Saturday 24 February 2007

The Historian

Judul : The Historian (Sang Sejahrawan)
Penulis : Elizabeth Kostova
Penerjemah : Andang. H. Soetopo
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal : 768 hlm ; 23 cm
Harga : Rp. 135.000,-

Awal Februari 2007 , situs resmi The Associated Press dalam sebuah kolom beritanya mengabarkan bahwa Puri Bran yang diyakini sebagai tempat kediaman Dracula, dijual seharga 78 juta dolar oleh pewarisnya kepada pemerintah Rumania. Langkah tersebut diambil demi pelestarian tempat legendaris di Transylvania tersebut. Kabarnya lebih dari 400 ribu orang mengunjungi puri itu setiap tahunnya, terutama karena dikaitkan dengan Vlad the Impaler atau Pangeran Dracula.

Vlad bukanlah pemilik puri itu, namun diyakini telah menggunakan tempat itu selama kunjungannya ke Transylvania. Dia juga terkurung di tempat itu selama dua bulan pada tahun 1462 setelah ditangkap olah musuhnya.

Nama Dracula sering dikaitakan dengan sosok vampir yang selalu haus akan darah manusia. Sejarah mencatat, Dracula adalah seorang pangeran Wallachia (Rumania) bernama Vlad Tapes (1431-1476) yang gigih melawan serbuan kesultanan Ottonam atas wilayahnya. Ia sosok yang dibenci baik oleh musuhnya maupun oleh rakyatnya sendiri. Nama Dracula sendiri berarti anak laki-laki Dracul -anak laki-laki naga- (Drac = naga. ull=anak), nama ini disandingnya karena ayahnya (Vlad II) diangkat menjadi anggota Orde Naga oleh Kaisar Romawi. Organisasi ini dibentuk untuk mempertahankan kekaisaran romawi terhadap kesultanan Ottoman di Turki.

Selain itu Vlad Tepes juga memiliki sebutan yang menyeramkan Vlad The Impaler (Vlad si Penyula). Di sebut Penyula karena konon Vlad dikenal sebagai tokoh yang senang melakukan kekejaman terhadap orang-orang yang tak disukainya. Salah satu metode penyiksaan yang disukainya adalah dengan menyula (menusuk dari dubur hingga kepala) hidup-hidup musuh-musuhnya. Diperkirakan ia telah membunuh 40.000 hingga 100.000 orang dengan cara-cara yang kejam.

Kekejaman Vlad Tepes berakhir ketika ia tewas dalam sebuah penyerbuan orang-orang Turki di sebuah kota dekat Buchares. Kepalanya dipisahkan dari tubuhnya dan dibawa ke Konstantinopel sebagai persembahan kepada Sultan Turki. Tubuh tanpa kepalanya dikuburkan di Snagov sebuah pulau di Bucharest. Dari sinilah legenda vampir mulai hidup. Konon Vlad Tepes tidak benar-benar mati, ia menjadi mayat hidup, menjadi vampir dan menyebarkan wabah vampir kepada orang-orang yang digigitnya. Kisah ini menjadi legenda. Diceritakan dari generasi ke generasi di kalangan penduduk Balkan yang masih percaya pada tahayul.

Legenda vampir ini diadopsi oleh Bram Stroker untuk novelnya yang berjudul Dracula (1897). Walau dalam novelnya tak menyebutkan nama Vlad Tepes, namun latar belakang Dracula dalam novelnya mengindikasikan bahwa Vlad Tepes-lah yang diadopsi oleh Stroker untuk menajdi tokoh utama dalam karyanya.

Selain Stroker, buku-buku tentang Dracula/vampir terus ditulis orang, mungkin angkanya telah mencapai ribuan buku. Apalagi setelah Hollywod mengkomersilkan lagenda vampir dengan film-filmnya. Konon, hampir 300 film pernah dibuat berkaitan dengan vampir dan dracula.

Walau kisah Dracula terus ditulis orang, hal ini tak mengurungkan niat Elizabeth Kostova untuk melakukan riset sejarah mengenai Dracula dan menuangkan hasil risetnya kedalam sebuah novel sejarah yang dikemas dalam horor-suspense yang memikat yang diberi judul The Historian (Sang Sejarahwan). Berbeda dengan Darcula-Bram Stoker, Kostova lebih memberikan nuansa sejarah pada novelnya ini, sehingga pembaca tak hanya disuguhkan oleh ketegangan dan kengerian semata, melainkan pembaca juga diajak menyelusuri siapa sebenarnya dibalik sosok Dracula berdasarkan fakta sejarah yang diperoleh Kostova dari risetnya selama 10 tahun!

The Historian diawali dengan kisah di tahun 1972 dimana seorang gadis berusia 16 tahun menemukan sebuah buku tua dan amplop yang berisi kertas-kertas yang sudah menguning di perpustakaan ayahnya di Amsterdam. Uniknya buku tua tersebut seluruh halaman-halamannya kosong, kecuali di halaman tengahnya terdapat gambar cukilan kayu berbentuk naga dan terdapat tulisan “Draculya”. Sedangkan kertas-kertas yang sudah menguning itu ternyata sebuah surat-surat pribadi bertanggal 12 Desember 1930 yang ditujukan kepada “ Penerusku yang baik dan tidak beruntung

