Monday 22 August 2011

Gadis Jeruk - Jostein Gaarder



No. 267

Judul : Gadis Jeruk

Penulis : Jostein Gaarder

Penerjemah : Yuliani Lupito

Penerbit : Mizan Pustaka

Cetakan : Juli 2011 (Gold Edition)

Tebal : 256 hlm



Bagaimana perasaan kita jika tiba-tiba saja kita menerima surat dari ayah kita yang telah meninggal dunia belasan tahun yang lalu? Tentunya hati kita akan diliputi keharuan dan penasaran apa yang sebenarnya ingin disampaikan ayah kita dalam suratnya itu.

Itulah yang dialami Georg Roed, seorang remaja berusia 15 tahun yang tinggal bersama ibu, ayah, dan adik tirinya di Oslo - Norwegia. Surat yang ditulis ayahnya sebelas tahun yang lampau itu ditemukan secara tidak sengaja oleh nenek Georg di kereta kereta bayi yang dulu dipakai Georg

Surat panjang yang diketik rapih dengan komputer oleh ayahnya itu didasari oleh pemikiran bahwa ia takkan sempat membicarakan masalah kehidupan dengan Georg yang saat itu baru berusia 4 tahun. Sebagai seorang dokter, Ayahnya (Jan Olav) tahu bahwa hidupnya tak akan lama lagi karena penyakit yang dideritanya. Dan surat itu sengaja diselipkan olehnya di kereta bayi milik Georg dengan harapan suatu saat akan ditemukan dan dibaca oleh Georg ketika ia sudah beranjak dewasa.

Melalui surat 'wasiat' ayahnya yang berkisah tentang masa mudanya ini maka terjadilah interaksi antara masa lalu sang ayah dan sang anak di masa kini. Dalam suratnya itu Jan Olav berkisah bahwa di masa mudanya ia berjumpa dan jatuh cinta pada seorang gadis misterius yang membawa banyak buah jeruk.

Perjumpaan Jan Olav dengan si gadis jeruk adalah ketika ia melihat seorang gadis yang membawa sekantung penuh jeruk dalam trem yang ia naiki. Saat melihat jeruk yang dipegangnya itu hendak jatuh, Jan Olav berusaha menolongnya, namun kecerobohannya justru membuat seluruh jeruk yang dibawa si gadis itu berjatuhan, hal ini membuat si Gadis Jeruk marah, lalu turun dari trem dan meninggalkannya.

Setelah kejadian itu, Gadis Jeruk tak bisa lepas dari ingatannya, Jan Olav menjadi terobsesi untuk bertemu kembali dengan si gadis jeruk, satu hal yang sulit karena dia tak mengenal siapa nama si gadis jeruk dan dimana ia tinggal. Sebuah kebetuhan akhirnya mempertemukan Jan Olav dengan Gadis Jeruk di sebuah kafe, seperti perjumpaan pertamanya si gadis jerukpun saat itu sedang membawa sekantung jeruk. Pertemuan inipun cukup singkat, belum sempat Jan Olav menanyakan identitasnya gadis jeruk pun kembali pergi meninggalkannya.

Kejadian ini membuat Jan Olav semakin penasaran dan kembali mencari jejak si Gadis Jeruk. Ia bertanya-tanya dalam hatinya mengapa si gadis jeruk selalu membawa sekantong jeruk. Pola pikir seorang dokter yang melekat padanya membuat ia melakukan analisis-analisis untuk menjawab pertanyaan tersebut, tak hanya itu ia juga mengunjungi tempat-tempat yang mungkin disinggahi oleh si Gadis Jeruk dengan harapan akan kembali bertemu dengannya. Pencariannya ini dilakukan tanpa kenal lelah, menembus batas negaranya hingga akhirnya menghantarnya ke perkebunan jeruk di Sevilla Spanyol.

Dalam novel Gadis Jeruk yang terbit pertama kali pada tahun 2003 di Norwegia dengan judul Appelsinpiken ini seperti biasa Jostein Gaarder menghadirkan materi filsafat dalam ceritanya. Gaarder masih setia dalam model penceritaannya yang menghadirkan kisah dalam kisah melalui media surat.

