Monday 25 September 2006

The Namesake


Judul : The Namesake
(Makna Sebuah Nama)
Penulis : Jhumpa Lahiri
Penerjemah : Gita Yuliani K
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Agustus 2006
Tebal : 336 hlm; 23 cm
Harga : Rp. 42.000,-


The Namesake, sebuah kisah menarik yang mengambil tema besar persoalan identitas. Novel ini mengisahkan kehidupan dua generasi keluarga Benggali yang bermukin di Amerika Serikat. Generasi pertama diwakili oleh pasangan Ashoke Gangali dan Ashima, generasi kedua diwakili oleh anak pertama mereka, Gogol. Kisahnya membentang sepanjang tiga dekade, sejak tahun 1968 hingga 2000.

Novel ini dibuka dengan peristiwa-peristiwa menjelang kelahiran anak pertama pasangan Ashoke dan Ashima Gangali di Amerika Serikat. Sesuai dengan tradisi keluarga, nenek Ashimalah yang akan memberi nama pada bayi mereka, karenanya mereka sepakat untuk menunda memberi nama bayi hingga surat sang nenek yang berada di Calluta datang. Nenek Ashima mengeposkan suratnya sendiri. Surat itu berisi satu nama bayi laki-laki, satu nama bayi perempuan. Tak seorangpun tahu apa yang ditulis oleh sang Nenek.

Malangnya ketika Ashima sudah melahirkan, surat berisi nama bayi itu belum mereka terima. Bahkan hingga tiba saat Ashima dan bayinya harus dibawa pulang ke rumah, surat berisi nama pemberian tersebut tidak pernah datang. Hingga Nenek Ashima hilang ingatan dan meninggal dunia, surat tersebut tak pernah sampai.

Keharusan untuk memberi nama bayi sebelum pulang oleh petugas catatan sipil di rumah sakit tiba-tiba dalam benak Ashoke muncul sebuah nama untuk putranya. “Gogol”.
Seketika itu juga dicatatlah bayi pasangan Ashoke dan Ashima dengan nama Gogol Ganguli , nama yang aneh dan tak lazim bagi keluarga Bengali.

Sebenarnya bukan tanpa alasan Ashoke memberi nama Gogol pada anaknya, nama ini dipilihnya karena ada dua hal bersejarah dalam hidupnya. Pertama, Gogol adalah kependekan dari Nikolai Gogol, pengarang Rusia yang amat dikaguminya. Kedua, nama itu mengingatkan dirinya akan sebuah trauma bagi Ashoke yang kelak akan mengubah jalan hidupnya.

Di usianya yang ke 22 Ashoke mengalami kecelakaan kereta api yang menyebabkan dirinya hampir mati. Tubuhnya yang terhimpit diantara mayat-mayat korban kecelakaan kereta nyaris tak tertolong jika saja ia tak sedang memegang robekan buku kumpulan cerpen Nikolai Gogol yang sedang ia baca. Regu penolong menemukan dirinya ketika ia sedang melambai-lambaikan tangannya bersama robekan buku tersebut.

Nyawanya tertolong, walau kakinya menjadi cacat dan meninggalkan trauma yang dalam pada dirinya. Setelah sembuh dari sakitnya, Ashoke terinpirasi oleh Nikolai Gogol yang berkelana ke Eropa hinga Palestina dalam upaya mencari jati diri. Ia pun berkelana menuju Amerika untuk menyembuhkan trauma akibat kecelakaan yang hampir merengut nyawanya.

Keputusannya untuk pergi ke AS memang mengubah jalan hidupnya. Dan dari sinilah kisah ini mengalir antara Cambridge, Boston, New York, dan Calcutta. Ashoke menikah dengan Ashima dan memiliki dua orang anak, Gogol dan Sonia.

Kelak ketika sudah mulai dewasa Gogol membenci namanya. Baginya namanya aneh, absurd, dan sama sekali bukan nama Amerika apalagi India. Ia tahu bahwa namanya terinspirasi dari nama salah seorang penulis Rusia, namun ia menyesalkan mengapa ayahnya tidak memberinya nama depan penulis Rusia lain seperti Anton atau Leo. Kekecewaan terhadap namanya bertambah ketika ia mengetahui riwayat hidup Nikolai Gogol yang akhirnya depresi dan sakit jiwa hingga meninggalnya. Ketika ayahnya menjelaskan bahwa dirinya pernah diselamatkan oleh buku karya penulis Rusa itu, cerita itu tak membuat Gogol menyukai namanya.

Nama Gogol yang dibencinya itu disandangnya sebagai nama panggilan dan nama resmi di berbagai dokumen penting. Sesaat sebelum memasuki bangku kuliah, atas seijin orang tuanya, Gogol mengajukan permohonan untuk mengganti nama resminya dari Gogol menjadi Nikhil. Nama Nikhil ini pernah diberikan ayahnya ketika ia mendaftarkan Gogol ke TK. Bagi Gogol nama Nikhil lebih terdengar umum karena bisa dipanggil “Nick”, nama yang umum di Amerika. Semenjak itu namanya resmi menjadi Nikhil dan mulailah Gogol menjalani kehidupannya dengan nama barunya.

