Saturday 29 December 2007

Blog Entry 10 + 5 Buku Pilihanku


Ini dia 10 + 5 Buku-buku Pilihanku ,

1. Blindness – Jose Samarago
2. Bulan Jingga dalam Kepala – M. Fadjroel Rachman
3. Dong Mu – Jamal
4. Historian – Elizabet Kostova
5. Janda dari Jirah – Cok Sawitri
6. Middlesex – Jefrey Eugenides
7. My Name is Red – Orhan Pamuk
8. Out – Natsuo Kirino
9. Sintren – Dianing
10. The Professor and The Madman – Simon Winchester

Kesepuluh buku-buku tersebut diurut berdasarkan alfabet, jadi tidak mencerminkan urutan peringkat. Pemilihan kesepuluh buku ini tentu saja bukan berdasarkan nilai-nilai sastrawi ataupun lainnya melainkan hanya semata penilaian subyektif saya pribadi. Buku-buku mana yang membuat saya terkesan, menawarkan kebaruan tema, menambah wawasan berpikir saya, dan juga buku-buku yang membuat saya berseru O My God!, atau ini ‘buku ini hebat!’, atau ‘asik sekali membaca buku ini!’, atau ‘ ooo…begitu toh’, dll.

Bagaimana dengan buku-buku non fiksi ? Tahun ini saya jarang membaca buku non fiksi, namun dari sedikit yang saya baca saya memilih 5 buku yang paling berkesan menurut saya, yaitu :

1. Cherish Every Moment – Arvan Pradiansyah
2. Dinasti Yesus – James R Tabor
3. Instrumen orang Sukses – Ardian Syam
4. Menerbitkan Buku itu Gampang – Jonru
5. The Story of Christianity - Michael Collins & Mather A. Price

Kelima buku non fiksi tersebut membuka wawasan dan cara berpikir saya, salah satunya adalah buku kontroversi Dinasti Yesus, namun bukan berarti buku tersebut menggoyahkan iman saya akan keilahian Yesus, melainkan buku tersebut membuka wawasan saya akan Yesus yang disajikan secara sejarah dan deskripsi tentang zaman serta budaya yang menyertainya.

@h_tanzil

Monday 24 December 2007

SELAMAT NATAL


Selamat Natal......
Tuhan Memberkati....
Agar Natal menjadi bermakna, berilah Kristus tempat utama di hatimu


Tuesday 18 December 2007

7 Trik Sulap Memukau



Judul : 7 Trik Sulap Memukau - Abrakadabra Jadilah Anda Seorang Pesulap
Penulis : Bing Rahardja
Kata Pengantar : Deddy Corbuzier Msc, Yusuf Tirta
Penerbit : PT. Bhuana Ilmu Populer (BIP)
Cetakan : 2007
Tebal : 35 hlm + bonus kartu permainan
Harga : Rp. 54.000,-

Permainan sulap selalu menarik perhatian orang. Dalam setiap kesempatan, sulap dapat dimainkan dimana saja. Tak perlu panggung yang mewah, atau peralatan yang canggih. Sesederhana apapun bentuk sulap yang disajikan pastilah memukau penontonnya dan mengundang decak kagum dan tepuk tangan dari mereka yang melihatnya.


Semenjak munculnya ilusionis kenamaan David Copperfield yang memadukan sulap dengan intertaiment dan Deddy Corbuzier yang menyebut dirinya sebagai seorang mentalist, sulap kini semakin populer dan semakin banyak orang ingin mempelajarinya untuk menguak apa rahasia dibalik permainan sulap. Karenanya kini kita bisa menemui orang menjajakan peralatan sulap plus latihan singkat untuk memainkannya mulai dari yang relatif mahal yang dijajakan di mall-mall hingga peralatan sulap sederhana yang dijual di emper-emper toko atau masjid.


Saking penasarannya orang akan rahasia sulap, tak tanggung-tanggung kita pernah menyaksikan sendiri sebuah acara TV yang menghadirkan sosok pesulap bertopeng yang menelanjangi rahasia dibalik ilusi-ilusi besar yang pernah dilakukan oleh pesulap-pesulap dunia. Acara TV tersebut sukses ditonton berjuta pemisra dan sedikitnya sudah dua kali diputar ulang di TV swasta kita.


