid hanya sedikit dikupas dibanding tokoh-tokoh lain, padahal dialah tokoh yang paling berpengaruh dalam kehidupan Ahmad.

Di novel ini juga pembaca akan melihat bagaimana kondisi kerohanian masyarakat Amerika yang dilihat dari sudut pandang tokoh Ahmad yang mewakili para pejuang kebenaran yang rela mati syahid demi keyakinannya. Di mata Ahmad Amerika adalah bangsa yang tidak memiliki Tuhan, “Dan karena tidak ada Tuhan, semua digambarkan dengan seks dan benda-benda mewah, Lihatlah televisi, Mr. Levy, bagaimana seks selalu memanfaatkan Anda agar bisa menjual sesuatu yang tidak Anda butuhkan. …Perhatikan bagaimana umat Kristiani melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap penduduk asli Amerika dan mengesampingkan Asia dan Afrika, dan sekarang mulai merambah Islam, dengan segala sesuatu di Washington yang dikendalikan oleh orang Yahudi untuk mengekalkan pendudukan mereka atas Palestina.” (hal 57).

Karena mengambil setting kota kecil di Amerika, beberapa tahun setelah serangan 11 September, novel ini juga mengungkap bagaimana sebenarnya kebebasan yang diagungkan oleh masyarakat Amerika justru “membuat negara ini lebih mudah disusupi teroris, dengan menyewa pesawat terbang dan mobil gerbong, serta mengeset website.” (hal 40). Phobia masyarakat Amerika terhadap sesuatu yang berbau Islam termasuk masyarakat muslimnya juga terungkap lewat sebuah dialog antar tokohnya “Kami memang memutus sambungan telepon setelah peristiwa Sebelas-September, kami sering menerima telepon bernada ancaman dari golongan Anti-Muslim” (hal 122).

Di 70 halaman terakhir terdapat hal yang sangat menarik, Updike mendeskripsikan dengan detail bagaima akifitas yang dilakukan oleh Ahamd selaku pelaku bom bunuh diri lengkap dengan bagaimana gejolak batinnya pada saat ia mengemudikan truknya menuju titik sasaran dimana ia akan meledakkan truknya dan mati syahid untuk membela keyakinannya.

Apa manfaat yang bisa kita ambil dari novel ini ? Saat ini beberapa negara di dunia, khususnya Amerika memang selalu berada dibawah ancaman bayang-bayang sekelompok pihak yang sering disebut teroris. Bahkan indonesiapun sudah beberapa kali menjadi sasaran bom bunuh diri. Karenanya kehadiran novel ini setidaknya bisa memberikan gambaran apa sebenarnya yang mereka perjuangkan dan apa yang kira-kira ada di benak seorang pelaku bom bunuh diri sebelum ia melaksanakan tugasnya demi sebuah keyakinan yang dianutnya.

@h_tanzil

Friday 16 March 2007

Chicken Soup for the Soul® -graphic novel



Judul : Chicken Soup for the Soul® -graphic novel : Hadiah Terindah
Chicken Soup for the Soul® -graphic novel : Pelajaran Berharga
Gambar oleh : Kim Donghwa
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, 2006
Tebal : 171 hal ; 156 hal


Jack Canfield, seorang penceramah, motivator, trainer terkenal, pada tahun 1990-an bersama rekannya Mark Victor Hansen yang juga seorang penceramah populer Amerika, berkolaborasi untuk menerbitkan sebuah buku yang berisi kumpulan kisah-kisah inspirasional yang menyentuh hati pembacanya. Buku yang diberinya judul Chicken Soup for The Soul – 101 Stories to Open The Heart and Rekindle The Spirit – terbit pada tahun 1993 dan langsung bertenggernya di #1 NEW YORK TIMES BESTSELLER! untuk jangka waktu yang lama. Edisi pertama buku ini terjual sebanyak 2 juta copy!

Melanjutkan kesuksesan buku tersebut, Jack Canfield dan Mark Hansen kembali mencari kisah-kisah inspirasional agar dapat diterbitkan kembali menjadi buku baru yang kelak akan terus diterbitkan dibawah seri Chicken Soup for The Soul. Ternyata kisah-kisah yang mereka dapatkan baik dari pencarian mereka sendiri maupun dari kiriman-kiriman para pembacanya terus mengalir hingga seri Chicken Soup terus diterbitkan hingga kini dan terus dibaca orang di berbagai negara.

