Friday 21 November 2008

Lekra tak Membakar Buku













Judul : Lekra Tak Membakar Buku
(Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965)
Penulis : Rhoma Dwi Aria Yuliantri & Muhidin M Dahlan
Penerbit : Merakesumba
Cetakan : I, Sept 2008
Tebal : 584 hlm ; 15x24 cm


Jika kita mendengar kata Lekra, maka yang langsung terpikirkan oleh kita adalah sebuah lembaga kebudayaan bentukan PKI yang pernah membikin ricuh panggung budaya Indonesia di era Demokrasi Terpimpin (1950-1965), tukang ganyang, pembuat onar, pemicu konflik tak berkesudahan dengan para sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu), dan telibat pembakaran buku-buku di depan Kantor USIS (Pusat Informasi Amerika)

Stigma negatif yang ditempelkan pada Lekra ini terus melekat dalam benak kita dan keterlibatan Lekra dalam pembakaran buku yang sebenarnya tak terbuktikan itu telah menjadi mitos abadi karena hal ini terus ditulis di berbagai media dan dikisahkan oleh para sastrawan-sastrawan senior penandatangan Manifestasi Kebudayaan ketika menggambarkan situasi politik dan budaya Indonesia di tahun 50-60an

Mitos tersebut seolah tak terbantahkan karena suara-suara mantan aktifis Lekra yang menyangkalnya telah dibungkam ketika penguasa orde baru ‘menjahit’ mulut para lawan-lawan politiknya. Tak hanya itu, secara sengaja sejarah dan kiprah Lekra di ranah budaya Indonesia dikerdilkan hingga yang tercatat sekedar pertarungan antara dua kubu dalam isu kesusasteraan nasional : Lekra vs Manikebu.

Lalu apa dan bagaimana sesungguhnya Lekra ? Apa saja yang telah dikerjakannya selama lembaga kebudayaan ini menguasai panggung budaya Indonesia selama lima belas tahun (1950-1965)?. Tak banyak yang mengetahuinya karena tak satu bukupun yang secara komprehensif pernah menulis tentang Lekra hingga akhirnya terbitlah buku bertajuk “Lekra Tak Membakar Buku” karya Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri.

Buku ini bisa dikatakan buku yang paling komprhensif mengenai Lekra yang disusun secara sistematis dalam sepuluh bab plus daftar singkatan /akronim, lampiran, dan indeks. Dimulai dari bab Mukadimah yang mencatat situasi menjelang Kongres I Lekra (1959) ketika seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia harus segaris dengan Manifestasi Politik (Manipol)-nya Soekarno. Demikian pula dengan sikap berkebudayaan yang arahnya sudah jelas : “Seni untuk Rakyat” dan “politik adalah panglima kebudayaan”. Dalam Konggres-nya inilah Lekra mencoba merumuskan berbagai aksi nyata di lapangan kebudayaan yang memihak Rakyat, anti imperialis, dan anti feodal!

Masih dalam bab yang sama, diungkapkan pula kelahiran dan peran Lekra secara umum sebelum dibahas secara detail di bab-bab berikutnya. Satu hal yang menarik adalah terungkapnya bahwa Lekra bukanlah salah satu organ PKI seperti yang selama ini banyak diasumsikan orang. Hal ini tampak saat diselenggarakannya Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) yang sepenuhnya dilakukan oleh PKI. Memang dalam kenyatannya banyak seniman-seniman Lekra ikut terlibat , namun kapasitas mereka sebagai seniman “progresif revolusioner” dan bukan sebagai Lekra secara institusi. Jika Lekra memang organ resmi PKI tentu saja konferensi ini akan dilaksanakan oleh Lekra sebagai lembaga kebudayaan yang paling siap dan kompeten untuk menyelenggarakannya, atau setidaknya nama Lekra akan selalu disebut-sebut. Pada kenyataannya hingga resolusi KSSR diumumkan, Lekra tak pernah disebutkan sebagai bagian dari PKI.

Karena itulah buku ini menyebutkan secara gamblang bahwa : “ Lekra tak pernah menjadi underbow PKI. Lekra adalah organisasi merdeka yang tak masuk dalam kendali komando PKI…Walau tak bisa dipungkiri bahwa banyak pekerja budaya komunis yang menjadi anggota Lekra di pucuk-pucuk pimpinannya. “ (hal 61).

