Monday 25 April 2011

Terorist

Judul : Terorist
Penulis : John Updike
Penerjemah : Abdul Malik
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Des 2006
Tebal : 499 hal


Akhir-akhir ini situasi kemanan Indonesia kembali terganggu oleh teror Bom yang meresahkan maysarakat, dimulai dari teror bom buku beberapa bulan yang lalu ditujukan kepada sejumlah tokoh kenamaan di negeri ini, hingga akhirnya sebuah bom bunuh diri di Masjid Mapolres Bogor. Seperti pelaku bom bunuh diri di hotel JW. Mariot beberapa tahun yang lalu kali ini eksekutor bom bunuh diri di Cirebon pun dilakukan oleh seorang pemuda yang masih belia.

Mengapa para pemuda kita begitu mudah dipengaruhi untuk melakukan aksi biadab ini? Kira-kira apa yang mereka alami dan rasakan ketika menjadi eksekutor bom bunuh diri? John Updike (1923-2009) seorang book reviewer sekaligus novelis terkenal mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan diatas melalui novel terakhirnya 'Terorist" (2006)

Ahmad Ashamy Mulloy, seorang pemuda berusia delapan belas tahun adalah seorang remaja cerdas yang taat pada ajaran agamanya. Ia tinggal di New Prospect (New Jersey) yang materialistis dan hedonis bersama ibunya, Teresa Malloy yang berdarah Irlandia-Amerika. Ayahnya yang berkebangsaan Mesir, meningalkannya sejak Ahmad berusia tiga tahun. Ketika berusia sebelas tahun ia memeluk agama Islam dan semenjak itu pula dua kali dalam seminggu ia mempelajari Kitab Suci al-Quran dibawah bimbingan Syaikh Rasid, seorang imam masjid di West Main Stret – New Prospect.

Di sekolahnya, Ahmad dikenal sebagai murid yang pintar. Agamanya menjaganya dari obat-obatan terlarang dan tindakan asusila, meski hal ini membuatnya agak tersisih dari teman-teman kelasnya. Karena hidup selama bertahun-tahun tanpa ayah, dan hidup bersama ibunya seorang penganut Katolik yang tanpa iman, dan digembeleng dengan keras oleh guru agamanya, Ahmad tumbuh menjadi pengabdi setia pada Allah, menjadikanNYA sebagai teman sejati yang lebih dekat dari urat lehernya.

Pengaruh Syaikh Rasyid sedemikian besarnya dalam kehidupan Ahmad, tak seorangpun yang dapat mengalihkan perhatian Ahmad dari mengikuti ajaran agamanya yang disebut sebagai “Jalan yang Lurus”. Selain belajar membaca ayat-ayat suci Al-Quran, Ahmad juga diwajibkan untuk mengikuti petunjuk Allah secara total dalam kehidupannya, termasuk melakukan jihad dan mati syahid untuk melawan musuh-musuh Allah, antara lain bangsa Amerika yang dianggapnya sebagai bangsa yang kafir.

Setelah lulus dari SMA, Jack Levy, guru pembimbingnya menganjurkan agar Ahmad melanjutkan ke univeritas terkemuka. Namun Ahmad lebih mentaati anjuran Syaikh Rasyid agar ia menjadi supir truk. Ketika ia memperoleh pekerjaan sebagai supir truk di sebuah toko perabotan yang dimiliki oleh keluarga Libanon, ternyata sejumlah rencana telah diatur dengan rapih. Sejak awal Ahmad memang disiapkan oleh Syaikh Rasyid untuk menjalankan jihad dan melakukan misi bunuh diri dengan menjadikan dirinya pembawa truk berisi bom yang siap untuk diledakkan di terowongan di Lincoln – New Jersey. Akankah Ahmad bersedia menjalankan misi yang diyakininya sebagai misi suci untuk menghancurkan musuh-musuh Allah ?