Seperti juga yang menjadi ciri khas dalam setiap karya-karyanya, Gaarder juga selalu menelusupkan tambahan pengetahuan baru diluar materi filsafatannya, kali ini adalah tentang Teleskop Hubble, teleskop ruang angkasa pertama yang juga disebut "mata semesta". Sebuah teleskop yang untuk pertama kalinya berhasil mengambil ribuan foto galaksi dan nebula yang berjarak beberapa juta tahun cahaya dari Bima Sakti dengan sangat jelas. Teleskop ini diluncurkan ke orbitnya dari pesawat ruang angkasa Discovery pada tahun 1990.

Lalu apa hubungan teleskop Hubble dengan kisah Gadis Jeruk? Dengan piawai Gaarder membuat pembacanya penasaran untuk terus menelusuri pencarian Jan Olav lengkap dengan romantismenya dalam mengungkap misteri siapa Gadis Jeruk itu sesungguhnya. Melalui teleskop Hubble dan Gadis Jeruk novel ini pada akhirnya membawa pembacanya pada sebuah perenungan tentang alam semesta hingga pada pertanyaan filosofis tentang makna hidup, takdir, kesempatan, dan pilihan hidup.

Melalui suratnya yang berisi kisah cinta dan petualangannya mencari gadis jeruk Jan Olav mencoba membangun kesadaran anaknya bahwa kehidupan yang dialami manusia itu bagaikan sebuah dongeng yang memiliki akhir. Karena bukankah tak ada satupun dongeng yang tak memiliki akhir?

“Dongeng hebat apakah yang sedang kita jalani dalam hidup ini? Dan yang masing-masing dari kita hanya boleh mengalaminya untuk waktu yang singkat? Mungkin teleskop ruang angkasa akan membantu kita untuk mengerti lebih banyak tentang hakikat dongeng ini suatu hari. Barangkali di luar sana, di balik galaksi-galaksi, terdapat jawaban apa sebenarnya manusia itu.” (hal 177)

Seperti sebuah dongeng memiliki aturannya sendiri dimana semua peran dan kisahnya telah dituliskan untuk menuju sebuah akhir kisah yang diinginkan penulisnya, maka dalam kehidupanpun setiap peristiwa yang kita alami bukanlah sebuah kebetulan belaka melainkan memiliki maksud dan sebab akibat tersendiri.

Terkait dengan hidup yang singkat yang harus dialami manusia, dan apa yang dialami Jan Olav yang sadar bahwa hidupnya tak akan lama lagi berakhir karena sakit yang dideritanya, maka di lembar-lembar terakhir suratnya ia memberikan sebuah pertanyaan filosofis pada anaknya,

“Apa yang akan kamu pilih seandainya kamu punya kesempatan untuk memilih? Akankah kamu memilih hidup yang singkat di bumi kemudian dicerabut lagi? Atau, apakah kamu akan berkata tidak, terima kasih? Kamu hanya dua pilihan ini. Itulah aturannya. Dengan memilih hidup, kamu juga memilih mati.” (hal 206)

“Kamu tidak tahu kapan kamu akan dilahirkan, tidak juga berapa lama kamu akan hidup,…Yang kamu ketahui hanyalah bahwa, jika kamu memilih untuk hadir di tempat tertentu di dunia ini, kamu juga harus meninggalkannya lagi suatu hari dan pergi meninggalkan segalanya.” (hal 233)

Rasanya sulit sekali bagi Georg Roed yang baru berusia 15 tahun untuk menjawab pertanyaan filosofis tersebut, namun toh akhirnya ia bisa menentukan pilihannya.

Banyak kalangan yang menilai Gadis Jeruk adalah karya Gaarder yang lebih ringan dibanding karya-karya lainnya (Dunia Sophie, Solitare Mysteri. dll). kisah dalam novel ini memang tampak lebih sederhana dan bersajaha, namun novel ini tetapmenyisakan sebuah perenungan yang dalam tentang makna hidup, takdir, dan alam semesta.