Bagaimana dengan ranah perbukuan yang mengulas bagaimana cara dan memainkan sulap ? Entah di luar negeri, namun yang pasti di Indonesia buku yang memaparkan cara bermain sulap sangatlah jarang ditemukan bahkan mungkin tidak ada. Bersyukur kini sebuah buku yang mengupas trik bermain sulap bagi pemula hadir dengan kemasan buku yang menawan.


Buku 7 Trik Sulap Memukau ini ditulis oleh pesulap senior Bing Rahardja. Namanya mungkin kalah popular disbanding pesulap-pesulap yang muncul di TV seperti Mr Robin, Deddy Corbuzier, Yusuf Tritra, dll. Namun dikalangan pesulap ia adalah master sulap yang sesungguhnya. Menurut Yusuf Tirta dalam kata pengantarnya, Bing adalah seorang yang memiliki kemampuan bersulap yang begitu terasah sampai layak disebut "kamus sulap berjalan", namun karena kerendahan hatinya ia menolak untuk dipublikasikan secara besar-besaran. Tak heran karena kemampuannya inilah Bing Rahardja dijadikan guru, sahabat, dan konsultan bagi Deddy Corbuzier dalam berbagai acaranya.


Buku tipis yang dikemas dengan menarik dan dicetak diatas kertas art paper secara full colour ini memuat 7 trik sulap menggunakan kartu. Di dalamnya diungkapkan rahasia sulap yang dengan cepat bisa kita kuasai. Tampaknya Bing Rahardja telah merancang langkah-langkah bermain sulap yang mudah diikuti lengkap dengan ilustrasinya. Selain itu buku ini juga menyediakan peralatan bermain berupa kartu-kartu yang merupakan bonus dalam buku ini sehingga semua triknya dapat langsung dicoba di rumah.


Karena buku ini diutujukan bagi masyarakat awam yang ingin menjadi pesulap, maka trik-trik yang dipaparkan sangatlah sederhana dan mudah untuk dipraktekkan. Namun walau semuanya tampak sederhana semua trik yang dipaparkan dalam buku ini haruslah sering dilatih agar kita bisa memainkannya dengan sempurna layaknya pesulap-pesulap senior. Misalnya sulap "Mengikuti Pimpinan " (hal 3) dimana empat kartu putih polos tiba-tiba berubah menjadi empat kartu raja, atau "Kartu Berpindah Tempat" (hal 30) dimana dua lembar kartu Raja Hati dan Raja Wajik saling berpindah tempat. Ingin berlagak seperti seorang mentalis yang dapat membaca pikiran seperti Dedy Corbuzier ?, kita dapat mencoba triknya dengan cara tiga lembar kartu bergambar lingkaran dengan tiga warna berbeda diletakkan diatas meja. Lalu penonton memilih salah satu kartu dan kita dapat dengan tepat menebak/memilih kartu yang dipilihnya.(hal 7)


Selain ketujuh trik sulap, di akhir buku ini Bing Rahardja juga memberikan 10 aturan etika dan etika yang perlu diketahui oleh mereka yang ingin menjadi pesulap, antara lain; seorang pesulap harus mencintai sulap sebagai sebuah seni dan tidak sekedar alat untuk memamerkan diri karena hal ini dapat menghancurkan citra pesulap. Hargailah penonton, jangan remehkan penonton karena sulap memerlukan penonton. Pilihlah permainan yang sesuai dengan karakter kita dan tampilkan secara wajar. Selalu tersenyum kendati kadang trik yang disajikan mengalami kegagalan, berusahalah menemukan jalan keluar jika penyajian sulap tidak seperti yang diharapkan, dll.


Apa yang disajikan oleh Bing Rahardja dalam buku ini memang merupakan trik-trik sulap sederhana. Namun dibalik semua itu buku ini memberikan arti dan manfaat yang baik bagi siapapun yang ingin mengenal dunia sulap untuk pertama kalinya. Tak berlebihan kalau buku ini dikatakan sebagai pintu bagi seseorang untuk memasuki dunia sulap.


