Tuesday 23 December 2008

10 + 2 BUKU YANG KUPILIH 2008
















10 + 2 BUKU YANG KUPILIH 2008


Ini dia 5 buku fiksi dan 5 buku non fiksi yang menjadi Buku Pilihan 2008.
(urutan berdasarkan alvabet)

Buku Fiksi
1. A. Thousand Splendid Suns – Khaled Hosseini (Qanita )
2. Bulan Jingga dalam Kepala – M. Fadjroel Rachman (Gramedia, 2007 )
3. Janda dari Jirah – Cok Savitri (Gramedia, 2007 )
4. Lanang – Yonathan Raharjo (Penerbit Alvabet, 2008)
5. Lolita – Vladimir Nobakov (Penerbit Serambi, 2008)

Buku Non Fiksi
1. Di negeri Penjajah – Harry A. Poeze (KPG, 2008)
2. Kearifan Pelacur – Elizabeth Pisani (Penerbit Serambi, 2008)
3. Lekra Tak Membakar Buku – Rhoma Dwi Aria Y & Muhidin M. Dahlan (Merakesumba, 2008)
4. Menyusuri Lorong-lorong Dunia 2 – Sigit Susanto (Insist Press, 2008)
5. The 7 Laws of Hapiness – Arvan Pradiansyah (Kaifa, 2008)

Buku-buku yang kupilih diatas biasanya adalah buku-buku yang membuat wawasanku terbuka dan meninggalkan kesan yang dalam karena aku mendapat sesuatu yang ‘baru’ dalam kandungan buku tersebut. Berikut adalah komentar singkatku atau mungkin bisa disebut sebagai pertanggungjawabanku atas buku-buku yang kupilih

A Thousand Splendid Suns, selain kisahnya yang menarik, di novel tersebut aku belajar mengenai sejarah berganti-gantinya kekuasaan di Afghanistan yang selalu diwarnai oleh kekerasan.

Bulan Jingga dalam kepala membuatku memahami apa kira-kira isi kepala seorang aktifis mahasiswa, dialog-dialog dalam novel tersebut membuat wawasanku terbuka soal keyakinan politik dari tokoh yang diceritakannya.

Janda dari Jirah, walau terbit pada pertengahan 2007, namun buku ini baru sempat kubaca dan isinya memutar balikkan sosok calon arang yang selama ini kukenal.

Lanang – Yonathan Raharjo walau kisah utamanya terlalu fantasi bagiku, novel ini kupilih karena latar novel ini membuatku memahami mengenai dunia rekayasa genetik yang hingga kini terus dikembangkan bagi kesejahteraan umat manusia.

Lolita – Vladimir Nobakov memang bukan novel yang mudah dicerna, tapi aku terkesan membacanya, karena pergolakan batin tokoh-tokoh utamanya tereksplorasi dengan sangat baik.

Di negeri Penjajah – Harry A Poeze, merekam suka dan duka orang-orang Indonesia yang merantau ke negeri Belanda di saat bangsa mereka sedang berada dalam penjajahan Belanda selama 350 tahun. Orang-orang Indonesia yang terekam itu bukan saja dari kalangan bangsawan, melainkan juga pembantu dan budak. Buku ini sangat menarik karena dilengkapi foto-foto dan bebagai dokumen yang menarik.

Kearifan Pelacur – Elizabeth Pisani membuatku memahami dunia HIV lebih dalam lagi.

Lekra tak Membakar buku – Rhoma Dwi A & Muhidin MD, kupilih karena buku ini membuatku memahami bahwa sepak terjang Lekra tak sekedar berpolemik dengan Manikebu seperti yang selama ini dikenal, namun LEKRA telah banyak melakukan kegiatan berkebudayaan pro rakyat yang ternyata beberapa program kebudayaan mereka masih sangat relevan dengan kondisi sekarang.

Menyusuri Lorong Dunia 2 – Sigit Susanto membuatku mengenal kondisi dan kultur negeri-negeri asing beserta sastrawan dan karya-karyanya.

The 7 Laws of Hapiness – Arvan Pradiansyah mengajari untuk bagaimana aku memilih pikiran dan bagaimana aku harus mengisi pikiranku dengan hal-hal positif agar hidupku bahagia.

Sebenarnya ada dua buku yang sedang kubaca namun belum tuntas, jadi tak kumasukkan dalam daftar buku yang kupilih, sejauh yang telah kubaca kedua buku tersebut membuatku terkesan dan mungkin akan merupakan calon buku yang kupilih tahun 2009 nanti.