“Menyebut Lekra bersih sama sekali dari pengaruh PKI adalah kesalahan fatal, tetapi menyebutnya menginduk kepada PKI juga keliru. Lebih tepat hubungan itu adalah hubungan kekeluargaan ideologi..(hal 63)

Selain itu terungkap pula bahwa Pramoedya Ananta Toer bukanlah komunis. Hal ini terungkap ketika PKI hendak melakukan “pemerahan total” pada Lekra melalui konggres KSSR . “..bahkan Nyoto yang pendiri Lekra pun menolak “pemerahan total“ Lekra dengan pertimbangan hengkangnya tenaga-tenaga potensial Lekra yang non-Komunis seperti Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan sebagainya.” (hal 62)

Setelah bab Mukadimah, buku ini membahas mengenai Riwayat Harian Rakjat yang merupakan terompet PKI dan Koran politik nasional terbesar pada masanya, dan tempat dimana sastrawan-sastrawan Lekra mengisi secara penuh lembar-lembar kebudayaannya yang merupakan sumber utama dari lahirnya buku ini.

Kemudian mulailah buku ini membahas semua kerja Lekra dan pemikiran-pemikiran seniman Lekra diberbagai bidang kebudayaan yang dibagi secara bab per bab mulai dari sastra, film, seni rupa, seni pertunjukan, seni tari, musik, dan buku. Dari berbagai bahasan dalam buku ini akan terlihat bahwa para Lekra sangat militan dalam melaksanakan kerja budaya yang segaris dengan prinsip Manipol yang menentang kebudayaan imperialis dan sepenuhnya memihak sekaligus memberdayakan kebudayaan Rakyat. Di tangan Lekra beberapa seni dan kebudayaan rakyat yang telah terkurung dalam kebudayaan feodal ( wayang, tari-tarian keraton, dll) yang tadinya hanya dipentaskan di kalangan dan tempat-tempat tertentu, kini dikembalikan pada rakyat sehingga semua rakyat bisa menikmati dan mengembangkannya.

Lekra juga membabat habis semua bacaan-bacaan, film, musik yang tidak sesuai dengan garis kebijakan Manipol termasuk karya-karya sastrawan Manikebu. Sebagai gantinya, Lekra menumbuh kembangkan bacaan, film, dan musik yang sesuai dengan jiwa revolusioner. Dalam berbagai simposium kebudayaannya Lekra mencatat dan menginventarisir semua kesenian-kesenian rakyat dan mengurus hak ciptanya. Kalau saja apa yang dikerjakan Lekra tak terkubur oleh sebuah prahara politik di tahun 65 mungkin kini tak ada ceritanya kalau kesenian reog ponorogo, dan beberapa lagu daerah diklaim sebagai milik budaya negara tetangga kita.

Dalam bidang musik, selain mengecam musik ngak-ngik-ngok yang dianggap tidak sesuai dengan kepribadian nasional, Lekra juga sangat prihatin terhadap perilaku anak-anak kecil yang menyanyikan lagu-lagu dewasa yang liriknya cengeng dan cinta-cintaan. Karenanya Lekra membahasnya secara khusus dalam Konferensi Lembaga Musik Indonesia (LMI/Lekra). Kondisi ini tampaknya tak jauh berbeda dengan keadaan sekarang dimana anak-anak tak memiliki lagu-lagu yang sesuai dengan usia mereka sehingga tak heran kalau kita mendengar anak-anak menyanyikan lagu –lagu cinta orang dewasa.

Di bidang buku, kita akan melihat bagaimana saat itu pameran-pameran buku tak sekedar ajang bisnis semata, melainkan menjadi ajang propaganda politik melalui buku-buku yang dipamerkan. Secara menarik kita akan diajak melihat siapa-siapa saja yang ikut dalam pemeran buku yang saat itu bernama “Gelanggang Buku” dan buku-buku apa saja yang dipamerkan. Hal ini mungkin bisa berguna bagi penyelenggara pameran buku di masa kini yang umumnya hanya memindahkan aktifitas toko buku ke dalam pameran.