Sayang buku yang dikemas secara mewah dengan halaman-halaman full colour yang dicetak diatas kertas art paper ini membuat buku ini menjadi relatif mahal untuk ukuran buku setebal 35 halaman plus bonus kartu permainannya. Saya khawatir peminat buku ini akan terganjal untuk membelinya begitu melihat bandrol buku ini. Padahal buku ini bisa lebih disederhanakan. Karena tak ada ilustrasi foto, seperti layaknya buku-buku desain atau masakan rasanya tak perlulah buku ini dikemas secara full colour di halaman dalamnya, dengan demikian harga buku ini bisa lebih terjangkau oleh masyarakat luas.


Terlepas dari semua itu, tentunya kita berharap Bing Rahardja tak berhenti membagikan ilmunya hanya di buku ini saja. Semoga di kemudian hari ia akan mengulas sulap dalam berbagai jenisnya, termasuk beragam aspek dan permasalahannya yang begitu luas.


Bing telah membagikan trik-trik sulap kartunya yang sederhana. Namun bukan berarti ia membagikan sesuatu yang tak berarti. Sesuatu yang diawali dengan yang sederhana bukan mustahil melahirkan sesuatu yang luar biasa. Siapa tahu melalui buku ini kita terilhami untuk menjadi seorang pesulap dan kelak menjadi seterkenal David Copperfield atau Deddy Corbuzier. Semua itu mungkin dan tidak mustahil. Karenanya cobalah untuk mencoba semua trik-trik sulap yang terdapat dalam buku ini dan ABRAKADABRA ! jadilah anda seorang pesulap.

@h_tanzil

Monday 10 December 2007

Mahasati

Judul : Mahasati
Penulis : Qaris Tajudin
Editor : Aries R. Prima
Penerbit : PT. Andal Krida Nusantara / AKOER
Cetakan : I, Mei 2007
Tebal : 392

Cinta adalah persoalan yang tidak pernah selesai, demikian yang selalu dikatakan Kef (Kurnia Effendi), cerpenis senior yang cerpen-cerpennya umumnya bertutur tentang kisah-kisah cinta yang sanggup megaduk-ngaduk perasaan pembacanya. Apa yang dikatakan Kef memang benar, cinta memang selalu membawa sejumlah persoalan baik itu yang manis maupun yang pahit. Karenanya kisah cinta tak akan pernah habis dikisahkan oleh para pujangga selama manusia masih dikaruniai hati dan perasaan. Kisah Cinta mungkin akan berakhir jika manusia punah dan digantikan oleh sebentuk robot tanpa hati.

Qaris Tajudin, wartawan Tempo yang sehari-hari melihat dan menyaksikan rangkaian fakta untuk dirawinya menjadi sebuah tulisan jurnalisme tampaknya tergerak untuk menulis kisah fiksi bernuansa cinta. Dalam novel perdananya ini Qaris mengisahkan tokoh Andi yang memiliki persoalan dengan cintanya. Namun jangan berharap novel ini bernuansa merah jambu, kisah cinta dalam novel ini terasa kelam, bukan berarti penuh dengan narasi keputusasaan karena kegagalan cinta diselubungi oleh kisah pelarian cinta tokohnya yang berkelana ke daerah konflik panas di Afghansitan.

Novel ini diawali sebuah peristiwa ketika Andi baru saja menghadiri pemakaman Yoyok, sahabat masa kecilnya. Di pemakaman ini Andi bertemu kembali dengan sahabatnya, Sati. Yoyok, Andi, dan Sati telah membangun persahabatan yang sangat akrab sejak masa kecil. Mereka sama-sama tumbuh menjadi dewasa hingga akhirnya kedekatan ini menimbulkan benih cinta antara Andi dan Sati. Namun benih cinta itu tak jadi tumbuh dengan semestinya karena sebuah peristiwa menyebabkan ketiga sahabat ini harus berpisah dan menjalani kehidupannya masing-masing. Yoyok sebagai perajin emas, Andi sebagai wartawan, sedangkan Sati berkarier menjadi seorang model dan desainer.

