Monday 21 December 2009

10 Buku Pilihanku 2009

10 Buku Pilihanku 2009

Meneruskan tradisi yang saya lakukan sejak tahun 2006 yang terinspirasi oleh apa yang dilakukan Endah Sulwesi dengan blog Perca-nya, maka berikut adalah 10 buku pilihan versi saya yang saya baca sepanjang tahun 2009 ini.

Sepanjang 2009 ini saya telah menamatkan 33 buah buku dan 32 dari buku yang saya baca tersebut telah saya buatkan reviewnya. Tahun ini saya membaca Lebih sedikit dari tahun sebelumnya yang mencapai 40an buku. Mungkin karena kesibukan domestik yg bertambah semenjak kehadiran akan ke-2 dalam hidupku yang otomatis menyita jam bacaku.

Urutan buku-buku pilihan di bawah ini saya buat berdasarkan urutan alphabet judulnya, jadi bukan
berdasarkan rangking. Tentunya buku-buku yang saya pilih hanya berdasarkan buku-buku yang telah saya tamatkan membacanya dan sangat kental dengan nuansa subyektifitas saya sebagai seorang pembaca awam. Jadi mohon buku-buku pilihan versi saya ini tidak untuk diperdebatkan.

Ini dia 10 buku pilihan saya sepanjang 2009 ini

Buku Terjemahan :

1. Istanbul, Kenangan sebuah Kota - Orhan Pamuk
2. Lady Chaterley's Lovers - DH. Lawrence
3. Little Woman - Louisa May Alcott
4. The Road - Cormac McCarthy
5. The Gargoyle - Andrew Davidson

Buku Lokal :

1. Braga, Jantung Parijs van Java - Ridwan Hutagalung & Taufani Nugraha
2. Elle Eleanor - Zev Zanzad
3. Para Penggila Buku, 100 Catatan di balik Buku - Diana AV. Sasa & Muhidin M Dahlan
4. Seratus Buku Sastra yg Perlu Dibaca Sebelum Dikuburkan - Tim I:boekoe
5. Tanah Tabu - Anidita

Sedangkan jika saya harus memilih best of the Best dari 10 buku di atas, maka pilihan saya jatuh pada buku :

“Para Penggila Buku – 100 catatan di balik Buku!”.

Mengapa? karena melalui buku ini saya diajak melihat semua pernak-pernik dalam dunia buku, sehingga membuka wawasan saya bahwa dunia di balik buku itu begitu luas dan kaya, selain itu ternyata buku menyimpan berbagai kisah menarik yang tak habis-habisnya untuk diceritakan.

Berikut daftar lengkap buku2 yang saya baca sepanjang tahun 2009 ini :

1. Christ The Lord (Road to Cana) – Anne Rich
2. Old Surehand 1 : Oase di Lliano Estacado – Karl May
3. Stromchaser - Paul Stewart & Chris Riddell
4. Lady Chaterley's Lover – Dh. Lawrence
5. Istanbul, Kenangan Sebuah Kota – Orhan Pamuk
6. Tintin dan alpha Art – Herge
7. Inkheart – Cornelia Funke
8. The Road – Cormac McCarthy
9. Lara Kusapa – Bonjour Tristesse
10. Metamorfosis – Franz Kafka
11. The Dragon Scroll - I. J. Parker
12. Lelaki Tua dan Laut – Hemingway
13. The Missing Rose – Serdar Ozkan
14. Coraline - Neil Gaiman & P. Craig Rusell
15. The Gargoyle - Andrew Davidson
16. Tintin dan Picaros - Herge
17. Dream from My Father Pergulatan hidup Obama – Obama
18. Little Woman – Luoisa May Alcott
19. Kamus Khazar - Milorad Pavic
20. Oeroeg – Hella s. Haase
21. Dewey - Vicky Myrom & Bret Witter

Buku Lokal
1. Goodbye Bush – Sepatu Perpisahan dari Baghad
2. Maryamah Karpov – Andrea Hirata
3. Kepleset - Regina Kencana
4. Tak Tik Foto - Angel
5. Sastra Sepeda dari Boja - Arif Khusnudhon, dkk
6. Metropolis - Windry Ramadhina
7. Tanah Tabu – Anindita
8. Para Penggila Buku – Diana AV. Sasa & Muhidin M. Dahlan
9. Gaul Jadul – Biar Memble asal Kece – Baihaqi
10. Elle Eleanor – Zev Zanzad
11. Braga – Jantung Parijs van Java - Ridwan Hutagalung & Taufani Nugraha
12. Seratus Buku Sastra yang harus dibaca sebelum dikuburkan - Tim i:boekoe

Buku yang sedang dibaca :

1. Kepulauan Nusantara – Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam - Alfred Russel Wallace
2. Libri di Luca – Mikkel Birkegaard
3. Monte Christo - Alexander Dumas
4. Midnight Children - Salman Rushdie
5. Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda (1600 - 1950) - Harry A. Poeze
6. Divine Madness - Triwibs
7. Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia: Jilid 1 Agustus 1945-Maret 1946 - Harry A. Poeze
8. Nagabumi - Seno Gumira Ajidarma

Demikian, list bacaan dan 10 buku favorit versiku, bukan sekedar untuk gagah-gagahan tapi sekedar membagi pengalaman membaca selama setahun ini. Semoga memacu teman-teman untuk tetap membaca dan menulis! GBU!

@htanzil

Tuesday 15 December 2009

Dewey

Judul: DEWEY - Kucing Perpustakaan Kota Kecil yang Bikin Dunia Jatuh Hati
Penulis: Vicki Myron dan Brett Witter
Penerjemah: Istiani Prayuni
Penyunting: Mita Yuniarti dan Anton Kurnia
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Terbit: I, Oktober 2009
Tebal : 400 hlm

Buku yang diangkat dari kisah nyata ini menceritakan kisah Dewey seekor kucing jalanan yang ketika usianya baru beberapa minggu dibuang ke sebuah kotak pengembalian buku di Perpustakaan Umum Spencer, Iowa, Amerika Serikat oleh seseorang tak dikenal saat musim dingin di tahun 1998. Ia baru ditemukan keesokan harinya oleh direktur perpustakaan, Vicki Myron.

Dalam keadaan yang hampir mati beku kedinginan Vicki mengangkat kucing itu dan segera menghangatkannya dan menjadikan perpustakaan sebagai rumah bagi si kucing. Siapa yang bisa menduga, tindakan sederhana yang dilakukan Vicki terhadap anak kucing jalanan itu kelak akan memberi pengaruh yang luar biasa besar baik untuk dirinya, Perpustakaan Spencer, bahkan kota kecil Iowa pada umumnya.

Kucing malang itu diberinya nama Dewey, seperti nama penemu system pengklasifikasian buku. Dewey segera mencuri hati para pegawai Perpustakaan Spencer. Hampir semua staf perpustakaan mencintainya. Tak seperti kucing jalanan pada umumnya, Dewey terlihat lebih manis, cerdas, dan yang terutama adalah sikapnya dan interaksinya yang baik terhadap pengunjung perpustakaan.

Awalnya kehadiran Dewey hanya diketahui oleh staf perpustakaan dan beberapa pengunjung saja, namun lambat laun Dewey semakin terkenal, seminggu setelah ia tinggal di perpustakaan kisah penyelamatan Dewey muncul di harian pertama surat kabar lokal. Publisitas ini akhirnya membuat seluruh penduduk Iowa mengetahui keberadaannya.

Kepopuleran Dewey dan sikap manisnya terhadap pengunjung perpustakaan membuat Dewey seolah menjadi duta perpustakaan dan inspirasi bagi siapa saja yang berinteraksi dengannya. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya orang yang tertarik pada Dewey, jumlah kunjungan ke perpustakaan Spencer bertambah secara mencolok. Orang-orang tinggal lebih lama di perpustakaan dibanding sebelumnya, mereka pulang dengan gembira dan kegembiraan itu dibawa pulang ke rumah, ke sekolah, dan ke tempat kerja. Dan orang-orang mulai membicarakan Perpustakaan Spencer.

Ketenaran Dewey ternyata terus bertambah, kini ia tak hanya dikenal di Iowa, kisahnya bahkan menembus hingga ke kota-kota sekelilingnya, melintasi negara bagian, hingga akhirnya merebak ke Negara-negara lain. Bahkan televisi NHK Jepang memilih Dewey menjadi proyek pertama mereka dalam pembuatan film dokumenter binatang.

Kehidupan Dewey selama sembilan belas tahun ini akhirnya memang akan menjadi sumber kebanggaan bagi Iowa, sebuah kota pertanian yang ketika Dewey ditemukan nyaris bangkrut. Dewey memang tidak menciptakan lapangan kerja atau apapun yang membuat kota Iowa menjadi maju secara ekonomi, namun tanpa disadari kehadiran Dewey muncul pada saat yang tepat dimana saat itu Amerika dilanda krisis ekonomi, kehadiran Dewey sedikit banyak telah mengalihkan pikiran negatif dari pendududuk Iowa akibat krisis ekonomi.

Kisah kehidupan Dewey, kucing perpustakaan inilah yang oleh Vicki Myron (penemu Dewey) dan Bret Witter (editor dan pecinta kucing) dituangkan dalam sebuah buku yang diberinya judul “Dewey”. Secara umum buku ini memang menceritakan bagaimana seekor kucing jalanan yang dibuang orang kelak akan menjadi kucing yang paling dikenal di dunia dan bagaimana Dewey menjadi inpirasi bagi banyak orang.

Pada awalnya Dewey hanya menyentuh kehidupan Vicki, ia menjadi perekat hubungan Vicky dengan anak gadisnya yang mulai renggang. Lalu Dewey juga menjadi perekat hubungan antar staf perpustakaan Spencer tempat Vicki bekerja. Lambat laun pengaruh positif Dewey semakin meluas lagi. Sikapnya yang manis terhadap pengunjung perpustakaan membuat ia menjadi kucing yang paling dicintai.

Tak hanya warga kota Iowa saja yang mencintai Dewey, bahkan orang-orang dari luar kota yang jaraknya puluhan hingga ratusan kilometer dari Iowa pun kerap berkunjung ke perpustakaan Spencer untuk menemui Dewey.

Dari keseluruhan kisah mengenai Dewey dalam buku ini, kita tak akan menemui sebuah peristiwa heroik yang dilakukan Dewey. Dewey bukanlah kucing pahlawan, ia hanyalah seekor kucing biasa, namun yang membuat ia terkenal dan menjadi inpirasi bagi banyak orang adalah sikapnya yang manis terhadap semua pengunjung perpustakaan.

Dewey tidak memilih-milih orang yang disayanginya. Dia mencintai semua orang tanpa pilih kasih. Setiap hari dia Setiap menyambut orang-orang yang datang ke perpustakaan, duduk di pangkuan pengunjung yang membutuhkannya, sehingga membuat orang-orang itu merasa diperhatikan oleh Dewey.

Hal terbesar yang dilakukan Dewey adalah bagaimana persahabatannya dengan Crsytal seorang gadis cacat. Dewey mampu mengubah gadis yang tadinya sangat tertekan menjadi lebih optimis dan menikmati saat-saat bahagia bersamanya. Tak hanya dengan Crystal, Dewey juga bersahabat dengan seorang gelandangan, anak yang setiap harinya ditinggal kerja oleh ibunya, hingga seorang eksekutif muda. Hubungannya dengan banyak orang dari berbagai kalangan itulah yang membuat Dewey menjadi inpirasi bagi semua orang yang berinteraksi dengannya.

Apa yang ditulis oleh Vicki mengenai kucing kesayangannya ini memang luar biasa, namun untungnya Vicki tak terjebak untuk menuliskan semua kelebihan Dewey. Di buku ini juga akan terungkap sisi buruk Dewey seperti cerewet dalam memilih makanan, sulit untuk diajak ke dokter, kabur dari perpustakaan, dll. Sehingga sosok Dewey yang ditampilkan bukanlah sebagai kucing sempurna, melainkan seekor kucing normal yang memiliki kabaikan dan keburukan.

Selain tentang Dewey, tampaknya penulis juga menuturkan kisah hidupnya dalam buku ini. Mulai dari kisah pernikahannya yang gagal, perjuangannya membesarkan satu-satunya anak gadisnya, hingga berbagai penyakit yang dideranya.

