Sunday 31 December 2006

Buku Pilihan 2006

Mengikuti jejak Endah Perca di http://perca.blogdrive.com, inilah 15 buku berkesan yang saya baca selama tahun 2006.

Saya bagi dalam dua kategori, yaitu fiksi dan non fiksi, untuk non fiksi saya hanya memilih 5 buku saja karena keterbatasan bacaan saya terhadap buku-buku nonfiksi.

Buku-buku yang saya pilih tentunya sangat subyektif sekali, saya memilihnya berdasarkan tema yang unik, cara penyajian yang menarik, dan bagaimana buku-buku yg saya pilih ini membuat wawasan saya bertambah.

Urutan 1 s/d 10 bukan berdasarkan peringkat, melainkan berdasarkan urut alvabet

Fiksi :

1. Berjuta-Juta dari Deli - (Emil W. Aulia)
2. Balzac dan Penjahit Cilik dari Cina (Dai Sijie)
3. My Name is Red (Orhan Pamuk)
4. Perpustakaan Ajaib Bibi Bokkern (Jostein Gaarder)
5. The Kite Runner ( Khaleid Hosseini)
6. The Namesake (Jumpa Lahiri)
7. The Godfather (Mario Puzo)
8. To Kill A Mockingbird (Harper Lee)
9. Snow Flower (Lisa See)
10. Sang Pemimpi (Andrea Hirata)


Non Fiksi :
1. 1421 - Saat China Menemukan Dunia (Gavin Menzies)
2. Agar Anak Anda tertular Virus Membaca (Paul Jennings)
3. Ensiklopedia Sastra Dunia (Anton Kurnia)
4. Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali (Koesalah ST)
5. Menyusuri Lorong-Lorong Dunia (Sigit Susanto)

Selamat Tahun Baru 2007
Ayo Baca Buku!!!!!!

@h_tanzil

Monday 25 December 2006

Selamat Natal !



Selamat Natal !

Karena begitu besar Kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-NYA yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.

Yoh 3 : 16

Friday 22 December 2006

Tanda tangan asli Coelho


Memenuhi permintaan teman2, kupajang tanda tangan asli Paulo Coelho di buku The Zahir !
Buku bertanda tangan ini kudapat setelah memenangkan lomba komentar Paulo Coelho yang diselenggarakan oleh milis Bibliphile_GPU@yahoogroups.

Nah, ini foto waktu Coelho menandatangani bukuku :-)

Berikut komentar para pemenangnya :

Paulo Coelho adalah pujangga sekaligus filsuf. Dengan karya-karyanya ia mendongengkan filsafat hidup dan nilai-nilai spiritual universal dalam bahasa yang menawan, sarat makna dan mengaduk imajinasi.

Hernadi Tanzil, (htanzil@gmail.com )

Bukan 'ending' cerita yang menjadi tujuan terpenting saat membaca karya Coelho. Namun kalimat-kalimat dalam karyanya, mulai dari awal sampai akhirlah yang mampu mencerahkan dan menginspirasi. Coelho mampu menuangkan filsafat kehidupan dalam cerita yang mengalir dan tidak membuat kening berkerut.
Yoke Yuliana (do_thea@yahoo.com)



Coelho laksana fotografer profesional. Beliau memotret absurditas, mencetaknya dalam bingkai realitas yang penuh keindahan, dan memberikan kita ruang untuk menikmatinya.

Airin Sunandar (st0rm_78@yahoo.com)

-------------------

Tanpa kuduga bukunya tiba di meja kerjaku pagi ini....langsung kubuka dan kuperlihatkan pada teman-teman kantorku dengan bangga....he..he..

Terima kasih untuk teman2 di GPU yang telah menyelenggarakan lomba komentar ini..

salam,
tanzil






Saturday 16 December 2006

Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan aku

Judul : Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan aku
dan cerita-cerita lain
Penulis : Akmal Nasery Basral
Penerbit : Ufuk Press
Cetakan : I, Desember 2006
Tabal : 268 hal






Apa yang tercerap sebagai kesan bagi kita setelah membaca seluruh cerpen Akmal ?


Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Kurnia Effendi (cerpenis nominator KLA 2006) sebagai kalimat penutup dari makalah yang berjudul “Membongkar Ihwal di Kepala Akmal” yang disampaikan pada saat pre-launch buku ini di Potluck Book Festifal - Bandung, 2 Des 2006.

Pertanyaan itu menggelitik saya untuk segera menjawabnya setelah membaca habis ke-13 cerpen plus kata Pengantar, Memoria, Galeri Publikasi, Galeri Inspirasi , Galeri Apresiasi hingga endorsment di cover belakang buku ini.

Agar teman-teman tidak jenuh membaca [Ulasan] yang biasa saya buat secara formal, ijinkan saya mengulasnya dengan gaya personal.

Ketika melihat tampilan fisik buku ini, terus terang saya agak kurang suka dengan covernya. Terus terang saya paling cerewet dalam soal cover karena bagi saya cover sebuah buku berpengaruh terhadap minat baca saya. (jangan ditiru ya…).

Yang ‘mengganggu’ saya dalam cover buku ini adalah foto patung ibu dan anak. Padahal backgroundnya berupa foto bangunan tinggi dengan dominasi warna biru sangat indah dilihat. Entah apa yang mendasari ilustrasi cover ini, apakah mengacu pada cerpen yang dijadikan judul buku ini dimana salah satu tokohnya adalah seorang ibu yang membunuh anak-anaknya ? Ah, yang pasti foto patung dalam cover buku ini membuat tampilan buku ini menjadi kaku.

Lalu di cover belakang tersaji deretan 7 bh endorsment ! yang membuat saya berdecak kagum, pengendors buku ini adalah orang-orang hebat di bidangnya, mulai dari sastrawan, rohaniwan, kolumnis, aktor, novelis, penyanyi, dan dosen filsafat!

Menurut hemat saya, tak perlulah endorsment sebanyak itu, kesannya koq jadi seperti Kang Akmal nggak ‘pe de’ dengan karyanya sehingga perlu memajang 7 buah endorsment dari orang-orang terkenal. (Ups! Maaf ini anggapan ‘asal’ saya lho..). Menurut saya cukup 2 atau 3 orang saja sehingga tampak lebih elegan dan biarlah karya ini berjuang sendiri tanpa perlu di’bantu’ oleh komentar sekian banyak pakar.

Dari segi lay-out halaman dalam dan ukuran buku saya rasa sangat baik, ukurannya yang ‘handy’ membuat buku ini enak dibaca dan mudah dibawa-bawa. Yang menarik adalah adanya ilustrasi-ilustrasi grafis di tiap cerpennya. Yang mengejutkan adalah adanya halaman-halaman yang hanya diisi oleh satu kalimat dan halaman kosong yang di blok oleh tinta hitam. Lalu ada lagi yang unik, dalam cerpen Hiu di Secangkir Kopi terdapat coretan tanda lingkaran di kalimat-kalimatnnya seakan cerpen tersebut masih berupa draft.

Nah, sekarang saya akan masuk pada isi cerpen.

Cerpen favorit saya sekaligus yang paling inovatif dari ketiga belas cerpen dalam buku ini menurut saya adalah cerpen “Matinya Pengarang Tersantun di Dunia”. Cerpen ini menceritakan persekongkolan antara tokoh wanita dan pria untuk membunuh pengarang yang menciptakan mereka. Jadi seolah-olah tokoh2 fiktif itu ‘hidup’ untuk membunuh si pengarang.

Cerpen-cerpen lainnya tak kalah menariknya. Menurut saya, cerpen-cerpen dalam buku ini menggambarkan Akmal sebagai wartawan. Umumnya cerpen-cerpennya diangkat dari berbagai fakta, misalnya cerpen “Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku”, akan mengingatkan kita akan kejadian di Bandung dimana seorang ibu membunuh ketiga anaknya. Pada cerpen “Dilarang Bercanda Dengan Kenangan” setting ceritanya berkisar pada saat kunjungan seorang milyuner ke Aceh dan flash back ke masa meninggalnya Lady Di Paris. Peristiwa Bom Bali juga mengilhami Akmal untuk membuat cerpen “Prolog Kematian”. Bahkan kematian pesohor TV Steve Irwin oleh cambukan ekor ikan pari-pun disinggung dalam cerpen "Seekor Hiu di Cangkir Kopi”. Dan fakta yang paling gress adalah peristiwa lumpur panas Lapindo yang menjadi latar cerpen “Lebaran Penghabisan”.

