Monday 28 May 2007

The White Castle


Judul : The White Castle
Penulis : Orhan Pamuk
Penerjemah : Fahmi Yamani
Penyerasi : Sofia Mansoor
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, April 2007
Tebal : 297 hlm

The White Castle adalah novel historis karya peraih nobel sastra 2006 – Orhan Pamuk yang berutur mengenai jati diri, pertentangan dan persahabatan antara seorang budak Italia dengan seorang cendekiawan Ottoman di abad ke 17.

Kisah yang ditulis menurut sudut pandang pemuda Italia terpelajar sebagai narator (namanya tak pernah disebutkan hingga akhir) dalam kisah ini, diawali ketika ia sedang berlayar dari Venesia menuju Napoli. Di tengah perjalanan, kapalnya berpapasan dengan armada perompak Turki sehingga dirinya ditangkap dan dibawa ke Istanbul sebagai tawanan. Karena keahliannya dalam berbagai hal, termasuk mampu mengobati tawanan lainnya, ia mendapat perlakuan istimewa dibanding tahanan lainnya.

Kabar tentang keahliannya menyembuhkan penyakit sampai ke telinga seorang Pasha yang meminta dirinya untuk menyembuhkan sang Pasha yang sedang sakit. Si pemuda Italia berhasil menyembuhkan sang Pasha, namun ia tetap seorang tawanan dan tinggal dalam penjara.

Suatu saat si pemuda Italia kembali dipanggil ke Istana Pasha. Ia dipertemukan dengan seseorang yang biasa dipanggil oleh Pasha sebagai “Hoja” yang berarti “guru”. Begitu terkejutnya si pemuda Italia karena orang yang dipangil Hoja itu sangat mirip dengan dirinya.

Karena Pasha mendapat kabar bahwa si pemuda Italia adalah seorang cendekiawan yang mahir akan berbagai ilmu pengetahuan, ia ditugasi untuk membantu Hoja mempersiapkan pertunjukan kembang api yang megah untuk perayaan pernikahan Pasha. Setelah akhirnya pertunjukkan itu sukses si pemuda Italia kembali dimasukkan kedalam sel penjara.

Beberapa hari kemudian si pemuda Italia kembali dipanggil oleh Pasha ke istananya. Pasha menawarkan pilihan hukuman mati atau kebebasan baginya asal ia bersedia menjadi seorang Muslim. Namun ia tak bersedia mengubah kepercayaannya walau harus mempertaruhkan kepalanya dihadapan algojo. Walau si pemuda Italia tetap tak bersedia menjadi seorang Mulsim, sang Pasha tak jadi menghukumnya, melainkan memberikannya pada Hoja untuk dijadikan seorang budak

Sebagai budaknya, Hoja, sang cendekiawan Ottoman yang haus akan pengetahuan Barat, memerintahkan budaknya (pemuda Italia) untuk menurunkan segala pengetahuannya padanya. Dan mulailah si budak mengajarkan semua kepandaiannya dalam hal astronomi, kedokteran, teknik dll. Hoja menguras semua pengetahuan dan pengalaman hidup si budak. Lambat laun Hoja dan budaknya melakukan penelitian bersama-sama, menemukan bersama-sama, dan mengembangkan diri bersama-sama.

Kebersamaan antara Hoja dan budaknya semakin intens, hingga akhirnya suatu pertanyaan filosofis keluar dari mulut Hoja. “Kenapa aku seperti ini?” Dari pertanyaan ini akhirnya mereka saling menulis tentang diri mereka sendiri termasuk dosa-dosa yang pernah mereka lakukan dalam hidup mereka. Dengan menulis tentang diri mereka masing-masing, mereka meyakini bahwa mereka bisa menemukan jati diri mereka yang sejati.

Dilain pihak, kepandaian Hoja dan budaknya tak luput dari perhatian Sultan. Hoja diangkat menjadi peramal Istana. Dan mereka berdua diharuskan mengarang cerita ajaib, menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan sains, astronomi, astologi, menafsirkan mimpi Sultan, memerangi wabah mematikan, hingga merancang sebuah senjata mematikan untuk menaklukan musuh. di Istana Putih.

Keterikatan antara Hoja dan budaknya semakin lekat, mereka saling berbagi kepandaian dan pengalaman hidup. Lambat laun mereka menjadi bingung akan jati diri mereka karena masing-masing memposisikan dirinya dengan ‘kembaran’ mereka hingga tertukarnya jati diri mereka. Hoja seolah menjadi si budak, si budak seolah menjadi Hoja. Puncak pertukarannya adalah ketika ternyata senjata yang mereka buat gagal menaklukan Istana Putih dan Hoja (atau si budak ?) pergi meninggalkan Turki.