Karena kehidupan Dewey berada dalam perpustakaan, maka aktivitas dan semua pernah-pernik perpustakaan akan muncul di buku ini. Seperti bagaimana perkembangan perpustakaan Spencer dari waktu ke waktu selama Dewey hidup, beralihnya sistem manual ke komputerisasi, usaha-usaha yang dilakukan perpustakaan kota Spencer untuk menarik minat pengunjung, dll.

Hal ini tentunya sangat menarik dan bermanfaat juga bagi pemerhati dan praktisi perpustakaan kita. Sedikit banyak kita akan belajar dan disadarkan bahwa fungsi perpustakaan bukan sekedar gudang yang sunyi tempat menyimpan buku, melainkan juga sebuah tempat untuk berkumpul, ruang publik di mana perpustakaan menjadi sentral bagi perkembangan dan berbagai aktifitas sosial dan budaya masyarakat di sekitarnya.

Sebagai kesimpulan, buku yang diangkat dari kisah nyata ini kita akan disuguhkan kisah menakjubkan dari seekor kucing yang begitu menginpsirasi jutaan orang. Bukan karena tindakan kepahlawanannya, melainkan karena cinta, kemurahan hati, dan kekuatan hubungan yang baik antara manusia dengan hewan. Selain itu, buku ini juga mengajak pembacanya untuk berpikir positif di tengah segala kesulitan hidup.

@h_tanzil

Tuesday 17 November 2009

Oeroeg - Hella S. Haasse

No. 228
Judul : Oeroeg
Penulis : Hella s.Haasse
Penerjemah : Indira Ismail
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Oktober 2009
Tebal : 144 hlm

Oeroeg adalah sebuah novel klasik karya sastrawan Belanda, Hella S. Haasse. Walau novel ini ini untuk pertama kalinya diterbitkan dalam bahasa Belanda pada tahun 1948 namun baru kali ini Oeroeg diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Peluncuran terjemahan novel ini beberapa bulan yang lalu merupakan bagian dari kampanye Kedutaan Besar Belanda untuk Indonesia dalam rangka The Netherland Read, yang berlangsung hingga 20 November 2009.

The Nedherland Read adalah kampanye buku-buku Belanda yang telah berlangsung sejak 2006. Tiap tahunnya satu buku karya penulis terkenal dipilih untuk disebarkan gratis kepada khalayak, dibaca, dan bila mungkin didiskusikan bersama. Tahun ini buku yang terpilih adalah Oeroeg karya Hella S Haass, penulis Belanda yang lahir dan dibesarkan di Indonesia sebelum masa kemerdekaan RI. Novel Oeroeg ini adalah novel pertamanya yang terbit tahun 1948.

Dalam novelnya ini Hella mengungkapkan bahwa Oeroeg adalah laporan pencarian jejak masa lalu tokoh ‘aku’, laki-laki muda berkebangsaan Belanda yang pada tahun 1947 mengenang kembali masa kanak-kanak hingga remajanya di Indonesia dan persahabatannya dengan seorang laki-laki Indonesia sebayanya yang bernama Oeroeg.

Bagi tokoh ‘aku’ Oeroeg adalah sahabat sejatinya, bagian dari masa kanak-kanaknya. Oeroeg dan tokoh aku dikisahkan selalu bersama dalam setiap tahap perkembangan, mulai dari anak-anak hingga lelaki muda. Bisa dikatakan kehidupan Oeroeg dan tokoh ‘aku’ begitu melekat bagaikan sebuah segel walau mereka sebenarnya terpisahkan oleh jurang strata sosial pada masa itu.

Tokoh aku adalah putra tunggal seorang administrateur di perkebunan Kebon Jati di pedalaman pegunungan Priangan, Sukabumi Jawa Barat, sedangkan Oeroeg adalah putra sulung mandor tempat dimana ayah si aku bekerja sebagai administraterur. Sebagai balas jasa atas ayah Oeroeg yang meninggal karena menyelamatkan tokoh aku, maka Oeroeg disekolahkan hingga ke tingkat MULO
Rupanya tempat yang terpencil dan kurangnya kedekatan antara tokoh Aku dengan kedua orang tuanya maka terbentuklah persahabatan antara tokoh aku dengan Oeroeg. Hanya dengan Oeroeglah ia dapat bermain dan menemukan penghiburan. Bahkan bahasa Sunda menjadi bahasa yang lebih akrab baginya dibanding bahasa Belanda.

Kesadaran akan adannya perbedaan diantara mereka mulai nampak ketika akhirnya hubungannya dengan Oeroeg menimbulkan cemoohan dan penolakan diantara orang-orang disekitarnya, terutama cemoohan yang dialamatkan pada Oeroeg. Namun walau demikian persahabatan mereka tetap berlanjut.
Semakin mereka dewasa, mereka semakin menyadari bahwa mereka memang berbeda. Oeroeg kini menyadari bahwa ia hanyalah seorang inlander sedangkan sahabatnya orang Eropa. Oeroeg sadar bahwa dirinya banyak mengalami penolakan dari orang-orang Belanda. Pada masa itulah jarak antara Oeroeg dan tokoh aku muncul,. Oeroeg mau tidak mau memasukkan sahabatnya sebagai golongan Eropa yang menolaknya.

Perbedaan diantara mereka semakin kentara setelah Oeroeg menjadi pemuda revolusioner yang menolak kerjasama dengan pemerintah Belanda yang notabene merupakan golongan sahabatnya sendiri. Namun walau demikian mereka tetap saling kontak dan persahabatan mereka walau tak seakrab dahulu namun mereka tetap saling berhubungan satu dengan lainnya hingga akhirnya tokoh aku harus berangkat ke Eropa untuk menyelesaikan studinya.

Saat ia bersekolah di Belanda, hubunga mereka terputus juga hingga akhirnya ia lulus dan kembali ke Hindia. Sepulang dari Eropa, tokoh Aku mencari sahabatnya, kebetulan ia kini dipekerjakan pada perbaikan jembatan-jembatan di Priangan yang dirusak oleh pejuang-pejuang Republik. Sebuah tugas membawanya ke tempat dimana ia melewati masa kecilnya bersama Oeroeg. Kesempatan ini dipakainya untuk mencari sahabatnya. Akankah Oeroeg berhasil ditemuinya?

Novel Oeroeg yang menceritakan lika liku persahabatan antara bocah pribumi dan anak andministratur Belanda ini ditulis oleh Hella S. Haase, (91 tahun) pada saat ia masih berusia 30 tahun dan merupakan novel perdananya yang akan mengangkat namanya sebagai penulis Belanda kenamaan.

Hella sendiri adalah penulis Belanda kelahiran Batavia pada 2 Februari 1918, Ibunya adalah seorang pianis bernama Katherina Diehm-Winzenhohler dan ayahnya seorang inspektur
keuangan pemerintahan kolonial Belanda bernama Willem Hendrik Haasse. Lewat
pekerjaan ayahnya inilah maka Hella yang lahir di Batavia dan melewatkan masa kanak-kanak hingga remajanya di Hindia hafal betul bagaimana suasana kehidupan di Hindia.

Karena novel ini dibangun sebagian besar berdasarkan kesan dan pengalaman Hella dan pengalaman masa remajanya di Indonesia maka tak heran jika dalam novelnya ini Hella mendeskripsikan suasana alam, kehidupan keluarga Belanda dan pribumi, rumah-rumah penduduk pribumi dan belanda dengan begitu detail dan memikat.

Begitu detailnya Hella mendeskripsikan latar ceritanya sehingga kita seolah-olah melihat sendiri apa yang digambarkan oleh Hella, jika kita tak mengetahui siapa penulisnya mungkin kita akan menyangka bahwa novel ini ditulis oleh penulis lokal. Cara betutur Helle dalam novel ini juga enak dinikmati sehingga mampu membawa pembacanya menyelami situasi Indonesia di zaman itu.

Ketika novel ini ditulis situasi politik antara Indonesia dengan Belanda sedang dalam keadaan kritis yang akan memuncak di agresi militer Belanda II atas Indonesia pada 1948 dan konflik ini akan berimbas pada kisah persahabatan Oeroeg dalam novel ini dimana sikap sebagian besar masyarakat Indonesia begitu membenci terhadap orang-orang Belanda.

Dalam hal penokohan karakter, karena tokoh Aku merupakan si pencerita maka apa yang dialami, dirasakan oleh si pencerita tereksplroasi dengan dengan baik, konsekuensinya kedalaman karakter oeroeg menjadi kurang tereksplorasi, misalnya bagaimana proses perubahan Oeroreg saat akhirnya tertarik dengan gerakan pemuda revolusioner. Jika saja Helle mengeksplorasi hal ini tentunya novel ini akan semakin menarik karena dapat melihat dari kedua sisi bagaimana akhirnya persahabatan mereka mulai berubah akibat perubahan watak Oeroeg.

Novel yang kental dengan aroma persahabatan yang terusik karena perbedaan ras dan pengaruh dari situasi politik di kehidupan tokoh-tokoh daam novel ini pada akhirnya akan membawa pembaca pada sebuah perenungan akan arti sebuah persahabatan.

Dengan indah Hella mengakhiri novel pendeknya ini dengan berbagai pertanyaan yang timbul dari benak si penceritanya (tokoh aku) sehingga setelah membaca habis novel ini pembaca akan diajak merenung dan mencoba mencari jawaban atas semua pertanyaan itu. Dan yang pasti melalui novel ini kita akan disadarkan bahwa persahabatan sejati pada akhirnya tak akan mungkin dipisahkan karena perbedaan ras, ideologi, perang, bahkan sebuah revolusi sekalipun.

Kedalaman pesan, dan setting Hindia Belanda di tahun 30-40an yang selama ini dianggap eksotis bagi warga dunia, khususnya orang Belanda tampaknya membuat novel ini menjadi novel klasik dunia dan akhirnya menarik perhatian para sineas Belanda untuk memfilmkannya pada tahun 1993 dengan judul yang sama dengan novelnya “Oeroeg” yang beberapa tokohnya diperankan oleh aktor/artis Indonesia yaitu Adi Kurdi, Ayu Azhari, dan Jose Rizal Manua.

Karena media buku dan film berbeda, tentunya ada banyak tambahan-tambahan kisah dalam film untuk mendramatisir kisahnya yang tidak ada dalam bukunya. Ada juga yang menilai bahwa film Oeroeg terkesan lebih bernuansa politis dibanding novelnya yang lebih menekankan makna persahabatan.

@h_tanzil

Saturday 31 October 2009

Kamus Khazar

[No. 226]
Judul : Kamus Khazar (Sebuah Novel Leksikon)
Penulis : Milorad Pavic
Penerjemah : Noor Cholis
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Juni 2009
Tebal : 505 hlm

Ingin mencoba menikmati pengalaman baru dalam membaca sebuah novel ? Silahkan mencobanya dengan membaca novel leksikon Kamus Khazar karya Milorad Pavic, profesor sejarah kesusasteraan Universitas Beograd dan salah satu penyair kenamaan Yugoslavia. Walau novel ini diberi judul “Kamus Khazar” (Dictionary of The Khazars) namun ini adalah novel. Tepatnya novel berbentuk kamus atau mungkin lebih tepatnya novel berbentuk ensiklopedia. Nah bagaimana mungkin?

Inilah keunikan buku ini, walau berbentuk seperti ensiklopedia namun ini bukanlah buku yang dapat dijadikan buku referensi karena ini adalah sebuah karya fiksi yang mencampuradukkan sejarah, budaya, dongeng, mimpi dan imajinasi penulisnya tentang sebuah bangsa yang bernama bangsa Khazar.

Bangsa Khazar sendiri pada kenyataannya memang pernah ada. Sejarah mencatat bahwa pada puncak kejayaannya mereka menguasai sebagian besar dari wilayah Rusia selatan sekarang, Kazakhstan barat, Ukraina timur, dan sebagian besar Kaukasus (termasuk Dagestan, Azerbaijan, Georgia, dll.) Bangsa Khazar memasuki catatan sejarah ketika mereka memerangi bangsa Arab dan berrsekutu dengan Kekaisaran Bizentium pada 627 M.

Walau Bangsa Khazar pernah menguasai sebagian besar wilayah Rusia sekarang dan pernah memerangi bangsa Arab namun ironisnya hingga kini sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang bangsa ini, seluruh jejak mereka musnah, tidak menyisakan apa pun yang bisa dipakai untuk mengetahui asal-usul bangsa ini. Konon bangsa Khazar lenyap dari panggung sejarah setelah mereka mengalami peristiwa yang akan menjadi bahasan utama buku ini.

