Wednesday 30 November 2011

The Hunger Games

No. 278
Judul : The Hunger Games
Penulis : Suzzane Collins
Penerjemah : Hetih Rusli
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2009
Tebal : 406 hlm

“Dua puluh empat peserta. Hanya satu pemenang yang selamat”

Di sebuah masa ketika Amerika Utara musnah, dan dibekasnya berdiri negara Panem dengan Capitol sebagai pusat kota yang dikelilingi oleh 12 distrik digelarlah sebuah permainan yang diberi nama The Hunger Games yang wajib diikuti oleh 24 anak-anak remaja belasan tahun dari seluruh distrik. Diberi nama Hunger Games karena peserta yang menang beserta distrik yang diwakilinya akan memperoleh hadiah berupa makanan yang melimpah dan jaminan hidup yang lebih baik. Hadiah yang sangat menarik bagi semua peserta dan distrik-distrik yang diwakilinya karena seantero negeri Panem selalu dalam kondisi kelaparan.

Permainan yang dilaksanakan setiap tahun dan disiarkan secara langsung oleh TV ke seluruh penjuru negeri sebagai sebuah Reality Show itu bukan hanya acara hiburan semata melainkan dirancang sebagai sebuah hukuman atas pemberontakan yang pernah dilakukan salah satu distrik di masa lampau. Untuk itu Capitol mengharuskan ke 12 distrik untuk mengirim seorang anak perempuan dan anak lelaki yang dipilih dengan cara diundi untuk bertarung satu sama lain. Dari ke 24 peserta hanya ada satu pemenang sehingga hanya ada dua pilihan membunuh atau dibunuh!.

Katniss Everden, 16 thn adalah gadis remaja yang tinggal di distrik 12 bersama ibu dan Prim, adiknya. Ayahnya telah meniggal karena kecelakaan di tambang batu bara. Semenjak kematian ayahnya Katniss menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Kegemarannya berburu di hutan membuatnya bisa menyediakan sedikit makanan ibu dan adiknya.

Saat pengundian Hunger Games ke 74, Prim terpilih untuk menjadi peserta Hunger Games, rasa sayangnya terhadap adiknya dan menyadari adiknya tak akan mampu bertahan sebagai pemenang, Katniss merelakan dirinya menggantikan posisi adiknya sebagai peserta. Undian berikutnya jatuh pada Peeta Mellark, anak seorang tukang roti. Tanpa diduga keikutsertaan Katniss dan Peeta sebagai wakil dari distrik 12 membuat Hunger Hames ke 74 menjadi begitu menarik dan tak terlupakan bagi seluruh penduduk negeri Panem.

Tema dan alur kisah dari novel The Hunger Games yang merupakan buku pertama dari sebuah trilogy (The Hunger Games, Cathcing Fire, Mockingjay) sebenarnya sederhana saja namun yang membuatnya menarik adalah bagaimana Suzanne Collins meramu kisah action, petualangan, ketegangan permainan Hunger Games plus drama kehidupan dan romansa Katniss Everden dengan Peeta Mellark . Romansa yang mau tak mau harus dipisahkan oleh kematian. Jika Katniss ingin menjadi pemenang maka ia harus berusaha membunuh ke 23 peserta lainnya termasuk Peeta sebelum ia dibunuh oleh peserta lainnya. Bagaimana jika nanti tinggal Katniss dan Peeta yang bertahan? Haruskah mereka saling membunuh?

Selain menyajikan sisi romansanya Katniss dan Peeta novel ini juga menungkap sisi-sisi kemanusiaan, nilai-nilai persahabatan, dan pengorbanan bagi seorang Katniss. Ketika peserta-peserta lain memiliki nafsu untuk membunuh karena dibutakan oleh keinginan untuk memenangkan pertandingan, Katniss tetap berpegang pada hati nuraninya untuk tidak membunuh jika dirasa tidak perlu.

Petualangan Katniss dan Peeta untuk berjuang memenangkan permainan ini terkisahkan dengan sangat menarik, Suzanne Collins menyuguhkan detail-detail menarik bagaimana The Hunger Games berjalan, mulai dari saat pengundian peserta, masa karantina, penjurian, persiapan peserta, pertarungan antar peserta, hingga selesainya permainan. Di sini digambarkan bagaimana para juri memiliki kekuasaan yang penuh dalam mengendalikan permainan.