Peristiwa kematian Yoyok ternyata membuat benih-benih cinta yang penah tertanam dan mati suri antara Andi dan Sati kembali bersemi. Walau Larasari telah memiliki seorang anak dari seorang tanpa ayah yang resmi namun itu semua tak sanggup menghentikan tumbuhnya benih cinta diantara mereka. Namun pohon cinta yang mereka bangun kembali harus layu terkulai. Sati yang sangat mencintai anaknya tiba-tiba saja harus kehilangan hak perwalian untuk mengasuh anaknya. Sati harus terpisah dengan anak yang ia lahirkan dan besarkan selama delapan tahun dengan penuh kasih sayang. Sati sangat terpukul dan memilih mengakhiri hidupnya dengan menenggak valium yang membuatnya tidur selamanya. Yang menyedihkan, hingga akhirnya hayatnya Sati tak sempat dan tak diizinkan untuk bertemu dengan anaknya..

Andi yang terlanjur mencintai Sati apa adanya menjadi hancur. Ia menyesal karena selama ini ia tidak mengambil langkah berani untuk menikahi Sati. Andai saja ia berani mengambil keputusan tersebut pastilah ia telah hidup bersama Sati dan bersama-sama membantu Sati mempertahankan anaknya. Untunglah Andi masih tetap berpikir rasional. Kesedihan dan keputusasaannya ia tinggalkan dengan mengambil cuti panjang dan pergi jauh dari Jakarta. Atas anjuran teman lamanya Andi berangkat menuju Tunisia. Niatnya mulia, selain untuk mengusir rasa sedihnya dengan berkelana ke daerah yang benar-benar berbeda agar kenangannya bersama Sati tak terus menyiksanya, ia juga ingin mendekatkan dirinya pada Tuhan dengan cara mendalami ajaran agama di Tunisia sebuah kota yang eksotik dan penuh nuansa keagaamaan.

Di Tunisia Andi menumpang di sebuah toko buku milik Abdalla. Abdalla memiliki seorang anak yang bernama Ahmed, calon dokter yang seumur dengan Andi dan ikut dalam kelompok garis keras islam yang menentang pemerintah. Akhirnya Andi terseret masuk dalam kelompok itu dan merencanakan berbagai misi untuk menggulingkan pemerintah Tunisia. Sebuah peristiwa menyebabkan kelompok ini tercium keberadaannya oleh pemerintah. Andi dan kawan-kawannya masuk dalam daftar orang yang dicari. Dengan bantuan Miriam Ezra, gadis yahudi yang dikenalnya di toko buku Abdalla, Andi dan Ahmed keluar secara diam-diam dari Tunisia menuju Sisilia, Italia. Disana mereka ditampung dirumah ayah Miriam yang ternyata salah seorang gembong Mafia Sisilia.

Tanpa mereka duga, kehadiran Andi dan Ahmed dijadikan sandera oleh ayah Miriam untuk melancarkan bisnisnya. Untunglah mereka berhasil kabur hingga terdampar di Afghanistan. Awalnya Andi dan Ahmed bekerja di sebuah rumah sakit, namun pertemuannya dengan Fairuz membawanya masuk dalam petualangan mendebarkan dengan menjadi anggota pasukan bersenjata indpenden yang tugasnya melindungi kaum nomaden Afghanistan dari serangan para perampok yang menyamar sebagai anggota Mujahidin.

Di gurun-gurun Afghanistan, ditengah terikanya matahari pegunungan Hindu Khuz yang menyengat dan kerasnya hidup, akhirnya Andi menemukan sebuah oase bagi hatinya. Rasa cintanya yang sempat terkubur oleh pasir gurun bersemi kembali ketika ia bertemu dengan Nafaz, seorang putri kepala suku nomaden. Namun pengalaman cinta yang mereka nikmati tak berlangsung lama karena sebuah kontak dengan pasukan Amerika menyeret Andi masuk kedalam kamp tahanan di Guantanamo dimana Andi diinterogasi oleh interogator wanita Amerika berdarah Asia, Lucia Wong. Sebelumnya Andi tak mau membuka mulut ketika diinterogasi, namun pendekatan yang dilakukan Lucia Wong membuatnya luluh dan menceritakan semua kisah hidupnya. Dari penuturan Andi dan sebuah buku catatan yang ditulisnya akhirnya kisah hidup Andi terbuka secara terang benderang.