Memang tak ada konflik yang mencuat yang dihadirkan Gaarder dalam novelnya ini, dan itu bisa sedikit membuat pembacanya merasa jenuh. Namun pembaca yang sabar tentunya tak akan begitu saja meninggalkan novel ini, karena semakin mendekati akhir kisah akan ada banyak makna kehidupan yang kita peroleh dalam sudut pandang yang berbeda.

Ketika kisah Gadis Jeruk selesai kita baca, kini giliran kita yang harus menjawab pertanyaan Jan Olav pada anaknya. " Akankah kamu memilih hidup yang singkat di bumi kemudian dicerabut lagi? Atau, apakah kamu akan berkata tidak, terima kasih?" (hal 206)

Jika kita pada akhirnya memilih untuk untuk hidup singkat di bumi ini, maka pertanyan selanjutnya adalah :

"Jika hidup itu bagaikan sebuah dongeng singkat yang harus berakhir dan kita harus pergi meninggalkan segalanya, maka dalam kehidupan yang singkat ini apa yang harus kita kerjakan?"



Sejarah Penerbitan & Adaptasi film





Appelsinpiken (Gadis Jeruk) merupakan karya Gaarder ke-13 yang terbit pada tahun 2003. Di tahun yang sama, novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Orange Girl menyusul diterbitkannya novel ini ke berbagai bahasa lainnya. Kabar terakhir novel ini telah diterjemahkan ke dalam 43 bahasa!











Dua tahun kemudian Yuliani Lupito, menerjemahkan novel ini dari bahasa Inggrisnya dan diterbitkan oleh penerbit Mizan pada tahun 2005 dengan judul Gadis Jeruk, Sebuah Dongeng Tentang Kehidupan. Di tahun 2011 ini Gadis Jeruk dicetak ulang dalam edisi Gold Edition dengan cover yang lebih menarik dibanding sebelumnya.













Pada tahun 2009, novel ini diadaptasi ke dalam layar lebar oleh sineas produktif Norwegia Eva Dharl dengan judul Applesinpiken dan film ini mendapat apresiasi yang cukup baik dari publik Norwegia.









@htanzil

Thursday 18 August 2011

Indonesia Merdeka Karena Amerika ?

Dalam rangka memperingati hari Kemerdekaan ke 66, saya posting ulang resensi buku ini. Selamat membaca :) Merdeka!



Judul : Indonesia Merdeka Karena Amerika ?

(Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia, 1920-1949)

Penulis : Frances Gouda & Thijs Brocades Zaalberg

Penerjemah : Zia Anshor

Editor : Anton Kurnia

Penerbit : PT Serambi Ilmu Semesta

Cetakan : I, Agustus 2008

Tebal : 487 hlm



Judul buku ini sangat provokatif, beberapa kawan yang melihat buku ini ketika saya sedang membacanya umumnya akan berkomentar, “Ah, masa sih ?”, “Apa iya?”. Ketika saya menemukan buku inipun secara spontan saya berkomentar sama dan menjadi penasaran untuk membacanya. Apalagi ketika melihat nama penulisnya yang tak asing bagi saya, Frances Gouda, guru besar sejarah di jurusan Ilmu Politik Universitas Amsterdam - Belanda yang banyak menulis buku tentang sejarah Indonesia. Salah satu buku menariknya “Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942” telah diterjemahkan oleh Serambi pada beberapa tahun yang lalu.



Bagi kalangan awam, perjuangan memperoleh pengakuan kemerdekaan Indonesia merupakan murni buah perjuangan para pahlawan baik melalui perjuangan fisik maupun melalui jalur diplomatik. Namun disebagian kalangan lain terdapat sebuah mitos tak terhapus bahwa setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, pemerintah Amerika segera menyatakan dukungan politiknya terhadap Republik Indonesia yang baru berdiri. Hal ini malah dinyatakan oleh Presiden Bill Clinton dalam ucapan selamatnya pada saat peringatan 50 tahun Indonesia Merdeka (1995) . Mitos ini terus dipercaya di Belanda, dimana banyak orang Belanda masih berpikir bahwa bantuan Amerika Serikat terhadap kemerdekaan Indonesia pada 1945-1946 sangatlah besar dan Indonesia takkan mampu merdeka tanpa peran Amerika.