Kedua buku tersebut yaitu :
1. Jenghis Khan – John Mann (Penerbit Alvabet,2008)
2. Road to Cana – Anne Rice (Gramedia Pustaka Utama, 2008)

Jenghis Khan membuatku mengerti sejarah mengenai sang penakluk lagendaris, tampaknya penulis buku ini tidak hanya menulis buku berdasarkan riset pustaka semata melainkan berdasarkan pengamatan dan pengalamannya langsung ke tempat-tempat Jenghis Khan pernah hidup.

Road To Cana merupakan fiksi yang menarik karena kehidupan Yesus dikisahkan dan difiktifkan, Anne Rice mencoba mengisahkan kehidupan Yesus sebelum ia memulai pelayanannya pada publik. Walau berada dalam jalur fiksi novel ini tetap setia pada kerangka injil. Anne Rice hanya mencoba menggali kira-kira apa yang dipikirkan dan dirasakan Yesus dalam sebagai manusia.

Mungkin ada buku-buku menarik yang baru-baru ini terbit yang sebenarnya telah kumiliki dan berpeluang menjadi BUKU YANG KUPILIH, misalnya : Maryamah Karpov (Andrea Hirata), The Last Cuncubine (Lesley Donwer), A Tree Cup of Tea (Greg Mortenson) , The Glass Palaces (Amitav Ghoss), dll, tapi karena buku-buku itu belum terbaca mungkin buku-buku itu akan masuk dalam daftar tahun 2009 yang akan datang.

@h_tanzil

Saturday 13 December 2008

Kearifan Pelacur

Judul : Kearifan Pelacur
(Kisah gelap di balik Bisnis Seks dan Narkoba)
Penulis : Elizabeth Pisani
Penerjemah : Bhimantoro Suwastoyo
Penyunting : Anton Kurnia
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, September 2008
Tebal : 589

“Buku ini adalah sebuah buku mengenai hidup dan mati, seks dan narkoba; mengenai harapan dan kekecewaan. Buku ini mencoba menggambarkan kehidupan dalam dunia HIV?AIDS internasional yang berputar di sekiling hotel-hotel dan pusat-pusat konvensi yang mewah, maupun di jalanan kumut kota Jakarta. “ (hal 7)

Demikian yang diungkap oleh Elizabeth Pisani, ahli epidemilogi asal Inggris yang sempat lama tinggal dan bekerja di Jakarta dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. Berdasarkan pengalamannya selama bekerja di salah satu badan PBB yang menangani masalah AIDS hingga terjun langsung ke pusat-pusat epidemi HIV di berbagai negara belahan dunia dan persinggungannya dengan korban HIV, para pekerja seks, dan pemakai narkoba , maka di awal tahun 2008 lahirlah sebuah buku yang diberinya judul “Wisdom of Whores : Bureucrats, Brothles, Bussines of AIDS” (Granta, London, 2008). Pada Juni 2008 buku ini diterbitkan di Amerika Serikat dan Kanada, dan 3 bulan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Serambi dengan judul “Kearifan Pelacur, kisah gelap di balik bisnis seks dan narkoba” .

Buku ini adalah sebuah buku non fiksi, namun kita tidak akan disuguhkan dengan uraian-uraian teoritis dengan seabrek data-data kering dengan bahasa yang sulit dimengerti . Buku ini bisa dikatakam merupakan campuran antara memoar dan berbagai analisis kebijakan penanganan HIV baik di berbagai negara di dunia. Selain itu pembaca juga diajak menyelami pergolakan batin penulisnya. Itulah yang menjadikan buku ini tak hanya kaya akan data dan informasi, tetapi juga realistis dan sangat membumi, bahkan beberapa hal sangat praktis untuk dapat diterapkan. Pengalaman Elizabeth yang pernah bekerja sebagai jurnalis Reuters sangat berpengaruh dalam menyajikan tulisan yang enak dibaca dan sangat informatif ini.