Ketika ia bertanya pada ayahnya mengenai temuannya itu, barulah ayahnya (Paul) bercerita. Pada saat Paul masih menjadi mahasiswa S2 jurusan sejarah di Amerika, di malam hari ketika ia sedang membaca di perpustakaan universitas, tiba-tiba seseorang telah meninggalkan sebuah buku kuno diantara buku-buku yang sedang dibacanya di meja perpustakaan. Buku kuno yang ditengah halamannya bergambar naga dan bertuliskan Drakulya ini membuat penasaran Paul dan iapun segera menelusuri katalog perpustakaan untuk menemukan buku-buku dengan tema “Drakula”

Paul menceritakan penemuannya itu pada dosen pembimbingnya, Prof. Bartholomew Rossi. Dan yang lebih mengejutkannya, ternyata Prof Rossi juga memiliki buku yang sama dengan cara yang juga misterius. Sama seperti Paul, buku ini menimbulkan obsesi yang besar bagi Rossi untuk memperoleh keterangan mendalam mengenai asal-usul buku itu, dan mencari tahu sosok tokoh sejarah Draculla atau Vlad Tepes, dimana kuburnya, dan apakah ia masih hidup hingga kini, dll ? Tak tanggung-tanggung Prof Rossi melacak jejak Draculla hingga ke Turki dan pelosok-pelosok Rumania.

Prof. Rossi segera memberikan semua hasil temuannya baik berupa manuskrip, peta dan surat-suratnya. Namun sebelum Paul dan Rossi melakukan riset lebih jauh, tiba-tiba Prof Rossi menghilang dengan meninggalkan bercak darah di kamarnya. Berdasarkan surat-surat dan peta yang diterimanya dari Rossi, Paul melanjutkan risetnya sambil mencari keberadaan Rossi. Secara kebetulan ia bertemu dengan Hellen, seorang antropolog asal Rumania yang ternyata anak kandung dari Prof Rossi dari hasil hubungannya dengan wanita asal Rumania yang ditemuinya saat melakukan riset Dracula.

Paul bersama Helen pun sepakat melakukan pencarian dimana Rossi berada, ada dua kemungkinan kemana hilangnya Rossi, mencari letak kubur Dracula, atau diculik oleh Dracula. Pencarian ini menghantar mereka singgah ke beberapa negara seperti Turki, Rumania, Bulgaria, menelusuri koleksi-koleksi perpustakaan-perpustakaan yang menyimpan buku2 dan manuskrip –manuskrip kuno abad ke 15, mengunjungi biara-biara kuno guna mencari dimana kubur Draculla berada , dll. Dalam pencarian ini mereka kelak akan menemukan bahwa masih ada beberapa orang yang ternyata memiliki buku bergambar naga seperti yang dimiliki Paul dan Rossi. Pencarian ini tidaklah mudah, selain keterbatasan sumber, mereka juga selalu dibuntuti oleh seseorang atau sesosok vampir yang mencoba menghalangi niat mereka, bahkan sempat menggigit salah satu dari mereka .

Selain hilangnya Rossi, kelak Paul juga akan menghilang. Dan kini giliran si gadis bersama temannya Barley, mencoba mencari jejak keberadaan ayahnya. Berhasilkah Rossi dan Paul ditemukan. Berhasilkah kubur Draculla ditemukan? Dan apakah Dracula masih hidup ? Pertanyaan ini akan terjawab di lembar-lembar terakhir novel ini.




Kuburan dracula/Vlad Tepes di Snagov - Bucharest




Novel ini terangkai dari beberapa penutur ; tuturan Paul yang menceritakan langsung kisahnya pada anaknya, surat-surat Paul, surat-surat Rossi, dan si gadis yang menceritakan pengalamannya sendiri. Jika dilihat dari setting waktunya, novel ini memiliki tiga bagian kisah. Setting tahun 1930-an yang menceritakan pengalaman Prof. Rossi, setting tahun 1950-an yang menceritakan pengalaman Paul, dan setting tahun 1972 yang menceritakan pengalaman gadis berusia enam belas tahun yang hingga akhir cerita tak disebutkan namanya.

The Historian ditulis oleh Elizebeth Kostova dengan gaya yang indah dan memikat. Tidak seperti novel-novel horor lainnya yang biasanya sarat dengan dendam, darah, amarah, tubuh yang tercabik-cabik, sosok hantu yang menjijikkan, dan lain-lain. The Historian menyajikan nuansa yang berbeda. Walau yang menjadi tema utama adalah pencarian sosok Drakula yang menyeramkan, namun tak ada ketakutan yang berlebihan pada novel ini. Kemunculan vampir tak diumbar dalam novel ini, namun seolah sang vampir terus mengikuti setiap tokoh-tokohnya. Ketegangan dan kemisteriusan menyelimuti seluruh halaman novel ini, dimulai dari ditemukannya buku kosong bergambar naga, kisah kekejaman Vlad Tepes ketika mengeksekusi musuh-musuhnya, vampir yang membuntuti dan menyerang dengan tiba-tiba, hingga sosok drakula dan aktivitasnya yang unik dan tak terduga akan ditemui dalam novel ini.

Selain itu aroma sejarah juga tercium dengan tajam pada novel ini. Dengan deskripsi sejarah yang diurai secara kronologis dan menarik sehingga tak membosankan Kostova mengajak pembacanya bertamasya ke masa lalu di abad ke 15 dimana Dracula pernah hidup dan berjuang melawan serangan tentara Turki dibawah pemerintahan Sultan Mehmed II. Pembaca juga akan diajak berkelana ke tempat-tempat eksotis seperti Oxford, Istanbul, Rumania, Bulgaria untuk menelusuri buku-buku kuno, mansukrip-manuskrip bersejarah, kisah para santo, puisi kuno, legenda dan lagu-lagu rakyat yang berkaitan dengan Drakula.