Kisah diatas adalah karya teranyar dari John Updike, novelis senior yang produktif dan pemenang dua kali Putlitzer Prize (1981 & 1991). Novel ke duapuluh dua John Updike ini diberi judul Terorist (2006). Novel ini mendapat respon yang baik dari pembacanya. Baru saja beberapa minggu terbit, novel ini telah dicetak ulang sebanyak enam kali dengan jumlah 118.000 copy dan habis terjual dalam waktu yang singkat.

Apa yang menarik dari novel ini ? Novel ini memang tak seseram judulnya. Pembaca mungkin akan terkecoh melihat judulnya yang provokatif dan menyangka novel ini sarat dengan kekerasan dan baku tembak dengan plot yang cepat dan menegangkan.
Tidak!, kita tak akan menemukan adegan baku tembak atau berbagai peledakan yang menghiasi lembar-lembar novel ini. Novel ini memiliki alur yang cenderung lambat dan lebih mengutamakan eksplorasi karakter, kondisi psikologis beserta pemikiran para tokoh-tokohnya. Wikipedia mengkategorikan novel ini kedalam genre Philosophical, War.

Seperti dalam novel-novel lainnya Updike memang gemar mengkolase tema filsafat dengan tema aktual. Dalam Terorist, ia banyak
bermain-main dengan apa yang ada dalam pikiran dan dialog-dialog para tokohnya yang sarat dengan debat filosofis dan teologis akibat benturan antara keyakinan tokoh-tokoh radikal dengan tokoh-tokoh sekuler yang hidup secara hedonis materialistis yang bisa dikatakan merupakan gambaran umum masyarakat Amerika.

Dari novelnya ini John Updike tampak menguasai Islam. Menurut Amitav Ghosh dalam reviewnya yang dimuat dalam Washington Post, Updake tak hanya sekedar membaca Al-Quran, ia juga mempelajarinya secara intens. Tak heran jika Updike menyertakan banyak kutipan ayat-ayat Al-Quran beserta pemahamannya dalam novelnya ini.

Seperti diungkap diatas, karakter tokoh-tokoh di novel ini dideskripsikan secara detail, selain tokoh Ahmad, tokoh-tokoh lainnya seperti Jack Levy (guru pembimbing Ahmad) Beth Levy , Teresa Malloy , Charlie Chebab (atasan Ahmad), mendapat porsi yang banyak dikupas sehingga mengakibatnya alur novel ini terasa lambat. Sayangnya juga karakter Syaikh Rasid hanya sedikit dikupas dibanding tokoh-tokoh lain, padahal dialah tokoh yang paling berpengaruh dalam kehidupan Ahmad.

Di novel ini juga pembaca akan melihat bagaimana kondisi kerohanian masyarakat Amerika yang dilihat dari sudut pandang tokoh Ahmad yang mewakili para pejuang kebenaran yang rela mati syahid demi keyakinannya. Di mata Ahmad Amerika adalah bangsa yang tidak memiliki Tuhan, “Dan karena tidak ada Tuhan, semua digambarkan dengan seks dan benda-benda mewah, Lihatlah televisi, Mr. Levy, bagaimana seks selalu memanfaatkan Anda agar bisa menjual sesuatu yang tidak Anda butuhkan. …Perhatikan bagaimana umat Kristiani melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap penduduk asli Amerika dan mengesampingkan Asia dan Afrika, dan sekarang mulai merambah Islam, dengan segala sesuatu di Washington yang dikendalikan oleh orang Yahudi untuk mengekalkan pendudukan mereka atas Palestina.” (hal 57).