Jack Canfield dan Mark Hansen mengedit, dan mengkategorikan kisah-kisah yang mereka dapatkan, sehingga kelak setiap buku yang terbit akan memiliki tema tersendiri seperti Chicken Soup for the Mother's Soul, Chicken Soup for the Preteen Soul, Chicken Soup for the Prisoner's Soul, Chicken Soup for the Volunteer's Soul, Chicken Soup for the Grandparent's Soul, Chicken Soup for the Ocean Lover's Soul, dll Hingga Januari 2006, 115 judul telah diterbitkan. Lebih dari 100 juta copy telah dicetak dan telah diterjemahkan kedalam 57 bahasa dunia.!

Di Indonesia sendiri, Gramedia Pustaka Utama (GPU), selaku pemegang hak cipta buku ini tampaknya tak mau ketinggalan untuk menerjemahkan seri Chicken Soup. Seri pertama terjemahan Chicken Soup diterbitkan pada tahun 1995 dengan judul Chicken Soup for the Soul 1 - Menjadi Kaya dan Bahagia . Seperti di negara asalnya, buku ini mendapat respon yang sangat baik dari pembacanya. Maka di tahun 1995-2000 mulailah dunia buku Indonesia dirasuki oleh fenomena Chicken Soup. Saat itu rasanya ketinggalan jaman jika pecinta buku tak membaca seri Chicken Soup.

Namun beberapa tahun kebelakang fenomena Chicken Soup mulai meredup, apalagi dengan munculnya fenomena Teen-Lit / Chick-Lit di tahun 2000-an. Namun seri Chicken Soup masih memiliki pembaca setia, hal ini terbukti dengan terus diterjemahkannya buku2 seri Chicken Soup hingga kini. Setidaknya sudah 35 judul Chicken Soup yang telah diterbitkan GPU. Yang teranyar adalah Chicken Soup for The Woman Soul yang terbit pada Januari 2007 dan
dikemas dengan tampilan cover yang lebih berwarna.

Selain itu, kini GPU juga menerbitkan Chicken Soup dalam bentuk yang ‘lain’. Di tengah semboyan Gramedia Goes To Graphic Novel, GPU menerbitkan 2 buah Chicken Soup dalam bentuk Novel Grafis / Komik yang diberi titel Chicken Soup for The Soul - Graphic Novel yang masing-masing berjudul : Hadiah Terindah , dan Pelajaran Berharga.

Karena dikemas dalam bentuk komik, buku ini menjadi lebih berwarna dan menarik. Gambar-gambarnya bersih, dibuat mirip dengan komik-komik Jepang dan diwarnai dengan warna-warni yang menarik. Buku ini dikerjakan oleh kartunis terkemuka Korea, Kim Doghwa. Ia telah diundang ke banyak festifal kartun di seluruh dunia, dan karya-karyanya mendapat sambutan hangat di negara-negara Asia. Eropa, dan kini bukunya mulai diterbitkan di Amerika Serikat. Edisi pertama dan kedua graphic edition seri Chicken Soup for The Soul merupakan salah satu karya terbaiknya.

Seluruh kisah dalam dua buku ini diambil dari buku 2nd Helping of Chicken Soup for The Soul dan A 3rd Serving of Chicken Soup for The Soul. Pada kisah Hadiah Terindah yang dijadikan salah satu judul buku ini diceritakan kisah seorang kakek yang karena suatu sebab tak pernah mau datang ke perayaan Paskah di rumah anaknya. Karenanya Carrie sang cucu berniat untuk memberikan sebuah gambar bikinannya sebagai hadiah untuk kakeknya. Kelak gambar tersebut akan meluluhkan hati kakeknya dan membuat si kakek akhirnya hadir tepat pada saat perayaan paskah di rumah anaknya.

Lalu ada pula kisah “Sepasang Sandal” yang dalam ilustrasinya mengingatkan kita akan tokoh kharismatik India, Mahatma Gandhi. Dalam kisah ini, diceritakan seseorang ketika sedang mengejar kereta yang hendak berangkat tiba-tiba sebuah sandalnya terlepas. Anehnya setelah orang tersebut berhasil naik kedalam kereta, ia segera melepas sandal yang tersisa dan melemparnya keluar kereta. Tindakannya ini menimbulkan pertanyaan dari orang-orang disekitarnya. Ketika ditanya “Mengapa sandal satunya yang masih bagus Anda lempar?”, lelaki yang melempar sandalnya itupun menjawab “Yah, bayangkan saja orang yang mengambil sandal tadi. Orang itu tidak akan bisa menggunakan jika hanya ada satu sandal!” (hal 55).