Suspense, horor, legenda, fakta sejarah, semua itu dirangkai dalam sebuah kisah dengan tempo yang cepat dan plot yang memikat sehingga membuat pembacanya betah membaca novel dengan tebal 768 halaman ini. Hampir di akhir setiap bab, Kostova menyajikan hal yang mengejutkan sehingga membuat pembacanya penasaran dan ingin terus membaca ke halaman-halaman berikutnya hingga buku ini selesai dibaca dengan tuntas.

Kostova tampaknya berhasil menuntun pembacanya untuk terus penasaran dalam mengikuti lika-liku cerita yang pada akhirnya akan meyakinkan pembacanya bahwa drakula memang pernah ada dan merupakan tokoh sejarah. Hal ini dimungkinkan karena dari cara berceritanya sendiri memeberi kesan bahwa sang penulis telah melakukan riset yang mendalam layaknya seorang sejahrawan dalam membuat novel ini.

Dalam mengerjakan novel ini, Kostova memang tak sekedar mengandalkan imajinasinya tentang sosok Dracula. Novel pertama Elizabet Kostova ini tampaknya dikerjakan dengan sungguh-sungguh disertai riset yang mendalam layaknya seorang sejarahwan selama sepuluh tahun. Menurutnya sejak ia masih kecil, ketika ayahnya bercerita tentang Dracula, ia sudah membayangkan cerita yang akhirnya akan menjadi The Historian. Hingga akhirnya, dengan semangat akademiknya, kesabaran dan bakat menulsinya yang laur biasa, Kostova berhasil menghasilkan karya yang penuh misteri sejarah dan ketegangan ini. Bukan tak mungkin novel ini bakal menjadi novel mengenai kesejarahan dan legenda dracula yang otoratif dan dikenang sepanjang masa setelah novel Dracula karya Bram Stroker.

Tak heran ketika novel ini terbit di tahun 2005, novel ini langsung menjadi best seller dunia. Debut Elizabeth Kostova dengan novel ini langsung melemparnya ke tempat teratas penulis-penulis novel suspense sejarah. Dan untuk novel ini pula Kostova memenangi Hopwood Award for the Novel-in-Progress.

Bersyukur pembaca buku tanah air kini bisa membaca terjemahan novel ini. yang diterjemahkan oleh penerjemah senior Andang Heru Soetopo. Tampaknya pembaca tak akan menemui kesulitan dalam memahaminya karena kalimat-kaliamatnya mudah dipahami dan mengalir dengan lancar. Jika kita membaca liputan majalah MATABACA ed. Febr 2007 mengenai terjemahan novel ini, kita akan melihat bahwa penerjemah tampaknya telah melakukan hal yang maksimal agar terjemahan novel ini dapat mendiskripsikan apa yang menjadi keinginan dan gaya penulisnya.

Edisi terjemahan buku ini dicetak diatas kertas HVS, dengan sampul hard cover dan diberi tambahan pembatas bukunya yang menawan, sehingga secara fisik buku ini tampil cukup mewah dan layak dikoleksi, namun dengan kemasan mewah seperti ini, buku ini menjadi berat secara fisik untuk dibawa-bawa dan dibaca berlama-lama sehingga agak mengganggu kenikmatan membacanya.

@h_tanzil

Tuesday 20 February 2007

Saraswati

Judul : Saraswati
Penulis : Kanti W. Janis
Editor : Aries R. Prima
Penerbit : AKOER
Cetakan : I, Sept 2006
Tebal : 175 hlm
Harga : Rp. 49.500,-

Beberapa minggu yang lalu sebuah paket sampai di meja kerja saya. Paket itu ternyata berisi dua buah buku baru dari penerbit AKOER. Satu buku tebal berjudul Digitarium – Baron Leonard, satu lagi buku tipis berjudul Saraswati karya Kanti W. Janis.

Siapa Baron Leonard dan Kanti W Janis ?. Setelah membaca sedikit keterangan tentang penulisnya di sampul belakang kedua buku tersebut, barulah saya tahu bahwa kedua penulis ini adalah penulis muda yang masing-masing baru melahirkan novel perdananya. Salut untuk penerbit AKOER yang konsisten memberi kesempatan kepada penulis-penulis baru untuk menerbitkan karyanya. Sebelumnya sudah ada dua nama yang novel perdananya diterbitkan oleh AKOER yaitu Akmal Nasery Basral – Imperia, dan Andhika Pramajaya – Narkobar, The Motivator

Setelah menimang-nimang mana dulu yang akan saya baca, akhirnya saya memutuskan membaca terlebih dahulu novel Saraswati karena lebih tipis, dan juga karena saat ini saya sedang membaca novel tebal – The Historian (Elizabeth Kostova). saya juga tertarik dengan endorsment dari penerbit di cover belakang buku Saraswati yang ditulis sbb :

“Terus terang kami terperangah ketika membacanya pertama kali. Secara tradisi biasanya kisah cinta, hanya memiliki 2 akhir penyelesaian. Apakah berakhir dengan “happy ending” atau tragedi perpisahan. Dalam Saraswati, Kanti keluar dari jalur tradisi ini. Secara tidak terduga Kanti menawarkan klimaks alternatif yang baru.”