Akmal juga saya lihat menyelipkan kritik-krtitik sosial pada beberapa cerpennya, misalnya pada cerpen “Lebaran Penghabisan” budaya open house yang kerap dilakukan oleh para pejabat saat hari Raya Idul Fitri kini dijadikan alat untuk menjilat atasan : “..karena pada hari itulah manusia saling bersilaturahmi dan saling memaafkan tanpa latar belakang sosial atau jabatan…Namun open house mengubah semuanya, bahkan sampai ke kampung-kampung. Siapa yang bisa menjamin bawahan yang datang ke rumah atasannya pada saat lebaran itu benar-benar murni bersilaturahmi dan bukan soal kondite?”. Lalu pada cerpen “Seekor Hiu di Cangkir Kopi”, disinggung pula realita kematian TKI di luar negeri yang sering luput dari perhatian dan terkesan ‘biasa’ dimata pemerintah kita. Dengan cerdas Akmal membandingkannya dengan Presiden Gloria Arroyo dari Filipina yang mempertaruhkan jabatannya untuk membebaskan seorang supir truk yang disandera kelompok bersenjata. (hal 207).

Selain itu ada juga cerpen yang kocak “Boyon” yang menceritakan seseorang yang diberi nama oleh ayahnya dengan Boyon karena ia lahir setelah ayahnya menonton film James Bond, karena namanya tak jamak maka Boyon sering diolok-olok oleh teman-temannya hingga akhirnya ia beberapa kali mengganti namanya. Namun kelak olok-olokan teman-temannya inilah yang akan mengantarnya pada kesuksesan.

Bagi saya seluruh cerpen dalam buku ini bisa dibilang menarik. Setting ceritanya menyebar mulai dari Aceh, Ambon hingga ke London. Kalimat-kalimatnya enak dibaca, kadang lugas dan sederhana tanpa metafora, namun ada juga yang menggunakan metafora-metafora indah. Semua tersaji dengan pas dan tidak berlebih-lebihan. Pengggalan-penggalan fakta dalam tiap cerpennya membuat kisah-kisahnya terasa dekat karena peristiwa2 yang diangkat sebagai latar cerpen merupakan bagian dari berita sehari-hari yang kerap kita baca dalam media cetak ataupun TV. Apalagi kalau kita lihat proses pembuatan cerpen-cerpennya dibuat di tahun 2006 (hanya satu yang dibuat pada tahun 2005)

Walau hampir semua cerpen-cerpennya pernah dimuat di media cetak, namun menurut Akmal cerpen-cerpen dalam buku ini memiliki perbedaan dengan versi media cetaknya karena terdapat sejumlah penyesuaian, revisi, atau penambahan karakter. Satu langkah yang patut diacungi jempol karena umumnya sebuah buku kumpulan cerpen hanya mencetak cerpen-cerpen sesuai dengan apa yang dimuat di media cetak sehingga lebih tekesan sebuah kliping.

Apakah ada cerpen yang jelek di buku ini….hmm entah karena saya terpesona oleh kemarihan akmal dalam bercerita, entah saya kurang kiritis, saya tak menemukan satu cerpen pun yang saya anggap buruk (ini bukan melebih-lebihkan lho…).

O ya, sedikit hambatan saya temui ketika membaca cerpen “Seekor Hiu di cangkir Kopi”. Coretan-coretan berupa lingkaran dalam kalimat-kalimat dalam cerpen ini sangat mengganggu kelancaran membaca. Entah apa maksud Akmal dan penerbitnya untuk melingkari beberapa kalimat dalam cerpen ini seakan cerpen yang tercetak ini adalah sebuah draft yang masih harus diperbaiki. Hingga kini saya masih penasaran…apa maksudnya ya…?????