Karena arena permainan berupa hutan liar yang luas maka ada kemungkinan peserta Hunger Games tercerai berai sehingga tidak terjadi kontak fisik antar peserta sehingga alur permainan menjadi lambat dan penonton TV menjadi bosan. Karenanya berkat kecangihan teknologi di masa itu juri mampu merekayasa kondisi arena permainan, mereka sanggup menciptakan hujan, badai, kebakaran hutan, atau apapun juga yang menggiring peserta Hunger Games untuk saling bertemu dan saling menyerang. Tidak hanya itu saja, juri juga menciptakan tanaman, binatang-binatang rekayasa, dan mutan yang menjadi ancaman bagi tiap peserta. Bagi penyelanggara Hunger Games semakin banyak terjadi pertumpahan darah maka semakin seru permainan itu dan penonton akan semakin terhibur.

Singkat kata, novel ini memang memukau sebagai besar pembacanya, kemahiran penulis untuk menjalin kisahnya yang menarik membuat pembaca seolah berada dalam arena pertandingan. Konsep Reality Show yang akhir-akhir ini begitu sering kita lihat di TV membuat imaji kita dengan mudah menangkap suasana yang dideskripsikan dalam novel ini. Jantung kita dibuat terus berdebar-debar dari halaman ke halaman, alur kisahnya tak terduga sehingga membuat kita penasaran dan ingin segera mengetahui bagaimana akhir kisah dari novel ini.

Oleh beberapa kalangan tema yang diangkat dalam novel ini dinilai berhasil memotret wajah budaya Amerika yang sedang gandrung akan tayangan Reality Show yang menjadikan seorang yang bukan siapa-siapa menjadi populer dan menganggap berita kekerasan perang dalam tayangan berita sebagai salah satu hiburan yang bisa mereka peroleh dari layar TV.

Di sisi lain, novel ini juga banyak dikritik karena terlalu kelam dan menghadirkan kekejian lewat adu fisik para peserta Hunger games sehingga novel ini tampak terlalu sadis dan keji, ditambah lagi dengan kisahnya bahwa pembunuhan demi pembunuhan dalam novel ini dilakukan oleh para remaja yang tampak haus akan darah dan kemenangan.

Selain itu banyak juga pembaca yang menilai bahwa ide kisah novel ini tidak orisinal karena kisahnya mirip dengan film Jepang Battle Royale yang juga mengangkat sebuah reality show berdarah dimana para pesertanya harus saling membunuh untuk meraih kemenangan.

Namun terlepas dari itu Kehadiran novel ini memberi warna baru bagi genre novel remaja yang sebelumnya diwarnai oleh dunia sihir dan vampir romantis. Di Amerika novel ini menjadi best seller mengalahkan serial Twilight. Bahkan kini seiring dengan beredarnya trailer resmi film The Hunger Games yang filmnya baru akan diputar pada Maret 2012 nanti novel ini menjadi semakin populer dan diperkirakan akan menjadi budaya pop baru di kalangan remaja Amerika dan dunia seperti serial Harry Potter dan The Twilight.

Yang pasti Goodreads, sebuah jejaring sosial bagi para pecinta buku dunia, memberikan rating yang sangat tinggi untuk The Hunger Games. Hingga review ini dibuat 54 ribu Goodreaders telah mereview novel ini dengan rata-rata memberi memberi 4.54 bintang untuk The Hunger Games

Di Indonesia sendiri, ketika novel ini pertama kali terbit pada tahun 2009 yang lalu tidak tidak terlalu mendapat respon yang luar biasa, namun kini lambat laun setelah dikabarkan akan difilmkan barulah pembaca kisah fantasi remaja Indonesia mulai melirik novel ini. Bahkan kini beberapa penggemar The Hunger Games di Indonesia membuat akun twitter dan website khusus bagi para pecinta The Hunger Game Trilogy yang berisi update terbaru seputar novel dan filmnya yang akan diputar 23 Maret 2012 nanti.

Sebuah budaya populer baru yang berasal dari novel best seller tampaknya akan muncul menggantikan Harry Potter dan Twilight, semoga ini tidak hanya eforia sesaat menjelang peluncuran filmnya saja melainkan sebuah momen untuk menularkan virus membaca melalui The Hunger Games Trilogy dan mengambil makna positif dalam novel yang begitu memikat ini.