Bagaimana faktanya? Untuk itulah buku hasil buah pemikiran dan analisis Frances Gouda & Thijs Brocades Zaalberg yang dalam bahasa Inggrisnya berjudul American Vision of the Netherlands East Indies/Indonesia: US Foreign Policy and Indonesian Nationalism, 1920-1949 ini mencoba mengkritisi pendapat umum yang telah menjadi mitos tersebut.

Secara terstruktur Gouda membagi bukunya ini kedalam 9 bab yang dimulai dari tinjauan umum dan berlanjut dengan pembahasan sejarah yang makin khusus. Kedua bab pertama dipusatkan pada tahun-tahun 1945-1949. Bab pertama menyajikan pandangan umum atas kebijakan luar negeri AS sehubungan dengan Republik Indonesia dan sekutunya Belanda setelah berakhirnya Perang Dunia II, sementara bab kedua, menelaah cara-cara dan usaha kaum nasionalis Indonesia dan politikus Belanda merebut simpati Amerika untuk tujuan masing-masing.



Sadar akan kuatnya posisi Amerika Serikat dalam hubungan internasional paska Perang Dunia II. Para tokoh-tokoh politik Indonesia mencoba segala usaha untuk menarik simpati Amerika agar mendukung kemerdekaan Indonesia. Salah satu usaha yang dilakukan adalah mengutus beberapa perwakilan Republik Indonesia ke AS. Salah seorang diantaranya adalah Sudarpo Sostrosatomo, pemuda berumur dua puluhan berpendidikan tinggi yang pada 1949 ditugaskan untuk menjadi atase Pers di New York. Dengan cerdas Sudarpo membandingkan revolusi kemerdekaan Indonesia dengan revolusi Amerika melalui makalahnya yang berjudul “It’s 1776 in Indonesia” dan menyebarkannya kepada para wartawan, pejabat publik Amerika, dan perwakilan internasional di PBB. Perbandingan yang terlalu dipaksakan, namun makalah tersebut cukup menarik perhatian pejabat publik Amerika yang memang selalu mengagung-agungkan deklarasi kemerdekaan Amerika pada tahun 1776.



Sedangkan di dalam negeri, para pemuda nasionalis melakukan aksi coret-coret di spanduk dan tembok-tembok kota dalam bahasa Inggris, mereka tak asal corat-coret, melainkan mengutip kalimat-kalimat pidato tokoh kemerdekaan Amerika seperti Jefferson, Linchlon, dll. Mereka berharap coret-coretan tersebut bisa menarik simpati pasukan AS di Indonesia.



Tak hanya itu, pemerintah Indonesia juga menerbitkan seri perangko bergambar arsitek utama Republik Indonesia yang disandingkan dengan para tokoh kemerdekaan Amerika, antara lain perangko bergambar George Washington berada dibelakang gambar Soekarno, Hatta bersanding dengan Abraham Lincoln, dan Sjahrir yang bersanding dengan Thomas Jefferson.



Walau segala usaha dilakukan untuk merebut simpati Amerika terhadap kemerdekaan Indonesia namun hingga akhir 1948 Amerika belum juga menyatakan dukungannya secara terbuka terhadap kemerdekaan Indonesia.

Bab ketiga buku ini memusatkan perhatian pada masa 1938-1945, dimana pada masa tersebut, penilaian AS atas pemerintahan kolonial Belanda mencapai keseimbangan. Selain itu kenyataan agresi Jepang di Asia membuat para pembuat kebijakan AS mengakui nilai strategis dan ekonomis Indonesia.



Bab keempat dan kelima memeriksa atmosfer sosial, budaya, politik, serta tindakan pemerintahan di Indonesia dan Amerika Serikat paska Perang Dunia II. Saat itu perang dingin mulai mempengaruhi perspektif para pembuat kebijakan di Washington dan Den Hag, sementara para pejabat Republik Indonesia mencoba mencari jalan tengah antara perseteruan blok barat dan Soviet yang mulai tumbuh.