The White Castle (Beyaz Kale) adalah novel hisoris yang merupakan novel ketiga Orhan Pamuk yang diterbitkan pada tahun 1985 dan merupakan karya pertama Pamuk yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Karya inilah yang menjadi awal ia bereksperimen dengan teknik postmodern, berubah total dari gaya naturalis di awal karyanya. Pada tahun 1990 novel ini diterjemahkan dengan sangat baik oleh Victoria Holbrrok sehingga banyak orang menyangka bahwa karya Pamuk ini memang aslinya ditulis dalam bahasa Inggris. Novel ini memenangi Hadiah Independen untuk Fiksi Asing pada 1990 di Inggris. Dalam edisi bahasa Indonesia, novel ini merupakan karya Pamuk kedua yang diterjemahkan oleh Penerbit Serambi, setelah sebelumnya menerbitkan My Name is Red (2006), dan kabarnya beberapa karya Pamuk lainnya termasuk yang paling anyar “Snow” kini sedang dipersiapkan untuk diterbitkan.

Seperti yang menjadi ciri khas karya-karya Pamuk, The White Castle juga masih berkisar dengan tema kegamanangan atau hilangnya identitas yang antara lain diakibatkan oleh benturan antara nilai-nilai Barat dan Timur. Hal ini tampak pada tokoh Hoja dimana Hoja tampak begitu mengagumi pengetahuan dan budaya barat hingga ingin menguras habis semua ilmu yang ada di kepala budaknya (pemuda Italia).

The White Castle memang bukan karya yang mudah untuk dicerna. Walau setting ceritanya menarik dan penokohan tokohnya kuat, namun novel yang minim dialog ini bias dibilang rumit karena sepanjang kisahnya mengupas soal kebingungan dan pertukaran jati diri antara tokoh Hoja dan budaknya. Bagi sebagian pembaca, pertukaran jati diri di sepanjang kisah yang diungkapkan secara unik ini mungkin saja menjadi bagian yang menarik, namun bagi pembaca yang kurang sabar untuk mencernanya bukan tak mungkin akan menemui kebingungan dalam memaknai novel ini.

Namun yang pasti novel ini tampaknya membuat kita melakukan perenungan diri akan makna jati diri. Secara tidak disadari kita sering ingin menjadi orang lain, terlebih orang yang kita kagumi baik secara intelektual maupun secara pribadi. Namun pertanyaannya apakah menjalani kehidupan sebagai orang lain memang bisa membuat kita bahagia ?

@h_tanzil

Friday 18 May 2007

Kota Tanpa Kelamin

Judul : Kota Tanpa Kelamin
Penulis : Lan Fang
Penyunting : A.S. Laksana
Penerbit : Mediakita
Cetakan : I, 2007
Tebal : 148 hal

Lan Fang, perempuan pemuja mandi yang suka bangun siang ini termasuk pengarang yang produktif. Mungkin mandi dan bangun siang berpengaruh pada derasnya proses kreatif menulisnya yang terus mengalir tanpa henti. Lihat saja, sejak tahun 1986 hingga kini cerpen-cerpennya mengalir dan dimuat di sejumlah koran dan majalah. Pada tahun 2003 lahirlah novel pertamanya Reinkarnasi (Gramedia, 2003). Semenjak kelahiran buku pertamanya, karya-karya berikutnya seolah tak terbendung untuk diterbitkan, Pai Yin (Gramedia,2004), Kembang Gunung Purei (Gramedia,2005), Laki-laki yang Salah (Gramedia, 2006), Perempuan Kembang Jepun (Gramedia,2006), Yang Liu (Bentang, 2006). Dan yang teranyar adalah kumpulan cerpen Kota Tanpa Kelamin (Mediakita,2007).