Kemudian dibahas pula politik sebagai panglima buku, politik buku pelajaran, lembaga penerbitan buku Lekra, dan bab khusus “Lekra tak membakar buku” yang berisi fakta-fakta bahwa Lekra tak pernah membakar buku dan melarang peredaran buku-buku yang notabene adalah wewenang Kejaksaan Agung. Berdasarkan guntingan-guntingan Koran Harian Rakjat yang menjadi dasar buku ini, kedua penulis buku ini sampai pada kesimpulan bahwa “tak satupun individu yang menyebutkan bahwa Lekra secara keorganisasian maupun individu-individu ikut serta dalam pembakaran buku” (hal 476)

Masih banyak sepak terjang Lekra yang akan kita dapat di buku ini. Pada intinya buku ini memang mengupas habis kerja-kerja kreatif yang dihasilkan Lekra selama 15 tahun (1950-1965) di bidang kebudayaan sebelum lembaga ini dibekukan dan seluruh kegiatannya dihapus dari memori dan sejarah bangsa Indonesia.

Kini kita patut bersyukur, karena kiprah Lekra yang telah dengan sengaja dihilangkan dari sejarah bangsa ini kembali terkuak dan dapat dibaca oleh semua orang. Ini semua berkat ‘kegilaan’ dua penulis muda yang dengan tekun menyelisik sekitar 15 ribu artikel kebudayaan di Harian Rakjat selama 1.5 tahun yang tersimpan dalam ruang terlarang untuk dibaca di sebuah perpustakaan di Jogya. Artikel-arttikel itu terpaksa mereka salin karena lembar koran yang sudah usang sebagian besar sudah tak memungkinkan lagi untuk di foto copy.

Dari ribuan artikel yang mereka baca dan salin inilah mereka dan menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku utuh yang enak dibaca, . “Kami hanya mengatur tempo dan menggilir siapa yang naik panggung duluan dan siapa yang kena giliran berikutnya. Untuk memberi suasana dan raut wajah dan suara semasa, maka kami sebanyak mungkin mengiringi kembali seluruh bahasan dengan kutipan langsung dari potongan-potongan berita braksen ejaan lama itu?” (hal 6).

Tampaknya kegilaan ide dan ketekunan kerja yang dilakukan Muhidin dan Rhoma Dwi Aria tak sia-sia. Buku yang awalnya diprediksi oleh kedua penulisnya hanya akan setebal duaratusan halaman ternyata menggelembung menjadi hampir 600 halaman karena semakin meluasnya temuan-temuan baru yang mereka temukan untuk diungkapkan. Jangan menciut melihat ketebalannya, karena walaupun tebal dan bersumber dari ribuan artikel-artikel yang berdiri sendiri namun kedua penulis berhasil merangkainya menjadi sebuah buku yang sistematis, runut, tak bertele-tele, dan enak dibaca. Lampiran-lampiran risalah rapat, hasil komunike, struktur organisasi, dan sebagainya merupakan bonus bagi mereka yang berniat meneliti lebih dalam mengenai Lekra.

Melihat lengkapnya bahasan dalam buku ini tampaknya inilah buku tentang Lekra yang paling komprehensif yang pernah diterbitkan di Indonesia semenjak Lekra berdiri hingga kini. Namun demikian ada yang mengkritik buku ini karena hanya bersumber dari guntingan-guntingan artikel lembar kebudayaan Harian Rakjat tanpa mencari sumber lain berupa wawancara terhadap pelaku sejarah yang masih hidup atau sumber-sumber kepustakaan lain.

Selain itu, ketika saya selesai menamatkan buku ini, saya bertanya-tanya mengapa judul bukunya “Lekra tak Membakar Buku”, padahal yang dibahas lebih dari sekedar jawaban atas pernyataan tersebut. Menurut saya judul tersebut mengecilkan luasnya cakupan yang dibahas dalam buku ini.

Ketika kedua hal tersebut saya tanyakan pada salah seorang penulisnya (Muhidin M Dahlan), ia mengatakan bahwa tak adanya narasumber dari para tokoh sejarah dalam menyusun buku ini sudah disadarinya sejak awal, “Itulah kelemahan sekaligus kekuatan buku ini”, ungkapnya. Wawancara terhadap tokoh-tokoh Lekra yang masih hidup dilakukan hanya sebatas konfirmasi nama, tak bisa lebih dari itu, faktor usia tampaknya menjadi kendala karena mungkin ingatan mereka sudah tak jernih lagi.