Di Bab keenam, buku ini menganalisis peran pasukan SEAC (South East Asia Comand, Komando Asia Tenggara) di bawah pimpinan Louis Mountbatten di Jawa dan Sumatera pada 1945-1946, juga kertelibatan Partai Buruh Australia dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal ini berbarengan dengan dimulainya perundingan-perundingan diplomatis yang berlarut-larut antara Indonesia dan Belanda yang berbuahkan perjanjian Linggarjati yang rapuh pada Maret 1947. Beberapa bulan kemudian Belanda melanggar kesepakatan Lingarjati dan melakukan agersi militer. Kejadian ini memicu munculnya resolusi Dewan Keamanan PBB, sehingga menandai permulaan keterlibatan resmi AS dalam Komite Jasa Baik (Good Offices Commite, GOC) untuk menyelesaikan konflik Belanda – Indonesia. Hal ini kemudian dianjutkan dalam bab ketujuh yang memusatkan bahasan pada upaya-upaya Komisi Jasa Baik (GOC) yang dimotori AS yang berujung pada perjanjian Renvillle yang menguntungkan pihak Belanda.



Dari bahasan di ketujuh bab pada buku ini akan terlihat secara jelas bahwa AS sendiri masih gamang dan belum menentukan sikap yang jelas terhadap dukungannya kepada kemerdekaan Indonesia, hal ini berbeda dengan pendapat umum masyarakat AS melalui partai buruhnya yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Keraguan pihak AS semakin bertambah dengan kekhawatiran Indonesia yang akan menjadi negara komunis karena beberapa tokoh-tokoh revolusioner Indonesia seperti Amir Syarifudin, Muso, dll merupakan tokoh berhaluan kiri.



Pada akhirnya bab kedelapan dan kesembilan Gouda menganalisis pergolakan di Indonesia pada 1948 yang berpuncak pada pemberontakan PKI di Madium 1948. Pada tahun 1947, kabinet Amir Syarifudin mengikutsertakan partai-partai beraliran kiri, dan membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet yang telah mengakui kemerdekaan Indonesia secara de jure. Tentu kiprah Amir Sjarifudin membuat Amerika khawatir Indonesia akan menjadi negara yang ke kiri-kirian. Untunglah di akhir Januari 1948 setelah Amir Syarifudin berhenti dari jabatan Perdana Menteri, kabinet Hatta yang menggantikannya tidak mengikutsertakan wakil-wakil partai kiri dalam pemeritahan koalisi barunya.



Seiring waktu, lambat laun terbukti bahwa pemerintahan Hatta ‘positif anti komunis’, hal ini diperkuat dengan keberhasilan Hatta menumpas habis pemberontakan PKI pada September 1948. Melalui peristiwa ini Amerika akhirnya menaruh kepercayaan pada pemerintah Indonesia. Dan mulailah kebijakan Departemen Luar Negeri Amerika condong kepada Indonesia dibanding Belanda.



Keberpihakan Amerika pada Indonesia semakin nyata ketika tiba-tiba Belanda melakukan agresi militernya yang kedua sehingga dengan mantap pemerintahan AS yang dipimpin oleh presiden Truman mengubah sikapnya dari pro-Belanda menjadi pro-Indonesia.

Secara umum buku ini menarik untuk disimak karena pembaca diberikan berbagai fakta gamblang mengenai perubahan kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia dan pengaruhnya dalam percaturan politik internasional dimasa revolusi kemerdekaan Indonesia. Tampaknya kedua penulis buku ini mempersiapkan buku ini dengan riset yang mendalam. Mereka menyelisik sumber-sumber primer berupa arsip-arsip diplomatik Amerika, Indoneisa, Belanda, Australia, hingga arsip-arsip PBB. Hal ini tercermin dalam gamblangnya bahasan yang diungkap dan ratusan daftar sumber arsip dan pustaka yang berderet-deret hingga membutuhkan 11 halaman penuh untuk disajikan dalam buku ini.