Berbagai peristiwa yang dialami Gogol terungkap dalam novel ini, konflik-konflik bermunculan ketika ia mulai berkencan dengan beberapa teman wanitanya. Selain konflik batin dengan dirinya sendiri dan pasangannya yang selalu berakhir dengan kegagalan, hubungan Gogol dan keluarganya juga menjadi jauh hingga akhirnya kematian Ashoke mendekatkan kembali dirinya dengan keluarganya. Rangkaian peristiwa-peristiwa ini kelak akan membentuk Gogol, mengubahnya, dan menentukan siapa dirinya sesungguhnya.

Walau tokoh utama dalam novel ini adalah Gogol, kehadiran tokoh-tokoh lain seperti Ashoke, Ashima, Sonia, Moushomi, dll, disajikan sesuai dengan porsinya masing-masing sesuai dengan tuntutan cerita. Perpindahan cerita dari satu tokoh ke tokoh lainnya pun tersaji dengan lancar sehingga tak membingungkan pembacanya. Selain itu kedalaman dalam mendeskripsikan satu persatu tokoh-tokoh dalam novel ini baik fisik maupun pikiran mereka, ditambah infromasi mengenai budaya masyarakat India di Amerika membuat kisah ini menjadi kaya akan informasi.

Melalui novel ini juga pembaca seakan diajak menyelami kehidupan keluarga imigran India di AS. Walau sudah tinggal dan menetap sekain lama di Amerika mereka tetap melakukan ritual sehari-hari yang biasa mereka lakukan di tanah kelahiran mereka, begitu pula dengan tradisi tahunan yang berlatarkan agama Hindu. Hal-hal tersebut kerap dilakukan oleh masyarakat Bengali yang lahir di India dan menetap di Amerika seperti halnya Ashoke dan Ashima. Mulai dari pakaian Ashima yang selalu mengenakan sari, memasak makanan India, pertemuan rutin sesama keluarga Bengali, dll. Dengan demikian, walau mereka sudah berwarga negara Amerika akar budaya India tetap melekat dalam diri mereka.

Tidak demikian halnya dengan generasi pertama India yang lahir dan besar di Amerika seperti halnya Gogol. Dalam novel ini Gogol dikatakan sebagai salah satu di antara banyak orang India beridentitas ganda di Amerika yang dijuluki ABCD (American Born Confused or Conflicted). Walau kultur India mau tak mau melekat dalam darahnya, Gogol merasa bahwa ia orang Amerika, perilakunya baik dalam sekolah, mencari hiburan, maupun mencari teman kencan, semua menunjukkan bahwa ia memang orang Amerika. India hanya dikenal sebagai tanah leluhur lewat makanan, tradisi yang dilakukan oleh kedua orang tuanya dan kunjungannya beberapa kali ke Callcuta.

Melalui Gogol maka Ashoke dan Ashima melihat bagaimana benturan-benturan budaya harus mereka hadapi, Gogol yang hidup dalam ke-Amerikaannya selalu menjaga jarak dari asal-usulnya, untunglah orang tuanya selalu berupaya menjembatani jarak tersebut sebaik mungkin.

Sebenarnya tema dan alur cerita dalam novel ini sangatlah sederhana dan tak berbelit-belit. Semua mengalir dengan lancar, tak ada plot yang mengagetkan, nyaris tak ada klimaks. Semua peristiwa demi peristiwa tersaji wajar dan mengalir bergitu saja. Walau banyak terdapat kilas balik di tengah-tengah cerita namun perpindahannya tersaji secara tepat sehingga tidak mengganggu keasyikan membaca.

Novel ini sepertinya dibuat untuk memberikan kenikmatan membaca novel pada para pembacanya. Tak ada kalimat-kalimat rumit atau metafora-metafora yang berlebihan, semua disajikan dengan gaya bercerita yang sederhana namun kaya akan detail yang membuat pembacanya merasa sangat ‘dekat’ dengan apa yang diungkap oleh novel ini. Walau bukan bacaan ‘berat’ novel ini tetap memiliki bobot sastra.

Dari segi terjemahan tampaknya novel ini diterjemahkan dengan baik sehingga kekuatan dan kekhasan penulis dalam merangkai dan mendeskripsikan cerita dapat pula dirasakan melalui terjemahan novel ini.

The Namsake memang tak meraih penghargaan apapun dalam bidang sastra, namun bukan berarti novel ini tak terdengar gaungnya, buku ini sempat berada pada jajaran buku best seller di The New York Times selama beberapa minggu. Kabarnya novel ini tengah dibuat filmnya dan akan dirilis pada Maret 2007 di Amerika Serikat dan Inggris.




@h_tanzil

Saturday 16 September 2006

Hana's Suitcase


Judul : Hana’s Suitcase
Penulis : Karen Levine
Penerjemah : Yohan Rahmat Santosa
Penerbit : Kanisius
Cetakan : I, 2006
Tebal : 143 hal
Harga : Rp. 20.000,-


Hana Brady, namanya tak seterkenal Anne Frank, namun nasib yang dialaminya tak jauh berbeda dengan penulis buku harian paling terkenal di dunia itu. Nama Hana Brady mungkin akan terlupakan selamanya jika saja di tahun 2000 Fumiko Ishioka, seorang guru dan koordinator pusat studi Tokyo Holocaust Center tidak meminta pada museum Auschwitz untuk meminjam artrefak milik anak-anak Yahudi korban pembantaian Nazi pada saat Perang Dunia II. Melalui artefak itu Fumiko ingin agar anak-anak di Jepang lebih memahami cerita tentang pembantaian jutaan anak Yahudi yang terjadi lebih dari lima puluh tahun yang lalu.