Novel ini disajikan dengan dua plot dengan dua tokoh sebagai penutur secara berganitan. Pertama tokoh Andi sebagai penutur yang menceritakan kisah kehidupannya, kedua Lucia Wong sebagai interegator kamp tahanan Guantomano yang ditugasi untuk membongkar keterlibatan Andi yang tertangkap patroli tentara Amerika Serikat di Afganistan. Plot pertama bergerak di dalam penjara Guantanamo ketika Lucia Wong menginterogasi Andi. Plot kedua dimulai saat pertemuan kembali Andi dan Sati di pemakaman Yoyok, lalu sejenak kembali ke masa kecil mereka dan terus melaju dengan setting Jakarta-Italia-Tunisia – hingga tentara Amerika menyerang pasukan Andi yang sedang mengawal suku nomaden menuju Asadabad Afghansitan.

Dengan adanya dua plot yang berbeda yang disajikan secara berselang-seling ini, membuat pembaca tak merasa jenuh karena pembaca seakan diberi jeda dari kisah hidup Andi yang suram dan menegangkan. Malah kehadiran plot yang menghadirkan tokoh Lucia Wong membantu pembaca untuk lebih memahami apa yang diperjuangkan oleh Andi karena cintanya.

Selain mengupas karakter Andi dan Sati sebagai tokoh sentral dalam novel ini, Qaris juga mengupas tokoh Lucia Wong. Lucia, adalah seorang wanita dingin yang sejak kecil dididik untuk memenuhi ambisi hidupnya tanpa mempedulikan cinta. Baginya cinta adalah penghalang tujuan hidupnya. Namun ketika ia menginterogasi Andi ia akhirnya sadar bahwa kisah cinta Andi lambat laun membangkitkan sesuatu yang selama ini ia tumpas yaitu kemanusiaan dan cinta yang selama ini ia anggap sebagai penghalang tujuan hidupnya.

Disajikan dengan lancar dan ditaburi oleh petikan puisi-puisi cinta karya penyair lokal (Gunawan Mohamad, WS Rendra, Abdul Hadi) maupun penyair dunia seperti Nizar Qabbani (Arab), Gizan Zenrai (Jepang), Jose Marti (Cuba), dll membuat novel ini terkesan romantis ditengah setting Afghansitan yang keras dan gersang. Suatu paradoks yang justru membuat novel ini menjadi semakin menarik.

Pengalaman Qaris Tajudin selaku jurnalis yang pernah meliput langsung perang terbuka di Afganistan pada tahun 2001 membuat setting landskap dan kondisi sosial budaya masyarakat Afghansitan khususnya suku-suku nomaden tersaji dengan begitu hidup. Untunglah Qaris tidak terjebak dalam penggambaran setting yang berlebihan yang kadang membuat bosan pembacanya dan mengaburkan ceritanya. Qaris tetap setia pada kekuatan kisahnya dengan tetap memberi wawasan yang cukup pada pembacanya mengenai setting dimana kisahnya bergulir.

Walau novel ini memiliki settting Afganistan yang berada dalam situasi konflik politik paska berkuasanya Taliban dimana pemerintahannya menimbulkan pro dan kontra, namun Qaris secara cerdas membuat novel ini tak berpihak pada siapapun. Tokoh Andi diceritakan bergabung dengan pasukan independent yang hanya bertugas melindungi suku nomaden dari para penjarah. Qaris juga secara seimbang menyajikan kebaikan dan keburukan pemerintahan Taliban sehingga novel ini tak memihak pada siapapun kecuali pada kekuatan cinta.

Tampaknya kehadiran novel Mahasati ini cukup menarik perhatian para book bloger yang rajin menulis review atas setiap buku yang telah dibacanya. Setidaknya ada 5 blog yang mengulas buku ini (http://perca.blogdrive.com/, http://qyu.blogspot.com/, http://jodypojoh.blogdrive.com/, http://maxbooks.wordpress.com/, http://jalaindra.wordpress.com) yang masing-masing mengulas dari sudut pandangnya masing-masing. Secara umum semua mengulas secara positif novel perdana Qaris Tajudin ini.
Namun para book bloger ini juga menemukan beberapa lubang seperti, Jody Pojoh yang juga seorang sarjana farmasi menemukan ketidaklogisan soal kematian Sati akibat menegak 3 butir valium @500 grm. Pdahal menurutnya tidak ada valium dengan dosis 500 gr.