Peristiwa tersebut dikenal dengan istilah ‘Polemik Khazar’ . Sebuah peristiwa besar ketika bangsa Khazar hendak melakukan perpindahan keyakinan dari keyakinan asli mereka ke salah satu dari tiga agama yang telah dikenal pada masa itu yaitu Yahudi, Islam, dan Kristen. Keruntuhan Imperium Khazar terjadi tidak lama setelah perpindahan agama itu saat Kekaisaran Rusia menghancur leburkan bangsa ini (965 - 970 M).

Tidak hanya bangsa ini yang lenyap, tapi kebudayaan, tulisan, dan artefak-artefak budaya merekapun hancur, nyaris lenyap dan hanya menyisakan sedikit bahan yang sangat sulit untuk dijadikan acuan untuk mempelajari kebudayaan Bangsa yang telah punah ini.

Namun minimnya bahan yang bisa diperoleh mengenai bangsa Khazar rupanya tak menyurutkan Milorad Pavic untuk membuat novel mengenai bangsa ini. Hal ini malah memberinya ruang imajinasi yang tanpa batas untuk mengisahkan bangsa Khazar menurut versinya. Dalam hal ini Pavic secara sastrawi mencoba menjajaki dan menyingkap Polemik Khazar ke dalam novelnya secara menarik dan tidak biasa, yaitu dengan cara penyajian layaknya sebuah ensiklopedi.

Dari mana Pavic memperoleh idenya ini? dalam catatan pendahuluannya yang terdapat dalam novel ini, ia mengungkapkan bahwa novelnya ini adalah rekonstruksi ulang dari edisi orisinal kamus Khazar karya Daubmannus yang terbit pada tahun 1691 dan dimusnahkan secara barbar pada tahun 1692 karena dianggap sebagai buku sesat. Untungnya masih ada halaman-halaman atau fragmen-fragmen yang tersisa dari kamus edisi orisinalnya. Berdasarkan lembar-lembar yang tersisa inilah Pavic mencoba merekonstruksi seperti apa kira-kira wujud dan isi dari kamus yang telah lenyap itu.

Sama dengan edisi Daubmannus 1691, Pavic menyajikan bukunya ini dalam tiga bagian utama berdasarkan tiga sudut pandang agama yang saling merebut simpatik penguasa Khazar agar memilih agamanya. Pembagian bab buku ini masing-masing diistilahkan sebagai ‘buku’ , yaitu Buku Merah (perspektif Kristen), Buku Hijau (perspektif Islam), dan Buku Kuning (perspektif Yahudi) yang masing-masingnya memberikan penjelasan tentang bangsa Khazar beserta polemiknya.

Karena setiap bagian disajikan menggunakan sudut pandangnya masing-masing maka tentunya akan ada beberapa bagian yang saling bertentangan, namun ada juga yang memiliki persamaan, atau saling melengkapi satu bagian dengan bagian lainnya.

Tidak hanya polemik Khazar yang dibahas dalam buku ini namun ada berbagai lema lainnya mengenai bangsa Khazar seperti dongeng, anekdot, sejarah, sejarah kamus Khazar karya Daubmannus, dll, bahkan kisah tentang para peneliti bangsa Khazar di masa kini pun ikut mewarnai buku ini.

Dengan gaya penyajian novel seperti halnya sebuah kamus/ensiklopedia yang terususun berdasarkan alfabetikal maka jangan harap kita akan mendapatkan gambaran dan sejarah mengenai bangsa khazar secara kronologis. Akibatnya jika novel ini dibaca secara berurutan dari halaman pertama hingga terakhir, maka pembaca akan dibawa terlempar bolak-balik dari satu masa ke masa lainnya.

Bukan hal yang mudah memang untuk membaca novel ini. Pembaca yang tidak sabaran dan tidak telaten kemungkinan akan menyerah dan mogok di tengah jalan sebelum menamatkannya. Untungnya di awal buku ini, penulis memberikan pendahuluan yang berisi sejarah bangsa Khazar beserta polemiknya secara runut sehingga walau pembaca menyerah di tengah jalan, setidaknya ia bisa memperoleh gambaran umum mengenai bangsa Khazar dan polemiknya.

Seperti halnya ketika kita membaca sebuah ensiklopedia, tentunya kita tak harus membaca buku ini secara berurutan dari halaman pertama hingga akhir. Kita bisa membacanya dari mana saja. Bisa saja kita membacanya berdasarkan lema-lema yang kita sukai atau topic yang ingin kita ketahui. Karena ada tiga bagian yang mungkin akan memiliki lema yang sama, rasanya akan lebih mengasyikan jika kita memilih satu lema di bagian pertama lalu membandingkannya dengan lema yang sama di bagian yang lain.

Jadi memang diperlukan usaha kreatif dari pembacanya agar dapat menikmati novel dan menyatukan cerita yang tercerai berai ini dengan baik. Pavic sendiri sadar akan kesulitan yang mungkin akan dialami pembaca dalam memahami bukunya ini, karenanya dalam catatan pendahulaunnya ia memberikan sub bab tersendiri yang berisi cara penggunaan/pembacaan buku ini.

Namun Pavic juga menegaskan bahwa ia memberikan kebebasan pada pembacanya untuk mencerna buku ini. Ia menyarankan agar pembaca menemukan dan membuat jalannya sendiri bagaimana cara terbaik untuk membaca buku ini. Dan bagaimanapun cara memabacanya pastinya masing-masing cara akan memberikan sensasi sendiri pada pembacanya. Jadi Novel ini memang menantang kita untuk tidak bersikap pasif ketika membaca, tetapi berpartisipasi aktif menyatukan cerita yang terbagi-bagi.

Sebagaimana sebuah kamus atau endiklopedia, maka sangat wajar jika buku ini tidak perlu dibaca seluruhnya ; orang bisa membaca setengah, atau satu bagian saja. Namun harus pula diingat bahwa semakin banyak orang membaca dan mencari maka semakin banyak pula yang didapatkan di buku ini.

Semua berpulang pada pembacanya. Novel ini bisa saja menjadi buku yang membosankan, atau bisa juga membuat pembacanya merasa tertantang untuk menuntaskannya dengan caranya sendiri dan mengurai semua lema yang ada, menyatukan kisah-kisah yang tercerai berai untuk memperoleh gambaran yang utuh mengenai Bangsa Khazar, sebuah bangsa besar yang kini telah punah dari peta kebudayaan dunia.

@h_tanzil

Monday 28 September 2009

Little Woman

Judul : Little Woman
Penulis : Louisa May Alcott
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Juli 2009
Tebal : 489

Little Woman adalah novel klasik karya Lousia May Alcott (1832-1888) yang pertama kalinya diterbitkan pada tahun 1868. Dalam novel ini Alcott menciptakan empat sosok perempuan yang paling populer dalam sastra Amerika hingga kini. Mereka adalah Meg, yang tertua diantara keempat anak perempuan keluarga March, berusia enam belas tahun, sangat cantik dan lembut. Jo, 15 tahun, pribadi yang penuh semangat, temperamental, suka bereksperimen dan senang menulis. Beth, 13 tahun gadis yang lembut, pendiam dan baik hati, serta si bungsu Amy, 12 yang memiliki jiwa seni, egois, manja serta kekanak-kanakan.

Keempat anak ini tinggal bersama ibu mereka, sementara sang ayah pergi bertempur dalam perang saudara. Keluarga ini hidup dalam kesederhanaan, sementara ayahnya pergi ibu serta keempat anak gadis March bahu membahu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sementara utuk melakukan pekerjaan rumah tangga, mereka dibantu oleh Hanah yang setia mengabdi pada keluarga March.

Keseharian yang dialami oleh keempat wanita keluarga March inilah yang dieksplorasi dengan baik oleh Alcott dalam novelnya ini. Walau mereka memiliki ibu yang bijak dan saling mengasihi satu dengan yang lainnya namun keempat gadis dengan karakter yang berlainan ini membuat mereka tak luput dari berbagai pertengkaran, kadang mereka saling memuji namun ada juga ejek mengejek, perkelahian, cemburu, dll seperti yang dialami oleh sebuah keluarga pada umumnya. Selain itu persahabatan mereka dengan Laurie, pemuda kaya tetangga mereka yang tinggal bersama kakeknya ikut mewarnai kehidupan keluarga sederhana ini. Bersama Laurie, mereka menikmati masa remaja dan persahabatan yang indah

Pada intinya dalam novelnya ini Alcott menuturkan keseharian keempat gadis March dengan begitu hidup dan menarik, seperti bermain teater dalam rumah, berpikinik, membuat koran sendiri, dan kejadian-kejadian lainnya yang ikut membentuk mereka menjadi perempuan dewasa. Eksplorasi karakter dan berbagai peristiwa yang dialami oleh keempat gadis March ini dideskripsikan dengan porsi yang hampir sama, tiap babnya secara bergantian menceritakan salah satu dari mereka sebagai pusat cerita. Walau demikian karakter Jo yang merupakan cermin dari kepirbadian Alcott sendiri tampak selalu muncul dan mengambil peran dibanding yang lainnya.

Apa yang dikisahkan oleh Alcott sangat manusiawi dan wajar, tidak berlebihan, seperti halnya keluarga kita pada umumnya sehingga membaca novel ini seperti membaca kehidupan kita sendiri. Ada berbagai peristiwa keseharian yang menarik yang dikisahkan Alcott misalnya bagaimana pertengkaran antara Jo dan Amy karena hal yang sepele malah membuat Jo begitu membenci Amy yang telah memusnahkan buku karangannya yang telah lama ia tulis untuk ia persembahkan pada ayahnya kelak.

Novel ini juga memuat kisah yang mengandung nilai-nilai pengorbanan dan kemanusiaan baik antara keluarga March atau dengan orang lain. Misalnya ketika Jo rela mengorbankan rambutnya untuk dijual ke sebuah salon demi menambah ongkos perjalanan ibunya ke Washington untuk menjenguk ayah mereka yang sakit keras.

Lalu ada pula kisah Beth yang tetap menolong bayi tetangganya yang menderita penyakit menular hingga akhirnya bayi tersebut meninggal di pangkuannya. Karenanya tak lama kemudian Beth pun tertular penyakit yang mematikan ini. Saat inilah saat yang paling berat yang dialami keempat gadis keluarga March. Mereka harus merawat Beth ketika kedua orang tua mereka tak ada di rumah. Saat-saat mereka menolong Beth yang sedang berjuang melawan maut inilah yang membuat mereka menyadari bahwa kehadiran keluarga mereka jauh lebih berharga dibanding apapun

Ada banyak hal tema menarik yang diangkat oleh Alcott dalam novelnya ini, selain masalah kehangatan keluarga, pengorbanan, cinta kasih antar saudara dan cinta romantis Meg, novel ini juga mengangkat isu feminisme melalui sosok Jo yang mandiri dan selalu menentang aturan yang membatasi kebebasannya. Menarik karena ketika novel ini dibuat, isu feminisme belum sepopuler saat ini sehingga bisa dikatakan bahwa Alcott adalah penulis yang memiliki wawasan berpikir melebihi zamannya.

Selain itu novel ini juga memberikan contoh bahwa dalam kehidupan perempuan yang sederhana, kehidupan yang berhasaja dan berkualitas masih mungkin diperoleh. Tak ada yang lebih berharga ketimbang memiliki keluarga yang saling mencintai. Hal ini seolah mendobrak pandangan umum bahwa kebahagiaan hanya dapat diperoleh melalui oleh kelimpahan materi semata.

Dengan segala kelebihan yang ada dalam novel ini maka tak heran jika novel yang ditulis Alcott hanya dalam tempo dua setengah bulan (antara 1867 dan awal 1868) ini langsung menuai sukses ketika pertama kami diterbitkan pada 30 September 1868. Lebih dari 2000 ekslempar terjual seketika. Novel ini juga direspon secara positif oleh para kritikus sastra dan langsung menyebut novel baru itu sebagai sastra klasik. Hal ini kelak terbukti karena novel ini menjadi novel yang laris selama puluhan tahun dan dibaca hingga kini dari generasi ke generasi.