Beberapa bulan kemudian, sebuah paket dari Museum Auschwtiz tiba di Jepang, Fumiko menerima sepasang kaus kaki dan sepatu anak-anak, baju hangat anak-anak, sebuah kaleng gas beracun, dan sebuah kopor. Kopor itu satu-satunya barang yang memberikan petunjuk nama pemiliknya. Pada kopor tersebut tertulis nama Hanna Brady lengkap dengan tanggal lahir dan kalimat “Waisenkind” yang berarti ‘yatim piatu’.

Kopor Hana ini rupanya membuat Fumiko dan kelompok anak-kanak didiknya yang bernama Small Wings tergerak untuk mengetahui lebih banyak tentang anak perempuan pemilik kopor tersebut.

Hana Brady, si pemilik kopor tidak seperti Anne Frank yang mencatat semua pengalaman-pengalamannya dalam buku harian, karenanya perlu kerja keras dari Fumiko untuk menelusuri jejak Hana Bardy hingga ke Eropa dan Amerika Utara.

Usaha Fumiko tak sia-sia, Misteri kopor itu membawanya kembali ke waktu tujuh puluh tahun silam, pada Hana kecil dan keluarganya yang kegembiraan hidupnya di sebuah kota kecil Cekoslovakia direngut oleh kedatangan tentara Nazi.

Keluarga Brady tinggal di Nove Mesto. Kota kecil di daerah perbukitan di negara Cekoslovakia. Hana tinggal bersama kakaknya Goerge dan kedua orang tuanya yang memiliki toko kelontong. Mereka hidup berkecukupan dan merupakan keluarga yang harmonis. Pada 15 Maret 1939, tentara Nazi memasuki sebagian daerah Cekozlovakia, dan kehidupan keluarga Brady pun berubah. Saat itu Hana baru berusia 8 tahun, sedangkan George, kakaknya berusia 11 tahun. Setelah kedatangan Nazi masa kana-kanak Hana tak seindah sebelumnya, berbagai larangan dan pembatasan bagi warga Yahudi membuat mereka tak bisa bersekolah dan bermain dengan bebasnya. Hal ini membuat Hana menjadi sedih.

Kesedihannya semakin bertambah ketika satu persatu orang-orang yang dikasihinya direngut dari dirinya, berawal dari Ibunya, ayahnya, dan terakhir George. Hana Brady berusia 11 tahun ketika ia dan George harus dideportasi dari kota kelahirannya menuju kamp Thereinstadt. Di kamp ini anak laki-laki harus dipisahkan dengan anak perempuan sehingga Hana harus berpisah dengan George, namun Hana masih bisa menemui kakaknya di sela-sela waktu bebasnya. Beberapa bulan kemudian George dipindahkan ke Auschwitz. Hana benar-benar merasa kehilangan satu-satunya kakak yang ia cintai sekaligus pelindungnya. Empat minggu kemudian di usianya yang ke 13, giliran Hana yang dideportasi menuju kamp maut Auschwitz.

Apakah Hana berhasil bertahan hidup dalam kamp maut itu ? Kelak George yang berhasil dihubungi Fumiko bahkan sempat berkunjung ke Tokyo Holocauts Center – Jepang akan menceritakan semuanya. Sehingga jati diri dan pengalaman hidup pemilik Kopor Hana akan terungkap dengan jelas.

Bab-bab dalam buku ini disajikan secara berselang-seling antara masa lalu dan masa kini. Satu bab menceritakan masa kecil Hana di Nove Mesto – Cekoslovakia hingga dideportasi ke Austwitz, bab berikutnya menceritakan usaha Fumiko dalam menelusuri jejak-jejak kehidupan Hana. Pembagian bab secara berselang-seling seperti ini memberikan kesempatan ‘bernafas’ bagi pembacanya agar tak terus terperangkap dalam masa lalu Hana yang pahit, penuh dengan suasana muram dan kesedihan

Pada bab-bab yang menceritakan masa lalu Hana, buku ini sebagian besar berisi pengalaman-pengalaman memilukan Hanna dan George, antara lain ketika Marketa, ibu mereka, diharuskan untuk menghadap ke markas Gestapo. Ini berarti ia tak bisa bertemu dengan suami dan anak-anaknya lagi dalam jangka waktu yang tak menentu. Kecintaannya pada Hana terungkap ketika malam sebelum dirinya harus pergi meninggalkan keluarganya. Malam itu ibu Hana menidurkan Hana dan memeluk Hana erat-erat. Ia mengelus-elus rambut Hana dengan jari-jarinya yang halus, seperti yang ia lakukan ketika Hana masih kecil. Lalu ia menyanyikan lagu kesukaaan Hana terus menerus hingga Hana tertidur. Hana tertidur dalam dekapan ibunya. Dan keesokan harinya ketika Hana bangun, ibunya telah pergi. (hal 50).

Pengalaman-pengalaman Hana selama dalam kamp tahanan Theresienstadt terungkap dengan jelas, hanya saja karena mungkin buku ini diperuntukkan bagi anak-anak, maka gambaran penyiksaan dan penderitaan yang dialami oleh Hana dan anak-anak Yahudi lain tidak diungkap secara jelas, sebagai gantinya buku ini lebih mengeksplorasi perasaan kesedihan dan keadaan jiwa Hana selama dalam kamp tahanan.