Karenanya Gouda dan Zaalberg dengan yakin menyimpulkan analisisnya bahwa tekanan AS terhadap Belanda tak menyebabkan kemerdekaan Indonesia karena di tahun 1945-1947 sikap pemerintah AS masih pro-Belanda. Pendiri Republik Indonesia – terutama Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, dan Soekarno – berhasil mengamankan kemerdekaan Indonesia melalui kecakapan politik mereka yang luar biasa dalam menghadapi berbagai tantangan pelik. Namun harus diakui peran dan intervensi Amerika Serikat dalam persoalan Indonesia pada 1948-1949 memiliki pengaruh besar, tidak hanya mempercepat proses dekolonisasi Belanda, tapi juga mencegah Indonesia dan Belanda terlibat peperangan yang berkepanjangan yang tentunya akan menelan banyak korban.



Tema yang diangkat dalam buku ini memang bukan bahasan yang ringan, namun karena ditulis dengan lancar serta dilengkapi referensi langka dan detail personal sejumlah tokoh sejarah yang menarik, saya pribadi tak dibuat bosan dan menemui kesulitan dalam memahami buku ini. Tak banyak buku literatur sejarah yang saya baca hingga tamat, dan buku ini adalah salah satunya.



Bersyukur kini buku ini telah diterjemahkan dengan baik oleh penerbit Serambi sehingga buku yang wajib dimiliki oleh para pemerhati sejarah Indonesia ini akan memberi pembaca Inodnesia wawasan baru atas peran Amerika Serikat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada masa 1945-1949.



Salut juga untuk pencantuman judul versi Indonesianya yang sangat provokatif dengan menambahkan kalimat tanya - yang tidak tercantum di buku aslinya - “Indonesia Merdeka Karena Amerika?” yang tentunya memancing minat pembaca Indonesia untuk menemukan jawabannya di buku ini. Penerbit Serambi juga dengan cerdas mengganti cover asli buku ini yang menampilkan foto perangko Sjahrir dengan foto perangko Soekarno yang bersanding dengan George Washington. Hal yang tepat karena kini masyarakat Indonesia lebih mengenal Soekarno dibanding Sjahrir.



Namun sayangnya buku terjemahannya ini diciderai oleh beberapa kesalahan cetak. Selain kesalahan huruf, terdapat juga kesalahan penulisan angka tahun. Kesalahan yang fatal bagi sebuah buku bertema sejarah. Semoga hal ini bisa menjadi perhatian bagi proofreader penerbit Serambi agar lebih teliti lagi dan tidak terulang pada buku-buku lain.



@h_tanzil

Thursday 11 August 2011

100 Bangunan Cagar Budaya di Bandung

No. 266

Judul : 100 Bangunan Cagar Budaya di Bandung

Penulis : Harastoeti DH

Penerbit : CSS Publishing

Cetakan : 2011

Tebal : 267 hlm



Bandung adalah kota yang memiliki banyak wajah, selain dikenal sebagai kota wisata belanja fashion dan kuliner, Bandung juga dikenal sebagai salah satu kota yang memiliki banyak bangunan-bangunan tua yang memiliki kekhasan arsitekturnya.

Adanya rencana dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk menjadikan Bandung sebagai pusat komando militer sekaligus ibukota Hindia Belanda membuat pemerintah Gemeente Bandung pada tahun 1918-1920 melengkapi dan memercantik kota ini dengan berbagai fasilitas penting seperti pusat militer, gedung pemerintahan, penjara, dll yang dibangun oleh para arsitek kenamaan Eropa sehingga Bandung memiliki wajah Eropa dan di masa itu dikenal sebagai Parijs van Java, julukan yang masih terus melekat hingga kini.

Ada ratusan bangunan-bangunan tua di kota Bandung yang merupakan warisan pemerintahan kolonial Hindia Belanda, sayangnya karena ketidakpedulian para pemilik bangunan dan keinginan untuk menjadikan lahan tempat bangunan-bangunan tua itu berdiri sebagai tempat komersil membuat satu persatu bangunan tua yang memiliki nilai sejarah dan aristektur yang unik itu dirombak sehingga kehilangan wajah aslinya, bahkan beberapa sudah hilang dirubuhkan dan diganti dengan bangunan-bangunan komersil modern.