Sesaat setelah novel ini terbit dan banyak dibaca orang, Alcott kebanjiran surat dari pembacanya yang menuntut sekuel dari novelnya tersebut. Memenuhi keinginan pembacanya untuk menulis kelanjutan dari kisah keempat gadis keluarga March ini, Alcott pun akhirnya menulis sekuel Little Woman yang diberinya judul Good Wives pada tahun 1869. Kedua bagian ini sering disebut dengan Little Women or Meg, Jo, Beth and Amy. Tak hanya berhenti sampai di situ, kisah keluarga March terus berlanjut Alcott terus menulis dan menerbitkan Little Men (1871) dan Jo’s Boys (1886), yang menceritakan kehidupan anak-anak dari perempuan-perempuan keluarga March. Pada 1880 kedua bagian digabung ke dalam satu volume di Amerika dengan judul Little Women or, Meg, Jo, Beth and Amy.

Hingga kini kisah keempat perempuan keluarga March terus dibaca orang . Sejumlah karya merujuknya. Geraldine Brooks, misalnya, menerbitkan novel March pada 2005, novel ini bercerita tentang Tuan March, ayah keempat perempuan March, selama Perang Saudara. Novel ini kemudian dianugerahi Pulitzer Prize for Fiction 2006. Tak hanya dalam ranah buku, kisah keluarga March juga telah menggelitik para sineas untuk melayar lebarkan karya Alcott ini, hingga kini Little Woman sudah 14 kali diadaptasi ke layar lebar . Selain film, Little Woman juga dibuatkan versi serial TVnya, anime-nya, panggung opera, drama musical, dll

Selain itu menurut buku “ 1001 Books You Must Read Before You Die karya Peter Boxall. Novel Little women ini menginspirasi banyak penulis perempuan antara lain Simone Beauvoir, Joyce Carol Oates, dan Cynthia Ozick (salah satu penulis amerika paling top saat ini). Karenanya hadirnya terjemahan novel ini patut dipresiasi dengan baik karena jika sebelumnya novel klasik ini hanya dibaca dan dibicarakan di lingkungan terbatas yang melek sastra, kini novel ini menjadi lebih terbaca oleh kalangan yang lebih luas lagi.

@h_tanzil

Wednesday 9 September 2009

Braga - Jantung Parijs van Java

No. 223
Judul : Braga - Jantung Parijs van Java
Penulis : Ridwan Hutagalung & Taufani Nugraha
Penerbit : Ka Bandung
Cetakan : Oktober 2008
Tebal : 168 hlm

Di paruh pertama abad ke 20 Bragaweg (Jalan Braga) adalah jalan paling mashyur dan telah menjadi landmark kota Bandung. Jika Bandung pernah dikenal dengan sebutan “Parijs van Java”, tampaknya hanya jalan Braga yang paling mewakili sebutan itu karena Braga merupakan jalan pertokoan yang paling bernuansa Eropa di seluruh Hindia yang memiliki keunikan dan daya tarik yang khas.

Istilah Parijs van Java sendiri hingga saat ini belum diketahui secara pasti kapan tepatnya mulai digunakan. Namun demikian, setidaknya sebuah buku berjudul Boekoe Penoenjoek Djalan Boeat Plesiran di Kota Bandoeng dan Daerahnja yang kemungkinan diterbitkan tahun 1906 telah menyebutkan Bandung sebagai “Parisnya tanah Jawa”. Kenyataannya memang pada masa itu sudah tampak upaya-upaya yang mewujudkan Bandung seperti kota Paris seperti mulai dibangunnya societiet, bioskop, café dan restoran, gedung kesenian, serta taman hiburan rakyat yang mampu menghidupkan suasana malam Bandung seperti suasana Paris di malam hari.

Upaya-upaya mewujudkan Bandung yang bernuansa Paris mencapai puncaknya pada masa 1920-1930 terlebih ketika Pasar malam tahunan Jaarbeurs pada tahun 1920 (sekarang lokasi Gedung Kodiklat TNI AD Jl. Aceh) dipromosikan hingga ke luar negeri. Slogan Parijs van Java juga makin populer setelah Boscha sering mengutipnya di berbagai pidatonya. Selain itu di pada masa 1920-1940 Bandung juga dikenal sebagai pusat mode seperti halnya Paris. Saat itu di Braga berdiri berbagai toko mode diantaranya toko mode Au Bon Marche milik orang Perancis yang spesialis menjual pakaian-pakaian mode terbaru dari Perancis.

Di masa kini Braga tak ubahnya seperti jalan-jalan umum lainnya yang padat dan berdebu. Namun di tengah kemacetan Braga pada jam-jam sibuk kita atau suramnya Braga di waktu malam kita masih bisa menikmati sedikit sisa-sisa kejayaan Bandung tempo dulu. Bagaimana caranya? Bacalah buku kecil berjudul Braga – Jantung Parijs van Java, dan kita akan diajak menyusuri sepanjang Braga sambil mengoreh-ngoreh apa saja yang tersisa dari masa keemasan Braga.

Buku setebal 167 halaman ini memang disusun laiknya panduan wisata jalan kaki sehingga pembaca dapat menyusuri sepanjang Braga mulai dari sisi paling selatan di pertigaan jalan Asia Afrika dan Jalan Braga hingga ke berakhir di ujung utaranya di persimpangan Jalan Braga, Jalan Wastukencana, dan Jalan Perintis Kemerdekaan sekarang . Mulai dari gedung bekas toko Van de Vries hingga berakhir di gedung Javasche Bank (kini Bank Indonesia). Ada lebih dari 30 bangunan yang dibahas dalam buku ini, ada yang masih ada hingga kini, namun ada juga yang sudah hilang tak berbekas dan digantikan dengan bangunan yang lebih modern.

Masing-masing bangunan penting sepanjang Braga itu dikisahkan dengan menarik dan cukup detail lengkap dengan kondisinya di masa kini. Dari kisah puluhan bangunan yang terdapat dalam buku ini yang mendapat porsi bahasan yang banyak dibahas adalah Gedung Societeit Concordia (Gedung Merdeka) yang menjadi pusat hiburan masyarakat Belanda di Bandung

Societeit Concordia awalnya adalah nama perkumpulan yang terdiri dari para Preangerlpanter (pengusaha perkebunan di Priangan) dan para elite kota Bandung. Pada 1895 perkumpulan tersebut menempati gedung yang diberi nama Gedung Societeit Concordia. Pada tahun 1940 gedung Societeit Concordia mengalami renovasi yang mengubah penampilannya hingga berbentuk seperti sekarang. Di sinilah Societeit Concordia sebagai perkumpulan kaum elite mencapai puncak popularitasnya

Gedung yang dapat menampung 1.200 orang ini dilengkapi dengan ruang makan, ruang dansa yang luas, ruang bowling serta perpustakaan yang cukup lengkap dengan ruang bacanya . Setiap akhir pekan gedung ini diadakan berbagai pertunjukan seni seperti konser musik (Ismail Marzuki & WR Supratman pernah berkonser di tempat ini) , tonil, dan dansa. Sedangkan di hari minggu pagi gedung ini juga dipakai oleh anak muda Belanda untuk bermain sepatu roda.

Maraknya kegiatan yang dilakukan di dalam gedung ini membuat seorang pelancong Belanda, L.H.C. Horsting menyimpulkan bahwa tidak ada Societeit di seluruh Hindia Belanda yang dapat mengalahkan Societeit Concordia Bandung. Setelah melewati segala kemeriahan dan masa keemasan sebagai pusat hiburan bergengsi pada zaman Hindia Belanda, gedung ini kemudian menjadi terkenal ke seluruh dunia karena menjadi tempat Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955.

Tentunya kita bisa membayangkan bagaimana semaraknya suasana gedung ini di masa lampau, jauh berbeda dengan kondisinya kini yang hanya menjadi sebuah museum bisu yang jarang sekali dipakai untuk aktivitas seni seperti di masa lampau.

Setelah gedung Soceiteit Concordia, gedung legendaris yang mendapat porsi bahasan agak panjang dalam buku ini adalah Maison Bogerijen (Braga Permai) dimana ada lambang kerajaan Belanda yang terpampang di muka restoran ini. Restoran ini dikenal sebagai restoran paling elite di seantero kota yang mendapat piagam restu langsung dari ratu Belanda. Maka dari itu tidak heran jika Maison Bogerijen adalah satu-satunya restoran yang diizinkan menyajikan berbagai hidangan istimewa khas kerajaan Belanda yang tidak bisa ditemukan di sembarang tempat.

Selain kedua gedung diatas, masih banyak gedung-gedung lain yang tak kalah menariknya yang dibahas dalam buku ini seperti gedung DENIS Bank dengan gaya bangunan unik yang merupakan bank pertama kali menggunakan system hipotek di Bandung, Het Snopheus (Sumber Hidangan) , toko mobil Fuchs en Rens yang menjual mobil-mobil terkenal (Peugeot, Renault, Chlyser, Plymouth,dll). Lalu ada pula toko buku van Dorp (sekarang gedung Landmark) yang memiliki cara pemasaran unik yang secara tidak langsung menggiring warga Bandung untuk kerajingan menanam bunga.

Menarik memang menyusuri spanjang Braga bersama buku ini. Hanya saja satu hal yang disayangkan adalah tak adanya kisah-kisah humanis dibalik keberadaan gedung-gedung yang dibahas dalam buku ini karena buku ini hanya mendeskrpisikan sejarah gedung, fungsi bangunan di masa lampau, arsitek pembuatannya,dll. Jika saja penulis memasukkan sedikit kisah-kisah remeh temeh yang merupakan bagian dari orang-orang yang tingal di gedung-gedung ini tentunya buku ini akan lebih menarik lagi dan gedung-gedung yang dibahas dalam buku ini akan terasa lebih bernyawa jika kita mengunjunginya saat ini.

Karena format buku yang kecil, tidak terlalu tebal, bahasan yang runut, mudah dicerna dan informatif karena dilengkapi dengan daftar istilah, indeks, peta, dan tampilan foto-foto yang tajam membuat buku ini sangat nyaman dibawa sebagai pedoman dalam menyusuri sepanjang Braga untuk menemukan serpihan-serpihan kejayaan Braga di masa lampau.

Selain itu kehadiran buku ini juga ikut melengkapi sejumlah buku tentang Bandung yang telah ditulis selama ini. Satu hal yang menarik, walau dikemas dalam gaya popular, namun salah satu penulis dari buku ini adalah lulusan dari jurusan sejarah. Selama ini buku-buku tentang Bandung ditulis oleh budayawan, wartawan, dan ahli planologi.

Namun siapapun yang menulisnya dan apapun yang dibahas mengenai Bandung di masa lampau, buku-buku tersebut, termasuk buku ini bukanlah sekedar hanya menigsahkan kembali sejarah panjang sebuah kota. Ada banyak hal yang positif yang bisa dipelajari, ditimbang, dan mungkin dijadikan teladan khususnya bagaimana mengelola sebuah kota baik untuk masa kini maupun di masa yang akan datang.

@h_tanzil

Monday 24 August 2009

Elle Eleanor

Judul : Elle Eleanor
Penulis : Zeventina Octaviani B & Ferry H. Zanzad
Penerbit : Kakilangit Kencana
Cetakan : I, Juni 2009
Tebal : 454 hlm

Villa Van Der Sneijer di wilayah pantai Popoh Kediri berdiri gagah dan kokoh. Namun dibalik kekokohannya villa itu menyimpan sejuta misteri dan kutukan. Di masa lalu, pemilik villa, Robert Van der Sneijer pernah membunuh Eleanor, istrinya sendiri yang kedapatan berpesta sex dengan dua pemuda sekaligus di kamar rahasianya. Pembunuhan itulah menjadi awal dari semua keangkeran villa. Penghuni dan tamu-tamu villa di masa lalu seolah datang dan pergi untuk menyebarkan petaka.

Robert dan Eleanor sebenarnya merupakan pasangan yang sangat berbeda dalam hal karakter, Robert memiliki ketenangan sebagai seorang bangsawan sejati, ia lebih suka berkutat dengan bisnisnya dibanding bersama istrinya. Sementara itu Eleanor adalah wanita yang lincah, penuh gairah hidup, dan memiliki gelora yang meluap-luap dalam hal seks. Kebutuhannya akan belaian kasih sayang dan tak terpenuhinya kebutuhan seks dari suaminya membuatnya nekad melakukan rencana gila yang hanya diketahui olehnya dan seorang pembantu setianya.

Demi memenuhi hasrat seksnya yang berlebih ia membangun sebuah kamar rahasia dalam villanya. Kamar yang dibangun dengan cucuran keringat, darah dan tebusan nyawa kaum rodi penjara. Di kamar itulah ia melampiaskan gairah seksnya bersama pria-pria muda sambil diksaksikan oleh pembantu setianya. Ketika petualangan seksnya ini dipergoki oleh Robert, ia lalu menembak istrinya beserta kedua lelaki yang sedang menggaulinya. Robert sendiri akhirnya terperangkap di dalam kamar rahasia itu bersama tiga mayat yang dibunuhnya.