Selain pengalaman-pengalaman Hana yang menyentuh, buku ini mengungkap pula hal-hal yang membuat Hana dan kawan-kawannya sedikit terhibur, antara lain ketika mereka akhirnya bisa belajar menggambar dan menyanyi untuk sejenak melupakan kesedihan mereka.


Ketika akhirnya Hana dipindahkan dari kamp Theresiendstad menuju Auschwitz, ada sebersit harapan bagi dirinya untuk bertemu dengan George yang telah lebih dulu berada disana. Sesampai di Auschwitz Hana melihat pemandangan yang memilukan, di bawah ancaman anjing-anjing besar yang buas dan di bawah pengawasan beberapa petugas yang tidak berseragam. Hana dan teman-temannya berbaris melewati barak yang luas dan melihat para tahanan yang mengenakan seragam bergaris-garis yang wajahnya sudah seperti tengkorak. Mereka diperintahkan untuk memasuki sebuah bangunan yang besar. Setelah mereka masuk, pintu ditutup dengan keras. (108). Sampai di sini episode kehidupan Hana diceritakan dalam buku ini.

Bab-bab yang menceritakan perjuangan Fumiko untuk memperoleh keterangan mengenai Hanna, tak kalah menariknya. Berbagai hambatan harus ditemuinya sebelum ia memperoleh petunjuk siapa sebenarnya dan bagaimana kehidupan Hana sebelum dan setelah berada dalam kamp tahanan. Fumiko hampir saja menyerah ketika ia menemui jalan buntu. Untunglah berkat kegigihannya, bagaikan menyusun sebuah puzzle, Fumiko akhirnya bisa memperoleh keterangan yang utuh, bahkan bisa bertemu dengan George, kakak Hana yang kelak akan menceritakan kisah dirinya dan Hana pada Fumiko.

Plot kisah Hana dalam buku ini tersaji secara cepat, kalimat-kalimatnya ditulis secara sederhana sehingga tak menyulitkan anak-anak/remaja yang membaca buku ini. Selain itu buku ini juga dilengkapi oleh puluhan foto hitam putih Hana beserta keluarganya, foto kopor Hana, gambar-gambar yang dibuat oleh Hana selama dalam kamp tahanan, dan dokumen-dokumen yang dibuat oleh Nazi. Selain itu foto-foto Fumiko dan kegiatan anak-anak didiknya juga turut menghiasi buku ini.

Buku yang menceritakan kisah nyata penderitaan anak-anak akibat kedkatatoran Nazi, yang diwakili oleh Hana ini ditulis oleh Karen Levine, seorang produser acara-acara dokumenter di sebuah radio di Kanada. Ia tertarik pada cerita kopor Hana ketika membaca sebuah artikel yang dibuat oleh Paul Lungen dari Canadian Jewish Nesh. Cerita itu sangat menyentuh hatinya sehingga ia bertekad untuk membuat siaran dokumenter di radionya. Dan hasilnya, Hana’s Suitcase disiarkan di CBC radio One pada bulan Januari 2001. Karena mendapat sambutan hangat dari pendengarnya, akhirnya Levine membukukan kisah kopor Hana. Sama seperti program radionya, buku yang diberi judul Hana’s Suitcase ini mendapat respon yang baik dari pembacanya. Buku ini juga memperoleh beberapa penghargaan antara lain “Book ot The Year” untuk buku anak-anak dari Canadian Library Asociaton, Silver Birch dari Ontario Library Asociaton, dll.

Kini Hana’s Suitcase diterjemahkan dengan judul yang sama dengan buku aslinya. Sangat mungkin buku ini merupakan buku pertama yang diterbitkan di Indonesia yang bertema Holocaust yang diperuntukkan bagi pembaca remaja. Tentunya diharapkan kisah yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan seperti simpati, toleransi, menghargai kehidupan, dan betapa memilukan nasib manusia jika kekuasaan jatuh di tangan orang-orang yang tak berhati dapat terbaca oleh anak-anak remaja.

Tak ada kata lain, buku ini sebuah bacaan yang baik untuk dibaca oleh kita dan anak-anak kita. Kisah dalam buku ini adalah sebuah pengingat akan kebrutalan masa lalu dan harapan untuk masa depan.

@h_tanzil

Saturday 9 September 2006

Betsy dan Sang Kaisar


Judul : Betsy and The Emperor
(Betsy dan Sang Kaisar)
Penulis : Staton Robin
Penerjemah : Donna Widjajanto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 269 hal
Genre : Teen-lit
Harga : Rp. 25.000,-


Napoleon Bonaparte, namanya tercatat di semua buku-buku sejarah dunia. Setelah ratusan tahun lamanya Perancis dipimpin oleh raja-raja, Napoleon Bonaparte merupakan pemimipin Perancis pertama yang bergelar Kaisar, ia memerintah pada tahun 1804-1814 dan 1815. Pada masa jayanya, Napoleon Bonaparte mungkin salah satu pemimpi paling besar sepanjang sejarah manusia. Melalui karismanya yang disertai kerja keras dan ambisi gilanya, ia bertekad untuk mewujudkan mimpinya untuk menguasai seluruh Eropa. Mimpinya hampir saja terwujud, seluruh dataran Eropa hampir saja dikuasainya baik dengan diplomasi maupun peperangan. Sayang kekalahannya di Waterloo melawan pasukan Inggris yang dipimpin oleh Duke of Wellington membuat ambisinya terhenti sekaligus mengakhiri kariernya sebagai Kaisar Perancis. Napoleon ditangkap dan diasingkan ke pulau terpencil St. Helena. (1815)