Tak membutuhkan waktu yang lama untuk membaca novel ini. Saraswati menceritakan persahabatan dan kisah cinta antara Saraswati dengan Disam. Saraswati adalah anak tunggal dari pasangan suami istri yang berasal dari Bali, sedangkan Disam seorang peranakan Belanda yang ayahnya berasal dan berkebangsaan Belanda.

Persahabatan mereka berawal saat mereka masih kecil dimana Disam (10 tahun) terjatuh dari sepedanya tepat di depan rumah Saraswati yang pada saat itu berusia 15 tahun. Dengan telaten Saraswati merawat luka-lika Disam, dan semenjak itulah mereka bersahabat. Disam memiliki keluarga yang tidak harmonis, ayah dan ibunya kerap bertengkar, sedangkan Saraswati selalu merasa kesepian karena kedua orang tuanya sering bepergian. Untuk mengusir kesepiannya Saraswati mengisi hari-harinya dengan melukis. Disam yang depresi akibat keluarganya dan Saraswati yang selalu kesepian membuat persahabatan mereka kian kental. Namun sayangnya persahabatan mereka terputus secara tiba-tiba Saraswati menghilang begitu saja dari rumahnya tanpa memberi kabar pada Disam.

Setelah persahabatan mereka terputus berbagai kejadian menimpa keluarga mereka. Orang tua Disam bercerai, sedangkan kedua orang tua Saraswati meninggal karena kecelakaan. Namun mereka berhasil keluar dari masa-masa sulitnya dan menjalani kehidupannya masing-masing. Saraswati tetap melukis sambil bekerja di sebuah galeri lukisan. Disam dengan bermodal wajah indonya yang tampan menjadi seorang model.

Setelah tujuh tahun kehilangan kontak, tiba-tiba mereka bertemu kembali. Pertemuan ini menjalin kembali persahabatan antara mereka berdua yang sempat terputus selama tujuh tahun. Karena bukan lagi anak kecil, persahabatan mereka lambat laun menumbuhkan benih-benih cinta diantara mereka. Namun baik Disam maupun Saraswati belum menyadari sepenuhnya apakah mereka benar-benar saling mecintai atau tidak.

Belum yakin dengan apa yang mereka rasakan, Saraswati kedatangan ‘tuniang’-nya (nenek) bersama seorang pria (Bisma) yang merupakan cucu dari sahabat Tuniang di Bali. Rupanya kedatangan Tuniang bersama Bisma ke Jakarta memiliki misi tersembunyi. Tuniang ingin agar Saraswati berkenalan dengan Bisma dan menjodohkannya. Hadirnya Bisma membuat cemburu Disam hingga akhirnya Disam maupun Saraswati menyadari bahwa sesungguhnya benih cinta diantara mereka telah tumbuh.

Sayangnya Saraswati labil dalam pendiriannya, disatu pihak ia mencintai Disam, dilain pihak ia ingin membahagiakan Tuniang sebagai pengganti kedua orangtuanya yang telah meninggal.

Cerita terus bergulir. Siapa yang akhirnya akan dipilih Saraswati ?

Tema cinta dalam novel ini menurut saya sebuah tema yang umum. Walau ditulis oleh seorang novelis baru, kisahnya ditulis dengan lancar dan mengalir. Pergulatan batin antara Disam dan Saraswati tersaji dengan menarik dan mampu mengajak pembacanya memahami apa yang mereka rasakan.

Di pertengahan cerita penulis mengajak pembacanya untuk berjalan-jalan ke Bali sambil menyaksikan prosesi ngaben seorang puteri raja Bali. Bagi saya, ini nilai tambah dari novel ini. Dengan agak mendetail penulis mendeskripsikan prosesi ngaben sehingga memberi pengetahuan baru bagi saya mengenai prosesi sakral yang sudah menjadi obyek wisata yang paling banyak diminati oleh para turis dalam dan luar negeri. Seandainya bagian ini dieksplorasi lebih dalam lagi tentunya akan lebih menarik

Lalu bagaimana dengan endingnya yang dikatakan keluar dari tradisi kisah cinta?
Endingnya memang tak terduga, namun saya tak melihatnya sebagai sesuatu yang istmiewa seperti yang dikatakan oleh penerbit pada deskripsi novel ini sebagai ending yang keluar dari tradisi kisah cinta.

Mungkin saya yang salah, atau kurang peka dalam mengapresiasi novel ini khususnya dalam endingnya. Karena itu saya mengajak teman-teman yang telah membaca novel ini untuk mendiskusikan lebih lanjut. Apakah benar novel ini memiliki ending yang tidak biasa?

Namun telepas dari soal endingnya. Saya menilai bahwa novel ini adalah novel yang baik dan enak dibaca. Sebagai novel perdana Kanti W janis, novel ini merupakan modal awal yang sangat baik untuk profesinya sebagai seorang penulis. Jika dilihat dari gaya berutur, penggunaan kalimat-kalimat narasi dan dialognya, semua itu mampu menyeret pembacanya kedalam kompleksnya kisah percintaan antara dua pribadi yang memiliki masa lalu yang kelam.

Siapa sebenarnya penulis novel ini ?
Sayang tak ada keterangan yang cukup mengungkapkan jati diri penulisnya selain nama lengkapnya, foto, dan sebaris kalimat yang menyatakan bahwa Kanti W Janis adalah penulis belia dan Saraswati adalah novel perdananya.