Selain dua kisah diatas masih banyak kisah-kisah inspirasional yang menyentuh hati pembacanya, masing-masing buku berisi 12 hingga 13 kisah. Diantara kisah-kisah itu kita akan menemui pengalaman para tokoh-tokoh terkenal dunia seperti Muhamad Ali - Champion, Wilma Rudolph (juara Olimpiade’60 untuk lari 100, 200 meter), Benyamin Franklin – Malaikat Tercantik, dan Thomas Jefferson – Mata yang Penuh Kasih.

Karena berbentuk komik, maka buku ini bisa dibaca oleh segala usia, bahkan anak-anak pun dipastikan akan tertarik untuk ikut membaca. Kalimat-kalimatnya yang sederhana namun menyentuh membuat anak-anakpun bisa memahami buku ini. Namun tentu saja peran orang tua masih diperlukan untuk memberi pejelasan pada beberapa kisah yang mungkin masih terlalu sulit untuk dipahami oleh anak-anak. Di akhir tiap kisahnya terdapat juga satu halaman yang hanya berisi kesimpulan atau kata mutiara sehingga memudahkan pembaca menangkap inti cerita yang dimaksud dalam tiap kisahnya.

Kedua buku Chicken Soup for the Soul® graphic novel ini kini telah hadir di tengah penggemarnya. Seri bestseller dunia tentang kisah nyata luarbiasa yang telah membantu dan menginspirasi banyak orang di seluruh dunia ini kini dilengkapi dengan gambar-gambar indah yang bernilai.

Selain itu buku yang berisi kisah-kisah indah tentang kebaikan dan ketegaran yang bisa memberikan pelajaran berharga untuk pembacanya ini sangat layak untuk dijadikan hadiah terindah untuk orang-orang tersayang.

@h_tanzil

Saturday 3 March 2007

The Professor and The Madman

Judul : The Professor and The Madman
Sebuah dongeng tentang pembunuhan, kegilaan, dan pembuatan Oxford English Dictionary
Penulis : Simon Winchester
Penerjemah : Bern Hidayat
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Januari 2007
Harga : Rp. 39.900,-





“Inilah cerita untuk pembaca yang senang menikmati kata-kata dan mampu mengapresiasi petualangan mengenai tetek bengek sejarah kamus-kamus dan terpesona bahwa Shakespeare, ketika menulis tidak bisa mengacu pada kamus manapun…”

- USA Today

Empat ratus tahun yang lalu, ketika Shakeaspeare menuliskan naskah-naskah dramanya, tidak ada panduan yang tercetak mengenai bahasa, tidak ada satu buku pun yang bisa dijadikan referensi baginya. Bagaimana ia bisa yakin jika setiap kali ia menggunakan kata-kata yang kedengarannya tidak lumrah, bahwa ia benar secara gramatikal dan faktual ?

Pertanyaan diatas mungkin dapat menggambarkan begitu pentingnya manfaat kamus dalam menulis sebuah karya sastra. Pada abad ke –16, di Inggris kamus-kamus seperti yang kita kenal sekarang memang belum ada. Bahasa Inggris belum didefinisikan, belum ditata, hingga lambat laun timbul suatu kesadaran akan pentingnya sebuah kamus yang dapat menampung baik kata-kata sulit maupun keseluruhan kota kata Inggris. Buku-buku yang menjadi cikal bakal kamus pun mulai dibuat hingga akhirnya mencapai puncaknya ketika terbitnya kamus lengkap bahasa Inggris yang dikenal dengan nama Oxford English Dictionary

Oxford English Dictionary (OED) adalah kamus bahasa Inggris yang diterbitkan oleh Oxford University Press. Kamus ini menjadi kamus yang paling otoratif yang menjadi acuan para hakim, pembuat undang-undang, cendekiawan hingga para penulis-penulis dunia yang menggunakan bahasa Inggris. Hingga kini tak ada kamus yang memiliki otoritas melebihi OED yang merupakan karya terbesar sejak ditemukannya mesin cetak dan merupakan buku serial sensasional paling panjang yang pernah ditulis hingga kini.











Kamus yang edisi pertamanya dirampungkan dalam kurun waktu tujuh puluh tahun ini diselesaikan pada malam tahun baru 1927. Terdiri dari 12 jilid raksaksa ; 414.825 kata yang didefinisakan; 1.827.306 kutipan ilustratif. Pada tahun 1933 terbit suplemen pertamanya. Empat suplemen berikutnya terbit antara tahun 1972 – 1986. Edisi keduanya terbit pada tahun 1989. Berkat kecanggihan komputer edisi ini tersaji dengan lebih lengkap dan terpadu dengan menyertakan perubahan dan tambahan dari keempat suplemen tadi, sehingga edisi keduanya terbit dalam dua puluh jilid.