Sebagai bonus buku ini juga memuat catatan dari salah seorang dewa sasta Prof.Dr. Budi Darma. Bagi saya masukan-masukan beliau benar-benar membuat saya manggut-manggut serasa dikuliahi secara langsung oleh beliau.

Akhir kata inilah kesan yang saya tangkap setelah membaca buku ini. Satu hal lagi karena profesi Akmal sebagai jurnalis, kadang ketika selesai membaca sebuah cerpen saya sering menduga-duga jangan-jangan ini peristiwa nyata!!!!

Mungkin itulah resiko membaca karya fiksi seorang jurnalis/wartawan, kita dibuat bingung mana fakta mana fiksi…..

Demikian kesan yang saya tangkap, saya harus menggakhirinya karena ada seseorang di kepalaku yang bukan aku yang menyuruhku untuk mengakhiri ulasan ini.

@h_tanzil

Saturday 9 December 2006

Siapa Bilang Kawin Itu Enak ?

Judul : Siapa Bilang Kawin Itu Enak ?
(Kumpulan certia pendek tentang pasangan muda)
Penulis : Tria Barmawi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : September 2006
Tebal : 176 hlm ; 21 cm
Harga : Rp. 29.000,-




Judul kumpulan cerpen ini sangat provokatif. Bagaimana tidak, dalam benak kita pernikahan adalah sesuatu yang indah dan menjadi peristiwa yang sangat dinantikan bagi mereka yang telah memiliki pasangan yang serius, menikah adalah momen paling membahagiakan seperti yang dilihat dalam film-film drama romantis.

Apakah buku ini memang mencoba menjungkirbalikkan pandangan umum tentang indahnya pernikahan ? Tentu saja tidak! Buku ini hanya memandang saat pernikahan dan masa-masa setelahnya dalam sudut pandang yang berbeda. Sesuai dengan sub judulnya, “Kumpulan cerita pendek tentang pasangan muda”, semua cerita pendek yang terdapat dalam buku ini menceritakan tentang suka duka pasangan muda dalam menjalani pernikahan mereka.

Buku yang diberi label Metropop oleh penerbitnya ini berisi 17 cerpen yang dipilah berdasarkan tema yang lebih sempit lagi menjadi 5 bagian yang terdiri dari, Dua Jadi Satu, Tabir Mulai Terkuak, Cinta tak lagi cukup, Bumbu Cinta, Bersama Selamanya.

Pada Bagian Dua Jadi Satu, bab ini berisi dua buah cerpen dengan kisah-kisah sebelum pernikahan itu berlangsung. Salah satunya cerpen yang dijadikan judul buku ini : “Siapa Bilang Kawin Itu Enak”. Cerpen ini menceritakan bagaimana ribetnya mempersiapkan sebuah pernikahan, mulai dari soal undangan, seragam, katering, dll. Sini, aku kasih tahu ya,! Satu. Camkan. Persiapan pernikahan adalah mimpi buruk. Dari beberapa bulan, bahkan mungkin satu tahun sebelum Hari-H, kalian bakalan dibuat sibuk segala macam hal. (hal 22). Tidak itu saja, ‘siksaan-siksaan’ yang harus dilalui sang pengantin di hari pernikahannya pun terungkap secara menarik dan lucu. Pada akhirnya alih-alih hari-H yang seharusnya menjadi puncak kebahagiaan, malah menjadi puncak dari sebuah mimpi buruk.

Di bagian kedua hingga bagian kelima, tema-tema cerpen bergeser pada masalah-masalah sepele yang kerap timbul bagi para pasangan muda yang belum lama menikah. Berbagai cerita yang menggelitik dan inspiratif terdapat didalamnya, antara lain keributan di kamar tidur seperti yang terungkap dalam cerpen “Di Kamar Tidur” yang mengungkap bagaimana kebiasaan suami dan istri menjelang dan pada saat tidur dapat memicu sebuah konflik seperti posisi tidur, suhu AC, menonton TV, lampu kamar, dll.