Kota Tanpa Kelamin, merupakan kumpulan cerpen yang berisi 12 cerpen yang memiliki keragaman tema baik yang realis maupun yang surealis. Cerpen Kota Kelamin Itu Kosong yang dijadikan judul buku ini merupakan cerpen surealis. Kisahnya menceritakan tokoh Lan Fang, seorang penulis yang berada di sebuah tempat yang aneh ;

Ia berada di sebuah tempat di mana aku banyak sekali berpapasan dengan penis, vagina, tetek, pentil, selangkangan. Mereka semua hilir mudik, lalu lalang, mondar-mandir dengan bentuknya yang beragam. Ada penis yang tertunduk malu-malu, mencuat marah, tegang, lalu muntah-muntah…..(hal 136)

Di tempat tersebut Lan Fang bertemu dengan pengarang Hudan yang memberitahunya bahwa ia berada di Kota Kelamin. Lalu terjadilah dialog filosofis soal kekosongan antara Lan Fang dengan Hudan ;

“Bukankah kosong justru memberimu ruang lebih lama untuk mengontrol kekosonganmu. : (hal 138)

kekecewaan dan pertanyaannya pada Tuhan ;

Oh! Apakah Tuhan begitu arogan? Dia hanya bersemayam di dalam masjid, gereja, pura, vihara, kelenteng, mushola, dan Dia tidak mau menoleh kepadaku yang sedang dalam keadaan sekarat terkapar di jalan yang basah karena hujan meleleh dari tingkap-tingkap langit. (hal 142)

Dan hubungan antara kekosongan dengan Tuhan ;

Aku tidak mau kekosongan itu berkuasa atas diriku. Kosong bukan Tuhan. Tetapi Tuhan ada di dalam kosong. Aku harus mencari-Nya. Lalu aku menggeliat dan membentuk, mengisi kosong itu. Aku mencari Yang Maha.(hal 146)

Cerpen yang terinspirasi oleh karya Hudan Hidayat (Tuan dan Nyonya Kosong) ini memang bukan cerpen yang mudah dicerna karena sarat dengan dialog-dialog filosofis. Klimak di cerpen ini adalah puncak kebingungan ketika seseorang menemui kejenuhan dan kekosongan yang sempurna. Setelah lama terlarut di kota kelamin, ternyata hanya “kekosongan” yang didapat.

Selain cerpen di atas , ada juga cerpen yang terinspirasi oleh karya pengarang lain. Yaitu cerpen “Saya Bukan Olenka” yang mengingatkan orang pada tokoh Olenka dan Fanton Drummond. Cerpen ini mengisahkan tokoh ‘saya’ yang terobsesi dengan Panton.

Saya ingin seperti Olenka yang bisa begitu saja meninggalkan Fanton Drumond sehabis menciumi, menggigit, dan menghisap seluruh darah di tubuhnya. (hal 104)

Karena obsesinya ini, tokoh dalam cerpen ini akhirnya hidup dalam situasi yang serba kalut karena Panton ternyata mengambil semangat hidupnya.

Masih banyak kisah-kisah lain dalam buku ini. Walau didominasi oleh kisah-kisah cinta dimana biasanya tokoh prianya digambarkan sebagai tokoh yang tidak setia, ada juga kisah yang unik seperti Si Otong dan Putri Bulan yang mengambil sudut pandang seeokor anjing, atau cerpen Anak anjing Berkepala Kambing yang memiliki ending yang menghentak dan mengejutkan.

Masih menjadi ciri khas Lan Fang, keseluruhan cerpen-cerpennya ditulis dengan tuturan yang beragam , kadang terkesan puitis, seperti yang terdapat dalam cerpen “Pantat”

“Delapan mulut menganga di dalam sebuah petak reyot dari bambu di pnggir jalan yang setiap saat bisa digusur. Delapan mulut dahaga menunggu air tetes air jemariku yang kasar menerima jatah cuci dari rumah ke rumah. Delapan hati memendam berbagai rasa yang tidak terurai dari delapan pasang mata yang tidak pernah punya mimpi tentang hari esok, karena setiap hari yang dilihat dan dirasakan hanyalah kemiskinan (hal 94)

pada cerpen “Saya Bukan Olenka” mengumbar kemarahan yang meledak-ledak,

Saya jengkel dan ingin meninju hidung Panton. Dengan sekali tinju saja pastilah hidungnya remuk. Saya juga ingin mengobok-ngobok mulutnya yang selalu berbicara besar, lalu menarik lidahnya keluar dari rongga mulut itu, (hal 104)

Selain itu, banyak metafora-metafora yang digunakan untuk menggiring pembaca masuk dalam emosi cerita, seperti yang terungkap dalam cerpen “Ampas”

Aku membutuhkan dia di dekatku pagi sampai malam sampai pagi lagi seperti Fanton Drummond membutuhkan Olenka. Bukan sekedar menjadikan tubuhnya seperti sebuah peta yang kugelar di mana saja dan kutelusuri setiap lekuk ceruk bukit, ngarai, lembah, dan rel kereta api atau sekedar bermain seluncur. Tapi Ia benar-benar peta hidupku. Aku membutuhkan isi kepala dan hatinya, sebagai peta semangatku.
(hal 25).