Kamar Rahasia dan apa yang telah terjadi di dalamnya tetap tersembunyi dan menjadi misteri seiring berjalannya waktu hingga akhirnya di masa kini sekelompok anak muda dari Jakarta menyewa villa ini untuk berlibur. Kegembiraan mereka terusik ketika seorang dari mereka tiba-tiba menghilang dan ditemukan tewas terhimpit karang pantai Popoh. Situasi semakin mencekam karena kemudian tiga orang dari mereka turut menghilang tertelan oleh keangkeran dan kemisteriusan villa Van Der Sneijer

Kisah di atas merupakan novel thriller yang berjudul Elle Eleanor yang ditulis oleh Zev Zanzad, nama pena dari dua orang penulisnya yaitu Zeventina Octaviani B, dan Ferry H. Zanzad. Hal ini menjadi unik dalam karena dalam ranah buku-buku non fiksi, buku yang ditulis oleh dua orang adalah hal yang lazim, namun untuk buku fiksi rasanya baru kali ini terjadi di Indonesia.

Proses kreatifnya pun unik karena ketika novel ini dibuat, kedua penulis terpisahkan oleh jarak antar benua, Zeventina di Ulm, Jerman sedangkan Ferry di Surabaya. Mereka belum pernah sekalipun bertemu secara fisik dan mencoba menyatukan imajinasi mereka hanya lewat media cyber. Barulah ketika sehari sebelum novel ini diluncurkan pada Juli lalu mereka akhirnya bertemu untuk pertama kalinya.

Hal yang patut diacungi jempol adalah walau ditulis oleh dua orang namun kita tak akan melihat adanya perbedaan. Karakteristik dari masing-masing penulis yang sebenarnya berbeda (Zev dengan gaya ceria dan metro sementara Ferry lebih cenderung pada gaya tradisional dan gelap) tak terlihat lagi, melainkan telah melebur menjadi satu seolah novel ini ditulis oleh satu orang saja.

Dari segi pemilihan setting dan latar kisah yang disajikan oleh dua penulis ini juga bisa dibilang menarik. Setting pantai Popoh – Kediri dan kemisteriusan laut pantai selatan bisa dibilang jarang disentuh oleh penulis-penulis lain. Dari segi waktu, pembaca juga akan diajak memasuki era zaman kolonial di tahun 30-an hingga masa pasca kependudukan Jepang sebelum secara tiba-tiba masuk ke masa kini dimana terror di villa Van Der Sneijer berlangsung.

Karakter tokoh-tokohnya juga menarik, selain karakter Eleanor seperti yang diungkap di atas, ia juga ternyata penderita nymphomania (tak puas dengan satu lelaki, tetapi bukan pelacur) dan hal ini akan dipertemukan dengan kegilaan pembantu setianya Sasto Pencor yang yang menderita svaptophilla (senang meilhat orang lain bersetubuh).

Dengan hadirnya karakter kegilaan seks seperti Eleanor ini tentunya deskripsi seks yang tak wajar menjadi tak terhindarkan dalam novel ini. Namun walau diwarnai oleh beberapa adegan kegilaan seks Eleanor penulis mendeskripsikannya dalam porsi yang pas dan santun sehingga tak terkesan vulgar sehingga novel ini tidak menjadi novel kontorversial karena unsur seksnya.

Selain Eleanor, tokoh-tokoh lainnyapun ikut memberi warna dalam novel ini, ada tokoh Johan, pemilik vila di masa kini yang dingin dan menyimpan misteri, para pembatu villa yang memegang teguh tradisi dan memiliki pengabidan total pada tuannya. Lalu para anak muda yang datang berlibur ke vila yang beberapa dari mereka menyimpan konflik diantara mereka, salah satunya adalah Elle yang memiliki wajah dan postur tubuh yang sangat mirip dengan Eleanor. Kemudian ada pula sosok misterius pria pincang yang menebar teror kepada pengunjung villa. Semua tokoh-tokoh itulah yang mengisi kisah thriller yang menarik untuk disimak.

Seperti umumnya sebuah novel thriller, plot kisah novel ini melaju dengan cepat, tak jarang dalam satu setting waktu, penulis menghadirkan beberapa peristiwa yang terjadi di tempat yang berlainan secara bergantian sehingga kita bisa mengetahui apa yang terjadi dengan tokoh-tokoh lain dalam waktu yang bersamaan. Penulis juga piawai dalam menjaga ritme kisahnya yang meruapkan aroma kemisteriusan vila sehingga pembaca akan betah mengunyah novel setebal 454 halaman ini dan membangkitkan rasa penasaran untuk mengetahui akhir dari kisahnya.

Hal yang tampaknya kurang dalam novel ini adalah karakter Elle sendiri, karena novel ini berjudul Elle Elenaor sudah selayaknya tokoh Elle mendapat porsi yang sama dengan Ellenaor. Sepanjang novel ini ruh karakter Elleanor melekat dengan kuat, sedangkan eksplorasi karakter Elle sendiri saya rasa kurang ‘nendang’ karena yang ditonjolkan hanyalah wajahnya yang sangat mirip dengan Eleanor.

Unsur kejutan dalam novel ini saya rasa tak terlalu kentara, di tiga perempat terakhir novel ini pembaca mulai bisa menebak siapa sebenarnya pelaku pembunuhan di villa Van Der Sneijer beserta motifnya. Andai saja di bagian-bagian akhir penulis bisa memberikan fakta baru yang di luar dugaan pembacanya saya rasa novel ini akan lebih menarik lagi.

Selain itu pembaca yang teliti mungkin akan menemukan beberapa hal yang tampaknya luput dari pengamatan editor novel ini, seperti salah ketik, salah menuliskan nama tokoh, salah menampilkan bentuk font, dan ada beberapa hal yang sedikit menganggu logika yang seharusnya semua hal tersebut bisa terkoreksi saat novel ini berada dalam genggaman editornya.

Namun terlepas dari hal di atas, secara umum novel ini merupakan novel yang menarik karena memadukan kisah thriller dengan berbagai unsure seperti sejarah, seks, romansa, psikologis, benturan tradisi kuno dengan rasionalitas dan keanehan perilaku manusia.

Novel ini juga seolah memberikan pesan kepada pembacanya bahwa kegilaan yang tak disembuhkan akan melahirkan kegilaan. Dalam kisah ini kegilaan Eleanor kelak akan diwariskan oleh penerusnya. Mungkin ini merupakan pesan moral bagi kita dalam mendidik anak-anak kita. Mungkin kita tak segila Eleanor, tapi bukankah tiap manusia memiliki sisi gelap dan kegilaan dalam kadar tertentu ? Akankah kita mewariskan sisi gelap dan kegilaan kita pada anak-anak kita?

@h_tanzil

Tuesday 18 August 2009

Gaul Jadul - Biar Memble Asal Kece

Judul : Gaul Jadul - Biar Memble Asal Kece
Penulis : Q Baihaqi
Penerbit : Gagas Media
Cetakan I, 2009
Tebal : 277 hlm

“Zona 80… masih ada! “, Demikian slogan yang selalu diteriakkan para penonton pada acara zona 80, sebuah program musik plus talkshow di Metro TV yang mencoba mengangkat kembali berbagai musik, penyanyi, gaya hidup, trend, sampai peristiwa-peristiwa yang populer di era 80an. Seperti slogan di atas, walau telah dua dekade terlalui , era 80an masih ada dalam kenangan kita, berbagai peristiwa dan gaya hidup 80an selalu menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan dan dimunculkan kembali dalam berbagai bentuk.

Selain acara TV Zona 80 yang hingga kini masih terus ditayangkan dan digemari oleh penontonnya, di stasiun TV yang sama kini muncul acara “Legendary Album” yang memutar kembali video klip lagu-lagu yang pernah jaya di era 80an. Selain dalam bentuk acara TV, era 80an juga dikenang dalam berbagai cara. Dalam ranah musik tanah air tentunya kita masih ingat group music Club Eighties yang mencoba mempopulerkan kembali langgam gaya tahun 80-an, sayang group ini kini lama tak muncul di panggung musik.

Di ruang cyber, pada tahun 2005 dibuatlah blog lapanpuluhan (http://lapanpuluhan.blogspot.com) yang mencoba memunculkan kembali berbagai peristiwa dan gaya hidup 80an. Blog ini mendapat respon yang sangat baik dari pembacanya, per-harinya blog ini di’klik’ sebanyak 250-500 kali!. Blog ini pula yang mendorong lahirnya sebuah milis di tahun 2006 yang diberi nama milis ‘lapanpuluhan’ yang hingga kini masih eksis dan telah beranggotakan 3861 member.

Kepopuleran blog dan milis 80an dan antusiasme masyarakat akan era 80 an inilah yang akhirnya menarik minat penerbit Gagas Media untuk membukukan tulisan-tulisan yang ada di blog tersebut sehingga terbitlah sebuah buku yang mengangkat berbagai fenomena 80an yang diberinya judul “Gaul Jadul – Biar Memble asal Kece.

Buku Gaul jadul ini dibagi dalam 6 bagian besar berdasarkan kategorinya yaitu : Serial TV, Musik, Dunia Anak-anak, Film, Buku dan Majalah, dan Sukseskan. Masing-masing bab terdiri dari 2 hingga 5 tulisan, sehingga buku setebal 277 halaman ini berisi 19 tulisan plus 6 tulisan pengantar antar bab yang membahas berbagai icon dan gaya hidup 80an.

Di bagian serial TV pembaca akan diajak mengenang film seri TV buatan lokal dan luar negeri yang ditayangkan TVRI di era 80an yaitu drama seri Rumah Masa Depan, Little House on The Praire, The A Team, Isaura, dan Little Missy. Di bagian musik kita diajak untuk melantunkan kembali Madu dan Racun, Kokoro No Tomo, dan mengenal artis-artis JK Records. Berbagai jenis permainan dan jajanan era 80an seperti Game Watch, Kwartet, permen Chelsea, Cocorico, dan lain-lain hadir kembali dalam imajinasi kita ketika kita membaca bagian Dunia Anak-anak di buku ini.

Di bagian film, dibahas mengenai FFI, film-film horror yang dibintangi Suzanna, film Nagabonar, dan film Catatan si Boy yang merupakan icon anak muda 80an. Bagi para kutu buku, buku-buku Lima Sekawan dan Trio Detektif tentunya merupakan bacaan wajib yang tak boleh terlewatkan. Dan di bagian akhir, buku ini juga membahas mengenai program pemerintah di tahun 80an yaitu wajib belajar dan senam SKJ yang musik pengiringnya masih terngiang-ngiang sampai sekarang.

Sama seperti yang tersaji dalam blog-nya, kesemua tulisan di atas tersaji dengan gaya yang nyantai dan diselingi juga dengan celetukan-celetukan lucu dari penulisnya sehingga membuat kita tertawa-tertawa seolah sedang ngobrol santai dengan seorang teman mengenai fenomena 80an. Hal ini pula yang membuat pembaca betah melahap semua tulisan yang ada dalam buku ini dalam sekali duduk saja. Namun walau terkesan nyantai, bahasan dalam buku ini bisa dibilang cukup lengkap dan detail. Tampaknya penulis tidak asal menulis berdasarkan memori semata melainkan melakukan riset yang cukup memadai sebelum membuat tulisan-tulisannnya.

Ketika membahas mengenai film, penulis mengurai lengkap dengan beberapa synopsis, dan keterangan tentang pemain-pemainnya. Ketika membahas mengenai FFI tersaji daftar lengkap susunan pemenang dari tahun 1980-1991 termasuk rekapnya seperti artis-aktor yang pernah mendapat dua piala citra, film-film yang nyaris menyapu bersih piala Citra, dan beberapa keunikan-keunikan lainnya. Di bagian musik ada juga teks lengkap beberapa lagu, sedangkan di bagian akhir buku ini ada pula gambar dan deskripsi gerakan SKJ.

Selain mengaduk-ngaduk kenangan kita akan era 80an, sebagian pembaca juga mungkin akan menemukan hal-hal yang baru diketahuinya , misalnya lagu Madu dan Racun itu sebetulnya diciptakan dan pertama kali dipopulerkan pada tahun 1975-an oleh Vocal Group Prambors dengan judul “Bingung”. Lagu yang diciptakan oleh Sidosa ini lalu dipopulerkan kembali dengan judul baru (Madu & Racun) yang dinyanyikan oleh pengarangnya yang berganti nama menjadi Arie Wibowo bersama groupnya Bill & Board.