Tidak hanya masalah kebiasaan dalam tidur, persoalan yang menyangkut selera lidahpun terungkap dalam buku ini. Dalam cerpen “Ketika Lidah Jadi Masalah” dikisahkan pasangan berbeda bangsa yang bermukim di Malaysia dimana Raj seorang Malaysia keturunan India beristrikan seorang Indonesia bernama Nina. Dalam hal makanan Raj hanya bisa mengkonsumsi makanan kari khas India kesukaannya. Selama tinggal di Malaysia hal ini tak menjadi masalah karena Nina tetap setia memasakkan kari untuk Raj. Persoalan timbul ketika mereka mengunjungi keluarga Nina di Indonesia dan bumbu instan kari yang dibeli di Malaysia tertinggal. Cerpen ini menarik karena penulis memasukkan dialog-dialog khas melayu yang bagi kita terdengar lucu, misalnya komentar Raj terhadap sayur sop : “Tapi I tak suka apa itu..masakan Indonesia. Nanti you buat I makan macam masakan you di sini..sayur without spices itu…”,…“Sedep macam mane? Sayur dak de warna, tak de rasa…mana boleh cakap sedap lah!” (hal 56)

Tidak hanya itu, buku ini mengungkap pula bagaimana ketika cinta yang menggebu-gebu di awal masa pacaran menjadi hambar oleh rutinitas seperti yang terdapat dalam cerpen “Telah Terbiasa”. Apalagi ketika kehadiran seorang bayi membuat seolah cinta yang tadinya hanya untuk masing-masing pasangan kini harus berbagi dengan hadirnya buah cinta mereka (cerpen Jealousy).

Secara keseluruhan cerpen-cerpen yang terdapat dalam buku ini berisi cerita-cerita yang menghibur yang menceritakan bagaimana para pasangan muda harus beradaptasi dan berkompromi dengan pasangan hidupnya. Tidak ada cerita dengan konflik-konflik yang berat, tema-tema yang diangkat semuanya ringan-ringan saja, menggelitik, sederhana dan realistis dan sangat dekat dengan keseharian kita sehingga ketika kita membacanya kita seolah membaca kisah diri kita sendiri dan menertawakan diri sendiri.

Yang mungkin agak disayangkan adalah sudut pandang seluruh kisah dalam buku ini hanya diambil dari sisi pasangan muda nya saja. Andai beberapa cerpen disajikan dengan sudut pandang yang berbeda, misalnya dari sudut pandang orang tua atau mertua masing-masing pasangan, tentunya buku ini akan lebih ‘berwarna’

Selain itu walau tampaknya penulis mencoba menyuguhkan kisah-kisah yang realistis, ada dua buah cerpen yang tampaknya sedikit mengada-ngada. Pada cerpen “One Night in Valley” rupanya penulis terjebak dalam kisah-kisah romantis ala Hollywod dimana si pria memberikan cincin pada istrinya sambil mengungkapkan cintanya di sebuah restoran dengan disaksikan oleh para pengunjung restoran. Adegan ini mengingatkan kita pada adegan di film-film drama romantis. Kenyatannya untuk budaya timur rasanya hal seperti ini agak janggal untuk dilakukan.

Lalu pada cerpen “Telah Terbiasa”, dikisahkan untuk mengatasi kejenuhan akibat rutinitas kehidupan perkawinan mereka, si istri menganjurkan suaminya untuk meminta tugas ke luar kota selama beberapa waktu. Rasanya hal ini tak lumrah dilakukan oleh seorang istri yang pada kisah ini masih sangat mencintai suaminya, mana ada sih istri yang mau ditinggal oleh suaminya dengan alasan jenuh pada pernikahan mereka ?

Namun terlepas dari hal-hal di atas ,secara keseluruhan kumpulan cerpen dalam buku ini tampaknya mampu memotret kehidupan pasangan muda dalam keseharian mereka. Semua cerita-ceritanya menghibur namun bukan sekedar membuat pembacanya tertawa, namun buku ini memberikan gambaran realistis bahwa kehidupan perkawinan tidak selamanya indah seperti dalam kisah-kisah dongeng. Pernikahan bukan hanya sekedar bukti cinta kita pada pasangannya melainkan pertautan dua hati beserta kebiasaan-kebiasaan masing-masing pribadi yang jika tidak dikomunikasikan dan diselaraskan akan memicu konflik dalam kehidupan perkawinan.