@htanzil

Website khusus The Hunger Games Indonesia bisa dilihat di :
http://hungergamesina.wordpress.com/







Akun twitter IndoHungerGames

https://twitter.com/#!/IndoHungerGames

Buku-Buku yang Mengubah Dunia

[No. 277]
Judul : Buku-Buku yang Mengubah Dunia
Penulis : Andrew Taylor
Penerjemah : O.V.Y.S. Damos. S
Penerbit : Erlangga
Cetakan : I, 2011
Tebal : 220 hlm


Bagaimana kita dapat mengubah dunia? Para pemimpin militer atau para pemimpin dunia kerap menggunakan senjata dan pengaruh mereka untuk mengubah peta perpolitikan dunia, para ilmuwan menemukan temuan-temuan baru yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, orang-orang kreatif seperti Bill Gates, Steve Jobs membuat dunia seakan semakin menyempit dan dengan cepat kita dapat mengetahui apa yang terjadi di belahan dunia lain dalam hitungan detik. Lalu bagaimana dengan buku ? sanggupkah sebuah buku mengubah dunia?

Buku adalah kunci peradaban, sejak ribuan tahun yang lampau, buku dalam bentuk yang paling sederhana hingga buku elektronik telah menjadi sarana bagi para filsuf, teolog, sejarahwan, ilmuwan, dan sastrawan untuk menyebarluaskan ide-ide mereka. Mereka berharap ide-ide mereka dapat dibaca di masa buku itu ditulis maupun di masa depan dari generasi ke generasi.

Buku dengan sendirinya cepat atau lambat akan menyebarluaskan ide-ide penulisnya ke seluruh dunia, tidak hanya bagi orang yang membacanya langsung, melainkan juga pada orang-orang yang tidak pernah membuka-buka halamannya sekalipun. Pertanyaannya sekarang buku apa yang berpengaruh pada perubahan dunia?

Sudah banyak orang atau lembaga literasi yang membuat daftar buku-buku yang mempengaruhi dunia, salah satunya adalah Andrew Taylor, jurnalis Inggris yang pada tahun 2008 menerbitkan buku berjudul Books That Changed The World . Di bukunya ini Taylor memilih 49 buku dari berbagai genre mulai dari puisi, politik, fiksi, filsafat, teologi, antropologi, ekonomi, hingga fisika. Semua itu diyakininya dapat mewakili bagaimana buku-buku itu mempengaruhi dunia baik dari nilai-nilai moral, kemanusiaan, alam semesta, teknologi, perekonomian dunia, hingga bagaimana seharusnya sebuah pemerintahan berjalan .

Dalam bukunya ini Andrew Taylor mengupas ke 49 buku yang dipilihnya secara kronologis berdasarkan tahun terbit mulai dari Iliad yang diyakini sebagai karya puisi epik tertua di dunia Barat yang ditulis oleh Homer pada abad ke 8 SM hingga seri pertama novel Harry Potter : Harry Potter and the Philospoher ‘s Stone pada tahun 1997 yang memecahkan rekor dunia sebagai buku terlaris dimana hingga buku ini ditulis telah terjual sebanyak 400 juta eks dalam 67 bahasa dan menjadi awal dari sensasi terbesar penerbitan di era modern.

Dalam buku ini, Andrew Taylor menempatkan tiap buku dan pengarangnya dalam konteks sejarahnya, meringkaskan isi buku yang dibahas, serta menjelaskan pengaruh dan warisan dari buku-buku tersebut pada dunia baik dimasa buku itu terbit hingga kini. Sebagai contoh antara lain bagaimana dengan tersedianya Alkitab dalam bentuk cetakan akan menandai revolusi politik dan sosial di Eropa ketika masyarakat awam mulai mempertanyakan kewenangan lembaga keagamaan dalam sistem pemerintahan negara. Risalah-risalah politik abad ke 18 yang terdapat dalam Common Sense ( 1776 ) karya Thomas Paine memberikan kesadaran baru akan kemerdekaan sebuah negara, atau bagaimana kutipan2 pidato Mao Zedong yang dibukukan dalam Buku Merah (1964 ) telah turut memberikan andil dalam revolusi kebudayaan dan penindasan rakyat di negerinya.

Di ranah fiksi kita akan melihat bagaimana novel Uncle Tom’s Cabin (1852) karya Harriet Beecher Stowe yang mengisahkan derita para budak Afrika di Amerika dapat mempengaruhi jutaan orang dan dunia internasional untuk melawan sistem perbudakan. Atau bagaimana novel Christmast Carol (1834) karya Cahrles Dickens telah menciptakan citra populer tentang Natal yang terus bertahan hingga kini.

Selain kaya akan informasi, kemasan buku ini juga sangat menarik, dicetak diatas kertas art paper yang mengkilap dengan kualitas foto-foto yang tajam dan tersaji dalam ukuran folio, sampul hard cover lengkap berserta jacket buku dengan tampilan yang menawan membuat buku ini layak dikoleksi dan dapat bertahan lama melintasi perjalanan waktu.