Sementara itu
Baihaqi mengungkap bahwa di tengah cerita ia merasa seperti seperti sedang membaca sebuah jurnal perjalanan dari pengembaraan orang frustasi. Tapi untunglah ternyata endingnya berhasil dengan baik menutup kisah cinta yang tragis ini.

Endah Sulwesi mempertanyakan Sati yang tiba-tiba saja disebutkan memiliki kelainan jantung. Menurutnya, Qaris seolah-olah ingin mencari gampangnya saja. Padahal, andai tak ada “kelainan jantung”-pun, alasan dan penyebab kematian Sati karena over dosis sudah cukup logis.

Memang itulah ‘lubang-lubang’ yang ada pada novel ini. Saya tak akan menambahkan apapun kecuali lagi-lagi soal kebiasaan penerbit AKOER seringkali tidak memberikan data biografi penulisnya. Walau ada istilah yang mengatakan bahwa pengarang telah ‘mati’ ketika novelnya dibukukan, namun bukankah pembaca berhak mengetahui siapa penulis buku yang sedang dibacanya. Bagi saya biografi singkat penulis adalah salah satu pintu masuk untuk dapat lebih menikmati sebuah karya sastra.

Akhir kata, apa yang ditulis Qaris dalam novel perdananya yang dikerjakannya selama 5 tahun ini tentunya dapat memperkaya khazanah dunia fiksi Indonesia yang kini semakin ragam dalam cara penuturan dan tema. Dalam Mahasati Qaris tampaknya ingin menegaskan bahwa cinta tak pernah mati. Walau dicoba dipendam dengan berbagai cara cinta akan selalu ada dan dapat tumbuh dalam situasi yang esktrim sekalipun. Lucia Wong tak akan menduga kalau nilai-nilai cinta yang selama ini dianggap sebagai penghalang kariernya justru tersadarkan akan arti dan makna kekuatan cinta ketika ia berambisi untuk menaklukkan kebisuan Andi kepada iterogator lainnya. Sedangkan Andi sendiri yang mencoba melarikan diri dari cinta tak pernah menduga jika pelariannya ke daerah sarat konflik justru menumbuhkan kembali cinta yang ingin dikuburnya.

Jika demikian siapa yang dapat menyangkal kekuatan Cinta ?
Jika manusia mengganti hatinya dengan sebongkah batu, barulah cinta akan mati dan tak mungkin tumbuh lagi.

@h_tanzil

Monday 3 December 2007

Sintren

Judul : Sintren
Penulis : Dianing Widya Yudhistira
Editor : A Ariobimo Nusantara
Penerbit : Grasindo
Cetakan : 2007
Tebal : 296 hlm

Sintren, adalah salah satu kesenian tradisional masyarakat sepanjang pesisir pantura, seperti Cirebon, Indramayu dan Pekalongan. Sintren adalah sebuah tarian yang berbau mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dan Raden Sulandono. Sulandono adalah putra Ki Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Baurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan diantara keduanya masih terus berlangsung melalui alam roh. Pertemuan tersebut diatur oleh ibu Sulandoro, Dewi Rantamsari dengan memasukkan roh bidadari ketubuh Sulasih, pada saat itu pula Sulandono yang sedang bertapa dipanggil roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan diantara Sulasih dan Sulandono.

Kisah diatas mendasari timbulnya kesenian sintren. Sesuai tradisi Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawangnya dan diiringi gending si penari akan dimasuki roh bidadari sehingga si penari akan menari dalam keadaan trance. Sesuai pengembangan tari sintren sebagai hiburan budaya maka kesenian ini dilengkapi dengan penari pendamping dan bador (lawak).

Pementasan Sintrén diawali dengan seorang gadis yang menari dengan pakaian seadanya (biasanya berkaus putih) ditemani dua dayang. Lalu nyanyi-nyanyian pun ditembangkan. Seorang dalang kemudian mengikat sintren dengan tali di sekujur tubuhnya sambil membaca mantra khusus. Lalu sintren akan pingsan dan dalam keadaan terikat, ia dimasukkan ke dalam kurungan ayam (yang diselubungi kain diluarnya) diiringi bacaan mantra sang dalang dan tembang-tembang.