Sedangkan untuk judul, Muhiddin menjelaskan bahwa dalam proses kreatifnya ia cenderung mengambil judul bab yang paling kuat. Selain itu bab “Lekra tak Membakar Buku” adalah yang ditulis paling awal ketika buku ini dikerjakan, dan dari bab inilah maka pembahasannya menjadi semakin berkembang. “Tidak ada bab itu sebagai pemicunya , maka tidak akan ada buku Lekra.”, demikian imbuhnya.

Kritik lainnya untuk buku ini adalah hurufnya yang terlalu kecil dan beberapa kesalahan cetak sehingga mengganggu kenyamanan membaca. Untuk ukuran huruf mungkin ini salah satu cara untuk menyiasati agar buku ini tidak bertambah ‘gemuk’ yang tentunya akan mengakibatkan harganya menjadi mahal dan sulit dijangkau oleh khalayak ramai.

Terlepas dari baik buruknya buku ini, saya berani mengatakan bahwa buku ini buku merupakan karya monumental yang mendokumentasikan penggalan sejarah berkebudayaan di Indonesia. Karenanya buku ini wajib dimiliki dan dibaca oleh para pecinta sejarah, pemerhati, dan pelaku gerakan kebudayan Indonesia. Kiprah Lekra selama lima belas tahun tampil apa adanya dalam buku ini. Ada yang buruk, ada pula yang baik. Yang buruk bisa menjadi pelajaran agar hal serupa tak terulang kembali. Sedangkan apa yang baik dari kerja kreatif Lekra setidaknya dapat menjadi inspirasi dan bisa dijadikan contoh dalam mengembangkan kebudayaan kita saat ini.

Yang pasti buku ini akan membuka mata kita bahwa sejarah Lekra tak sekedar berisi polemik tak berkesudahan dengan pengusung Manifes Kebudayaan. Lekra bukan hanya diisi oleh orang-orang yang haus kuasa, tukang boikot, tukang cela, dan pembuat onar panggung kebudayaan, tapi Lekra adalah sebuah lembaga kebudayaan yang telah memberi warna dan sumbangsih yang luar biasa bagi kebudayaan Indonesia sebelum tragedi nasional menumbuk dan menghancurkan semua hasil kerja keras yang dipupuk selama 15 tahun tanpa henti itu.

Cover yang dipermasalahkan


Baru saja sehari terpajang di toko-toko buku, tiba-tiba Toko Buku Gramedia menarik seluruh buku Tilogi Lekra Tak Membakar Buku dan mengembalikan pada penerbitnya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Usut punya usut ternyata mereka khawatir dengan cover buku “Lekra Tak Membakar Buku” yang memuat gambar ‘palu arit’ yang merupakan lambang PKI. Mereka tampaknya khawatir karena pelarangan logo PKI hingga kini belum dicabut oleh pemerintah. Karenanya TB Gramedia bersikukuh tak mau memajang buku ini jika covernya belum diganti.

Sebenarnya lambang PKI pada buku ini tak terlalu kentara karena hanya berupa gambar timbul (embossed) tanpa bingkai dan warna, nyaris tak terlihat terutama dari jarak jauh. Sehingga sekilas yang terlihat hanyalah cover putih polos dengan judul buku berwarna merah di bagian bawahnya.

Sebenarnya desain cover seperti ini menggambarkan keberadaan Lekra dengan PKI. Lekra bukanlah salah satu organ PKI, tapi tokoh-tokoh Lekra adalah orang-orang yang juga tergabung dalam PKI. Jadi dibilang PKI bukan, dibilang bukan PKI juga salah.

Awalnya penerbit maupun penulisnya tetap ingin mempertahankan cover tersebut, namun tampaknya daripada buku ini tersendat peredaraannya dan di sweeping oleh pihak-pihak tertentu sehingga kesempatan masyarakat untuk membaca buku ini menjadi terhalang, akhirnya diambil jalan kompromi. Daripada membuang-buang waktu dan dana untuk mengganti cover baru, maka ditutuplah lambang palu aritnya dengan kertas putih.
Akhirnya buku monumental ini kini tersaji dengan wajah yang tambal sulam, hal yang buruk dan tak memenuhi kaidah estetika sebuah buku….