Sebagian besar cerpen-cerpennya memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi, buka tak mungkin buku ini akan habis terbaca dalam sekali duduk. Hanya saja yang mungkin membuat pembaca agak tersendat adalah cerpen-cerpen yang surealis seperti : cerpen Kota Kelamin Itu Kosong, Si Otong dan Putri bulan, dll dimana jika pembaca gagal mengartikannya, maka cerpen-cerpen itu hanya sekedar rangkaian kalimat yang berisi kisah aneh tanpa makna.

Dari segala apa yang ada dalam buku ini, ada beberapa ‘keunikan’ yang tidak biasa kita jumpai dalam buku-buku kumpulan cerpen, yaitu :

- Tidak adanya daftar isi. Tentu saja hal ini menyulitkan pembaca jika ingin membaca ulang cerpen-cerpen pilihannya
- Tidak adanya jejak cerpen. Biasanya cerpen-cerpen yang dibukukan pernah dipublikasikan di berbagai media cetak. Apakah seluruh cerpen dalam buku ini belum pernah dipublikasikan ? Setahu saya cerpen Anak Anjing berkepala Kambing pernah dimuat di Koran PR beberapa bulan yang lalu.
- Biasanya yang dijadikan judul buku kumpulan cerpen adalah judul salah satu cerpen yang ada dalam buku tersebut. Pada buku ini, judul cerpen yang dijadikan judul buku berubah dari “Kota Kelamin Itu Kosong” menjadi “Kota Tanpa Kelamin”

Apakah beberapa keunikan tadi memang disengaja ?
Namun dari segala kisah-kisah yang tersaji dan keunikan penyajikan buku ini, cerpen-cerpen Lan Fang dalam buku ini yang dieditori oleh A.S Laksana tetap menarik dan enak untuk dinikmati sambil menyeruput secangkir teh hangat di sore hari.

@h_tanzil

Saturday 12 May 2007

Arthur dan Suku Minimoy

Judul : Arthur dan Suku Minimoy
Judul asli : Arthur and The Minimoys
Penulis : Luc Besson
Penerjemah : Mutia Dharma
Penyunting : Maria Masniari Lubis
Proofreader : Herlina Sitorus
Penerbit : Qanita
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal : 259 hal

Sebenarnya buku Arthur dan Suku Minimoy pemberian qanita ini sudah saya terima pada bulan Februari yang lalu. Namun baru minggu ini buku tersebut terbaca. Saat menerimanya memang saya kurang begitu antusias terhadap buku ini. Cover bukunya yang didominasi warna biru dan menggambarkan dua mahluk minimoy tak membuat saya tertarik untuk membacanya meskipun di covernya terdapat juga keterangan bahwa buku ini telah difilmkan dengan Madonna sebagai pengisi suaranya.

Ketertarikan saya terhadap buku ini timbul ketika menyaksikan preview film Arthur and The Minimoys yang diputar di Blitzmegaplex ketika saya menonton Mr Bean-Holiday bersama keluarga. Saat itu saya ingat kalau saya punya bukunya !

Kisah Arthur dan Suku Minimoy dibuat oleh sutradara dan produser kondang asal Perancis Luc Beason yang pernah membuat film The Fifth Elemen, La Femme Nikita, Joan of Arc, dll.

Di novel fantasinya ini, Besson mengisahkan seorang anak, Arthur, berusia 10 tahun yang cerdas dan kreatif. Sementara kedua orang tuanya bekerja di kota lain, Arthur tinggal bersama neneknya di sebuah kota kecil. Prof. Archibald, kakeknya yang seorang peneliti dikisahkan telah menghilang selama 4 tahun lamanya.

Dalam kesehariannya Arthur kerap berada di ruang kerja kakeknya yang berisi buku-buku, patung-patung, topeng dan artefak-artefak lain yang diperoleh Archibald selama berpetualang ke Afika. Sebelum tidur, Arthur selalu didongengi oleh neneknya. Suatu malam Arthur memilih sendiri untuk didongengi dari sebuah buku yang diambil dari ruang kerja kakeknya. Buku tersebut menarik perhatiannya karena dari letaknya seolah kakeknya sengaja menyembunyikan buku tersebut dibelakang buku lain.