Karena mengambil setting kota kecil di Amerika, beberapa tahun setelah serangan 11 September, novel ini juga mengungkap bagaimana sebenarnya kebebasan yang diagungkan oleh masyarakat Amerika justru “membuat negara ini lebih mudah disusupi teroris, dengan menyewa pesawat terbang dan mobil gerbong, serta mengeset website.” (hal 40). Phobia masyarakat Amerika terhadap sesuatu yang berbau Islam termasuk masyarakat muslimnya juga terungkap lewat sebuah dialog antar tokohnya “Kami memang memutus sambungan telepon setelah peristiwa Sebelas-September, kami sering menerima telepon bernada ancaman dari golongan Anti-Muslim” (hal 122).

Di 70 halaman terakhir terdapat hal yang sangat menarik, Updike mendeskripsikan dengan detail bagaima akifitas yang dilakukan oleh Ahamd selaku pelaku bom bunuh diri lengkap dengan bagaimana gejolak batinnya pada saat ia mengemudikan truknya menuju titik sasaran dimana ia akan meledakkan truknya dan mati syahid untuk membela keyakinannya.

Apa manfaat yang bisa kita ambil dari novel ini ? Saat ini beberapa negara di dunia, khususnya Amerika memang selalu berada dibawah ancaman bayang-bayang sekelompok pihak yang sering disebut teroris. Bahkan indonesiapun sudah beberapa kali menjadi sasaran bom bunuh diri. Karenanya kehadiran novel ini setidaknya bisa memberikan gambaran apa sebenarnya yang mereka perjuangkan dan apa yang kira-kira ada di benak seorang pelaku bom bunuh diri sebelum ia melaksanakan tugasnya demi sebuah keyakinan yang dianutnya.

@htanzil

nb:

Review ini pernah ditayangkan pd thn 2006 yg lalu. Kali ini kembali saya tayangkan karena saya rasa novel ini menjadi relevan kembali untuk terkait semaraknya teror bom di seluruh penjuru Indonesia.

Review dan data novel ini sy buat berdasarkan terjemahannya yg diterbitkan oleh Alvabet pada thn 2006. Kalau tidak salah pd tahun 2009 terjemahan novel ini dicetak ulang oleh Penerbit Alvabet dengan cover yang berbeda. Sayang saya tidak berhasil memperoleh foto cover ed. terjemahan thn 2009.

Friday 8 April 2011

Shin Suikoden #1

[No. 256]
Judul : Shin Suikoden #1 : Petualangan Baru Kisah Klasik Batas Air
Penulis : Eiji Yoshikawa
Penerjemah : Jonjon Johana
Penerbit : Kansha Books
Cetakan : I, Januari 2011
Tebal : 486 hlm

Bagi pecinta buku-buku kisah kepahlawan Jepang nama Eiji Yoshikawa tentunya tidak asing lagi, namanya identik dengan novel Musashi, legenda seorang Samuari Jepang di abad pertengahan yang masih dibaca orang hingga kini. Selain itu ada dua buah karyanya yang juga sudah diterjemahkan yaitu Taiko dan Heike Story yang juga mendapat respon positif bagi pembacanya. Namun tahukah anda bahwa kisah-kisah tersebut sebetulnya bukan merupakan karya asli Eiji Yoshikawa?

Ya. Banyak di antara novel-novel terkenalnya merupakan penulisan ulang dari karya-karya klasik Jepang dan China misalnya Kisah Heike , Kisah Genji , Batas Air, Kisah Tiga Negara dan sebagainya. Kesemua cerita itu dikisahkan kembali olehnya dalam bahasa yang lebih populer sehingga mudah dicerna oleh siapa saja. Walaupun sebagian besar novelnya bukanlah cerita asli, ia menciptakan sangat banyak karya dan menumbuhkan minat baru terhadap sejarah sehingga pada tahun 1960 ia mendapat penghargaan budaya dari Pemerintah Jepang

Novel Shin Suikoden adalah sebuah pengisahan kembali karya klasik China terkenal “Batas Air, Kisah 108 Pendekar Liang Shan yang berasal dari Dinasti Ming (1368-1644). Kisah ini diceritakan kembali oleh Eiji Yoshikawa secara detail dengan bahasa yang lebih populer seperti umumnya karya-karya Yoshikawa lainnya. Jika mengikuti edisi aslinya yang berbahasa Jepangnya maka nantinya akan ada 4 jilid buku yang akan diterbitkan dalam bahasa Indonesia.