Betsy Balcombe, gadis tomboy berusia empat belas tahun, badung, memiliki jiwa yang bebas, pemberontak dan gemar berpetualang. Ia tinggal di 'The Briars', yang letaknya beberapa mil dari Jamestown- ibukota St Helena bersama keluarganya, ayahnya seorang kepala penjualan East India Company.

Takdir sejarah mempertemukan Betsy dengan Napoleon Bonaparte. Karena rumah tahanan Napoleon di Longwood sedang diperbaiki, mantan Kaisar Perancis yang paling ditakuti dan dibenci di seluruh Eropa itu harus tinggal sementara di paviliun rumah keluarga Betsy. Awalnya Betsy tak menyukai kehadiran Sang Kaisar di rumahnya. Namun, siapa sangka, lambat laun Betsy dan Napoleon malah bersahabat. Kerapnya mereka bertemu dan bercakap-cakap membuat Betsy mulai mengagumi cara berpikir dan keberanian Napoleon. Belum lagi ditambah dengan kemampuan Napoleon dalam menganalisis apa yang ada dalam benak Betsy. Begitupun dengan Napoleon, ia merasa antara dirinya dengan Betsy memiliki banyak kesamaan “Saat aku membicarakan perasaanmu, aku sama saja membicarakan perasaanmu sendiri – saat seusiamu. Kau dan aku sangat mirip…” (hal 87).

Hal yang perlu dicatat, kedekatan dan persahabatan mereka bukanlah kedekatan asmara, melainkan kedekatan persahabatan antara dua orang yang ternyata memiliki berbagai kesamaan. Perbedaan usia yang cukup jauh (32 tahun) tak menghalangi persahabatan mereka. Mereka saling berukar pikiran, berkuda, bahkan bermain kartu bersama. Bahkan Betsy memanggil sang kaisar dengan panggilan akrabnya “Boney”

Kehadiran Betsy bagi Napoleon bagikan secerah sinar di tengah gelapnya episode kehidupannya yang harus dilaluinya. Bagaimana tidak, statusnya sebagai tahanan membuat Napoleon tidak bisa bergerak dengan bebas, setiap hari ia dijaga oleh dua ribu tentara inggris, ditambah satu kapal di perairan St Helena yang selalu berjaga-jaga agar Napoleon tidak melarikan diri lewat laut. Ruang geraknya dibatasi, bahkan iapun tak bisa menambah porsi makanannya sendiri.Namun keadaan ini tak menyurutkan mimpi dan harapan Napoleon. Ia begitu yakin, bahwa dirinya akan kembali bebas dan memerintah sebagai kaisar Perancis. Tekadnya ini menyulut semangat Betsy untuk mencari berbagai cara untuk membantu sang kaisar melarikan diri dari St. Helena. Apalagi kelak jika rumah tahanan di Longwood telah selesai dan Gubernur baru tiba, maka dipastikan keadaan Napoleon semakin buruk ruang geraknya akan semakin terbatas, segala kemewahan yang selama ini diperoleh di The Brairs tak mungkin lagi diperolehnya Berhasilkan Betsy membantu Napoleon melarikan diri ? Sejarah telah mencatat bagaimana dan dimana akhirnya mimpi dan ambisi Napoleon harus berakhir

Di Amerika, novel ini dikategorikan sebagai Historical fiction bagi pembaca “Young Adult”. Karena diperuntukkan bagi pembaca remaja novel ini tersaji dengan ringan, pembaca akan disuguhkan tingkah laku Betsy yang badung dan superaktif yang selalu membuat sang kaisar tertawa. Selain itu novel ini juga berisi petualangan-petualangan seru Betsy, terutama ketika Betsy dan kawannya Huff berusaha untuk membebaskan sang kaisar dengan balon udara. Napoleon, yang selama ini hanya dikenal melalui kebesaran namanya, kini dikisahkan secara manusiawi dari sudut pandang seorang gadis 14 tahun. Karakter-karakter Napoleon baik yang positif maupun negatif terungkap seimbang sehingga pembaca bisa menilai Napoleon dari segi baik buruknya.

Hampir seluruh tokoh dan kejadian yang dimunculkan di novel ini memang benar-benar pernah hidup dan tercatat dalam sejarah. Tampaknya novel ini dikerjakan oleh Stanton Robin dengan riset yang mendalam. Ia tak segan-segan bertanya pada ahli-ahli sejarah Napoleon di seluruh dunia. Kutipan atau apapun yang dikatakan Betsy, Napoleon sebagian diambil langsung dari catatan-catatan sejarah: sumber-sumber asli yang kebayakan ditulis oleh staf Napoleon yang menyertainya ke St. Helena. Tidak hanya itu saja, kebiasaan-kebiasaan dan gerakan-gerakan pribadi Napoleon yang terungkap dalam novel ini, bukanlah hayalan Rabin, melainkan hasil riset Rabin atas kebiasaan sang kaisar. (hal 264)

Tokoh Betsy memang benar-benar pernah bertemu dan bersahabat dengan Napoleon. Berbagai fakta sejarah seperti Perang di Waterloo, penemuan batu Rosetta, penemuan formula senjata baru, penangkapan dan pembuangan napoleon hingga rumah tahanan Napoleon di Longwood, semua terungkap dengan rinci. Karena ditulis dengan penyampaian yang ringan maka muatan-muatan sejarah dalam novel ini bukan sesuatu yang membosankan, melainkan larut dalam rangkaian cerita yang menarik.