Dari buku yang juga dihiasi oleh gambar-gambar itu, Arthur diceritakan kisah tentang suku Bogo-Matassalai dimana kakeknya pernah menjalin persahabatan dengan suku tersebut. Suku Bogo-Matassalai memiliki tinggi rata-rata dua meter. Selama berabad-abad mereka mencari ‘saudara-alam’ yang akan memberi keseimbangan pada hidup mereka. Setelah mencari selama tiga ratus tahun akhirnya mereka menemukan suku saudara alamnya . Suku ini disebut Minimoy yang tinginya tidak sampai dua sentimeter! Dengan perbedaan yang sangat ekstrim kedua suku itu akhirnya hidup berdampingan dan saling tolong menolong.

Archibald, kakek Arthur adalah anggota kehormatan suku Bogo-Matassalai dan Minimoy, ia banyak membantu kedua suku tersebut dengan membangun sumur2, sistem irigasi, bendungan, dll. Sebagai ungkapan terima kasih, Archibald diberi sekantung penuh batu ruby, yang ukurannya terus membesar. Batu ini kemudian disembunyikan olehnya dan hingga hilangnya Archibald, harta karun itu tak pernah diketahui oleh siapapun termasuk oleh istrinya (nenek Arthur)

Suatu saat nenek Arthur kesulitan membayar hutang pada Davido, ia diberi waktu selama tiga hari untuk melunasi hutang-hutangnya jika tidak ingin rumahnya diambil alih oleh Davido.

Arthur berniat membantu neneknya agar mereka tak kehilangan rumahnya. Ia teringat akan harta karun yang pernah diceritakan neneknya. Singkat cerita, Arthur menemukan peta harta karun milik kakeknya yang menunjukkan bahwa batu ruby itu berada di dunia Minimoy yang ternyata berada di pekarangan rumahnya. Dan iapun menduga kalau kakeknya saat ini terperangkap di dunia Mimimoy.

Berkat petunjuk peta harta karun tersebut, Arthur berhasil masuk kedunia Minimoy. Petualangan dimulai, Arthur disambut dengan baik di dunia minimoy. Raja Minimoy mengungkapkan bahwa Archibald pergi ke kota terlarang yang dikuasai oleh penyihir M (Matlazrd) dan semenjak itu tak pernah kembali. Arthur bertekad membebaskan kakeknya. Ia ditemani oleh Putri Selena dan pangeran Betameche.

Kisah Arthur dan Suku Minimoy ditulis dengan sangat menarik. Luc Besson rupanya penulis yang sangat imajinatif, apa yang tampaknya sederhana di dunia manusia menjadi hal yang menarik ketika berada di dunia mini minimoy, seperti nyamuk yang dijadikan pesawat tempur, piringan hitam yang dijadikan lantai dansa, penyiram kebun otomatis yang dijadikan alat transportasi, kelopak bunga sebagai tempat tidur, dll.

Di novel ini, pembaca akan diajak berpetualang di dunia ajaib minimoy. Serunya peperangan antara pasukan M dengan Arthur dkk merupakan bagian yang paling seru dalam buku ini. Selain itu dengan jeli Besson mengungkap beberapa kegiatan yang dilakukan manusia sehari-hari ternyata membawa dampak yang merusak terhadap kehidupan suku Minimoy, hal ini membuat kita tersenyum pahit karena tak terbayangkan akan separah itu akibat kita merusak lingkungan.

Karakter-karakternya tokohnya juga menarik. Tokoh Arthur dan pedangnya mengingatkan kita akan legenda King Arthur dengan pedang Exalibur-nya yang tertancap di batu yang hanya bisa dicabut oleh orang yang berhati murni.
Tokoh penyihir M yang namanya dilarang disebut dan menimbulkan kengerian dan malapetaka bagi yang menyebutnya mengingatkan kita akan tokoh voldemort dalam seri Hary Poter.

Selain cerita yang menarik, berbagai pesan tersembunyi juga terdapat dalam novel ini. Misalnya soal keseimbangan hidup antara suku Minimoy dengan Suku Bogo-Matasalai, dimana perbedaan yang ekstrim justru membuat mereka saling membantu. Soal ketulusan hati untuk menjadi pemimpin dan nilai-nilai kepahlawanan dan persahabatan juga akan terungkap di novel ini.