Padahal setiap saya membaca sebuah buku, hal pertama yang saya lihat selain judul, sinopsis, endorsment,dll, saya selalu membaca bagian biodata penulisnya dimana saya akan mendapat informasi tentang penulisnya seperti pengalaman menulisnya, apa akitivitasnya disamping menulis, dikota mana ia tinggal, dll. Mungkin bagi sebagian bagian ini bukanlah hal yang penting, namun bagi saya biodata penulis adalah hal yang perlu saya ketahui sebelum membaca karyanya. Biodata penulis adalah salah satu cara penulis menyapa saya selain dari karyanya sendiri. Dan lagi, bukankah pembaca berhak mengetahui lebih dari sekedar nama penulis dari sebuah buku yang sedang dibacanya…?


@h_tanzil

Friday 9 February 2007

The Story Christianity

Judul : The Story of Chistianity – Menyusuri Jejak Kristianitas
Penulis : Michael Collins & Mathew A Price
Penerjemah : Natalias, Ismulyadi, Fransiskus
Konsultan Ahli : Dr. Fl. Hasto Rosiyanto, SJ
Penerbit : Kanisius, 2006
Tebal : 240 hlm ; 29x23.5 cm
Harga : Rp. 325.000,-

Perkembangan agama-agama besar di dunia telah memiliki sejarah yang panjang. Begitupun dengan Kristianitas. Setidaknya sudah dua puluh abad dari saat Yesus Kristus dengan karyanya mengajarkan pesan-Nya mengenai pertobatan dan keselamatan. Belum lagi jika kita menarik jauh sebelum masa itu, ketika akar-akar kristianitas mulai tumbuh sejak kelahiran Abraham sekitar 2000 SM.

Karena memiliki sejarah yang panjang, tak dapat dipungkiri Kristianitas merupakan bagian dalam sejarah dan budaya dunia. Iman kristen tidak hanya berperan dalam urusan agama (spiritual), tetapi juga telah mempengaruhi cara pandang dan cara hidup masyarakat dunia, dari moralitas hingga politik, dari sains hingga filsafat. Karenanya tak heran jika kini sepertiga penduduk dunia menyebut diri mereka Kristen.

Namun walau telah berabad-abad hadir dan mempengaruhi peradaban dunia, tak banyak orang yang mengetahui bagaimana awalnya Kristianitas berakar dan berkembang hingga sejauh ini. Walaupun ada buku-buku yang membahas sejarah Kristianitas namun tak jarang buku-buku itu tak terbaca oleh masyarakat luas karena umumnya ditulis dengan bahasa akademis yang cenderung sulit dipahami oleh masyarakat awam

Kini buku yang diberi judul “ The Story of Christianity – Menelusuri Jejak Kristianitas karya Michael Collins & Mathew A Price mencoba menuntun pembacanya melintasi 2.000 tahun sejarah Gereja dalam bahasa yang lebih populer, mudah diahami dan dihiasi ratusan gambar-gambar menawan sehingga membuat buku ini menjadi menarik dan memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi bagi masyarakat awam.

Buku ini dibagi menajadi 9 bagian besar yang terdiri dari Akar Kristianitas; Gereja & Kekaisaran; Kekaisaran Kristen; Pertobatan Eropa; Dari Perang Salib hingga Renaisans; Reformasi; Pencerahan & Kebangkitan Gereja; Misi & Revolusi; Gereja Global.

Akar Kristianitas (2000 SM – 64 M)
Akar Kristianitas dimulai dari sejarah bangsa Yahudi yang dimulai dari Abraham, banyak pokok kepercayaan Kristen terbentuk oleh peristiwa-peristiwa, pemimpin-pemimpin besar dan teks-teks Perjanjian Lama. Dan hal ini terus berkembang hingga kelahiran Yesus dan karya keselamatan-Nya hingga berdirinya gereja perdana dan perjalanan misi Para Rasul.

Gereja & Kekaiasaran (64-313)
Dari pengajaran para Rasul, orang-orang Kristen perdana menunjuk para uskup, penatua, dan diakon untuk mengatur komunitas dan ibadah mereka. Di masa ini komunitas Kristen mengalami penganiyaan yang berat dari negara (Kekaisaran Romawi). Selain tantangan dari luar, kekristenan juga menghadapi tantangan dari dalam berupa ajaran-ajaran yang bertentangan dari pengajaran Para Rasul.

Kekaisaran Kristen (313-590)
Setelah hampir dua abad masa penganiayaan oleh Kekaisaran Romawi, orang-orang Kristen dijizinkan beribadah di depan umum. Di masa ini diadakan konsili-konsili Gereja. Para kaisar dan uskup bekerja sama sehingga Gereja semakin berkembang. Seni dan teologi berkembang secara pesat dan penyebaran injil dilakukan oleh para misionaris hingga ke Iralndia, India, Ethiopia, dan Georgia.

Pertobatan Eropa (590-1054)
Pada masa ini agama Kristen mendominasi hampir seluruh benua Eropa. Sedangkan di Timur, orang-orang Muslim mulai bergerak ke Barat, mengakhiri dominasi Kristen di Afrika Utara dan Palestina. Sementara itu para Kaisar Kristen di Timur berusaha menjaga supremasi mereka atas Gereja. Di masa ini terjadi pula keretakan antara Gereja di Timur dan Barat, sehingga pada awal abad pertama milenium kedua, Gereja-gereja di timur dan barat mulai terpisah.