Bertebarannya fakta-fakta sejarah dalam novel ini tentu membuat pembaca bertanya-tanya, dimanakah batas antara fakta dan fiksinya ? Untunglah di bagian akhir buku ini, penulis memberikan catatan yang jelas dengan menginformasikan bagian mana dalam novel ini yang merupakan fakta dan fiksi. Hal ini merupakan pertanggung jawaban penulis yang sangat baik, mengingat sasaran pembaca novel ini adalah para remaja yang mungkin masih minim pengetahuannya akan fakta sejarah.Sebagai bonus, penulis juga menyajikan, peta geografi St. Helena, foto-foto lukisan diri Napoleon dan Betsy,Kodeks Napoleon dan keterangan pengenai Le Mersaille – Lagu Kebangsaan Perancis.

Betsy and The Emperor pertama kali diterbitkan pada tahun 2004 dalam bahasa Inggris di Amerika Serikat. Kini novel ini telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa antara lain Perancis, Jepang, Polandia, Chezna, Russia, Spanyol, Belanda, dan lain-lain. Kabarnya novel ini tengah dipersiapkan untuk dibuat film dimana sederet aktor Hollywood seperti Dustin Hofman, Anthoni Hopskins, dan Al Pacino mulai dijajaki sebagai calon aktor yang akan memerankan Napoleon Bonaparte.













Novel yang kini diterjemahkan dengan baik oleh Donna Widjajanto ini, oleh GPU diberi label bacaan ‘Teen-Lit’. Bagi bacaan remaja, novel ini memang agak berat dan leluconnya agak kaku. Namun tema yang diangkat dalam novel ini sangat baik bagi pembaca remaja. Petualangan, persahabatan, suka duka masa remaja, sikap pantang putus asa, dan, sejarah yang biasanya ditulis secara kering kini ditulis secara menarik dan menyenangkan . Bagi penulis-penulis Teen-Lit Lokal diharapkan novel ini bisa menjadi sumber inspirasi baru, mengingat saat ini tema-tema teen-lit lokal banyak didominasi oleh cerita-cerita cinta, “gaul”, hedonis dan semacamnya, walau bukan hal yang buruk, namun sudah saatnya penulis-penulis Teen-Lit lokal berani membuat cerita yang ‘lain’ yang disertai riset yang mendalam untuk memperkaya wawasan pembacanya.

@h_tanzil

Monday 4 September 2006

Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali


Judul : Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali
(Catatan Pribadi Koesalah Seobagyo Toer)
Penulis : Koesalah Soebagyo Toer
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Cetakan : I, Juli 2006
Tebal : xvi + 266 hlm

Pramoedya Ananta Toer, maestro sastra Indonesia telah berpulang di usianya yang ke 81. Sepanjang hidupnya nama dan kiprah-kiprahnya selalu menarik perhatian orang. Namanya semakin berkibar semenjak bebasnya Pram dari pulau Buru, apalagi setelah terbit karya monumentalnya Bumi Manusia (1980). Beberapa saat setelah bukunya beredar pemerintah segera melarang peredarannya. Setiap tulisannya dianggap berbahaya dan karya-karyanya harus dimusnahkan agar tak terbaca oleh siapapun. Namanya dihapus dari sejarah sastra nasional. Lain sikap pemerintah, lain pula sikap pembacanya. Bukunya tetap dibaca secara sembunyi-sembunyi dan menjadi buku yang wajib dibaca oleh para aktivis mahasiswa . Namanya dijadikan ikon perlawanan bagi mereka yang tertindas dan tak puas dengan keadaan negeri ini.

Setelah era reformasi bergulir dan karya-karyanya diterbitkan ulang, nama Pram semakin melambung tinggi. Setiap kiprahnya selalu menarik perhatian orang, belum lagi ditambah dengan sejumlah penghargaan dari luar negeri yang terus menerus mengalir diberikan padanya. Setiap tahun namanya selalu dikait-kaitkan dengan anugerah Nobel Sastra. Berbagai media berlomba menyajikan berita dan wawancara mengenai dirinya. Hampir semua berkisar mengenai karya-karyanya, sikap politiknya, pandangan-pandangannya terhadap kondisi poilitik, sosial, dll.

Berbagai buku tentangnya telah ditulis, namun tak satupun menyentuh kehidupan pribadinya. Kehidupan pribadinya tenggelam dalam kebesaran namanya. Kini beberapa bulan setelah wafatanya, barulah muncul sebuah buku yang mencoba menghadirkan sosok Pram yang apa adanya dari kacamata Koesalah Soebagyo Toer selaku adik kandungnya yang memiliki hubungan yang paling dekat dengannya.
Buku yang ditulis oleh Koesalah ST ini merupakan catatan pribadinya mengenai persinggungannya dengan Pramoedya yang ia tulis dari tahun 1981 hingga 20 April 2006, sepuluh hari sebelum wafatnya Pram. Karena merupakan catatan pribadi, setiap catatannya bersifat personal, ada yang pendek (1/2 halaman) hingga yang panjang (5-6 halaman).