Namun serunya petualangan Arthur harus terhenti sebelum kita mengetahui berhasil tidaknya misi Arthur untuk membebaskan kakeknya karena kisahnya berlanjut ke buku berikutnya (Arthur and the Forbiden City). Sayang penerbit qanita hingga kini belum juga menerbitkan sekuel dari buku ini, sehingga kita masih harus sabar menunggunya.





(cover edisi HarperCollins Publishers)








Satu-satunya kritik untuk buku ini adalah covernya yang menurut saya kurang bagus dan ilustrasi suku minimoy yang terkesan mennyeramkan daripada lucu. Cover buku edisi Inggrisnya lebih menarik, dimana suku minimoy terlihat sangat kecil dan lebih imajinatif dan indah dibanding cover edisi terjemahannya. Bukan hal yang tabu untuk meniru atau merubah sedikit dari cover aslinya jika dirasa lebih bagus, daripada berkreasi sendiri namun hasilnya tak maksimal.

Novel ini pertama kali terbit pada tahun 2002 dalam bahasa Perancis. Setahun kemudian, di tahun 2003 terbit sekuelnya yang berjudul Arthur and the Forbidden City. Kisah Arthur ini ternyata mendapat sambutan yang positif di berbagai negara. Game komputernya telah diluncurkan mendahului filmnya. Filmnya yang mengabiskan biaya USD 86.000 disutradarai oleh Luc Besson sendiri dengan mengajak akor/aktris Hollywod papan atas seperti Madonna (Ratu Selena), Fobert de Niro (Raja Minimoy), David Bowie (Penyihir Matlazrd), dll.

Filmnya pertama kali premier di Perancis pada November 2006, lalu Desember 2006 beredar di Amerika, menyusul Inggris pada Februari 2007 dan diputar di Indonesia pada bulan Mei 2007.

Tentunya bagi mereka yang telah membaca buku ini akan penasaran untuk menonton filmnya, mampukah Luc Besson menerjemahkan imajinasinya secara visual kedalam rangkaian gambar bergerak ? apakah imajinasi pembaca akan terpuaskan setelah menonton filmnya ?

Baiklah kita baca bukunya dan nonton filmnya. Puas tidaknya tergantung pada sudut pandang masing-masing pembaca. Dan semoga penerbit qanita segera menerjemahkan sekuelnya agar pembaca tak keburu lupa atau kehilangan momen akan serunya petualangan Arthur dan Suku minimoy yang saat ini sedang beraksi di bioskop-bioskop tanah air.

@h_tanzil

Saturday 5 May 2007

Nagabonar Jadi 2

Judul : Nagabonar Jadi 2
Penulis : Akmal Nasery Basral
Penerbit : PT. Andal Krida Nusantara (AKOER)
Tebal : 241 hal
Harga : Rp. 49.500,-

Beberapa tahun kebelakang dunia pustaka tanah air disemarakkan dengan novel yang didaptasi dari skenario film. Untuk novel adaptasi film Indonesia modern pelopornya adalah novel Biola Tak Berdawai (Akoer,2004) karya Seno Gumiro Ajidarma yang mengadaptasi skenario film arahan sutradara Sekar Ayu Asmara : Biola Tak Berdawai (2003). Setelah itu novel-novel adaptasi film terus bermunculan menyusul kesuksesan film-film yang diadaptasinya.

Pertanyaan terbesar yang selalu muncul ketika melihat novel adaptasi film beredar di pasaran adalah : “Samakah novel dengan filmnya ?”. Bagi yang tak suka membaca mungkin akan berkata, “ Buat apa beli bukunya? Nonton saja filmnya!”. Bagi masyarakat kita yang katanya memiliki tingkat membaca yang rendah dibanding negara-negara lain, sepertinya orang akan tertarik menonton filmnya dibanding membaca novelnya. Lalu kenapa harus dibuat novelnya ?

Tentunya selain untuk mendompleng kesuksesan filmnya, atau malah untuk sarana promosi filmnya, ada berbagai alasan mengapa novel-novel adaptasi film masih terus dibuat hingga kini. Apapun alasannya, hal ini tentunya membawa dampak positif dalam dunia perbukuan, antara lain dalam menambah jumlah ragamnya bacaan yang pada gilirannya akan turut menstimulasi gairah baca masyarakat.

Sebenarnya penulis novel adaptasi memiliki keleluasaan penuh dalam mengembangkan karyanya karena medium novel memiliki ruang yang lebih luas dalam mendeskripsikan karakter tokoh atau adegan-adegan yang sulit untuk divisualkan, atau menambah kisah-kisahnya untuk memperkuat plot dan memperlancar alur cerita.