Dari Perang salib hingga Renaisans (1054-1517)
Di Selatan dan Timur, penyebaran injil mendapat tantangan yang keras. Atas desakan kaisar Byzantium yang memohon bantuan Gereja Barat untuk menghadapi orang-orang Turki, Paus Urabnus II menggelar konsili untuk melakukan Perang Salib. Perang ini mengakibatkan hancurnya kawasan Eropa. Setelah kondisi Eropa normal kembali, Kristianitas muncul sebagai sumber inspirasi berkembangnya seni dan ilmu pengetahuan yang akhirnya melahirkan zaman Renaisans.

Reformasi (1517-1648)
Kejayaan Renaisans yang salah satu dampaknya membuat gereja-gereja dibangun dengan dengan sentuhan seni yang tinggi menimbulkan ekses negatif. Guna membiayai pembangunan katedral St. Pertus, dilakukan penjualan indulgensi. Martin Luther, teolog Jerman, menentangnya dan menganjurkan beberapa pokok perubahan dalam gereja yang ia sebarkan pada masyarakat luas. Hal ini merupakan awal timbulnya reformasi Gereja. Gereja Katolik tidak menghiraukan usulan perubahan ini. Akibatnya Gereja menjadi terpecah menjadi dua (Katolik dan Protestan) dan memicu meletusnya pertumpahan darah antara negara Katolik dan Protestan

Pencerahan & Kebangkitan Gereja (1648-1776)
Gejolak perang agama selama zaman reformasi mengakibatkan pula desentralsiasi dalam tubuh gereja, para reformis membuka pintu bagi para ilmuwan dan filsuf untuk menghadapi persoalan hidup melalui perspektif pemikiran sekular. Masa ini pula melahirkan suatu kebangkitan spiritual dalam sejarah kristiani.

Misi & Revolusi (1776-1914)
Pengaruh para tokoh reformis dan pemikir di zaman pencerahan dalam kehidupan sosial terus berlanjut. Ruang gerak Gereja terus diperluas. Para misionaris mewartakan injil ke negeri-negeri yang belum pernah mendengarnya. Tokoh-tokoh Kristen menguatkan vitalitas kristianitas dengan menyerukan kebangkitan secara besar-besaran. Mereka juga menggunakan otoritas moralnya untuk menentang perbudakan dan eksploitasi kaum buruh.

Gereja Global (1914-1999)
Abad XX menampakkan suatu transformasi dalam Gereja Kristen. Gereja-gereja baru mulai merambah ke berbagai negara di Asia, Afika dan Amerika Latin. Mereka tumbuh secara pesat. Selain itu gerakan-gerakan karismatik dan evagelis yang eukumene semakin berpengaruh secara global, khususnya dalam gereja-gereja Protestan. Walau didera dua kali perang dunia, gereja global tetap bertahan dan terus menawarkan dukungan dan jaminannya kepada kemanusiaan.

Pada intinya jika kita menyusuri setiap lembar halaman dalam buku ini kita akan melihat bagaimana Kristianitas berkembang secara dinamis dalam pemikiran dan penerapan. Buku ini juga mengajak kita melihat sejarah Kristianitas dalam bentuknya yang paling kompleks dan memberikan informasi dan gambaran yang menyeluruh tentang iman Kristen mengatasi semua denominasi.

Yang membuat buku ini unik dan menarik selain cakupan bahasannya yang mendetail, menarik dan kompleks mengenai sejarah Kristianitas yang panjang, adalah bahasanya yang mudah dipahami oleh orang awam dan ratusan ilustrasi-ilustrasi indah berupa peta, foto-foto patung, artefak sejarah , maupun reproduksi lukisan yang diambil dari museum-meuseum terkenal seperti Louvre Perancis, Galery Florence, Italy, Bridgeman Art Library, London, Vatican Museum, Israel Museum, hingga Pushkin Museum, Moscow, Rusia.

Selain itu koloborasi antara penulis Katolik (Michael Collins) dan Protestan (Matthew A. Price) membuat buku ini terkesan ekumenis. Perbedaan teologis yang tajam berhasil diharmonikan dalam buku ini. Setiap pokok persoalan dalam sejarah Kristianitas dibahas dengan cara yang terbuka, dapat dipercaya, dan dapat diterima . Demi menghasilkan karya yang bisa diterima oleh semua umat Kristen dan dunia, Michael Collins dan Mathew A Price tampaknya berhasil mengesampingkan perbedan tradisi dan doktrin diantara keduanya untuk memperjuangkan kebaikan yang lebih besar sehingga buku ini bisa terwujud.

Kini buku yang dalam bahasa aslinya diterbitkan pada tahun 1999 oleh Dorling Kindersley Limited, London ini bisa kita nikmati dalam edisi bahasa Indonesia. Penerbit Kanisius tampaknya konsisten menjaga agar edisi Indonesianya sama kualitas isi dan cetakannya dengan edisi aslinya. Buku ini dikemas dalam dua jenis sampul (hardcover & softcover), dan dicetak dalam ukuran besar (29x23.5 cm) diatas kertas art paper sehingga keindahan ilustrasi yang bertaburan dalam buku ini dapat dinikmati secara optimal oleh pembaca buku ini dan layak dikoleksi sebagai bahan referensi yang diandalkan.