Buku Batas Air edisi klasik




Di buku pertamanya yang diterjemahkan langsung dari bahasa Jepang ini kita baru akan diajak mengenal 8 tokoh yang kelak akan bertemu untuk satu tujuan tertentu. Mereka antara lain Shi Shin, pemuda dengan rajah sembilan naga di tubuhnya, ahli tongkat yang meski mudah emosi, namun sangat menghargai pertalian antarlelaki sejati. Ro Chi Shin si Pendeta Bunga, mantan polisi militer dengan tubuh dan sikap bagaikan raksasa kasar, namun berhati lembut laksana bunga musim semi yang dirajah indah menakjubkan di punggungnya. Cendekiawan Go, guru kuil di desa yang tersohor ketajaman akal dan kepiawaiannya dalam membuat strategi .

Novel ini diawali dengan kisah pendahuluan dimana Jenderal Kou mendapat tugas dari Kaisar Jin Sou (dinastiSou) untuk berkunjung ke kuil Jo Sei di pedalaman untuk meminta pendeta kuil tersebut memanjatkan doa penolak bala bagi rakyatnya yang saat itu sedang terkena wabah penyakit.

Sesampai di kuil Jo Sei karena sang pendeta sedang tidak ada di tempat maka Jenderal Kou berkeliling kuil dan melihat sebuah dinding batu yang diikat dengan rantai besi dan dipasangi gembok yang sangat besar. Itu adalah ruang rahasia yang tidak seorangpun diperbolehkan untuk membukanya. Namun karena rasa ingin tahunya yang besar Jenderal Kou memaksa untuk membuka ruangan tersebut.

Bukan tanpa alasan mengapa ruangan tersebut dilarang untuk dibuka karena didalamnya tertawan 108 bintang iblis. Karenanya begitu ruangan itu terbuka maka 108 bintang iblis itu turun ke dunia dan pada akhirnya menjelma menjadi manusia dan membentuk benteng Ryou Zan Paku yang terpencil yang dikelilingi oleh air sehingga sulit ditembus siapapun. Dan di benteng itulah tempat berkumpulnya 108 pendekar yang hampir menghancurkan dinasti Sou.

Setting kisah lalu bergerak di masa pemerintahan Kaisar Ki Sou, kaisar kedelapan dinasti Sou. Dimasa ini sang kaisar terkenal sangat artistik gemar mengumpukan berbagai benda seni serta bintang langka dan membangun istana megah sehingga dia sama sekali tidak memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Saat itu pajak sangat tinggi, pegawai-pegawai pemerintah yang jahat dan korupsi merajalela sehingga menimbulkan keresahan dan ketidakpuasan terhadap pemerintahannya.

Di buku pertama ini awalnya memang seperti tak memiliki alur kisah yang jelas karena masing-masing bab menceritakan latar belakang dan sepak terjang tokoh-tokoh utamanya yang masing-masing memiliki kisahnya sendiri. Barulah di bagian-bagian akhir kisahnya akan semakin mengerucut ke kisah perampokan iring-iringan hadiah ulang tahun dari seorang pejabat yang hendak diberikan kepada rekannya.

Tokoh-tokoh pendekar yang sebelumnya diceritakan secara terpisah nantinya akan bertemu dan bersama-sama merencanakan strategi brilian untuk merampok iring-iringan hadiah tersebut. Mereka menganggap rencana mereka ini bukanlah sebuah kejahatan karena bagi mereka pejabat negara itu telah menyengsarakan rakyat dengan pajak yang tinggi dan uangnya dikorupsi untuk memperkaya diri. Bagi mereka hadiah-hadiah itu sebenarnya milik rakyat dan harus dikembalikan pada rakyat.

