Friday 30 September 2011

Letters to Sam



[No. 269]
Judul : Letters to Sam
Penulis : Daniel Gottlieb
Penerjemah : Windy Ariestanty
Penerbit : Gagas Media
Cetakan : I, 2011
Tebal : 218 hlm

Surat adalah salah satu cara yang paling efektif dalam menyampaikan pesan kita kepada seseorang yang terpisahkan oleh jarak dan waktu.  Salah satu keuntungan menyampaikan pesan melalui surat adalah pesan kita akan terdokumentasikan dengan baik dan  lebih terstruktur sehingga mudah dipahami 

 Walaupun surat ditulis dengan gaya personal kepada seseorang tertentu , namun tak jarang surat-surat itu dapat  bermanfaat  bagi banyak orang, contohnya adalah surat-surat personal yang dikirim oleh tokoh-tokoh terkenal, sebut saja RA Kartini, HB Jasin, Ajip Rosidi, Pramoedya, dll yang pada akhirnya  dibukukan sehingga dapat dibaca oleh banyak orang dan menjadi inspirasi

Demikian pula surat-surat yang ditulis oleh Daniel Gotlieb kepada cucunya Sam.  Gotlieb adalah seorang psikolog  yang pernah mengalami kecelakaan lalu lintas sehingga separuh tubuhnya lumpuh.  Di awal-awal kecelakaan ia sempat frustasi akan ketidakberdayaannya  namun akhirnya ia bisa mengatasi semuanya itu. Pengalaman yang ia alami inilah yang mau ia sampaikan melalui surat-suratnya pada Sam, cucunya yang juga mengalami keterbatasan seperti dirinnya. Sam adalah penderita autisme

Sebelum mengetahui bahwa Sam adalah anak yang autis, niatan Gotlieb untuk menulis surat pada cucunya adalah semata hanya karena ingin memberi pesan pada cucunya tentang hidup, cinta, dan apa arti memiliki orang tua dan pentingnya teman. Ia juga ingin Sam tahu siapa dirinya dengan harapan Sam akan membacanya suatu hari kelak.

Namun harapan itu berubah, ketika Sam berumur kurang dari 2 tahun Sam menunjukkan gejala autisme, gangguan otak yang secara radikal mengubah cara orang memahami dan menanggapi dunia serta hal-hal lain diluar dirinya. Awalnya Gottlieb sangat terpukul, apakah kelak di kemudian hari Sam akan mampu memahami surat-surat yang ditulis untuknya?

Namun akhirnya Gottlieb sadar bahwa dengan penyakit yang diderita cucunya dirinya ternyata memiliki banyak hal untuk disampaikan pada Sam kelak, untuk itulah akhirnya ia segera mewujudkan keinginannya untuk menulis surat untuk Sam.

Sadar bahwa Autisme yang diderita Sam membuat dirinya berbeda dengan anak-anak lain Gottlieb menulis agar Sam memahami apa artinya ‘berbeda’ dari orang lain. Perbedan tidak seharusnya menjadi hambatan, melainkan harus dijalaninya dengan penuh perjuangan. Seperti dirinya yang ‘berbeda’ dari orang lain karena  cacat tubuhnya, Gottlieb  berjuang mengatasi perbedaan itu dan melalui suratnya Gottlieb  mengajari Sam bagaimana caranya menerima perbedaan dan berjuang untuk menjalani kehidupannya.

Dalam surat Gottlieb juga menekankan soal cinta sejati, ia ingin agar Sam dicintai sepenuhnya dan mengecap setiap sensasi yang dihadirkan oleh cinta sehingga ketika Sam dewasa nanti cucunya akan mengeri bahwa memberikan cinta adalah sebuah kebahagiaan sejati karena memberi cinta jauh lebih penting daripada menerimanya.

“Semoga kau tetap ingat apa yang dibutuhkan jiwamu. Bukan kemakmuran, harga diri, dan kepemilikan, tetapi tanggung jawab orang dewasa untuk mencintai..”  (hal 157)

Menyoal keterbatasan fisiknya sehingga Gottlieb harus selalu berada dalam kursi roda dan membuat dirinya banyak dibantu oleh orang-orang yang berada di sekitarnya  tak lantas membuat dirinya merasa rapuh karena keterbatasannya ini membuat orang lain merasa bahagia karena dapat membantunya.

Dari perspektif kursi rodanya Gottlieb  menulis demikian, 

“ Acapkali kita berusaha untuk menghindari hal-hal yang bisa menampakkan kerapuhan kita sehingga kita jadi sering berpura-pura. Namun, hanya dengan berhenti berpura-pura bahwa kau berani atau kuat, maka kau bisa mendorong orang lain untuk menunjukkan kebaikan yang ada dalam diri mereka”(hal 56)

Masih banyak pesan-pesan yang disampaikan Gotlieb pada cucunya ini.  Ada 33 surat yang diklasifikasikan berdasarkan tema sehingga lebih memudahkan pembacanya untuk memahami apa benang merah dari surat-surat yang ditulis Gotlieb dalam setiap bagiannya.  