Tentunya keindahan dan kayanya informasi sejarah Kritianitas dalam buku ini tidak hanya dimaksud untuk sekedar menjadi penghias rak buku belaka. Buku ini layak dibaca oleh umat Kristen maupun masyarakat umum yang berminat mengetahui sejarah Kristianitas. Bagi pembaca umum mereka akan diajak melihat relung-relung Sejarah Kristianitas yang sangat menarik sekaligus inspiratif. Bagi umat Kristen, seperti yang diungkap oleh kedua penulis buku ini, diharapkan melalui buku ini mereka dapat menemukan roh sejati Kristianitas dan intisari dari Dia yang kepada-Nya jutaan orang telah membaktikan hidup lebih dari 2.000 tahun yang lalu.


@h_tanzil

Monday 5 February 2007

Winnetou & Old Shatterhand

Judul : Winnetou & Old Shatterhand jilid 1 & 2
Penulis : Karl May
Ilustator : Juan Arranz
Teks oleh : Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI)
Editor : Marulina Pane.D.H. , Pandu Ganesa
Penerbit : Gaya Favorit Press & PKMI
Cetakan : I, Desember 2006
Tebal : 64 hlm ; 14.5 x 19 cm
Harga : Rp. 15.000,-/jilid

Karl May dan tokoh-tokoh rekaaannya seakan tak pernah mati, kisah-kisahnya selalu dibaca orang dari generasi ke generasi. Nama-nama tokohnya seperti Winnetou, Old Shatterhand, Kara Ben Nemsi, dll selalu dikenang sebagai tokoh-tokoh petualang tangguh yang memiliki kisah memikat dan selalu mengusung semangat perdamaian dan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi

Jika dihitung sejak Karl May mempublikasikan karya-karyanya, maka tahun ini karya-karyanya telah berusia lebih dari seratus tahun. Selama ini pula karya-karyanya terus dicetak ulang, diterjemahkan ke berbagai bahasa dan disajikan dalam berbagai bentuk. Mulai dari cerita bersambung sebuah harian di Jerman, dibukukan menjadi sebuah novel dengan berbagai versi, dibuat komik, difilmkan hingga akhirnya dibuat versi kartunnya.

Di Indonesia sendiri karya-karya Karl May telah memiliki sejarah panjang. Buku-bukunya dibawa masuk ke bumi nusantara oleh orang-orang Belanda dimasa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Mengisi rak-rak buku pejabat dan perpustakaan gereja dan sekolah-sekolah dimasa itu. Selain itu dimiliki dan dibaca juga oleh pribumi yang sudah melek huruf dan terdidik, bahkan menjadi inpirasi beberapa tokoh kemerdekaan Indonesia, antara lain Bung Hatta, Syahrir, dll,

Di Indonesia buku-buku Karl May terus diterbitkan ulang hingga kini. Walau sempat mati suri di tahun 90- an, sejak tahun 2002 berkat usaha para pecinta karya-karya Karl May yang tergabung dalam Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) kini karya Karl May kembali mengisi rak-rak toko buku tanah air. Selain dalam bentuk novel, cerita bergambar, novel komik, kini karya Karl May diterbitkan dalam bentuk komik yang diterjemahkan dari komik berbahasa Belanda karya Juan Arranz.

Sebenarnya komik karya Juan Arranz ini pernah diterbitkan oleh Gramedia di tahun 80-an, namun sumber yang digunakan berbeda sehingga ototomatis terdapat perbedaan dengan yang pernah diterbitkan oleh Gramedia.

Komik yang diberi judul Winnetou & Old Shatterhand ini terbit dalam 5 seri dimana isinya paralel dengan novel Winnetou I : Kepala Suku Apache dan Winnetou II : Si Pencari Jejak (Pustaka Primatama & PKMI)

Di seri 1, komik ini diawali dengan kisah kedatangan Charley (Old Shutterhand) ke benua Amerika. Baru saja ia menjejakkan kakinya di pelabuhan ia bertemu dengan seseorang yang hendak mencari guru privat bagi anak-anaknya dan Charley langsung menerima tawaran tersebut. Di tempatnya mengajar ia bertemu dengan Mr Henry yang mengajaknya berkunjung kerumahnya dan memperlihatkan senapan pembunuh beruang. Dari perkenalannya dengan Mr. Henry, Charley akhirnya diterima bekerja sebagai Surveyour pada perusahaan pemasang rel kereta api di daerah wild west, daerah yang selama ini diimpikan olehnya untuk dikunjungi. Dan senapan pemburu beruang itupun dihadiahkan Mr Henry untuk menemani Charley di daerah yang asing bagi dirinya.

Sebagai seorang surveyour Charley ditemani oleh Sam Hawkens dan kawan-kawannya, mereka bertugas mengawal para juru ukur yang bertugas untuk memetakan tanah yang kelak akan dilalui oleh rel kereta api. Namun para juru ukur ini bekerja dengan malas-malasan dan mabuk-mabukan. Charley akhirnya terlibat perselisihan dengan Rattler salah seorang seorang juru ukur. Sikapnya yang semena-mena membuat Charley habis kesabarannya dan menghadiahi Rattler dengan pukulan mautnya. Rattler langsung pingsan dan semenjak itulah Charley dijuluki Old Shatterhand ( Tangan yang menghancurkan).

Di jilid pertama kisah baru bergulir seputar pengalaman seru Old Shatterhand unjuk keahliannya antara lain keahlian menembak menngunakan senapan pemburu beruang yang berat, menjinakkan kuda liar, memainkan tari laso, berburu bison hingga menjinakkan bagal .