Karena banyaknya tokoh dan nama yang diceritakan di buku pertama ini saya kadang bingung sendiri. Mungkin karena saya tidak biasa membaca genre ini sehingga terkadang nama dan tokohnya sering tertukar-tukar atau sering lupa bahwa tokoh yang sedang diceritakan di bagian tertentu itu sama dengan yang dikisahkan di bagian sebelumnya :D

Pengisahan tokoh-tokohnya memang menarik namun di paruh pertama novel ini karena masih belum jelas mau kemana sebenarnya kisahnya akan bergulir hal ini membuat saya sedikit bosan. Untungnya di bagian-bagian akhir tokoh-tokohnya bertemu satu sama lain dan bekerjasama untuk melakukan sebuah tindakan mulia, hanya sayangnya ketika sedang seru-serunya kisahnya harus terhenti karena baru bisa dilanjutkan di jilid ke 2nya. Semoga saja jilid-jilid selanjutnya bisa diterbitkan dalam waktu yang tidak terlalu lama sebelum pembaca keburu lupa akan tokoh-tokoh dan kisahnya. :D

Sepertinya di jilid-jilid selanjutnya kisah Shin Suikoden ini akan semakin menarik karena selain kisahnya yang telah semakin mengerucut dan kemahiran penulisnya dalam merangkai cerita yang seru dan memikat, tentunya jalan hidup dari para pendekar dalam kisah ini akan memberikan pesan moral yang baik bagi pembacanya baik itu dalam hal kesetiakawanan, kepahlawanan, dan komitmen serta semangat juang mereka dalam memperbaiki kesejahteraan rakyat yang telah direngut oleh pemerintahan yang korup untuk memperkaya dirinya.

@htanzil

Friday 1 April 2011

Presiden Prawiranegara

No. 255
Judul : Presiden Prawiranegara
Penulis : Akmal Nasery Basral
Penerbit : Mizan Pustaka
Cetakan : I, Maret 2011
Tebal : 370 hlm

Setiap kali novel Presiden Prawiranegara ini saya letakkan di meja kerja umumnya teman-teman kantor yang melihatnya akan diam sejenak lalu bertanya. “Gak salah nih, emang kita pernah memiliki Presiden bernama Syafrudin Prawiranegara?, bukankah presiden kita hanya Soekarno, Soeharto, BJ Habibie dst..”

Tidak heran kalau setiap yang membaca judul novel ini umumnya akan memiliki pertanyaan yang serupa. Sejarah Indonesia memang mencatat kalau Syafrudin Prawiranegara pernah menjadi Presiden/Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) selama 207 hari ( 19 Desember 1948 – 13 Juli 1949). Namun karena ‘dosa’ Syafrudin dimana ia terlibat dalam PRRI dan juga merupakan salah satu penandatangan petisi 50 yang dimusuhi oleh rezim Soeharto maka nama dan jasa Syafruddin di seolah dikerdilkan sehingga terlupakan dalam ingatan masyarakat Indonesia.

Terdorong oleh kenyataan ini Akmal N Basral yang sukses menovelkan kehidupan KH Ahmad Dahlan “Sang Pencerah”, kini mencoba mengangkat kisah perjuangan Syafruddin Prawiranegara sebagai Presiden PDRI dalam bentuk novel sejarah dari sudut pandang tokoh fiktif Kamil Koto, mantan pencopet yang menjadi salah seorang pengikut Syafrudin yang bertugas sebagai juru pijat.

Di novel ini peristiwa berdirinya PDRI terdeskirpsian dengan detail. Dimulai dari kedatangan Bung Hatta pada November 1948 ke rumah Syafrudin Prawiranegara di Jogya yang menugaskan Syafruddin untuk berangkat ke Bukittinggi sesuai dengan kapasitasnya selaku Menteri Kemakmuran. Saat itu hanya Yogya, Bukittinggi, dan Aceh yang bukan merupakan bagian negara federal bentukan Van Mook. Jadi tiga tempat itulah yang merupakan benteng pertahanan Republik.