Walau buku ini bukan buku tentang AIDS di Indonesia, namun karena Elizabeth banyak berkiprah di Indonesia, maka banyak dari apa yang diceritakannya dalam buku ini terjadi di Indonesia. Khusus mengenai Indonesia, berdasarkan analisanya, Elizabeth mengemukakan bahwa Indonesia memiliki dunia perdagangan seks yang besar dengan tingkat penggunaan kondom yang sangat rendah dan tingkat penularan penyakit seksual yang amat tinggi. Ini merupakan resep paling mujarab bagi penyebaran HIV/AIDS.
Pada tahun 1992, seorang peneliti Amerika Serikat bernama Mike Linnan menerbitkan sebuah laporan berjudul , “AIDS di Indonesia : Badai yang Akan Datang”, yang menyebutkan bahwa gelombang penularan penyakit ini akan segera menyapu Indonesia.

Laporan ini membuat Bank Dunia pada tahun 1996 memberikan hampir 25 juta dolar kepada pemerintah Indonesia untuk menangani masalah ini. Sayang proyek ini mengalami ‘kesalahan pengelolaan’ hingga akhirnya tak memberikan pengaruh berarti pada penanganan virus AIDS di Indonesia. Untunglah dana-dana bantuan baik dari Amerika Serikat maupun Australia terus mengalir sehingga berbagai usaha pencegahan penyebar virus mematikan ini masih dapat terus berlangsung.

Mengenai dana-dana besar berjumlah puluhan milyar dolar yang digelontorkan berbagai negara termasuk Bank Dunia ini, Elizabeth mengandaikannya bagaikan semut dalam semangkuk gula, dimana dana yang besar ini menjadi rebutan baik pemerintah maupun LSM-LSM yang saling sikut untuk memperoleh bagiannya.

Dalam buku ini Elizabeth mengungkapkan bahwa ada beberapa golongan yang dianggap sebagai kendaraan penyebaran virus HIV, yaitu : para PSK, waria, kaum homoseksual, dan pemakai jarum suntik. Karena di Indonesia tingkat penggunaan kondom yang rendah, maka waria dan kaum homoseksual sangatlah beresiko tinggi dalam penyebaran virus HIV di Indonesia. Ironisnya mereka tak memiliki pengetahuan yang cukup tentang bahaya HIV/AIDS sehingga resiko tertular yang dihadapinya semakin besar.

Di Indonesia sendiri tingkat penyebaran virus HIV kini sudah dalam taraf mengkhawatirkan, beberapa daerah telah dinyatakan sebagai epidemi. Banyak versi berapa jumlah data penderita HIV di Indonesia, yang tertinggi hingga bulan Semptember 2008 penderitanya telah mencapai 270 ribu orang. Jika hal ini tidak ditangani dengan serius maka badai AIDS akan menyapu Indonesia. Karenanya kini kampanye anti HIV yang khususnya dilakukan oleh LSM-LSM semakin gencar antara lain kampanye safe sex dengan mempopulerkan penggunaan kondom dan penggunaan jarum suntik baru. Sayangnya kampanye ini banyak ditentang oleh masyarakat, dinilai tidak etis karena seolah melegalkan dan mendorong seseorang untuk melakukan seks bebas dan narkoba.

Dibanding kampanye penggunaan kondom, sebagian masyarakat dan pemerintah tampaknya memilih cara lain dalam mengerem laju virus HIV pada pemakai narkoba dan industri seks. Salah satunya dengan menutup kompleks lokalisasi pelacuran. Cara ini dikritik oleh Elizabeth, usaha pemerintah yang serta merta menutup kompleks lokalisasi, kemudian mendirikan tempat ibadat di bekas kompleks tersebut tidaklah efektif dalam penanganan penyebaran virus HIV/AIDS.

Beberapa wanita pekerja seks yang sumber kehidupannya dirampas, memilih pulang kampung dengan membawa penyakit mereka. Beberapa yang lain kembali beroperasi di jalanan tanpa pemeriksaan berkala dari dinas kesehatan seperti saat mereka bekerja di lokalisasi. Akibatnya penyakit yang dibawanya menyebar tak terkendali dan jika ada diantara mereka yang mengidap HIV maka penyebaran virus tersebut menjadi semakin liar.

Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia ini berbeda dengan yang dilakukan oleh pemerintah Thailand yang tekenal dengan industri seksnya dan pernah memiliki tingkat penyebaran HIV yang tinggi di Asia. Pemerintah setempat tak menutup pusat-pusat lokalisasi, melainkan dengan melakukan kontrol yang ketat terhadap kesehatan para pekerja seksnya, selain itu pemerintah Thailand juga mengharuskan semua aktivitas seks di lokalisasi tersebut menggunakan kondom. Jika ketahuan tidak menggunakan kondom atau diketahui bahwa virus HIV/AIDS berasal dari kompleks tersebut, barulah izin usaha mereka dicabut.