Dalam buku ini Koesalah menyajikan 75 catatan hariannya yang dibagi dalam 3 bagian besar yang dipilah berdasarkan urutan waktu ditulisnya catatan-catatan tersebut. Bagian Pertama (1981-1986), Bagian Kedua (1987-1992), dan bagian Ketiga (1992-2006). Seperti yang menjadi harapan pembacanya, buku ini banyak sekali memuat sisi-sisi menarik dari aktifitas kehidupan Pram sehari-hari baik yang menyangkut perannya sebagai penulis dan dokumentator maupun perannya sebagai kepala rumah tangga yang belum pernah terungkap selama ini.

Dalam hal Pram dan pekerjaannya, misalnya akan terungkap bagaimana gembiranya Pram ketika baru saja memperoleh dokumen yang berisi tulisan Soekarno kepada seorang bernama J.E. Stokvis di tahun 1931. Ternyata dalam dokumen tersebut terdapat pula surat-surat Dr. Tjipto, MH Thamrin yang sangat berharga bagi pengungkapan sejarah Indonesia yang pastinya tidak dipunyai oleh orang Indonesia manapun juga (hal 7). Karena itulah bagi Pram penemuan ini sangat menggembirakan hatinya seperti yang dicatat oleh Koesalah sbb : “Ini betul-betul bonanza! Kalau nanti kuumumkan semua pasti baca!”. “Kalau bukti ini ada, bakal geger semuanya!” (hal 8)

Uniknya catatan harian ini tidak hanya berkisah mengenai keadaan Pram dimasa ketika catatan ini ditulis, melainkan merambah kemasa lalu Pram baik ketika masa kecilnya, masa revolusi kemerdekaan hingga masa-masa ketika Pram dalam tahanan.
Dimasa kecilnya, sebagai anak tertua, ternyata,Pram kerap membacakan dongeng bagi adik-adiknya yang ia dapatkan dari sebuah buku tebal dengan huruf Jawa, antara lain tentang dua ekor nyamuk yang masing-masing bernama Klentreng dan Gothang, lalu ada pula dongeng karyanya tentang kancil blangkonan (hal 128).

Siapa sangka di masa mudanya saat berada dalam penjara Bukitduri, Pram pernah berniat untuk bunuh diri ?. Hal ini terungkap di catatan harian Koesalah yang diberi judul Mas Pram dan Mati (hal 177). Menurut kisahnya yang dituturkan pada Koesalah saat itu Pram yang sedang dalam tahanan Belanda putusasa karena energinya yang begitu besar-membludak- tak tersalurkan karena tidak bisa berbuat apa-apa . Ia berniat melakukan ‘patiraga’ (mematikan raga). Hampir saja nyawanya lenyap. “Dan tiba-tiba kelihatan di mukaku, di atas sana, bangunan gedung Yunani dengan pilar-pilarnya yang besar, dan di atasnya atap segitiga itu. Di atas atap itu bersinar cahaya terang benderang melalap tubuhku…“Tiba-tiba…duarrr! Terdengar ledakan yang keras sekali. Begitu keras! Sampai sekujur tubuhku menggigil. Lalu nyawaku kembali… “(hal 178)

Pengalaman mencoba menghabisi nyawanya itu membuat Pram yakin bahwa jika belum waktunya mati, ia tak akan mati “Kalau mau mati, dari dulu-dulu aku sudah mati,” katanya. “Buatku, mati itu bukan apa-apa. Aku nggak takut mati. Menghadapi pemerintah ini juga aku nggak takut.” (hal 180)

Penglihatan Pram saat akan melakukan patiraga mungkin merupakansalah satu pengalaman adikodrati yang dialaminya, lalu bagaimana dengan kehidupan religiusnya? Hal ini mungkin yang paling jarang terungkap selama ini, dalam catatan hariannya yang berjudul Mas Pram dan Doa (hal 210), Koesalah mencatat bahwa ia pernah melihat Pram sembahyang sewaktu sama-sama ditahan di penjara Salemba ada tahun 1969. Dan ketika ditanya apakah Pram pernah mengaji ? Pram menjawab dengan mantap bahwa waktu kecil ia mengaji walau belum sempat katam.

Salah satu kegemaran Pram selepas dari P. Buru adalah kebiasaannya membakar sampah, Koesalah mencatat bahwa Pram setiap hari membakar sampah. Tepat di rumahnya di Jl. Multikarya – Utan Kayu, ada rumah yang telah ditinggalkan penghuninya hingga rumah tersebut menjadi bobrok. Di situlah surga bagi Mas Pram. Tiap hari ia “bekerja” di tempat sampah…Ia tampak bahagia apabila sampah sudah mengonggok dan api melalapnya. (hal 225).
Selepas membakar sampah Pram tak pulang dengan tangan kosong, terkadang ia membawa pecahan-pecahan keramik, di rumahnya pecahan keramik itu ia “lukis” menjadi mozaik tegel yang menarik dan bercita rasa seni. Tegel-tegel dikerjakannya sendiri dan ketika sudah banyak Pram memasangnya sendiri di sebagian teritis rumahnya (226).