Ketika Syafruddin berada di Bukittingi, tepatnya pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda menyerang ibu kota Yogyakarta. Peristiwa itu dikenal dengan Agresi Militer II. Khawatir Bung Karno dan Bung Hatta tertangkap, pemerintah segera membuat rencana untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera yang akan dipimpin oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara.

Dua buah kawat yang memberikan mandat kepada Syafruddin untuk membentuk pemerintahan darurat segera dibuat untuk dikirimkan, satu ditujukan kepada Mr. Syafrudin, dan satu lagi untuk Drs, Sudarsono selaku dubes RI di India dan Mr Alex Maramis selaku menteri Keuangan yang saat itu sedang bertugas di New Delhi. Sayangnya kedua kawat tersebut tak sempat terkirimkan karena Kantor Pos & telegram dan RRI stasiun Yoggya telah diduduki Belanda.

Apa yang dikhawatirkan terjadi, Bung Karno dan Bung Hatta ditawan Belanda sehingga pemerintahan lumpuh. Syafrudin di Bukittinggi melakukan tindakan cepat, karena rencana pembentukan Pemerintahan Darurat pernah dibicarakan di sidang kabinet, walau belum mendapat mandat dari Yogya ia beserta para pimpinan sipil dan militer yang berada di Bukitinggi segera membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang diketuai oleh dirinya.

Karena Bukittinggi terancam dikuasai oleh Belanda, maka PDRI sepakat untuk membumihanguskan kota itu sedangkan Syafruddin dan seluruh pimpinan PDRI mengungsi ke sebuah tempat terpencil di tengah rimba Sumatera. untuk menjalankan pemerintahan dengan melakukan koordinasi dengan daerah-derah lain lewat Radio AURI .

Sebagai sebuah novel sejarah, dibuku ini kita akan menemukan banyak sekali fakta-fakta sejarah beserta tokoh-tokoh sejarah nasional antara lain Bung Karno, Bung Hatta, Jenderal Sudirman, Hamengkubuwono IX, dan sebagainya. Karena ini adalah sebuah novel maka tentunya terdapat dramatisasi peristiwa-peristiwa sejarah yang membuat semua itu menjadi begitu hidup selayaknya kita membaca kisah-kisah fiktif murni.

Dengan dramatisasi yang baik, novel ini mendeskripsikan dengan menarik bagaimana tegangnya situasi di Yogya saat Belanda melakukan agresi militernya dan bagaimana situasi kota Bukittinggi sebelum dan setelah dibumihanguskan oleh tentara republik. Selain itu terungkap pula bagaimana suka duka perjalanan para petinggi PDRI ketika mengungsi menembus ke hutan belantara untuk menjalankan roda pemerintahan di sebuah kota kecil di tengah rimba Sumatera.

Sikap para tokoh-tokoh kemerdekaan ketika negara dalam keadaan terancam juga terceritakan dengan baik seperti bagaimana sikap Jenderal Sudriman yang walau dalam keadaan sakit tapi tetap memiliki semangat dalam membela kehormatan presiden Sukarno beserta negeri yang dicintainya. Atau bagaimana Syafrudin menolak sebutan Presiden ketika PDRI telah terbentuk, dengan kerendahan hatinya ia lebih suka dipanggil ketua PDRI karena baginya persatuan dan kesatuan negara lebih diutamakan dibanding sekedar gelar yang melekat pada dirinya.

Yang tak kalah menarik di novel ini adalah terungkapnya adu mulut antara Bung Karno dan Syahrir saat mereka berada dalam pengasingan di Parapat dimana dengan emosi Syahrir mengatakan "Dasar Goblok!"Dasar Pandir!" kepada Bung Karno hanya karena perbedaan pendapat.