Sebagai tambahan, khusus untuk edisi bahasa Indonesianya, selain ke 49 buku yang dibahas, penerbit Erlangga menambahkan bab khusus berjudul 4 buku yang berpengaruh dalam sejarah Indonesia yaitu Nagarakertagama, Sutasoma, Max Havelaar, dan buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Sayangnya penerbit tak memberikan pengantar yang menjelaskan mengapa ke-4 buku tersebut yang dimasukkan kategori buku yang berpengaruh dalam sejarah Indonesia.

Kritik untuk buku ini adalah soal terjemahannya yang menurut saya agak sukar dimengerti sehingga perlu perhatian ekstra untuk memahami beberapa deskripsi tentang buku-buku yang dibahas. Foto-foto yang tersaji dalam buku menarik, namun tidak semua foto menampilkan foto buku yang dibahas. Walau kesemua fotonya masih memiliki keterkaitan dengan buku yang dibahas namun akan lebih bermanfaat kalau di setiap buku yang dibahas ada foto edisi pertama dari buku tersebut sehingga pembaca akan mengetahui seperti apa tampilan buku-buku tersebut saat pertama kali diterbitkan.

Selain masalah terjemahan dan foto, di kata pengantar buku ini disebutkan bahwa buku ini berisi 50 judul buku-buku yang mengubah dunia, tetapi setelah saya hitung ternyata hanya ada 49 buku! Kemana satu buku lagi? Apakah kata pengantarnya yang salah atau ada satu buku yang alpa dimuat dalam buku ini? Entahlah.

Terlepas dari itu bagi para pecinta buku dan kolektor buku, selain buku ini sangat pantas untuk dikoleksi, buku ini juga dapat menjadi bacaan yang kaya akan informasi mulai tentang penulisnya, isi bukunya, sejarah penerbitan, dan sebagainya. Yang pasti melalui buku ini kita akan mengetahui bagaimana buku dan ide-ide yang dituangkan di dalamnya telah mengubah masyarakat dan dapat mempengaruhi dunia dengan caranya masing-masing.

Bentuk buku bisa berubah, namun ide dan karya yang ditulis di buku akan tetap bertahan, entah itu dalam bentuk perkamen, buku cetak, buku elektronik, dan entah apa lagi wujudnya. Buku-buku yang mengubah dunia dari generasi ke generasi akan terus bergema dan dibaca orang, bahkan mungkin beberapa diantaranya masih relevan dan terus mengubah masa depan. Karena buku adalah kunci peradaban!

@htanzil

Monday 21 November 2011

Ciri Perancangan Kota Bandung

[No. 276]
Judul : Ciri Perancangan Kota Bandung
Penulis : Djefry W. Dana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 1990
Tebal : 143 hlm


Menceritakan kota Bandung yang saat ini berusia 101 tahun seakan tak ada habisnya, ada banyak sisi-sisi menarik dari sebuah kota yang sempat dijuluki Parijs van Java di tahun 1930-an ini. Kini julukan itu tinggal kenangan karena Bandung semakin tidak mirip dengan Paris dan dan kini sudah bermertamorfosis dari kota indah bergaya Eropa menjadi kota wisata Belanja dan kuliner yang selalu macet di setiap akhir pekan.

Sebutan bisa berubah namun ciri khas kota Bandung dengan karakter visual khas berupa bangunan-bangunan tuanya yang artistik dan memiliki nilai arsitektur tinggi tetap menjadi salah satu icon Bandung yang masih bisa kita nikmati hingga kini. Walaupun sebagian dari bangunan-bangunan tua itu sudah sudah berganti wajah namun hingga kini masih banyak bangunan-bangunan tua yang masih tegak berdiri dengan anggunnya. Bandung Heritage, sebuah paguyuban yang dibentuk untuk melestarikan bangunan-bangunan tua dan budaya Bandung mencatat ada 100 bangunan tua yang kini dijadikan cagar budaya untuk dijaga kelekstariannya.

Menurut Djefry W Dana, seorang arsitektur ITB yang mendalami bidang Perancangan Kota dalam bukunya yang terbit 11 tahun yang lampau berjudul Ciri Perancangan Kota Bandung (Gramedia, 1990) menyatakan bahwa Bandung adalah kota yang pada awalnya direncanakan dengan baik, terutama pada perwujudan ruang kota maupun bentuk-bentuk bangunan yang menarik sehingga tidak mengherankan kalau Bandung merupakan suatu ‘Intelegent City’ yang dapat dipakai sebagai laboratorium bagi para arsitek maupun perancang kota.