@h_tanzil

Monday 3 November 2008

The 7 Laws of Happiness

Judul : The 7 Laws of Happiness
Penulis : Arvan Pradiansyah
Editor : Budhyastuti R.H.
Penerbit : Kaifa
Cetakan : I, Sept 2008
Tebal 428 hl, ; 23.5 cm

Bisa dipastikan semua manusia menginginkan hidupnya bahagia. Namun masalahnya kebahagiaan tidak datang dengan begitu saja. Harus ada usaha untuk memperoleh kebahagiaan. Karenanya banyak cara yang dilakukan untuk memperoleh kebahagiaan, ada yang mencari bahagia dengan kesenangan atau hobi, ada pula yang mencarinya dengan mengejar kesuksesan karena diyakini bahwa kesuksesan akan membawanya pada kekayaan dan kekayaan akan membuatnya bahagia.

Namun kesenangan atau hobi hanya membuat kita bahagia saat kita melakukan aktifitas hobi kita, setelah itu kita kembali pada persoalan hidup yang menghimpit kita dan membuat kita tidak bahagia. Kesuksesan dan kekayaan tak menjamin kita hidup bahagia. Kita sering mendengar orang-orang yang berada dalam puncak kesuksesannya ternyata mengalami depresi yang begitu dalam. Lalu dimanakah dan apa yang sebenarnya membuat kita bahagia ?

Arvan Pradiansyah, penulis buku-buku motivasi You Are a Leader! (2003), Life is Beautiful (2004), dan Cherish Every Moment (2007), dalam buku terbarunya mencoba mengungkap rahasia memperoleh kebahagiaan. Berdasarkan pengalamannya dalam memberikan training-training motivasi ia meyakini bahwa untuk mencapai kebahagiaan maka yang harus kita lakukan adalah dengan cara memilih pikiran yang positif.

Jadi, kunci memperoleh kebahagiaan sebenarnya ada dalam pikiran kita dan sangat tergantung ada pikiran yang kita pilih. Apabila kita memilih pikiran negatif, seluruh diri ktia menjadi negatif. Sebaliknya, jika memilih pikiran positif, kita akan senantiasa dienuhi oleh rasa bahagia. Karenanya kita harus menguasai pikiran kita, melatih, dan mengisi pikiran kita dengan hal-hal positif.

Bagaimana cara melatih dan menguasai pikiran kita ? Dalam buku ini Arvan memberikan suatu rumusan rahasia yang sistematis yang disebutnya sebagai The 7 Laws of Happines. Ketujuh rahasianya tersebut dibagi dalam tiga kelompok besar. Tiga rahasia pertama berkaitan dengan diri kita sendiri, yaitu Patience (Sabar), Gratefulness (Syukur), dan Simplicity (Sederhana). Tiga rahasia berikutnya berkaitan dengan hubungan kita dengan orang lain, yaitu Love (Kasih), G(Memberi), dan Forgiving (Memaafkan). Satu rahasia terakhir berkaitan dengan Tuhan, yaitu Surender (Pasrah).

Sekilas rumusan yang dipaparkan Arvan memang mirip dengan karya terkenal Stephen R. Covey, The 7 Habits for Highly Effective People. Seperti yang diakui oleh Arvan dalam buku ini, rumusannya sedikit banyak terinspirasi oleh buku terkenal Covey tersebut, namun jika ditelaah lebih dalam, terdapat perbedaan antara 7 Habits dengan The 7 Laws. Bahkan dapat dikatakan bahwa The 7 Laws dapat dilihat sebagai kelanjutan perjalanan kemanusiaan kita yang telah diawali oleh The 7 Habits.

Jadi The 7 Laws of Hapiness adalah pelatihan pikiran yang sistematis dan sebuah metode untuk menumbuhkan kebagiaan dengan cara memilih pikiran positif dan memfokuskan perhaitan pada pikiran positif tersebut. The 7 Laws melatih kita untuk menyaring dan memilih pikiran-pikiran positif dan melatih kita untuk membuang pikiran-pikiran negatif yang masuk ke kepala kita dan menggantinya dengan pikiran-pikiran yang sehat dan bergizi.