Di novel ini kita juga akan melihat sosok Syafruddin dengan lebih manusiawi. Di novel ini akan terungkap bagaimana kehidupan Syafrudin yang sederhana, walau ia seorang menteri namun ia tak memperkaya dirinya bahkan ia masih harus berjuang untuk menghidupi kebutuhan rumah tangganya sampai-sampai istrinya harus berjualan sukun goreng ketika Syafruddin ditugaskan ke Sumatera.

Lewat tuturannya pada Kamil Koto kita juga akan membaca bagaimana sesungguhnya kehidupan masa kecil Syafruddin yang turut membentuk dirinya menjadi seperti sekarang ini. Di bab terakhir novel ini disinggung juga aktifitas Syafruddin di masa tuanya sebagai seorang pendakwah. Namun di masa tuanya ini ia termasuk tokoh yang dicurigai oleh pemerintah Orde Baru. Kotbahnya dihari Raya Idul Fitri dibatalkan karena laksusda menilai isi kotbahnya itu 'menggelisahkan masyarakat' . Di bagian ini juga dikutip berita dari majalah Tempo di tahun 1980 yang menurunkan berita digantinya Syafruddin selaku khatib di Pasar Rumput Jakarta lengkap dengan alasannya.

Walau secara umum novel ini dapat menggambarkan peran Syafuddin sebagai tokoh nasional yang terlupakan namun ada sebuah peristiwa yang menurut saya sebenarnya bisa digali lebih dalam lagi yaitu saat penyerahan kedaulatan dari PDRI ke pemerintahan RI yang dipimpin Sukarno Hatta.

Di novel ini peristiwa tersebut hanya diceritakan selewat saja. Mungkin akan lebih menarik jika penulis memasukkan bagian ini dengan lebih detail sehingga pembaca bisa membayangkan kira-kira seperti apa proses penyerahan kedaulatan ini dan bagaimana suasana pertemuan Syafruddin dengan Sukarno dan Hatta karena seperti yang terungkap dalam novel ini ada beberapa keputusan Sukarno-Hatta yang sebenarnya tidak disetujui oleh Syafruddin dan petinggi PDRI lainnya.

Terlepas dari hal diatas saya pribadi menilai kehadiran novel ini patut diapresiasi setinggi-tingginya karena mencoba mengangkat kembali nama Syafruddin Prawiranegara yang kini semakin terlupakan. Kolumnis, penulis dan aktivis politik Fadli Zon saat peluncuran novel ini beberapa waktu yang lalu bahwa peran Syafruddin Prawiranegara semasa menjadi Ketua PDRI sangat penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan meski tidak banyak yang mengingatnya. Dengan hadirnya novel ini maka novel ini seperti memvisualkan kembali babak sejarah bangsa yang terlupakan.

Tidak itu saja, karena novel ini mengandung banyak sekali fakta sejarah maka dengan membaca novel ini pembaca akan terbuka wawasannya mengenai apa yang terjadi sesungguhnya di masa-masa agresi militer II Belanda dan sejarah berdirinya PDRI . Bagi mereka yang malas membaca buku-buku teks sejarah maka novel ini bisa dijadikan alternatif terbaik untuk mengenal sejarah bangsanya melalui bacaan yang tentu saja lebih menarik dibanding buku-buku teks sejarah yang umumnya kaku dan miskin deskripsi peristiwa.

Akhir kata semoga melalui kehadiran novel ini nama Syafrudin Prawiranegara bisa kembali dikenang dan disejajarkan kembali perannya sebagai bapak bangsa yang pernah melanjutkan kemudi kapal besar Indonesia yang sedang oleng dan nyaris karam. Sebuah perjuangan yang luar biasa beresiko dari seorang yang sederhana dan rendah hati dalam memastikan keberlangsungan Indonesia sebagai bangsa yang bedaulat di atas wilayahnya sendiri.

@htanzil
 
ans!!