Dalam buku Ciri Perancangan Kota Bandung ini penulis mengajak pembacanya menikmati serta memahami maksud yang terkandung dibalik keindahan visual bangunan-bangunan tua dan topografi kota Bandung sehingga melalui buku ini pembaca diharapkan dapat menciptakan suatu pemahaman mengenai arti perancangan sebuah kota.

Dua bab pertama buku ini membahas mengenai mengenai pemahaman, fungi, penampilan wajah, dan identitas kota secara umum yang kemudian dilanjutkan dengan sejarah kota Bandung mulai dari kisah legenda Sangkuriang yang menjadi cikal bakal terbentuknya danau Bandung, asal mula terbentuknya daratan Bandung secara geologis, hingga berdirinya kota Bandung atas perintah Gubernur Jenderal Herman William Daendels pada tanggal 25 Mei 1810.

Di bab selanjutnya barulah secara berturut-turut dibahas ciri khas perancangan kota Bandung melalui penelaahan bangunan-bangunan tua yang hingga kini masih tegak berdiri. Di sini penulis antara lain membahas bangunan-bangunan tua yang sengaja dibangun lebih mundur (set back) daripada bangunan di sekitarnya agar dapat memberikan keleluasaan kepada pengamatnya untuk menikmati keindahan bangunan secara menyeluruh.Misalnya Gedung Sate, gedung Biofarma - Pasteur




Gedung Bio Farma di Jln. Pasteur




Buku ini juga membahas kekhasan bangunan-bangunan yang berada di persimpangan jalan dan sudut jalan, termasuk bangunan kembar yang befungsi sebagai penanda atau gerbang sebuah kawasan tertentu. Selain itu dibahas juga aneka perlengkapan kota seperti lampu-lampu hias, pot bunga, air mancur, patung, jam, dan monumen yang didirikan di Bandung untuk mempercantik penampilan wajah kota.




Gd. Bala Keselamatan

(persimpangan Jln Sumatera - Jawa)






Villa Isola karya Prof. CP. Schoemaker

Jl. Dr. Setiabudhi




Jalan sebagai sarana penting untuk mobilisasi penduduk kota juga dibahas dalam buku ini. Keberadaan lorong jalan dengan pohon-pohon di tiap sisinya juga tak luput dari pengamatan penulis termasuk ruang terbuka berupa taman kota yang dirancang secara serius, tidak hanya untuk menciptakan kenyamanan bagi penduduknya melainkan juga sebagai sebuah perwujudan karakter visual khas sebuah kota.

Walau kesemua bahasan dalam buku ini kental dengan nuansa arsitektur dan perencanaan kota namun penulis menyajikannya dalam kalimat-kalimat yang mudah dimengerti oleh pembaca awam sekalipun. Dengan membaca buku ini kita seakan diajak menyusuri jalan-jalan di kota Bandung sambil menikmati keberadaan bangunan-bangunan tua dengan citarasa arsitektur yang tinggi.

Keberadaan foto-foto bangunan yang tajam dengan angle yang pas juga memudahkan pembacanya untuk lebih memahami isi dari tiap bahasannya sambil menikmati keindahan visual dari bangunan, monumen, dan taman di kota Bandung sehingga apa yang mungkin selama ini luput dari pengamatan kita akan terungkap jelas di buku buku setebal 140 halaman ini.

Walau buku ini terbit 11 tahun yang lampau namun buku ini masih sangat relevan dibaca di masa kini karena hampir semua bangunan-bangunan, jalan, dan taman yang dibahas masih ada walau mungkin wajah dan lingkungan sekitarnya sudah ada yang berubah. Jika saat ini kita tidak melihat Bandung sebagai kota yang memiliki karakter visual yang menarik dan khas seperti yang dibahas dalam buku ini maka ada yang salah dalam proses perkembangaan kota ini.

Kota Bandung yang pada awalnya dirancang dan dibangun dengan konsep-konsep yang mengacu pada fungi kenyamanan sebuah kota dengan nilai estetika yang indah kini berubah menjadi kota yang semrawut. Di jam-jam sibuk dan tiap akhir pecan kemacetan terjadi di hampir seluruh ruas jalan utama. Factory outlet , mall, dan hotel-hotel tumbuh cepat bagai jamur di musim hujan sehingga merubah wajah kota menjadi tak lagi indah dan nyaman. Lalu dimana kita bisa melihat wajah kota Bandung yang indah itu? Oh, itu hanya bisa kita lihat di album foto-foto lama dan di buku-buku tentang Bandoeng Tempo Doeloe.

@htanzil

Buku langka ini saya peroleh dari TB Onlen Lawang Buku Beranda

http://facebook.com/lawangbuku.beranda

 
ans!!