Salah satu cara mengisi pikiran kita dengan hal yang positif yaitu dengan cara menghindari bacaan dan tontonan yang berdampak negatif. Arvan tampaknya sangat prihatin dan geram dengan gempuran media masa baik media cetak, maupun televisi umumnya memberi kontribusi negatif pada pikiran kita. Secara terang-terangan dia memberi contoh salah satu acara TV yang merusak pikiran kita. Arvan mengkritik acara Empat Mata yang dipandu Tukul Arwana. Bahkan ia secara terang-terangan mengatakan bahwa acara tersebut sebenarnya hanyalah berisi sampah karena selalu menertawakan orang lain dan sering menggunakan kata-kata kasar seperti “bukan manusia”, “seperti monyet”, “keturunan iblis”, dan sebagainya. Bagi Arvan acara seperti ini akan semakin menghilangkan rasa kasih (rahasia ke 4 dalam The 7 Laws) dalam diri kita karena tanpa disadari, kata-kata negative Tukul akan meresap dalam pikiran kita jika kita terus menonton acara tersebut.

Berbeda dengan buku-buku Arvan sebelumnya yang merupakan kumpulan tulisannya di berbagai media. Maka bukunya kali ini merupakan hasil pemikirannya yang utuh dan sistematis. Apa yang dikemukakannya disajikan dengan sederhana dan mudah diingiat karena ketujuh rahasia bahagia itu diilustrasikan dalam bentuk bangunan sebuah rumah. Dalam paparannya Arvan tak hanya memberikan teori-teori yang mengawang-awang, melainkan diungkapkan dengan gaya yang bersahaja, mudah dipahami dan menggugah kesadaran pembacanya akan apa yang mungkin selama ini terlupakan.

Banyak contoh-contoh yang sederhana namun memberi banyak pelajaran berharga. Umumnya apa yang diungkapkannya dalam buku ini kita semua sudah mengetahuinya, namun dengan membaca buku ini seolah kita dibangunkan dari tidur panjang kita dan disadarkan akan berbagai pikiran negatif yang mungkin secara tidak kita sadari terus kita pelihara dalam pikiran kita sehingga membuat kita tidak bahagia.

Bagi saya hal yang paling menarik dalam The 7 Laws adalah bagaimana Arvan mentutup rahasia memperoleh kebahagiaan dengan prinsip Surender (Pasrah). Dengan gamblang Arvan mengungkapkan bahwa setelah melalui enam rahasia untuk mencapai kebahagiaan, kebahagiaan belum akan tercapai sebelum kita menjalankan rahasia yang ketujuh, yaitu Surender (Pasrah). Pasrah adalah kunci dari semua perjalanan kita , sebuah kata pamungkas bahwa di atas segala usaha dan kemampuan kita ada satu kekuatan yang berada di atas segala kekuatan dimana kita bergantung sepenuhnya pada kekuatan tersebut, yaitu Tuhan Yang Mahakuasa. Inilah yang mungkin membedakan Arvan dengan penganut aliran-aliran positif thinking lainnya yang terkadang hanya menonjolkan kekuatan manusia untuk memilih pikiran yang positif untuk memperoleh kebahagiaan.

Buku ini juga dikemas dengan menarik, mulai dari pilihan font yang nyaman untuk dibaca, ilustrasi yang menarik, layout halaman dalam yang dinamis, membuat buku ini memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi. Selain itu, karena buku ini mengajak pembacanya untuk memperoleh kebahagiaan , tampaknya buku ini sangat pantas untuk dijadikan sebagai kado bagi sahabat, rekan kerja, dan orang-orang yang kita kasihi. Buku ini juga tampaknya tak cukup dibaca hanya satu kali saja. Seperti yang diungkap Arvan bahwa ketujuh rahasia hidup bahagia ini harus sering dipraktekkan dan dilatih secara berulang-ulang. Seiring berjalannya waktu, mungkin kita mulai kendor dalam mengelola pikiran kita, kita mulai merasa tak bahagia kembali, mungkin saat itulah buku ini perlu dibaca ulang kembali.



@h_tanzil
 
ans!!