Seperti halnya sebuah surat personal, buku inipun ditulis secara personal dengan kalimat-kalimat yang mudah dimengerti sebagaimana seorang kakek menulis untuk cucunya yang beranjak dewasa.  Latar belakang Gotlieb sebagai seorang psikolog  tercermin dalam setiap  suratnya sehingga setiap pesan yang ditulisnya ini benar-benar menyentuh dan menggugah  pembacanya.

Walau ditujukan pada cucunya yang menderita autis namun keseluruhan dari surat-suratnya ini bersifat universal sehingga dapat dibaca oleh siapa saja dengan range usia pembaca yang luas , sayangnya Gotlieb tidak mengeksplorasi secara mendalam mengenai keautisan Sam . Andai saja Gottlieb menulis lebih spesifik lagi dan mengeksplorasi pesan-pesannya untuk cucunya yang  autis tentunya buku ini akan semakin menarik terutama  oleh para orang tua yang anaknya menderita autis.

Namun terlepas dari itu apa yang ditulis Gottlieb pada Sam sangatlah bermanfaat dan inspiratif,  bukan bagi Sam saja, melainkan bagi kita semua yang membacanya. Dalam surat-suratnya kita akan menemukan berbagai pesan bagaimana cara menghadapi ketakutan, merajut harapan, memberikan cinta,  mensyukuri anugerah hidup, dan mengambil hikmah dalam setiap rencana Tuhan bagi kita.

Gotlieb telah menulis untuk Sam dan untuk kita, mari kita pahami, maknai, dan belajar dari kehidupan Gotlieb untuk menjalani kehidupan kita. Dan yang pasti dengan membeli buku ini kita juga menjadi berkat bagi banyak orang karena seluruh royalty dari buku ini akan didonasikan untuk Care Autis Now dan kegiatan amal lainnya yang berkaitan dengan anak-anak.

@htanzil

Wednesday 7 September 2011

2 - Donny Dhirgantoro

[No. 268]
Judul : 2
Penulis : Donny Dhirgantoro
Penerbit : Grasindo
Cetakan : I, 2011
Tebal : 418 hlm


Setiap manusia memiliki cita-cita namun terkadang apa yang dicita-citakannya itu terhalang oleh keterbatasaan dan ketidaksempurnan hidup. Untuk itulah kita perlu memiliki mimpi sebagai api penyulutnya, namun mimpi saja tidaklah cukup karena harus ada perjuangan dan kerja keras untuk menggapai mimpi kita.

Itulah juga yang dialami Gusni, seorang perempuan yang berjuang untuk mimpinya, ia mencintai hidupnya di tengah segala keterbatasan dan waktu sigkat yang dimilikinya. Semenjak lahir Gusni memiliki kelebihan yang sekaligus akan menjadi keterbatasannya. Ia terlahir dengan berat badan 6 kg!, dua kali lipat dari berat badan bayi-bayi normal.

Rupanya kelebihan berat badan yang dialami Gusni disebabkan adanya masalah dengan sistem pembakaran lemak di tubuhnya, penyebabnya adalah kelainan genetis dari keluarganya dimana kakek buyut dan kakeknya pun pernah mengalami hal yang sama. Kelainan ini menyebabkan bobot tubuh Gusni tidak akan pernah bisa turun melainkan terus bertambah seiring bertambahnya usia, malangnya kelainan ini tidak bisa disembuhkan sehingga apapun pengobatan dan usaha yang dilakukan untuk membuat berat badannya normal adalah hal yang sia-sia.

Semakin besar Gusni semakin gemuk, untungnya ia tak pernah minder dengan bobot tubuhnya, walau sering menerima ejekan dari teman-temannya ia tetap ceria dan percaya diri, ia juga memiliki keyakinan bahwa orang yang gemuk itu memiliki ‘hati’ yang lebih besar dibanding orang yang kurus. Beruntung karena Gusni juga dibesarkan di tengah keluarga yang mengasihinya, sehingga walau memiliki ‘kelainan’ ia diperlakukan secara normal seperti kakak perempuannya yang adalah seorang atlit bulu tangkis nasional.

Karena Gusni sering melihat kakaknya bermain bulu tangkis di TV dan bagaimana bahagianya orang tuanya setiap melihat kakak perempuannya berlaga dan memenangkan pertandingan membuat Gusni ingin menjadi atlit bulu tangkis seperti kakaknya agar iapun dapat membahagiakan kedua orang tuanya.

Tentunya dengan bobot tubuh yang saat itu sudah lebih dari 100 kg bukan hal yang mudah untuk menjadi atlit bulu tangkis. Awalnya kedua orang tuanya ragu-ragu untuk mengabulkan permintaan Gusni karena ‘kelainan’ yang dideritanya. Saat itu Gusni memang belum diberitahu tentang penyakitnya itu karena penyakit itu ternyata menyimpan ‘bom waktu’ yang tak diketahui dengan pasti kapan akan ‘meledak’kannya.