Mana yang efektif dalam menangkal penyebaran virus HIV?. Yang pasti data menunjukkan bahwa kebijakan tersebut berhasil mengerem laju epidemi HIV di industi seks komersial Thailand dibanding Indonesia. Hal ini mengajarkan pada kita bahwa lebih mudah meningkatkan penggunaan kondom daripada mengukung industri seks dalam menekan penyebaran HIV.

Dalam hal penyebaran HIV melalui jarum suntik. Penulis dengan tegas menyatakan bahwa penggunaan jarum suntik secara bergantian adalah salah satu cara yang paling efektif bagi virus HIV untuk terjun bebas berpindah dari tubuh seseorang ke seseorang lainnya. Peperangan melawan Narkoba dengan memenjarakan para pemakai barkoba tidaklah efektif . Penjara merupakan tempat yang bagus untuk belajar menjadi penyuntik. Dengan tegas penulis menyatakan bahwa di Indonesia penjara tak ubahnya pabrik HIV. Hasil risetnya membuktikan bahwa lonjakan penularan HIV ternyata bukan ditemukan dalam industri seks, melainkan di antara para tahanan. Bahkan satu diantara enam orang yang ditahan di penjara yang berada persis di seberang jalan kantor program AIDS Depkes RI telah tertular HIV! Jadi jika sebelumnya para tahanan itu masuk dalam keadaan sehat, sekeluar dari penjara mereka sudah tertular HIV.

Selain kampanye penggunaan jarum suntik steril yang disinggung dalam buku ini, Elizabeth juga mengulas cara terbaru yang terbukti efektif untuk pencegahan HIV di antara para pecandu heroin suntik yaitu dengan terapi Methadon. Methadon adalah sebuah obat sintesis yang meniru efek dari obat-obatan sejenis heroin. Obat yang berbentuk sirup ini secara bertahap dapat menghilangkan ketergantungan pada heroin tanpa harus mengalami sakau. Dan yang menggembirakan obat ini sangat murah, satu dosisnya seharga beberapa ribu rupiah saja dan kini sudah mulai diperoleh di klinik-klinik.

Dalam buku ini juga akan terungkap bahwa usaha untuk melawan virus mematikan ini terdapat dua kubu yang berperang dengan caranya masing-masing. Yang satu berperang dengan cara membagikan kondom dan jarum suntik baru. Di lain pihak ada yang berperang dengan menganjurkan berpantang seks. Keduanya kadang saling menyalahkan, pihak yang menganjurkan berpantang seks berpendapat bahwa membagikan kondom dan jarum suntik adalah tindakan amoral karena seolah menganjurkan seks bebas dan narkoba. Sementara pihak lain mengklaim bahwa metode berpantang seks hanya efektif bagi orang yang dengan teguh mengikuti pantangan ini dan metode ini memiliki tingkat kegagalan yang tertinggi. Melihat hal ini Elizabeth di akhir paragraf buku ini menganjurkan agar para dua kubu yang berperang dalam caranya masing-masing hendaknya mau meninggalkan egonya masing-masing dan bersatu padu dalam satu barisan untuk melawan penyakit ini agar dapat membuat bumi kita ini menjadi lebih baik lagi.

Masih banyak fakta-fakta yang menarik dan bermanfaat dalam buku ini baik mengenai penyebaran HIV, penanggulangannya, bagaimana cara kerja virus ini dalam tubuh seseorang, berbagai metode pengobatan, intrik-intrik dalam industri AIDS, dan sebagainya. Karenanya buku ini dapat dijadikan semacam buku panduan tak resmi bagi para pengambil keputusan, praktisi sosial, atau bagi mereka yang ingin terjun dalam bidang HIV baik itu sebagai relawan maupun bagi mereka yang bekerja di lembaga resmi pemerintah. Bagi mereka yang awam yang tadinya hanya tahu sedikit mengenai AIDS, buku ini akan membuka cakrawala kita lebih dalam lagi mengenai apa dan bagaimana sebenarnya virus ini bisa menyebar dan bagaimana penanganannya yang efektif.