Selain itu mungkin tak banyak yang menyadari bahwa seri Trio Detektif itu bukanlah karya sutradara besar Hollywood yang piawai membesut kisah-kisah misteri, Alfred Hitcock. Walau dalam setiap cover bukunya selalu menampilkan logo dan nama Alfred Hircock, namun ia hanya menjadi cameo diseri novel detektif tersebut, sedangkan nama penulisnya yang secara bergantian ditulis oleh empat orang pengarang hanya tertera di halaman dalam novel-novelnya.

Masih banyak hal-hal menarik yang mengaduk-ngaduk kenangan era 80an di buku ini. Lalu apakah semuai isi di buku ini sama dengan apa yang ada di blog lapanpuluhan? Karena media blog dan buku merupakan hal yang berbeda, maka tentunya tak semua tulisan dan materi yang ada dalam buku ini sama persis dengan apa yang ada dalam blog. Tentunya apa yang dalam buku lebih lengkap dan detail dibanding di blog. Bahkan ada beberapa tulisan baru yang tidak akan ditemui di blognya.

Selain itu buku ini juga hanya memuat tulisan-tulisan yang dibuat oleh salah satu kontributor sekaligus pendiri blog ini yaitu Baihaqi. Jadi memang tak semua tulisan di blog lapanpuluhan akan muncul di buku ini seperti serial si Unyil, Oshin, trend fashion, sandiwara radio, dll. Pertanyaan yang mungkin akan muncul di benak pembaca buku ini yang juga pengunjung blognya adalah : “Kenapa buku ini hanya memuat tulisan-tulisan Baihaqi saja ?”. Sayangnya di buku ini baik penulis maupun penerbit tak memberikan keterangan yang memadai atas pertanyaan ini.

Yang juga patut disayangkan dalam buku ini adalah minimnya penyajian foto-foto, padahal dengan semakin banyaknya foto maka memori pembaca akan lebih tergali lagi. Selain itu buku ini juga tak menyertakan “Kata Pengantar” seperti lazimnya yang terdapat dalam buku-buku kumpulan tulisan. Padahal dalam kata pengantar penulis atau penerbit bisa menjelaskan ‘sejarah’ terbitnya buku ini, darimana sumber tulisannya, mengapa ada beberapa icon 80an yang tidak muncul dalam buku ini, dan lainnya. Semua itu tak dijelaskan sedikitpun dalam buku ini, sehingga pembaca yang tidak mengetahui blog lapanpuluhan tak akan mengetahui kalau buku ini bersumber dari blog tersebut.

Alangkah baiknya juga jika dalam buku ini ada kata pengantar yang ditulis oleh salah satu tokoh 80an atau pengamat kebudayaan yang gaul yang bisa memberikan sedikit tambahan wawasan pada pembacanya mengenai fenomena 80an secara ringan dan nyantai. Sayang semua itu tak ada dalam buku ini.

Terlepas dari hal di atas, buku ini sangat menarik untuk membuka kembali album lama kita di era 80an. Tidak hanya sekedar untuk bernostalgia, tentunya ada banyak hal-hal positif yang bisa diambil dalam buku ini. Dan yang harus diingat, mungkin saja buku ini merupakan satu-satunya buku non fiksi yang membahas berbagai fenomena era 80an di Indonesia secara khusus. Yang pasti, buku ini sangat berjasa karena telah mendokumentasikan dan mengabadikan berbagai hal yang pernah menjadi trend, icon, kebijakan pemerintah, yang pernah terjadi di era 80an.

@h_tanzil

Saturday 8 August 2009

Dream From My Father : Pergulatan Hidup Obama

Judul : Dream From My Father - Pergulatan Hidup Obama
Penulis : Barack Obama
Penerjemah : Miftahul Janah, dkk
Penerbit : Mizan Pustaka
Cetakan : I, Mei 2009
Tebal : 493 hlm

Gegap gempita terpilihnya Barack Obama sebagai presiden Amerika Serikat ke 44 sudah berakhir, namun hingga kini kisah kehidupan Barack Obama tetap diminati oleh banyak orang. Latar belakang keluarganya yang berasal dari Afrika, dan perjuangan Obama meraih impiannya untuk menjadi orang nomor satu di sebuah negara adidaya yang dalam kultur dan sejarahnya telah mengesampingkan kaum minoritas kulit hitam menjadi kisah yang mampu menginspirasi banyak orang.

Obama tak hanya menginpirasi dan menjadi tumpuan harapan warga kulit hitam di negara asalnya, spirit perjuangan Obama meluber melampaui batas-batas negara. Tak hanya Amerika yang bangga, kemenangannya juga dirayakan di kampung halamannya di Kenya, Afika ikut berpesta, Asia dan negara-negara di Timur Tengah ikut lega. Rakyat Indonesia yang memiliki kedekatan emosional dengan Obama pun ikut terharu karena setidaknya Jakarta, khususnya kawasan Menteng pernah ikut membentuk kepribadian Obama hingga ia menjadi seperti sekarang ini.

Nama Obama kini tercatat dalam sejarah sebagai Presiden Amerika pertama yang berasal dari kalangan kulit berwarna. Ia kini telah mencapai puncak tertinggi dalam karier politiknya. Namun tak banyak yang tahu bagaimana proses yang harus dilalui oleh Obama hingga ia menjadi seorang tokoh yang besar dan berpengaruh seperti saat ini. Melalui buku The Dream From My Father inilah semua perjuangan Obama semenjak kecil hingga ia memulai kariernya di bidang politik akan terpapar dengan jujur, gamblang, dan apa adanya.

Dalam The Dream From My Father Obama membagi kisah hidupannya dalam tiga bagian besar berdasarkan wilayah geografis dimana ia dibesarkan. Bagian Satu : Asal Usul menuturkan kehidupan Obama kecil di Indonesia, masa remajanya Hawai, Los Angeles hingga New York. Bagian Dua : Chicago, tentang embrio politiknya sebagai pekerja sosial di Chicago, dan Bagian Tiga : Kenya, mengenai perjalanan Omaba ketika menyusuri akar keluarganya di kampung halamannya di Kenya.

Ketiga bagian tersebut ditulis dengan runut dan detail. Di bagian pertama ada sebuah bab yang diberinya judul : Indonesia. Kenangan akan Indonesia tampak begitu melekat di hatinya, sayangnya hal yang paling diingatnya adalah pandangannya bahwa Indonesia adalah negara miskin. Di sekujur buku ini Obama kerap menyinggung Indonesia sebagai perbandingan ketika ia melihat berbagai kemiskinan di sekelilingnya.

Di bagian ini juga Obama mengungkapkan kehidupan masa kecilnya di Jakarta. Dibutuhkan 20 halaman bagi Obama untuk medeskripsikan pengalaman masa kecilnya bersama ayah tirinya Lolo Soentoro dan ibu kandungnya Ann Dunham. Kesehariannya bersama ayah tirinya terekam dengan kuat dan diakuinya bahwa ayah tirinya sedikit banyak telah memasukkan nilai-nilai kehidupan yang tak terlupakan hingga kini.

Figur ibu kandungnya yang sangat mempedulikan pendidikan dan masa depan anaknya juga terungkap dengan jelas, dikisahkan bahwa selama di Indonesia ibunya selalu membangunkan dan mengajari Barry (nama kecil Obama) pada dini hari jam 4 pagi agar Obama dapat menyesuaikan dengan pelajaran di sekolah Amerika jika kelak mereka kembali ke Amerika.

Seperti kebanyakan anak-anak Jakarta lainnya, Barry melewati tiga tahun masa kanak-kanaknya dengan bersekolah, lalu bermain sepanjang siang hingga malam, menerbangkan layang-layang, menangkap jangkrik, dll bersama anak petani, nelayan, hingga anak birokrat rendahan. Setelah menikmati keindahan masa kanak-kanak di Jakarta, Obama bersama ibu dan adiknya kembali ke Hawai. Di sana ia pula untuk pertama kalinya dan terakhir kalinya Obama bertemu dengan ayah kandungnya yang mengunjunginya hanya beberapa hari saja.

Di bagian kedua buku ini, dikisahkan masa remaja Obama yang dilaluinya di Hawai . Di sinilah ia mulai menyadari bahwa menjadi remaja berkulit hitam adalah hal yang berat baginya karena saat itu rasialisme di AS masih sangat kental. Ia marah dan frustasi akibat diskriminasi terhadap orang-orang kulit hitam. Namun, Barry tak mampu menuangkan amarah tersebut karena ibu dan kakek-neneknya berkulit putih. Obama juga bingung dengan identitas dirinya, hal tersebut membuat Obama gelisah dan mempertanyakan jati dirinya. Sebagai pelarian ia mulai minum minuman keras, bahkan ganja pun pernah dinikmatinya.

Untungnya berkat dorongan ibunya, Obama juga berhasil melewati masa-masa frustasi dan pencarian jati dirinya, walau sempat putus asa dan berniat berhenti sekolah ia melanjutkan sekolahnya hingga tamat dan berhasil mendapat pekerjaan yang cukup mapan di pasar saham Wall Street, New York. Namun semua itu kelak ia tinggalkan dan memilih untuk menjadi community organizer alias aktifis penggalang masyarakat di Chicago. Inilah awal karier politiknya.

Melalui pekerjaannya inilah ia mulai mengenal akar permasalahan yang dialami oleh kalangan bawah dari kulit berwarna. Dan disini pulalah semua pengalaman berpolitik Obama dan semangat perubahan yg diusung Obama hingga ke puncak kampanye Presiden berawal . Ia datangi rumah warga satu-persatu untuk mendengar masalah mereka mulai dari selokan mampat, ledeng air tak menetes, membuka lowongan pekerjaan , hingga menggalang masyarakat untuk mendemo wali kota agar mau membongkar asbes di apartemen yang diketahui terbuat dari bahan yang dapat mengganggu kesehatan mereka. Sepak terjangnya di Chicago akhirnya harus berakhir ketika akhirnya ia diterima sebagai mahasiswa di Harvard Law School.

Di bagian ketiga, dikisahkan perjalanan Obama ke tanah kelahiran ayahnya di Kenya – Afika sebelum ia masuk kuliah di Harvard. Perjalanannya ini merupakan upaya Obama untuk mencari akar keluarga dan budayanya di Afrika, Di sinilah Obama bertemu dengan adik-adik tirinya dan neneknya. Melalui mereka Obama mencoba mengenal lebih dalam tentang keluarga besar ayahnya dan bagaimana perjuangan ayahnya dari seorang anak miskin kulit hitam dari desa terpencil di Kenya yang berhasil mengejar ilmu sampai ke Amerika. Di tanah leluhurnya inilah Obama merasa menemukan kembali impian yang diwariskan ayahnya baik yang telah diraih maupun yang belum tercapai oleh ayahnya.

Buku yang merekam perjalanan hidup Obama sejak kecil hingga perjalanannya ke Kenya ini ditulis jauh sebelum Obama terpilih menjadi Presiden AS ke 44, buku yang berjudul asli Dreams from My Father: A Story of Race and Inheritance ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1995 selepas pelantikan Obama sebagai presiden kulit hitam pertama Harvard Law of Review. Seiring popularitasnya yang kian bersinar di kancah politik, dan menyusul pidatonya yang terkenal saat Konvensi Partai Demokrat pada tahun 2004 saat Obama terpilih sebagai senator , maka buku ini dirilis ulang dengan kata pengantar tambahan dari Obama untuk edisinya kali ini .

Secara umum buku ini memang menarik dan menginspirasi pembacanya dalam hal kekuatan impian, harapan, cita-cita, persaudaraan, serta toleransi yang nyata. Bagi pembaca Indonesia tentunya bagian yang paling menarik adalah bab mengenai masa kecil Obama di Indonesia, sedangkan bagian yang agak membosankan adalah ketika Obama mengisahkan sepak terjangnya ketika menjadi aktifis penggalang masyarakat di Chicago.

Sama seperti di bagian-bagian lain, di bab ini Obama menuturkan pengalamannya secara rinci namun karena mungkin permasalahan agak berbeda dengan kondisi kita dan minimnya pengetahuan saya akan kondisi sosial di Chicago, maka bab ini terasa membosankan. Barulah ketika Obama mengisahkan perjalanannya ke Kenya, buku ini menjadi menarik lagi. Satu hal yang juga dapat mengurangi kenikmatan membaca buku ini adalah minimnya Obama menyebutkan angka tahun sehingga pembaca akan kehilangan oreintasi waktu dari kisah yang diceritakannya.