Sebagai tambahan, bagi pembaca yang telah menikah, beberapa cerpen dalam buku ini bisa dikatakan merupakan cerminan dirinya sehingga mereka umumnya akan berkata bahwa buku ini “Gue Banget!!!!”

@h_tanzil

Saturday 2 December 2006

Beijing Doll

Judul : Beijing Doll
Penulis : Chun Sue
Penerjemah : Ferina Permatasari
Penyunting : Yusi Avianto Pareanom
Penerbit : Banana Publisher
Cetakan : Pertama, Oktober 2006
Tebal : 292 hlm
Harga : Rp. 33.500,-



Beijing Doll adalah novel semi autobiografis karya Chun Sue, penulis muda China yang ketika novel ini ditulis baru berusia tujuh belas tahun. Dalam novel ini Chun Sue merekam berbagai kejadian di masa remajanya dan hal-hal lain tentang generasinya di tahun 90-an. Novel ini sempat menjadi kontoversi dan dilarang di China karena pemaparannya yang jujur akan perilaku seks dan kehidupan kaum remaja China di era 90-an. Hal ini memperpanjang daftar novel-novel karya penulis muda China yang dilarang beredar di negaranya sendiri namun mendapat sambutan yang baik di negara-negara Barat. Sebut saja Shanghai Baby – Wei Hui (1999) dan Candy – Mian Mian.(2000)

Tak dapat dipungkiri, Beijing Doll (2002) akan mengingatkan orang pada Shanghai Baby, sehingga sebelum membaca novel ini banyak pembaca berharap akan mendapatkan kehebohan yang sama dengan Shanghai Baby. Walau tema yang diangkat hampir sama, yaitu mengenai generasi baru yang tumbuh di China, namun novel ini berbeda dengan Shanghai Baby yang lebih menyerupai episode Sex in The City. Dalam Beijing Doll tampaknya Chun Sue sangat setia dalam pengalaman kehidupannya sebagai seorang gadis remaja, sehingga konflik-konfilknya tak sedalam Shanghai Baby.

Chun Sue dalam Beijing Doll menulis kesehariannya layaknya sebuah ‘diary’. Ia memulai kisahnya ketika ia duduk di kelas 3 SMP, gagal melanjutkan ke tingkat SMU akhirnya ia melanjutkan ke SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Chun Sue adalah tipikal gadis berusia empat belas tahun yang berasal dari kaluarga kelas menengah di Beijing. Ia gadis yang bebas, menyukai musik rock, menulis puisi dan novel, ia juga memiliki pandangannya yang liberal terhadap seks. Saat masih duduk di kelas 3 SMP ia telah kehilangan kegadisannya. Hobinya akan musik rock mengantarnya pada pergaulannya dengan para musisi rock underground. Ia rela mengambil cuti panjang untuk bisa berkunjung ke Kaifeng dimana sebuah band rock pujannya berada. Selain itu Chun Sue juga memiliki hobi menulis, hobinya ini ia salurkan dengan bekerja sebagai jurnalis di sebuah majalah

Hobi menulis dan mengikuti kehidupan para musisi ini rupanya yang sesuai dengan jiwa Chun Sue yang bebas. Ia tak mau terikat oleh apapun. Ketika akhirnya ia kembali dari cuti panjangnya dan harus mengulang di kelas tiga SMK, ia dimasukkan dalam sebuah kelas yang berprestasi yang menjalankan berbagai aturan untuk mempertahankan prestasi kelasnya tersebut, Chun Sue menjadi tak kerasan dan akhirnya memutuskan untuk keluar selamanya dari sekolah.