@h_tanzil

Thursday 4 December 2008



Judul : Tukang Kuda Kapal La Providence
Penulis : Georges Simenon
Penerjemah : NH Dini
Penerbit : Kiblat Buku Utama & Forum Jakarta-Paris
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : 192 hlm

Judul : Pertaruhan Jiwa
Penulis : Geroges Simenon
Penerjemah : Ida Sundari Husein
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : 218 hlm

Jika kita secara spontan diminta untuk menyebutkan tokoh detektif fiktif beserta penulisnya, umumnya kita akan menjawab : “Sherlock Holmes (Sir Arthur Conan Doyle), Hercule Poirot (Agatha Christie), dan James Bond (Ian Fleming)”. Tampaknya hanya tiga nama itu yang melekat dalam memori kita. Mengapa demikian? Mungkin karena novel-novel Sherlock Holmes dan Agatha Cristhie selalu ada di toko-toko bbuku dan terus dicetak ulang hingga kini. Kisah James Bond, yang kini lebih dikenal di layar lebar dibanding bukunya hampir setiap tahun dibuat filmnya dan selalu menjadi film yang ditunggu-tunggu para penggemarnya.

Namun selain Sherlock Holmes, Poirot, dan James Bond, ternyata ada satu nama tokoh detektif lagi yang luput dari perhatian kita, dia adalah detektif Perancis yang bernama Jules Maigret. Ia merupakan tokoh fiktif ciptaan Goerges Simenon (1903-1989), penulis flamboyan kelahiran Belgia yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Perancis. Konon Simenon telah tidur dengan lebih dari 10.000 wanita, namun selain produktif merayu dan bercinta ia termasuk penulis yang sangat produktif, ia mampu menulis sebanyak 60-80 halaman setiap harinya. Karenanya tak heran hingga akhir hidupnya ia telah menghasilkan sekitar 200 novel, 150 novelet, cerita pendek, autobiografi, beberapa artikel lepas dengan menggunakan hampir dua lusin nama samaran. Hingga kini sudah lebih dari 550 juta copy bukunya yang telah dicetak dan diterjemahkan kedalam berbagai bahasa.

Dari ratusan buku yang ditulisnya itu, 75 novel dan 28 cerpennya merupakan kisah detektif Komisaris Maigret yang muncul pertama kalinya pada tahun 1931 hingga 1972. Saking populernya, novel-novel seri Maigret telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, diadaptasi ke dalam cerita radio dan 50 film layar lebar, dan ratusan episode dalam serial TV. Berbagai penghargaan telah diraihnya, namanya menjadi legenda sebagai penulis cerita detektif , dan dalam rangka peringatan 100 tahun kelahirannya pada tahun 2003 dibuatlah coin perak dengan gambar wajahnya. Baru-baru ini Times Online memasukkan nama Georges Simenon dalam The 50 Greatest Crime Witers di urutan ke 2 setelah Patricia Higsmith. Sementara Agatha Chistie dan Sir Arthur Conan Doyle masing-masing menempati urutan ke 3 dan ke 6

Melihat karya-karyanya yang luar biasa dan telah diakui sebagai salah satu penulis cerita detektif terbaik di dunia, sangat mengherankan kalau belum satupun karyanya yang pernah diterbitkan di Indonesia, karenanya tak heran jika nama Maigret dan Georges Simenon tidak dikenal di kalangan pembaca kita.. Barulah setelah hampir 20 tahun sejak meninggalnya Simenon, kisah sang Komisaris Maigret hadir di Indonesia berkat kerjasama antara Penerbit Kiblat Buku Utama yang didirikan oleh budayawan senior Ajip Rosidi dengan Forum Jakarta Paris pimpinan Dr. Henry Chambert-Loir.

Dua buah judul seri Maigret pertama yang diterjemahkan langsung dari bahasa aslinya (Perancis) untuk pertama kalinya hadir di Indonesia adalah Tukang Kuda Kapal La Providence dan Pertaruhan Jiwa. Pada novel Tukang Kuda Kapal La Providence yang diterjemahkan oleh NH. Dini, Maiget diperhadapkan dengan kasus ditemukannya mayat wanita di sebuah kandang kuda di desa Dizy yang terletak di tepi terusan menuju pedalaman Perancis. Bukan kasus yang mudah diungkap karena banyak sekali kapal-kapal yang melewati terusan dan singgah di desa itu setiap harinya.

Baru saja Maigret mempelajari bagaimana keadaan desa, sistem pengaturan transportasi di terusan, kapal-kapal beserta orang-orangnya, pembunuhan yang kedua terjadi. Apakah ini merupakan pembunuhan berseri? Ataukah ini hanya kebetulan? Hal ini menyebabkan Maigret harus memutar otak dan bekerja secepat mungkin mencari petunjuk-petunjuk untuk melacak jejak si pembunuh sebelum terjadi lagi pembunuhan berikutnya.