Terlepas dari hal diatas, di memoarnya ini Obama menulis dengan sangat baik, ingatannya yang kuat membuat buku ini kaya akan detail, ia juga tampak piawai dalam mendeskripsikan semua pengalamannya hingga membuat pembaca seolah ikut merasakan apa yang dialami Obama. Hal ini pula yang dipuji oleh nobelis sastra Toni Morison yang mengatakan bahwa buku ini adalah, “ Buku yang luar biasa dan unik”, sedangkan kolumnis Time, John Klein mengungkapkan bahwa buku ini merupakan, "Salah satu memoar terbaik yang pernah ditulis politikus Amerika." Pendapat mereka tak berlebihan karena buku ini menjadi buku bestseller versi New York Times, selain itu buku ini juga meraih British Book Award 2009 kategori Bigorafi Terbaik.

Bersyukur, kini terjemahan buku The Dream from my Father ini telah hadir di Indonesia. Semoga buku ini dapat menjadi buku inspiratif yang menggambarkan kekuatan impian, harapan, cita-cita, persaudaraan, dan toleransi. Melalui buku juga ini kita akan mengenal bagaimana kaum minoritas AS dalam menyikapi hidupnya dan berjuang untuk melawan ketidakadilan, hal yang relevan bagi kita yang hidup dalam masyarakat yang multikultural.

Dan terakhir, semoga buku ini juga ikut menginspirasi para politisi kita dari kalangan minoritas bahwa merekapun kelak bisa memimpin negara ini. Mungkinkah ? Obama telah membuktikan bahwa ia yang berasal dari kaum minoritas bisa menjadi pemimpin yang dapat dipercaya oleh rakyatnya.

@h_tanzil

Saturday 25 July 2009

Tintin dan Picaros

Judul : Tintin dan Picaros
Penulis : Herge
Penerjemah : Anastasia Mustika W
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Februari 2009
Tebal : 62 hlm

Dalam petualangan Tintin kali ini dikisahkan bahwa sahabatnya, Bianca Castafiore dan detektif kembar Dupont dan Dupon ditawan oleh Jenderal Tapioka saat mereka melakukan tur pertunjukan di San Theodoros Amerika Selatan. Mereka dimasukkan dalam penjara atas tuduhan ingin melakukan makar terhadap pemerintahan yang sah.

Mendengar hal tersebut, Kapten Handdock berencana menyelamatkan Castariofe, awalnya Tintin menolak ikut berangkat karena curiga bahwa ini adalah sebuah jebakan dari pemerintahan Jenderal Tapioka yang dalam pengumuman resminya menyebut nama Tintin dan kawan-kawannya sebagai kelompok yang berkerjasama dengan Jenderal Alcazar untuk menggulingkan pemerintahan Jenderal Tapioka.

Setelah Kapten Haddcok dan Prof. Lakmus berangkat, tak lama kemudian Tintin pun pergi menyusul ke San Theodoros. Awalnya mereka mendapat sambutan hangat dari Jenderal Tapioka, mereka disediakan rumah yang nyaman namun akhirnya mereka sadar bahwa rumah itu adalah penjara bagi mereka. Untunglah ketika mereka berkunjung ke sebuah Piramid mereka berhasil meloloskan diri ke hutan dan saat itulah Tintin dan kawan-kawannya bertemu dengan Jenderal Alcatraz yang bersama pasukan Picarosnya sedang bersembunyi dan menyusun kekuatan untuk menyerang Jenderal Tapioka.

Setelah lolos dari kejaran tentara Tapioka, Tintin dan Alcatraz berencana untuk membebaskan Castafiore dan sekaligus menggulingkan pemerintahan diktator Jenderal Tapioka. Sayangnya pasukan Picaros yang dikomandoi oleh Jenderal Alcatraz secara mental dan disiplin telah dirusak oleh minuman berarkohol yang sengaja dipasok oleh Jenderal Tapioka untuk menghancurkan pasukan Picaros.

Banyak orang beranggapan bahwa dalam Tintin dan Picaros negara San Theodoros adalah sebuah versi satire dari sebuah negara di Amerika Selatan yang berada dibawah kekuasaan militer dimana kudeta militer terjadi silih berganti . Kerapnya revolusi yang terjadi di negara tersebut membuat eksekusi massal dengan hukuman tembak setelah sebuah revolusi adalah sebuah tradisi.

Herge dengan jeli memasukkan tradisi tersebut dalam karyanya kali ini. Dan sikap Herge dalam tradisi miltier ini terwakili dengan jelas oleh sikap dan pandangan Tintin. Ketika Acazar berencana untuk menembak mati Jenderal Tapioka jika pasukannya berhasil menggulingkan pemerintan Tapioka. Tintin segera menolak rencana itu, untungnya ia memiliki posisi tawar yang baik dimana ia berjanji akan menyembuhkan kebiasaan pasukan Picaros dari mabuk-mabukan menjadi pasukan yang disiplin asal Alcazar berjanji untuk tidak menembak mati Jenderal Tapioka jika mereka berhasil menggulingkannya.

Alcazar tak punya pilihan dan menyetujuinya karena ia sendiri menyadari tak mungkin memimpin pasukannya ke San Theodoros jika pasukannya masih dalam keadaan mabuk-mabukan seperti saat ini. Tintin sendiri berani menjanjikan hal itu karena Prof. Lakmus telah menemukan pil yang dapat membuat seseorang tak lagi menyukai minuman berarkohol. Dengan demikian Tintin berhasil mendobrak tradisi militer yang telah mendarah daging di kalangan militer San Theodoros.

Dalam buku ini Herge juga melakukan kritik sosial yang tajam, antara lain gambaran keadaan rakyat selama diperintah Jenderal Tapioka dan setelah Jenderal Alcazar merebut kekuasaan. Jika kita mencermati panel gambar di halaman 11 dan halaman 62 akan terlihat jelas bahwa siapapun yang memimpin Negara tersebut, keadaan rakyat San Theodoros yang miskin tetap tidak berubah. Hal ini menyiratkan bahwa penguasa boleh berganti namun jika pergantian rezim dimaksudkan hanya untuk meraih jabatan dan kekuasaan semata, maka rakyat tetap saja menderita.













Petualangan Tintin dan Picaros merupakan kisah petualangan Tintin terakhir yang sempat dirampungkan Herge sebelum ia wafat. Penulisan seri terakhir ini mungkin merupakan hal yang berat bagi Herge karena saat itu kesehatannya semakin memburuk. Kabarnya Herge mendapat ilham untuk menulis Tintin dan Picaros dari perjuangan Fidel Castro di Cuba.

Herge mulai mengerjakan PICAROS tahun 1973 dan selesai tiga tahun berikutnya. Seperti telah menjadi kebiasaannya untuk menggunakan referensi dari berbagai tempat di berbagai belahan dunia sebagai setting kisahnya, dalam Picaros ia terinpirasi oleh Piramid Maya suku Aztek, suku Indian Brazil Harik dan perkampungan Indian Venezuela .

@h_tanzil

Monday 13 July 2009

The Gargoyle

Judul Buku : The Gargoyle
Penulis : Andrew Davidson
Penerjemah: Ary Nilandary
Penerbit : Penerbit Kantera
ISBN: 978-979-1924-0-1-6
Cetakan : I, Juni 2009

Seorang Porn Star yang sedang berada dalam puncak kariernya mengalami kecelakaan lalu lintas, mobilnya masuk jurang dan terbakar. Untungnya, walau tepanggang bersama mobilnya dan api membakar kulit, daging, hingga menembus masuk ke tulang dan tendon, nyawanya berhasil diselamatkan.

Setelah melewati masa kritis dan koma selama dua bulan, akhirnya ia sadar. Namun ia harus menanggung akibat dari luka bakar di sekujur tubuhnya. Wajah tampan dan tubuh atletis yang merupakan modal utamanya sebagai aktor film porno hilang sudah, berganti dengan wajah yang rusak, dan tubuh yang penuh parut luka permanen yang tak mungkin bisa hilang. Selain harus kehilangan beberapa jari tangan dan kakinya, ia juga ia harus rela kehilangan penis kebanggaanya yang terbakar habis. Dokter yang menyelamatkan nyawanya tak berhasil mempertahankan kemaluannya yang telah hangus garing menyerupai sumbu terbakar.

Semuanya itu membuat harga dirinya hancur. Kariernya sebagai seorang aktor dan produser film porno tamat sudah. Karenanya saat ia melewati berbagai terapi pemulihan dan aneka operasi yang menyakitkan, diam-diam ia berencana untuk melakukan bunuh diri setelah keluar dari rumah sakit.

Ditengah dorongan untuk mengakhiri hidupnya itulah datang seorang wanita bernama Marianne Engel, seorang pematung Gargoyle (patung monster yg biasanya berfungsi sebagai talang air di bangunan-bangunan kuno) yang pada saat itu sedang dirawat di rumah sakit yang sama karena menderita schizofernia. Wanita itu mengaku telah mengenalnya sejak tujuh ratus tahun silam. Ia menghampiri pria itu dan berkata: “Kau telah terbakar lagi.”

Selama pria itu dirawat di rumah sakit Mariana Engel kerap mengunjunginya dan sedikit demi sedikit menceritakan kisah cinta mereka di masa lalu. Ia mengungkapkan bahwa mereka sebenarnya telah hidup dalam ikatan cinta selama ratusan tahun yang lalu. Di kehidupan masa lalunya, di abad ke 14, Mariana Engel adalah seorang biarawati yang bertugas menyalin dan menerjemahkan buku di skiptorium biara Engethal, sementara si aktor porno adalah seorang tentara bayaran. Mereka bertemu ketika si pria yang terluka dan terbakar akibat panah berapi yang menancap di tubuhnya dibawa oleh temannya ke biara Engethal untuk mendapat perawatan.

Sama seperti di kehidupan masa lalunya, Mariana Engel kini merawat si pria hingga sembuh. Seluruh biaya rumah sakit ditanggungnya dan selepas dari rumah sakit, ia mengajak si pria untuk tinggal di rumahnya. Selama mereka hidup bersama, Mariana Engel tetap menceritakan berbagai pengalaman yang mereka lalui di kehidupan masa lalunya. Ia juga menceritakan berbagai dongeng cinta yang indah, menggugah, dan penuh pengorbanan pada si pria tersebut.

Di kehidupan masa lalunya, Marianne Engel pernah hampir terengut nyawanya untuk menyelamatkan si pria. Namun di tengah sakratul maut ia diberi kesempatan untuk tetap hidup dengan sebuah syarat. Ia diberi ribuan jantung yang harus dibagikannya sampai habis, sedangkan jantung terakhirnya harus diberikan pada kekasihnya di kehidupannya kelak.

Di kehidupannya kini, Mariana Engel memberikan jantung-jantungnya pada patung-patung gargoyle yang dikerjakannya. Ratusan patung telah dikerjakannya dan kini masanya telah hampir habis, kepada siapa ia akan memberikan jantung terakhirnya?

Melalui kisah cinta mereka di masa lalu, dan lima dongeng cinta yang menggugah yang diuturkan oleh Marianne Engel, membuat si pria mendapatkan kembali semangat hidupnya. Niatnya untuk melakukan bunuh diri sirna sudah. Pengorbanan Marianne Engel baik di kehidupan masa lalunya maupun masa kini yang merawat dan menerima dirinya yang telah cacat secara apa adanya membuat si pria terseret dalam arus pusaran cinta.

Benarkah Marianne Engel dan si pria sebenarnya telah hidup selama tujuh ratus tahun? Apakah ini hanya khayalan gila Marianne yang pernah dirawat karena schizofernia-nya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mungkin timbul dalam benak pembaca selama membaca novel gemuk yang memikat ini. Tampaknya penulis sengaja tak memberikan penjelasan gamblang atas hal tersebut dan membiarkannya menjadi misteri dan memberi keleluasaan bagi pembaca untuk menafsirkannya dan mengembangkan imajinasinya sendiri.