Seiring perkembangan teknologi komputer, kini OED juga tersimpan dalam CD ROM dan dapat juga dibaca secara on line. Kini edisi ketiganya sedang disiapkan dan diperkirakan akan terbit pada tahun 2010.

Walaupun OED demikian otoratifnya dan terus berkembang sesuai perkembangan bahasa inggris, tak banyak yang mengetahui bagaimana kamus ini pertama kali dikerjakan. Simon Winchester, seorang geologis, jurnalis, sekaligus penulis terkenal kelahiran Skotlandia yang salah satu karyanya telah diterjemahkan oleh penerbit Serambi “Krakatau – Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883”, tertarik untuk menulis kisah pembuatan kamus terkenal tersebut ketika pada tahun 1980-an, ia mendapatkan pelat-pelat cetak letter press lama yang dulunya dipakai untuk pembuatan OED. Dari pelat-pelat kuno itulah akhirnya Winchester tergelitik untuk mencari tahu bagaimana kamus OED pertama kalinya dikerjakan. Dengan keahliannya sebagai jurnalis dan riset yang mendalam, akhirnya lahirlah kisah “The Professor and The Madman (1998).

Dalam the Professor and The Madman, Winchester menceritakan bagaimana sebuah kamus OED yang terkenal itu ternyata banyak mendapat kontribusi dari seorang jenius aneh yang menghuni rumah sakit jiwa di Broadmoor Criminal Lunatic Asylum di Inggris.

Biografi dan kisah persahabatan dua tokoh besar dibalik pembuatan kamus OED diurai dalam kisah ini. James Murray, terlahir sebagai anak sulung dari keluarga penjahit dan pedagang kain yang miskin. Walau latar belakang keluarganya yang tak menjanjikan, Murray kecil tumbuh lebih matang dari usia sebenarnya. Ia anak yang sangat rajin dan cerdas dalam sekolahnya. Seperti kebanyakan anak-anak miskin di Inggris, pada usia empat belas tahun ia meninggalkan sekolahnya karena orang tuanya tak sanggup membiayainya. Namun hal ini tak membuatnya berhenti belajar. Dahaganya yang haus akan ilmu pengetahuan membuat dirinya harus belajar secara otodidak dan membawanya tetap berada jalur akademik, menjadi anggota Philological Society dan akhirnya dipercaya untuk menjadi ketua tim pelaksana pembuatan Oxford English Dictionary.

Dr. William Minor, terlahir dari golongan aristokrat teratas Amerika. Orang tuanya seorang misionaris yang saleh. Minor mendapat pendidikan yang memadai hingga lulus sebagai dokter dari Yale University. Setelah lulus, pada saat berkecamuknya Perang Saudara, ia melamar sebagai dokter dalam dinas militer Union Army. Rupanya pengalamannya sebagai dokter militer semasa perang saudara inilah yang membuatnya menderita secara traumatik dan menimbulkan dampak kejiwaan pada dirinya. Setelah perang berlalu keanehan-keanehan dalam jiwa Minor semakin menjadi hingga akhirnya ia dipecat dari angkatan darat dan dirawat di sebuah rumah sakit jiwa. Setelah dianggap sembuh, Minor pergi ke Inggris untuk beristirahat, sambil membaca dan melukis. Namun belum lama tinggal di Inggris, Minor kembali mengalami paranoid hingga akhirnya menembak George Merret, seorang buruh kereta api. Peristiwa ini kembali menghantar Minor masuk ke rumah sakit Jiwa di Broadmoor Asylum Inggris.

Persahabatan antara Murray dan Minor berawal ketika Murray selaku ketua pelaksana pembuatan kamus OED mengirimkan selebaran kepada seluruh masyarakat pengguna bahasa Inggris untuk menjadi volunter yang secara sukarela bertugas membaca dan mengirimkan kutipan-kutipan yang sekiranya bermanfaat dalam pembuatan kamus OED ke Scriptorium tempat dimana kamus tersebut dikerjakan

Selebaran itu akhirnya sampai ke tangan Minor di Bradmoor Asylum. Saat itu Dokter Minor telah delapan tahun menghuni Broadmoor dan telah melengkapi selnya dengan tumpukan buku-buku dari lantai hingga langit-langit. Buku-bukunya itu cukup baginya untuk menjadikannya kontibutor dari kamus yang sedang dikerjakan Murray.