Ketika akhirnya Gusni mengetahui bahwa bobot tubuhnya merupakan kelainan  yang disebabkan oleh faktor genetis, hal ini tak menyebabkan ia mundur dari cita-citanya, ia malah memantapkan tekadnya untuk berjuang melawan penyakitnya dan meraih mimpinya menjadi atlet bulutangkis. Dengan bulutangkis Gusni mencoba melawan penyakitnya dan membahagiakan orang tuanya.

Kisah dalam novel ini memang merekam seluruh perjuangan Gusni untuk meraih mimpinya mulai dari lahir hingga usianya beranjak dewasa dan mencoba meraih mimpinya untuk menjadi atlet bulutangkis nasional yang ketika itu berat badannya telah mencapai 125 kg. Satu hal yang tampaknya mustahil karena bukankah seorang atlet bulutangkis biasanya memiliki postur tubuh yang ramping karena diperlukan kelenturan tubuh dan kelincahan dalam mengejar dan megembalikan kok dari lawan tandingnya?

Walau inti kisahnya adalah memotivasi pembacanya untuk berjuang meraih mimpi, namun novel ini ditulis dengan ringan sehingga mudah dipahami pembacanya. Paruh pertama novel ini ditulis dengan diselipi humor-humor gaya anak muda masa kini. Mungkin maksudnya untuk menghibur pembacanya, namun saya merasa humor-humor yang dihadirkan terlalu berlebihan alias ‘lebay’ sehingga saya kurang bisa menikmati paruh pertama dari novel ini.  Di paruh kedua barulah novel ini menjadi sedikit lebih serius terutama ketika memasuki bab-bab perjuangan Gusni menaklukkan kelebihan berat badannya dan perjuangannya meraih mimpinya.

Pada akhirnya novel ini bisa dikatakan novel yang memotivasi dan menggugah pembacanya untuk memiliki mimpi dan meraihnya, selain itu novel ini juga juga membangkitkan semangat nasionalisme pembacanya melalui bulutangkis . Jika di novel sebelumnya (5 cm) penulis menghadirkan olah raga mendaki gunung, kini Bulutangkis dijadikan sebagai kendaraan oleh penulisnya untuk menyampaikan misinya mengenai persahabatan, mimpi, cinta, keluarga, kerja keras, dan semangat nasionalisme. 

Pilihan penulisnya untuk memakai bulutangkis dalam novelnya ini saya rasa cukup berani, disaat Indonesia mengalami euforia terhadap timnas sepakbola Indonesia sampai-sampai Andrea Hirata menyempatkan diri untuk menulis novel 11 Patriot  tentang sepak bola, Donny Dhirgantoro justru menghadirkan bulu tangkis sebagai latar dalam novel terbarunya ini. 

Pilihan yang bagus karena di saat demam sepakbola melanda Indonesia, setidaknya novel ini akan mengingatkan kita bahwa bulu tangkis adalah olah raga yang pernah mengharumkan nama Indonesia di tingkat dunia namun yang kini sedang terpuruk nyaris tanpa prestasi yang membanggakan.

Melalui bulutangkis persoalan harga diri bangsa adalah hal yang dijadikan point utama di novel ini, hal itu tercermin ketika novel ini menceritakan bagaimana tim putri Indonesi harus berhadapan dengan tim putri Singapura yang sebagian pemain-pemainnya adalah mantan atlit Indonesia yang hijrah karena menerima bayaran yang lebih besar. 

Atau bagaimana ketika akhirnya di final tim putri Indonesia berhadapan dengan Malaysia. Seperti kita ketahui beberaap tahun belakangan ini Malaysia selalu ‘mengusik’ harga diri rakyat Indonesia dengan mengklaim beberapa budaya Indonesia sebagai miliknya. Melalui novel ini harga diri bangsa Indonesia kembali diangkat melalui bulutangkis. 

Di bagian-bagian akhir, penulis juga mendeskripsikan suasana pertandingan antara tim putri Indonesia dengan lawan-lawannya hingga ke final. Perjuangan tim putri Indonesia poin demi poin dikisahkan dengan menawan sehingga kita seakan sedang menyaksikan langsung ketegangan yang berlangsung di lapangan.

Pada akhirnya melalui tokoh Gusni yang berjuang melawan penyakitnya dan kerja kerasnya meraih mimpi untuk membahagiakan orang tuanya melalui bulutangkis , Gusni memberi kita sebuah kalimat penutup untuk direnungkan,

“Seperti hidup yang tidak sempurna. Kamu tidak akan menyerah. Cintai impianmu. Cintai kerja kerasmu. Cintai hidupmu dengan berani, jangan menyerah dan jangan berputus asa.” (hal 415)

@htanzil

Nb :
Satu hal lagi yang menarik adalah misteri angka ‘2’ yang dijadikan judul novel ini. Apa maksudnya? Pembaca tampaknya dibiarkan bertanya-tanya dan menafsirkan sendiri apa arti dari judul, jawabannya baru diberikan di tersebut di lembar-lembar terakhir novel ini. Kalau anda belum membaca novelnya, sebenarnya makna angka ‘2’ itu sudah saya berikan dalam review ini. Silahkan mencari sendiri jawabannya :)

 
ans!!