Sayangnya dari novel-novel adaptasi yang telah diterbitkan, kecuali novel Biola Tak Berdawai, novel-novel tersebut umumnya tidak memberikan hal yang baru bagi pembacanya karena akhirnya hanya memindahkan naskah skenario menjadi sebuah novel. Untungnya hal ini tak terjadi dalam novel adaptasi skenario film terbaru : Nagabonar Jadi 2 karya Akmal Nasery Basral.

Novel Nagabonar Jadi 2 ini terbit saat filmnya masih diputar dan dalam waktu singkat telah ditonton oleh satu juta penonton Indonesia. Kini setelah novelnya beredar di toko-toko buku, pertanyaan mendasar soal kesamaan dan perbedaan antara novel dengan filmnya tetap menjadi hal yang selalu ingin diketahui oleh publik buku tanah air.

Untungnya soal perbedaan dan persamaan antara novel dan filmnya disinggung dalam Exordium (Kata Pengantar) novel Nagabonar Jadi 2 yang menyatakan bahwa novel ini memiliki kesamaan dalam hal nama dan karakter tokoh, alur cerita, peta konflik, sampai akhir kisah. Dan yang menjadi perbedaan fundamentalnya adalah : perbedaan cara pandang. Jika filmnya dinarasikan menurut sudut pandang orang ketiga, maka novelnya menggunakan pendekatan orang pertama sebagai pencerita, yaitu Nagabonar sendiri. Hal ini mengingatkan kita pada novel Biola Tak Berdawai yang mengambil sudut pandang yang berbeda dengan filmnya

Kisah dalam novel ini dibuka persis sama dengan filmnya yaitu deskripsi perkebunan kelapa sawit milik Nagabonar. Dikisahkan Nagabonar sedang berada di pusaran ketiga orang yang disayanginya : Emak, Kirana, dan Bujang. Ia bermaksud pamitan pada mereka karena sebentar lagi Bonaga, anak semata wayangnya yang telah menjadi pengusaha sukses akan menjemputnya untuk menuju Jakarta.

Awalnya Nagabonar tak mengetahui maksud sebenarnya Bonaga mengajaknya ke Jakarta. Sesampai di Jakarta barulah Bonaga mengutarakan maksudnya mengajak ayahnya ke Jakarta adalah untuk menyampaikan keinginannya untuk membangun sebuah resort di perkebunan sawit milik ayahnya. Tentu saja hal ini ditolak mentah-mentah oleh Nagabonar karena di perkebunan itu terdapat ketiga kuburan orang-orang yang dicintainya. Apalagi ketika mengetahui bahwa calon investornya adalah orang-orang Jepang, bangsa yang dimusuhi oleh Nagabonar semenjak jaman perjuangan dulu

Selain konflik soal perkebunan kelapa sawit ada pula kisah cinta antara Bonaga dan Monita. Sebetulnya mereka saling mencintai, namun Bonaga yang dibesarkan tanpa sentuhan seorang ibu mengalami kesulitan untuk menyatakan cintanya secara langsung pada Monita, padahal pernyataan cinta inilah yang ditunggu-tunggu Monita sebagai seorang wanita.

Diantara dua konflik tersebut dikisahkan juga kisah perjalanan Nagabonar berkeliling Jakarta dengan bajay yang dikemudikan Umar yang kelak akan menjadi sahabatnya selama di Jakarta. Pada deskripsi inilah banyak terjadi kelucuan dan kritik-kritik Nagabonar terhadap kehidupan sosial di Jakarta. Antara lain soal bajay yang tidak boleh masuk kawasan protokol, patung Jendral Sudirman yang menghormati mobil2 yang berseliweran di depannya, sikap para pemakai jalan di Jakara, arti kepahlawanan, dll.

Seperti filmnya, novel ini sebenarnya penuh dengan pesan-pesan humanis yang membumi, namun karena ditulis dengan lancar dan dikemas dalam bentuk dialog-dialog yang umunmya dibumbui dengan humor cerdas membuat pesan-pesan yang disampaikan menjadi menarik dan untuk disimak karena terkesan tak menggurui.

Tidak ada tokoh antagonis dalam novel ini, namun bukan berarti kisahnya menjadi tak menarik, karena yang menjadi antagonisnya justru aneka peristiwanya itu sendiri yang pada intinya merupakan kisah pertentangan pemikiran antara generasi Nagabonar dengan generasi Bonaga yang kelak akan berujung kepada kesadaran mengenai arti penting cinta dan keluarga bagi si anak.