Dan akhirnya dari sel rumah sakit itulah, selama 20 tahun Minor dengan ketekunan yang luar biasa membaca dan mencari kutipan, dan secara teratur mengirimkan kutipan-kutipan tersebut kepada Murray. Tak kurang dari 10.000 kutipan telah disumbangkannya untuk membantu tim penyusunan kamus yang diketuai Murray.

Kisah kehidupan Murray, DR Minor, dan pembuatan OED inilah yang menjadi inti dalam kisah ini. Selain merinci latar belakang kehidupan dua tokoh besar dibalik pembuatan OED. Winchester juga secara menarik dan detail memaparkan bagaimana kamus ini dibuat.

Latar belakang Winchester sebagai seorang jurnalis membuat sejarah pembuatan kamus ini dipaparkan secara runut mulai dari kamus-kamus yang terbit sebelum OED, latar belakang pemikiran perlunya pembuatan kamus yang lengkap dan otoratif, konsep pembuatan kamus OED, hingga proses detail bagaimana jutaan kutipan dikumpulkan dari para volunter, diedit, dibuat pelat-pelat cetak, hingga akhirnya terbit edisi perdananya di tahun 1927 setelah menjalani proses yang melelahkan selama tujuh puluh tahun.





Boadroom Asylum, tempat Dr. Minor dirawat dan mengirim kutipan-kutipannya untuk tim OED







Kotak Pos khusus milik James Murray sebagai tempat tujuan kutipan-kutipan dari berbagai volunter dikirimkan









James Murray berada dalam Scriptorium diantara jutaan lembar kutipan-kutipan yang dikumpulkan dari para volunter







Walau buku ini banyak menyajikan sisi sejarah pembuatan kamus dan detail-detail pembuatannya, namun bukan berarti buku ini menjadi kering dan tak menarik. Di tangan Simon Winchester, sejarah pembuatan OED menjadi sangat hidup daan mudah dipahami, karena ditulis secara menarik, meledak-ledak, dan menakjubkan. Dan karena ditulis sebagai sebuah novel, tentu saja Winchester secara cerdas memberi penyedap yang menghibur bagi pembacanya. Belum lagi ditambah sisi-sisi manusiawi yang terungkap dari kisah perjuangan James Murray dalam mewujudkan ambisinya dan kisah Dr. Minor yang berjuang melawan penyakitnya sambil memberikan kontribusi tanpa henti dalam penyusunan kamus ini. Juga bagaimana persahabatan dan akhir hidup kedua tokoh ini yang diungkap secara dramatis sehingga menggugah pembacanya untuk menghargai kedua tokoh ini.

Salah satu sisi menarik lain dari buku ini adalah terpatahkannya mitos kisah pertemuan antara Murray dan Minor yang selama ini beredar di kalangan masyarakat. Murray dan Minor memang akhirnya baru bertemu muka setelah selama dua puluh tahun saling berkorespondensi. Dalam mitos yang beredar di masyarakat dikisahkan secara dramatis bagaimana Murray yang tidak mengetahui kegilaan Minor untuk pertama kalinya bertemu di Broadroom Asylum. Dengan risetnya yang matang, seperti yang terungkap di bab “Terima Kasih” yang ditulis secara naratif, akhirnya mitos pertemuan dua tokoh besar ini dipatahkan dan pembaca bisa menemukan fakta yang sesungguhnya.

Selain itu, sebagai bonus, di tiap awal bab buku ini disajikan pula entri-entri dari Oxford English Dictionary lengkap dengan pelafalan, definisi, dan kutipan dari mana kata-kata tersebut berasal.

Akhirnya setelah membaca buku luar biasa ini, tak ada kata lain yang lebih pas untuk diungkapkan bahwa novel ini adalah novel yang dahsyat dalam mengungkap sejarah dibalik pembuatan sebuah kamus inggris yang paling otoratif hingga kini.

Sebuah buku yang tampaknya cocok dibaca oleh praktisi bahasa seperti para editor kamus bahasa, penulis, pemerhati bahasa indonesia, dll ini, setidaknya akan menyadarkan kita bahwa bahasa adalah milik masyarakat luas. Dan penyusunan sebuah kamus bahasa dan pengembangan bahasa itu sendiri bukanlah hanya tanggung jawab para ‘pejabat bahasa’ saja, melainkan tangungung jawab seluruh masyarakat pengguna bahasa itu sendiri. Jadi berilah kesempatan pada masyarakat luas untuk mengembangkan bahasanya yang telah menjadi miliknya.

@h_tanzil
 
ans!!