Untungnya sebelum semakin banyak bangunan tua yang hilang, pemerintah daerah kota Bandung menerbitkan Perda No. 19 tahun 2009 tentang pengelolaan Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya di Kota Bandung. Perda tersebut antara lain berisi daftar 100 bangungan cagar budaya di kota Bandung yang harus dilestarikan.

Terdorong oleh kepedulian keberadaan bangunan-bangunan tua di kota Bandung disertai keinginan untuk mensosialisasikan Perda tersebut, Bandung Heritage, sebuah paguyuban pelestarian budaya Bandung yang didirikan oleh sekelompok orang yang bertekad melestarikan gedung-gedung di Bandung , lingkungan, serta budayanya menerbitkan sebuah buku berjudul 100 Bangunan Cagar Budaya di Bandung yang ditulis oleh Harastoeti DS, ketua Bandung Heritage, yang mengambil gelar S-1 dan S-2 di ITB jurusan Arsitektur, dimana pada program S-3 secara khusus menspesialisasikan dirinya dalam bidang Konservasi Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya.

Dalam buku ini terdapat 100 buah foto-foto berwarna terkini dari 100 bangunan cagar budaya sesuai dengan Perda No. 19/2009. Namun sebelumnya pembaca diajak untuk terlebih dahulu menyimak sejarah singkat kota Bandung, pengertian, prinsip konservasi, kriteria konservasi di Indonesia, Inggris, Belanda, dan Amerika, serta pembagian kawasan dan sub kawasan kota Bandung.

Di bagian akhir yang berisi foto-foto yang merupakan halaman yang paling mendominasi buku ini, pembaca diajak menyusuri bangunan-bangunan tua di Bandung berdasarkan pembagian 6 kawasan yang ditetapkan dalam Perda No. 19/2009 (pusat kota, pecinan/perdagangan, pertahanan & keamanan militer, etnik sunda, perumahan villa dan non villa, dan kawasan industri) yang dimulai dari gedung BMC (Bandoengche Melk Centrale) di jalan Aceh hingga Kelenteng Perempuan di jalan Cibadak yang semuanya disertati dengan deskripsi singkat berisi tahun berdiri, siapa yang membangun, peruntukan gedung dari awal hingga kini, keunikan arsitektur, dan kondisi bangunan saat ini.

Ada beberapa hal menarik yang terungkap dalam buku ini seperti gedung Gedung Pensil yang dibangun pada tahun 1918 di kawasan Simpang Lima Bandung yang memiliki keunikan atap bangunan yang bentuknya bundar dan lancip seperti pensil yang telah diraut.





Gedung Pensil











Lalu ada pula bangunan tertua diantara 100 bangunan cagar budaya di Bandung yaitu gedung yang kini digunakan sebagai markas besar Polwiltabes Bandung di Jl. Merdeka yang didirikan pada tahun 1866. Gedung bergaya Empire Style ini bagian luarnya masih asli hanya bagian dalamnya saja yang telah berubah sejalan dengan perubahan fungsinya.

Gedung ini pernah dipergunakan sebagai sekolah yang dikenal dengan sebutan Sekolah Radja yang siswanya terdiri kaum Priyayi Pasundan dan keluarga Bupati. Sekolah ini mempunyai arti penting dari sejarah dunia pendidikan di tanah Sunda karena Ia menjadi ‘ibu’ dari sekolah pribumi yang kelak bermunculan.

Gedung ini juga pernah dikunjungi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Limburg Stirum, dan Raja Siam (Thailand) Paraminda Chulalongkorn.