Di jilid ke-2 selain mengisahkan serunya Old Shatterhand melawan beruang grizzly, juga diceritakan pertemuan mereka dengan Klekih Pietra, guru suku Apache, Intshu Tshuna, Kepala Suku Apache dan Winnettou anak kepala suku Apache. Mereka mempertanyakan hak Old Shatterhand dan kawan-kawannya untuk membangun jalur kereta api diatas tanah milik suku Apache. Ketika negoisasi masih berlangsung Rattler menembakkan pistolnya sehingga menyebabkan Kleikh Pietra tewas tertembak. Walau saat itu Kepala suku Apache dan Winenou tak langsung membalas dendam namun Old Shatterhand dan kelompoknya tetap terancam karena sewaktu-waktu suku Apache pasti akan menyerangnya.

Old Shatterhand dan rombongannya kemudian bertemu dengan suku Kiowa yang merupakan musuh bebuyutan suku Apache. Kebetulan Sam Hawkens, bersahabat dengan kepala suku Kiowa. Permusuhan antar kedua suku ini dimanfaatkan oleh Old Shatterhand agar terhindar dari pembalasan dendam suku Apache. Akhirnya suku Kiowa berhasil menangkap Kepala Suku apache dan Winnetou. Karena ia tidak menginginkan Winnetou dibunuh oleh suku Kiowa maka dibuatlah suatu taktik agar Winnetou dan kepala suku berhasil lolos dari siksaan orang Kiowa. Berhasilkah taktik ini ? Tentunya akan lebih menarik jika membaca sendiri kelanjutan kisahnya.

Bagi pecinta karya-karya Karl May, komik Winnetou karya Juan Arranz ini dianggap sebagai komik yang paling mendekati dengan karakter-karakter dan gambaran yang diciptakan oleh Karl May. Gambar-gambarnya menarik, dilukis dengan gaya realis, full colour dan didominasi oleh warna-warna yang cerah. (Kuning, hijau muda, biru,dll). Kalimat-kalimat yang terdapat dalam balon percakapan tersaji secara simpel dan mudah dimengerti sehingga komik ini cocok untuk dibaca oleh anak-anak.

Aslinya komik ini berukuran besar seperti komik Tintin atau Asterik dan dicetak diatas kertas art paper. Sayangnya terjemahan komik ini dicetak dengan kertas yang menyerupai kertas koran sehingga keindahan warna-warni komik ini sedikit banyak akan terdistorsi. Komik ini juga dicetak dengan ukuran yang lebih kecil dari komik aslinya, yaitu menjadi seperti ukuran buku tulis (14.5x19 cm) dengan tebal 64 halaman untuk setiap jilidnya.

Namun walau mengalami penciutan ukuran dari komik aslinya, gambar-gambar dalam komik ini tetap nyaman untuk dibaca dan dinikmati. Frame gambarnya tetap besar, bahkan ada beberapa halaman yang dua halamannya berisi satu frame saja (Gambar Sam dan Mustang, hal 22-23 di seri 1). Malah di komik terjemahan ini peletakan frame-frame gambarnya disusun secara bebas, tidak seperti komik aslinya yang terkesan kotak-kotak seperti sawah.

Pandu Ganesa selaku ketua Perkumpulan Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) sekaligus salah satu editor komik ini, mengungkapkan penciutan ukuran dan penggunaan kertas koran dalam komik ini dimaksudkan untuk menyiasati harga yang kemungkinan akan melambung tinggi jika dicetak sesuai dengan aslinya. Dengan ukuran dan penggunaan kertas seperti ini maka harga per bukunya bisa ditekan hingga Rp. 15.000,-. Dan menurut survei pasar yang dilakukan oleh penerbit, harga inilah yang paling tepat dan terjangkau untuk sebuah komik yang bisa dikonsumsi anak-anak hingga dewasa.

Selain menerbitkan kelima jilid komik seri Winnetou & Old Shatterhand, tampaknya proyek pembuatan komik Karl May masih akan terus berlanjut. Bahkan masih menurut Pandu Ganesa, kini PKMI sebagai bank naskah telah memiliki 7 komik Belanda karya Juan Arranz. Dengan demikian diharapkan ada sekitar 20 jilid komik karya Juan Arranz yang akan diterbitkan. Selain itu PKMI juga telah menyiapkan komik2 Karl May hasil karya komikus Indonesia yang akan menggarap seri Winnteou dan Kara Ben Nemsi.

Seperti yang menjadi harapan PKMI, dengan terbitnya karya-karya Karl May dalam bentuk komik, kisah-kisah petualangan Old Shatterhand, Kara Ben Nemsi, dll diharapkan akan menarik minat anak-anak untuk mencintai tokoh-tokoh tersebut. Sehingga anak-anak tidak hanya mengenal tokoh komik superhero buatan hollywood (batman, superman, spriderman, dll) atau tokoh-tokoh komik-komik jepang yang kini digandrungi anak-anak.

Semoga dengan hadirnya komik Winnetou & Old Shatterhand ini, anak-anak memiliki tokoh idola baru yang dalam kisah-kisahnya selalu menonjolkan nilai persahabatan antar manusia yang berbeda ras, bangsa , dan kepercayaan serta mengutamakan perdamaian dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Dan itu semua adalah nilai-nilai positif yang harus ditanamkan kedalam benak setiap orang semenjak anak-anak.

@h_tanzil
 
ans!!