Yang menarik pada buku ini selain diajak menyelidiki kasus pembunuhan, pembaca juga akan diajak berjalan-jalan di sekitar lokasi pembunuhan terjadi , yaitu di sebuah terusan menuju pedalaman Perancis di tahun 30-an dimana tenaga kuda masih dipergunakan untuk menarik kapal-kapal ketika memasuki kanal terusan.

Sedangkan di novel kedua yang berjudul “Pertaruhan Jiwa”, menceritakan seorang pemuda lugu dan miskin yang ditangkap dan dijatuhi hukuman mati karena dituduh membunuh seorang janda kaya beserta pengurus rumahnya. Apakah benar dia pembunuhnya?. Yang menarik adalah bagaimana Maigret menyusun rencana cerdik dengan sengaja memberi kesempatan pada si pemuda agar melarikan diri dari penjara untuk mengungkap kebenaran apakah betul si pemuda itu benar-benar pembunuhnya atau bukan.

Jika di novel “Tukang Kuda Kapal La Providence” kita diajak menyelusuri daerah terusan di pedalaman Perancis, maka di novel ini kita akan diajak menyelusuri lika-liku kota Paris dengan tokoh-tokoh yang memiliki karakter unik hingga akhirnya sedikit-demi sedikit misteri pembunuhan janda kaya itu terkuak.

Komisaris Maigret oleh penulisnya dideskripsikan sebagai detektif yang gemar mengisap pipa dengan dandanan topi dan jas panjang layaknya gambaran klasik seorang detektif. Namun cara kerjanya tidak seperti detektif ortodok yang hanya mengandalkan instituisinya dibanding bukti-bukti petunjuk. Maigret juga senantiasa melakukan pendekatan yang manusiawi dalam setiap kasusnya.

Dalam tiap penyelidikannnya Maigret selalu mencoba menyelusuri mengapa dan apa yang menyebabkan seseorang melakukan kejahatan dari sisi manusiawi. Magiret lebih menyukai mengungkapkan mengapa sebuah kejahatan bisa terjadi dibanding bagaimana terjadinya sebuah kasus kriminal. Jadi kisah-kisah Maigret berpusatkan pada karakter orang-orang dan motivasi terdalam para pelaku kejahatan, tidak hanya mengutamakan plot yang cepat dan pengungkapan bukti-bukti semata seperti kisah-kisah detektif umumnya.

Bagi mereka yang menyenangi kisah-kisah detektif, terbitnya seri Maigret karya Georges Simenon ini tentunya layak untuk diapresiasi. Hingga kini baru dua judul ini yang diterjemahkan, dan semoga penerbit memiliki komitmen dan nafas yang panjang untuk menerbitkan judul-judul lainnya. Covernya tersaji dalam gaya komik dengan paduan warna yang menarik. Jumlah halaman per judulnya tak terlalu tebal dan dikemas dalam ukuran kecil namun nyaman dibaca dan mudah dibawa kemana-mana.

Sayang dalam buku edisi terjemahannya tak ada halaman yang menerangkan siapa itu Georges Simenon. Padahal dua judul ini merupakan dua karya pertama Simenon yang untuk pertama kalinya hadir di Indonesia dan sebagian besar pembaca kita belum mengenal nama besar Simenon. Dengan dicantumkanya biografi singkat Simenon dan sedikit mengenai karya-karyanya di setiap bukunya tentunya akan menambah kenikmatan dalam mengapresiasi buku ini sehingga pembaca tak dibuat bertanya-tanya siapa itu Simenon seperti yang saya alami sebelum akhirnya saya browsing di internet. Semoga di judul-judul berikutnya penerbit dapat memuat sedikit keterangan mengenai Georges Simenon.

Akhir kata seperti yang diungkap oleh Tania Intan, M.Pd. (dosen Sastra Unpad) pada saat pembahasan buku ini di Bandung beberapa waktu yang lalu, dengan diterjemahkannya buku-buku karya Simenon dalam bahasa Indonesia diharapkan akan menambah khasanah sastra di Indonesia. Selain itu, hal ini akan menjadi kesempatan bagus bagi mahasiswa Sastra Perancis dan penyuka sastra Perancis untuk lebih dapat mengenal Simenon dalam karya-karyanya.


@h_tanzil

 
ans!!