Sebutan Bandung sebagai Parijs van Java rupanya bukan slogan belaka, salah satu buktinya adalah sebuah bangunan di jalan Braga yang pernah dipakai sebagai toko mode (fashion) Aubon Marche yang pada tahun 1913-1940an menjual pakaian dengan model paling mutakhir yang didatangkan langsung dari Paris - Prancis. Sayangnya toko legendaris yang sempat menjadi trend setter fashion masyarakat Eropa di Bandung yang kini dimiliki Kimia Farma itu dalam kondisi yang menyedihkan karena tidak terawat dengan baik







Aubon Marche,

bekas toko fashion terkenal











Untuk bangunan hotel, yang termasuk dalam bangunan cagar budaya adalah Hotel Homan, hotel dengan gaya arsitektur Art Deco yang menjadi trade mark hotel yang pernah dikunjungi oleh tamu-tamu penting mulai dari aktor legendaris Charlie Chaplin (1927, 1932) Perdana Menteri Prancis George Clemencau (1921), hingga Bung Karno dan para pemimpin-pemimpin dunia saat Konferensi Asia Afrika 1955.













Hotel Savoy Homan















Tak ketinggalan tentunya ikon Kota Bandung, Gedung Sate yang dibangun pada tahun 1920 oleh J. Geeber seorang arsitek Belanda yang pernah tinggal lama di Thailand. Arsitektur gedung ini merupakan percampuran dari gaya Moor, gaya Oriental (Indonesia dan Thailand). Biaya tahap pertama yang dikeluarkan untuk membangun gedung ini mencapai 6 juta gulden. Angka 6 ini kemudian ditetapkan menjadi elemen ujung puncak bangunan seperti tusuk sate dengan enam butir ‘sate’nya sebagai simbol biaya yang dikeluarkan untuk membangun gedung itu. Karena di mata orang pribumi bentuknya seperti sate maka gedung ini dinamai GEDUNG SATE.











Gedung Sate

















Buku yang disusun selama 2 tahun melalui riset yang mendalam ini tampaknya sangat layak untuk dikoleksi baik oleh warga Bandung, pecinta sejarah lokal, para arsitektur , dsb ini tersaji dengan sangat menarik dan informatif. Buku dengan ukuran memanjang ini tersedia dalam dua versi (Hard Cover dan Soft Cover) dan dicetak di atas kertas art paper mengkilap (glossy) yang memungkinkan penyajian foto-foto berwarna yang prima.

Di buku ini kita akan diajak mengenal wajah Bandung tempo dulu yang dibangun dengan cita rasa arsitek-arsitek Eropa di paruh pertama abad ke dua puluh dengan atap sirap, streamline (garis lengkung) yang merupakan ciri khas gaya Art Deco, penggunaan kolom kembar, dan berbagai ornamen unik di tiap bangunannya . Kesemuanya itu tergambar jelas lewat foto-foto bewarnanya. Sebagai pelengkap buku ini juga menyajikan peta kawasan 100 bangunan Perda

Sayangnya foto-foto yang terdapat dalam buku ini hanyalah foto bangunan di masa kini, alangkah baiknya kalau disertakan juga foto bangunan-bangunan tersebut di masa lampau sehingga pembaca bisa membandingkan kondisi bangunan di masa lampau dengan keadaannya sekarang. Dan yang cukup mengganggu adalah adanya Kesalahan typo yang cukup banyak sehingga mengurangi kenikmatan membacanya.

Selain itu sesuai dengan salah satu tujuan buku ini yaitu untuk mensosialisasi Perda No. 19/2009 ttg Bangunan Cagar Budaya alangkah baiknya isi dari Perda itu sendiri dimuat dalam buku ini sebagai lampiran sehingga pembaca dapat mengetahui isi lengkap dari Perda tersebut.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, buku ini akan sangat bermanfaat sekali bagi masyarakat Bandung khususnya mengenai keberadaan bangunan-bangunan tua di Bandung yang diperkirakan mencapai 1000 buah ini. Dengan terbitnya buku ini seperti yang diharapkan oleh penulisnya, semoga buku ini dapat membuka mata seluruh lapisan masyarakat, pemerintah maupun orang awam bahwa kota Bandung ini sangat kaya dengan peninggalan budaya berupa bangunan-bangunan yang tergolong langka dan memiliki nilai tinggi.

@htanzil

Ket:

Untuk memperoleh buku ini silahkan menghubungi Sekretariat Bandung Heritage di jl. RE. Martadinata (Riau) No. 209 Bandung. Phone 022-7234661 CP : Pak Koko

 
ans!!