Chun Sue juga kerap memiliki hubungan dengan sejumlah laki-laki, semenjak SMP ia sudah beberapa kali berganti kekasih. Namun tak satupun yang mampu memberinya kehangatan kasih, semua berakhir dengan kekecewaan dan berlalu dengan begitu saja.
Dalam keluarganya pun Chun Sue kerap memberontak, hal ini dimanifestasikan dengan mengecat rambutnya dengan warna merah, hijau, pirang secara berganti-ganti walau orang tuanya tak menyetujuinya, namun Chun Sue tak bergeming karena baginya tak seorangpun bisa memiliki dirinya seutuhnya dan tak ada yang benar-benar bisa mengerti dirinya termasuk keluarganya sendiri.

Chun Sue seakan tak puas dengan sekelilingnya, baginya keluarganya seakan tak peduli dan tak memperhatikannya, ia juga merasa gamang dan tertekan dengan masa depannya. untunglah dibalik kesehariannya yang bebas dan tanpa batas itu ia menulis novel atau puisi sebagai satu-satunya jalan untuk melarikan diri dari kenyataan hidupnya.

Kisah-kisah kehidupan Chun Sue ditulis dengan mengalir, blak-blakan dan apa adanya. Sehingga bisa dikatakan gaya bertuturnya ini menghadirkan gaya baru dalam sastra kontemporer China. Sayangnya novel ini nyaris tanpa konflik-konflik yang memuncak hingga akhir cerita. Hal ini membuat novel ini cenderung membosankan. Munculnya rentetan nama-nama sejumlah tokoh yang menghiasi novel ini juga berpotensi membuat pembacanya sulit untuk mengingat siapa dan apakah tokoh-tokoh itu pernah muncul di awal-awal cerita.

Namun bagaimanapun juga dibalik kisahnya ini, Chun Sue tampaknya berhasil dalam memotret secara gamblang masa remajanya dengan segala tawa dan tangisnya. Mungkin saja apa yang dialami dan dirasakan oleh Chun Sue juga dirasakan banyak kalangan kaum muda karena novel ini telah melukiskan perasaan mereka dan mencerminkan tekanan batin, kebingungan, sikap keluarga dan kegelisahan-kegelisahan di masa remaja yang mereka alami. Hal ini seperti yang diungkap dalam kata pengantarnya : Aku harap semua orang di dunia ini, yang muda dan yang pernah muda, akan punya kesempatan membaca buku ini. Meskipun aku menulis pengalaman gadis Cina, remaja di manapun menghadapi masalah yang sama. Aku berharap bisa menjadi teman bagimu. (hal 7)

Selain itu ini novel ini juga memberikan gambaran mengenai perilaku generasi baru China lengkap dengan kultur anak muda urban yang suka akan musik rock, mengekspresikan diri dengan bebas, menolak tradisi lama hingga pandangan seks yang bebas.

Mungkin inilah dampak dari globalisasi dan liberalisasi yang dilakukan di China. China menjadi lebih liberal dan terbuka. Semakin banyak orang asing yang datang ke China, mau tak mau transfer budaya asing tak bisa dibendung lagi. Generasi baru China menyerap semua itu, mereka tergerak untuk mengaktualisasikan diri mereka sesuai dengan keinginan mereka karena bagi mereka yang dibutuhkan adalah keragaman, bukan keseragaman.

Kini pembaca tanah air bisa menikmati novel yang telah diterjemahkan dengan baik ini.
Ada beberapa ketidakkonsistenan penggunaan huruf dalam cetakan buku ini, bisa dipastikan hal ini bukan disengaja (salah cetak), juga terdapat bab yang diulang (dobel) sehingga mengganggu dalam kenikmatan membacanya.

Beberapa bulan setelah Beijing Doll terbit, pemerintah China segera melarangnya. Namun novel ini telah terlanjur terbaca di kalangan anak muda Beijing dan kabarnya telah memberi inspirasi bagi banyak anak muda di Beijing.

Apakah novel ini kelak akan memberi inspirasi bagi pembaca muda kita, atau hanya sekedar menjadi novel yang memuaskan rasa ingin tahu pembacanya akan kehidupan generasi baru di China ?

@h_tanzil
 
ans!!