Dengan memikat penulis mengajak pembacanya untuk berkelana melintasi waktu, berpindah-pindah dari dari abad pertengahan dan masa kini. Mengunjungi berbagai nergara seperti Jerman, Jepang, Italia, Islandia, Inggris, dan yang paling menarik adalah perjalanan menuju Neraka seperti yang digambarkan Dante Alighieri dalam Inferno.
Novel ini juga memadukan kisah cinta yang penuh pengorbanan dengan penggalan sejarah, filsafat, dan kehidupan biarawati lengkap dengan skiptoriumnya. Lalu disinggung pula mengenai sejarah reproduksi Alkitab dalam bahasa Jerman, sejarah penerbitan dan penerjemahan karya monumental Divine Comedy – Dante Alighieri.

Semua hal itu membuktikan bahwa novel ini dikerjakan dengan riset yang sangat dalam. Beberapa tokoh abad pertengahan dan beberapa peristiwa yang menyertainya memang benar-benar ada dan terjadi. Selain itu pembaca juga mendapat bonus pengetahuan mengenai luka bakar dan penanganan medisnya. Berbagai materi tersebut membuat novel ini sangat berpotensi untuk menambah wawasan pembacanya.

Penulis juga dengan piawai menghidupkan karakter kedua tokoh utama dalam novel ini dengan menarik. Baik Marianne Engel maupun si pria mendapat porsi yang sama dalam pendalaman karakter. Dengan sabar dan rinci penulis mendeskripsikan latar belakang kedua tokoh ini sejak kecil hingga kini lengkap dengan pergulatan batin yang mereka hadapi. Semuanya ini membuat pembaca memperoleh gambaran utuh mengenai tokoh dan kisah yang dibangun dalam novel ini.

Ragamnya aspek materi, cerita, serta lompatan-lompatan waktu dari masa lalu ke masa kini tentunya membuat pembaca harus sedikit lebih konsentrasi dalam membaca novel ini, belum lagi ditambah dengan selipan beberapa dongeng mengenai cinta sejati yang dituturkan oleh Mariana Engel pada si pria. Untungnya perpindahan waktu, setting, dan kisahnya tersaji dengan rapih sehingga pembaca sadar ke waktu dan kisah mana mereka sedang berada.

Kisah cinta yang dahsyat, penggalan sejarah abad pertengahan, karakter tokoh yang menarik, dan unsur medis penanganan luka baker yang terdapat dalam novel ini diramu sedemikian rupa sehingga menghadirkan kisah yang menarik dan sulit untuk dilupakan. Tak heran jika novel perdana Andrew Davidson ini langsung meraih sukses ketika pertama kali diterbitkan di tahun 2007. Selain memperoleh penghargaan sebagai Fist Fiction Award 2008, novel ini juga masuk dalam beberapa daftar best seller seperti di New York Time Best Seller, Publisher Weekly Best Seller, Canadian Best Seller, dll. Akankah novel ini menuai sukses di Indonesia?

Terjemahan yang sangat baik, cover yang menarik dan promosi yang gencar tentunya diperlukan agar novel ini juga dapat terbaca oleh para pecinta sastra dan menjadi best seller di Indonesia. Nama Andrew Davidson mungkin masih terasa asing didengar oleh para pecinta novel fiksi di Indonesia karenanya sangat disayangkan pada edisi terjemahannya tak disertakan keterangan apapun mengenai penulisnya.

Tentang Penulis

Andrew Davidson (lahir, 12 april 1969) adalah penulis kelahiran Kanada lulusan University of British Columbia jusrusan Sastra Inggris, Ia pernah tinggal di Jepang dan bekerja sebagai guru dan penulis dari English lessons for Japanese Web sites. The Gargoyle adalah novel pertamanya yang ditulis dengan melakukan riset mendalam selama tujuh tahun lamanya. Novel ini pertama kali diterbitkan di Amerika oleh penerbit Doubleday pada tahun 2007, lalu menyusul oleh Random House di Canada, Canongate di Inggris, Text di Australia, dll, Kini Davidson tinggal di Winnipeg, Manitoba, Canada.

@h_tanzil

Wednesday 1 July 2009

Coraline

Judul : Coraline

Penulis : Neil Gaiman

Adaptasi & Ilustrasi : P. Craig Rusell

Alih Bahasa : Maya Aprillisa

Penerbit : m&c!

Cetakan : I, 2009

Tebal : 185 hlm

Genre : Novel Grafis



Novel grafis Coraline merupakan adaptasi dari novel horor fantasi Neil Gaiman dengan judul yang sama, ‘Coraline’. Novelnya sendiri terbit pada tahun 2002 dan berhasil meraih beberapa penghargaan yaitu Hugo Award for Best Novella 2002, Nebula Award for Best Novella 2003, dan Bram Stoker Award for Best Work for Young Readers 2002. Karenanya tak heran jika novel ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia. Di Indonesia sendiri sendiri novel Coraline telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2004 yang lalu.



Pada tahun 2008, Coraline diadaptasi menjadi novel grafis oleh P. Craig Rusell, pemenang Harvey and Eisner Awards yang merupakan penghargaan bergengsi di dunia komik. Coraline adalah kolaborasi kelimanya bersama Neil Gaiman. Seolah tak ingin dilupakan orang, kisah Coraline terus bergaung hingga kini, terbukti dengan diadaptasinya kisah ini kedalam stop-motion animation yang disutradarai oleh Henry Selick (sutradara The Nightmare Before Christmas) dan telah dirilis pada Febuari 2009 yang lalu.



Walau filmnya tidak diputar di bioskop-bioskop tanah air, penggemar karya-karya Neil Gaiman di Indonesia tetap terhibur dengan diterjemahkannya novel grafis Coraline kedalam bahasa Indonesia dengan kualitas cetak yang sangat baik serta dicetak di atas kertas mengkilap sehingga semua keindahan ilustrasi Craig Rusell tersaji secara sempurna.



Dikisahkan Coraline adalah anak tunggal dari sebuah keluarga yang baru saja pindah ke sebuah rumah tua yang besar. Saking besarnya, rumah itu dibagi menjadi beberapa flat. Coraline dan keluarganya menepati salah satu flat, sementara flat lainnya dihuni oleh dua mantan artis yang telah tua, yaitu Miss Forcible dan Miss Spink, sedangkan flat lainnya ditempati oleh Mister Bobo, seorang pelatih sirkus tikus.



Walau Coraline merupakan anak tunggal namun tak berarti ia mendapat perhatian yang penuh dari kedua orang tuanya. Ibu dan ayahnya terlalu sibuk dengan pekerjaanya masing-masing sehingga Coraline selalu merasa kesepian. Untuk mengusir rasa sepinya Coraline menyusuri seluruh ruangan yang ada di flatnya. Ketika memasuki ruang perjamuan yang hanya digunakan untuk acara-acara penting ia menemukan sebuah pintu yang terkunci. Ternyata saat dibuka, yang ada di balik pintu terkunci itu hanyalah tembok bata. Dahulu sebelum rumah itu dibagi menjadi beberapa flat, pintu itu tembus ke flat sebelah yang hingga kini masih dibiarkan kosong. Karenanya akses menuju flat sebelah ditutup dengan tembok batu-bata.



Beberapa hari kemudian, saat kedua orang tuanya tak ada di rumah, Coraline tergerak untuk membuka kembali pintu yang telah tertutup tembok itu. Anehnya ketika ia membuka pintu itu, tembok batu bata itu lenyap dan berubah menjadi sebuah koridor gelap. Rasa penasarannya membuat Coraline menyusuri koridor gelap itu dan sampailah ia ke sebuah ruangan yang persis sama dengan flatnya. Di situ juga ada ayah dan ibunya, hanya saja jari-jari tangan ibunya tampak lebih panjang dan mata mereka terbuat dari kancing hitam.



Caroline seolah masuk dalam dunia baru yang paralel dengan dunia nyata, hanya saja dunia di balik pintu ini ia melihat banyak keanehan seperti hewan yang bisa berbicara, Mrs Spink dan Foccible yang tampak terlihat lebih muda, buku gambar yang bisa bergerak, makanannya yang lebih enak, dll. Selain itu kedua orang tuanya ‘yang lain’ tampak lebih perhatian dibandingkan orang tua aslinya.



Awalnya memang semua terasa menakjubkan dan lebih menarik daripada dunianya sendiri. Namun Coraline menjadi curiga ketika kedua orang tua ‘yang lain’ terus membujuknya untuk tinggal dan menjadi anak mereka di sana, syaratnya Coraline harus mau dijahit matanya dengan kancing hitam seperti mereka. Coraline menolak dan ia bergegas kembali ke dunianya.



Namun setelah ia kembali ternyata orang tuanya lenyap. Yang ia temui hanyalah bayangan kedua orang tuanya dibalik cermin lemari yang seolah meminta pertolongan padanya. Saat itulah Coraline yakin bahwa kedua orang tuanya diculik oleh ayah ibunya ‘yang lain’, terperangkap dalam dunia di balik pintu flatnya. Karenanya Coraline kembali memasuki dunia di balik pintu untuk mengembalikan kedua orang tuanya ke dunia nyata.



Niat Coraline untuk membebaskan kedua orang tuanya segera diketahui oleh ibunya yang lain, karenanya mahluk itu menghukum Coraline dengan menyekapnya ke dalam sebuah lemari. Di situ Coraline bertemu dengan hantu 3 anak kecil dari masa lalu yang telah lama jiwanya disekap dalam lemari tersebut.



Setelah dibebaskan, Coraline membuat kesepakatan dengan ibunya yang lain bahwa jika ia berhasil menemukan kedua orang tuanya dan membebaskan jiwa tiga anak kecil yang tersekap, maka ibunya yang lain harus membebaskan kedua orang tua aslinya dan membawanya pulang ke tampat asalnya . Sebaliknya jika gagal, Coraline bersedia tinggal selamanya bersama ibunya yang lain di dunia di balik pintu flatnya, termasuk mengganti matanya dengan mata kancing.



Tantangan ini diterima oleh ibunya yang lain dan mulailah petualangan Caroline yang menegangkan untuk membebaskan jiwa ketiga anak yang telah lama mati, menemukan kedua orang tuanya, dan bersama-sama mereka kembali kepada kehidupan normalnya.



Kisah yang ditulis oleh Neil Gaiman ini tentu saja mengingatkan kita pada dunia Narnia (C.S Lewis) dimana terdapat dunia lain di balik sebuah pintu. Namun jika dunia Narnia merupakan dunia baru yang berbeda dengan dunia nyata, dunia dibalik pintu rumah Coraline adalah dunia yang sama persis dengan dunia nyata termasuk manusianya, hanya saja wujud mereka tampak lebih mengerikan dibanding aslinya.



Kisah yang ditulis Neil Gaiman dan ilustrasi yang dibuat Craig Russell memang menghadirkan sebuah kisah petualangan dengan nuansa yang suram . Walau sebagian besar panel-panel gambar dalam buku ini dihiasi ilustrasi yang indah dan didominasi sapuan warna-warna yang cerah namun ada banyak ilustrasi yang berpotensi untuk mencekam pembacanya seperti bayangan di cermin, wajah menakutkan, hantu, gambaran mimpi kelam, sumur tua, sepenggal tangan, dll. Untungnya tak ada darah dalam novel ini, karenanya kengerian yang ditampilkan oleh Gaiman dan Russel dalam buku ini masih dapat diterima sebagai bacaan remaja yang menghibur sekaligus mendidik.



Dibalik kisahnya yang suram dan mencekam memang ada pesan moral yang sangat baik bagi para remaja yang terkandung dalam kisah Coraline. Rasa tidak puas terhadap keluarga sendiri yang dialami oleh Coraline tentunya hal yang umum dirasakan oleh para remaja. Sama seperti yang diinginkan Caroline, kitapun selalu mendambakan bahwa semua hal yang kita inginkan bisa terlaksana, kita ingin hidup bebas sekehendak kita, tanpa larangan, tanpa batasan.



Dari peristiwa yang dialami Coraline, akhirnya ia sendiri menyadari bahwa kemudahan untuk memperoleh semua hal yang diinginkannya ternyata tak juga mengasyikan. Ketika ibunya yang lain membujuk Coraline untuk tinggal bersamanya dan dijanjikan akan mengabulkan semua keinginannya, ternyata Coraline yang telah menyadari kekeliruannya serta merta menolaknya.



Kau betul tidak paham, ya? Aku tidak mau semuanya terkabul. Tak ada yang mau begitu. Apa asyiknya kalau aku punya semua yang kuinginkan? Semudah itu, dan itu semua tidak berarti apa-apa. Sesudah itu apa ya?” (hal 133).



@h_tanzil













 
ans!!