Lalu kembali pada petanyaan diatas. Apa yang membuat novel ini berbeda dibanding filmnya ? Menurut mereka yang telah menonton filmnya dan membaca buku ini, buku ini tetap mengundang gejolak emosi yang membuat pembacanya tertawa dan menitikkan air seperti halnya jika menonton filmnya. Walau plot, karakter dan ending novelnya sama seperti filmnya, novel ini lebih lengkap dibanding filmnya.

Tidak seperti novel-novel yang diadaptasi dari skenario film lainnya yang umumnya hanya memindahkan naskah skenario apa adanya kedalam sebuah novel. Pada novel ini ada perbedaan yang cukup signifikan. Selain perbedaan sudut pandang yang telah disebutkan di atas, novel ini juga menyajikan ‘kedalaman’ dibanding filmnya, terlebih dalam hal monolog tokoh Nagabonar yang tentunya semakin memperkuat karakter Nagabonar dibanding filmnya.

Selain itu ada juga kisah-kisah lain yang tak terdapat dalam film seperti kisah bagaimana Nagabonar mendapat pangkat Jenderal dan dialog antara Lukman dan Nagabonar soal sastrawan angkatan 45 : Idrus, yang menulis cerpen “Surabaya” dan “Corat-coret di bawah tanah”. Bagian ini menarik, karena pembaca yang tidak mengenal karya-karya idrus sedikit banyak akan mengetahui isi cerpen yang membuat Idrus terkenal karena berisi kritik Idrus pada mereka yang di awal-awal kemerdekaan disebut sebagai pahlawan.

Yang mungkin agak disayangkan adalah novel ini tak mendeskripsikan lebih dalam bagaimana perjuangan Nagabonar yang setelah ditinggal mati orang-orang yang dikasihinya harus membesarkan Bonaga seorang diri sambil mengusahakan perkebunan kepala sawitnya, bahkan bisa menyekolahkan Bonaga hingga S2 di Inggris. Memang ada beberapa narasi yang menyinggung kisah ini secara singkat, seandainya kisah ini digali lebih dalam lagi, hal ini akan bermanfaat untuk memberi gambaran pada pembacanya bagaimana karakter Nagabonar dan Bonaga terbentuk hingga menjadi seperti sekarang.

Dari segi kemasan, novel ini dikemas dengan sampul yang sama dengan poster filmnya. Namun uniknya, tidak seperti pada poster filmnya dimana Nagabonar (Dedy Mizwar) dan Bonaga (Tora Sudiro) disatukan, di novelnya justru dipisahkan sehingga pembeli bisa memilih novel dengan sampul foto tokoh mana yang akan mereka pilih, Bonaga atau Nagabonar ? Satu langkah pengemasan yang cerdik karena memberi kesempatan calon pembeli untuk memilih sampul novel sesuai dengan yang dikehendakinya.

Sayangnya dari segi lay out isi, tampaknya penggunaan hurufnya terlalu kecil, sehingga menganggu kenyamanan membacanya. Entah mengapa novel-novel yang diterbitkan AKOER kini cenderung menggunakan huruf-huruf yang bagi sebagian orang tampak terlalu kecil. Hal ini tampak di dua terbitan AKOER sebelumnya yaitu Saraswati (2006)– Kanti W Janis, dan Digitarium (2006) – Baron Leonard yang juga menggunakan ukuran huruf yang lebih kecil dibanding novel-novel pada umunya.

Namun dari segala kelebihan dan kekurangannya, bagi yang belum menonton filmnya, novel ini sangat baik untuk dijadikan bekal sebelum menonton filmnya. Bagi yang telah menonton filmnya, novel ini tetap memberikan kenikmatan dalam membacanya karena dapat melengkapi apa yang telah ditontonnya.

Sama seperti yang diungkap dalam sinopsis filmnya di situs resmi film Nagabonar Jadi 2 (www.nagabonar.com ) , kisah Nagabonar Jadi 2 memberikan pesan pada pembacanya tentang : CINTA laki-laki dan perempuan, CINTA orangtua dan anak, CINTA dalam persahabatan, CINTA tanah air, termasuk CINTA dalam melihat “perbedaan”. Dan juga seperti yang selalu diungkapkan oleh Dedy Mizwar dalam setiap promo filmya, kisah ini mengajak kita semua untuk melihat Indonesia dengan hati.

@h_tanzil
 
ans!!