Yang menarik di ‘tempat sampah’ itu Pram juga pernah menemukan buku Peristiwa coup Berdarah P.K.I. September 1948 di Madiun, tulisan Pinardi, terbitan 1967. Tentu saja ini merupakan harta karun bagi Pram selaku penulis dan pendokumenter. Buku yg sudah rusak dan kotor itu ia tata kembali dan diberi sampul baru dan diberikan pada Koesalah. “Ini bahan bagus buat Kronik,” katanya. (hal l226). Buku termuannya itu memang akhirnya menjadi salah satu sumber bagi Koesalah, Pram, dan Ediati Kamil dalam menyusun buku “Kronik Revolusi Indonesia jilid IV yang berisi peristiwa-peristiwa penting di tahun 1948.

Saat-saat terakhir hidup Pram dimana berbagai penyakit mulai menggerogot, dan Pram yang sudah mulai pikun juga terungkap dalam buku ini, beberapa kali pada Koesalah Pram mengeluhkan soal diabetesnya, dadanya yang sakit, otaknya yang tidak mampu lagi bekerja dengan baik, dll. Sayang, buku ini tak memuat catatan mengenai hari-hari terakhir Pram menjelang dirinya menghembuskan nafas terakhirnya. Padahal buku ini diterbitkan satu bulan setelah wafatnya Pram, dan tentunya cukup waktu untuk memberi catatan saat Pram berjuang melawan maut dan bagaimana suasana saat-saat Pram dikebumikan

Selain catatan-catatan yang dibuat secara narasi, buku ini memuat pula sejumlah tulisan berupa wawancara/percakapan antara Koesalah dengan Pram sehingga pembaca seakan membaca tuturan langsung dari Pram mengenai hal-hal yang ditanyakan oleh adiknya.

Masih banyak kisah-kisah menarik mengenai keseharian Pram dicatat dalam buku ini. Ada yang lucu, unik, mengharukan, menjengkelkan dan sebagainya. Semua disampaikan oleh Koesalah secara jujur dan apa adanya. Beberapa catatan membuat kita bangga dengan sikap dan pandangan Pram dalam menanggapi persoalan-persoalan negeri ini, kadang tertawa oleh anekdot-anekdot Pram, namun ketika menjumpai kisahnya yang mengungkap bagaimana keras kepalanya Pram dan sikap cueknya terhadap keluarga besarnya kitapun akan dibuat jengkel dan sebal pada sikapnya. Bisa dikatakan buku ini merupakan buku pertama mengenai Pram yang memuat segala aspek kehidupan Pram, mulai dari masa kecil, dewasa, perkawinannya, pandangan-pandangan hidupnya, masa tuanya, harapan-harapan dan mimpi-mimpinya, dan sebagainya.

Apa alasan Koesalah menyebarluaskan catatan-catatan hariannya yang menyangkut persinggungan dirinya dengan Pram ? Dalam kata pengantarnya Koesalah menulis bahwa hal ini sebagai pernyataan tanggung jawab dirinya terhadap pembaca karya-karya Pram, masyarakat Indonesia dan dunia. Ia mencatat semua ini sebagai kenyataan bahwa disamping semua yang sudah pernah ataupun sedang ditulis tentang Pram, masih ada hal-hal lain yang harus dikemukakannya. Dengan demikian orang dapat memahami Pram sebagai sosok nyata, bukan manusia dalam angan-angan atau lamunan (hal xvi)

Sayang Koesalah tak menjelaskan mengapa ia mulai mencatat di tahun 1981 ? Apakah sebelum tahun itu ia memang tak memiliki catatan tentang kakaknya ? Ataukah di tahun 1981 ia memiliki visi bahwa kelak kakaknya akan menjadi orang terkenal sehingga ia mulai mencatat pengalamannya dengan Pram agar kelak bisa diterbitkan ? Juga tak dijelaskan atas dasar apa dan mengapa buku ini dibagi menurut pembagian waktu seperti yang tercetak di buku ini. Padahal jika saja pembagiannya berdasarkan tema-tema tertentu yang muncul seperti Pram dan Karya-karyanya, Pram dan Keluarga, Pram dan kesehatannya, dll, tentunya ini akan memudahkan pembaca dalam memahami Pram dari sudut pandang tema-tema tersebut.

Secara keseluruhan, bagi pembaca karya-karya Pram buku ini akan sangat menarik karena berhasil mengungkap sisi-sisi kehidupan Pram yang selama ini tersembunyi oleh kebesaran namanya. Selain itu beberapa aspek politis dan historis juga akan kita temui dalam buku ini. Karena keragaman dan kelengkapan tema yang terdapat didalamnya bukan tak mungkin buku ini akan dijadikan pijakan awal atau buku pegangan bagi mereka yang kelak akan menulis biografi Pramoedya secara utuh dan komprehensif. Atau mungkin kelak Koesalah sendiri yang akan menulis Biografi kakaknya secara runut dan mendalam ?

Ya! Sudah saatnya maestro sastra Indonesia Pramoedya Ananta Toer dibuatkan biografinya!

@h_tanzil



Foto ketika kami 'sowan' ke rumah Pak Pram - Mei 2005
(Silahkan tebak yg mana diriku...?)
 
ans!!