Sesaat kemudian kurungan dibuka dan tiba-tiba sintren tersebut sudah memakai pakaian khas penari sintren lengkap dengan memakai kacamata hitam. Dalam keadaan trance Sintren akan terus menari, bahkan ia sanggup menari diatas kurungan ayam yang terbuat dari bambu. Selama menari inilah para penonton diperkenankan menari bersama Sintren dan memberinya uang saweran. Tarian ini berakhir ketika dalang membuat gadis tersebut tak sadarkan diri, dan memasukkannya kembali ke dalam kurungan. Saat dibuka, si gadis sudah kembali berpakaian seperti semula dan dalam kondisi terikat di sekujur tubuhnya persis seperti pada saat awal ia dimasukkan dalam kurungan.

Kesenian Sintren ini kini menjadi sebuah pertunjukan langka bahkan di daerah kelahiran Sintren sendiri., kini Sintren hanya dapat dinikmati setiap tahun sekali pada upacara-upacara besar atau pada hajatan-hajatan orang kaya di kampung. Jarang sekali bahkan hampir tak pernah sintren muncul di layar kaca yang semakin kini semakin dirajai program-program terbarunya nya yang membuat kita lupa akan akar budaya kita. Begitupun dalam ranah pustaka, rasanya hampir tak ada yang membahas secara khusus mengenai kesenian Sintren. Untunglah penulis muda Dianing Widya Yudhistira mengangkat Sintren sebagai judul dan tema sentral dalam novel perdananya ini.

Mau tak mau apa yang dilakukan Dianing ini mengingatkan kita pada penulis senior Ahmad Tohari yang pernah mengangkat salah satu kesenian Jawa dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan hingga kini novel tersebut masih terus dicetak ulang. Walau dari segi cerita dan kedalamannya berbeda namun dua-duanya mengetengahkan cerita fiksi yang dibalut dalam aroma budaya lokal yang tumbuh di masyarakat jawa.

Novel Sintren mengisahkan kisah hidup seorang penari Sintren yang bernama Saraswati.
Saraswati adalah gadis desa yang baru berusia 12 tahun, ia gadis yang lugu namun pintar dalam sekolahnya dan memiliki tekad yang kuat untuk melanjutkan sekolahnya hinga SMP. Ibunya seorang buruh nelayan, sedangkan ayahnya seorang tukang becak. Kesulitan hidup membuat ibunya yang nyinyir berusaha mengangkat derajat kehidupan mereka dengan menjodohkan Saraswati dengan Kirman, putra juragan Wargo, majikannya. Awalnya Saraswati menolaknya karena ia masih ingin bersekolah , namun akibat desakan ibunya, Saraswati terpaksa menerima dirinya untuk dijodohkan dengan Kirman.

Namun sesaat menjelang upacara tunangan, tiba-tiba Juragan Wargo membatalkan niatnya secara sepihak. Diam-diam Saraswatipun merasa lega karena dengan demikian ia masih memiliki peluang untuk melanjutkan sekolahnya.

Belum lagi ia bisa bernafas lega, tiba-tiba Larasati yang sedang mencari penari Sintren melihat bahwa Saraswati tampaknya cocok untuk menjadi seorang penari Sintren. Hal itu diutarakannya pada Ibu Saraswati. Tanpa mendiskusikannya dulu dengan suami dan anaknya. Ibunya menyetujuinya dan langsung menerima uang panjar sebagai tanda kesepakatan untuk menyerahkan Saraswati menjadi seorang Sintren.
Lagi-lagi Saraswati dan ayahnya tak bsia menolak keinginan ibunya, apalagi Saraswati diiming-imingi sejumlah harapan memperoleh uang banyak yang bisa dipakaianya untuk melanjutkan sekolahnya ke SMP.

Maka setelah melalui prosesi penyeleksian yang dilakukan oleh Mbah Mo selaku dalang sintren, Saraswati dinyatakan lulus sebagai seorang penari Sitnren karena dari beberapa orang yang diuji hanya Saraswati yang lolos dari ujian dan tidak pingsan atau kesurupan ketika dimasukkan dalam sangkar ayam yang telah dimanterai oleh Mbah Mo.

Setelah Saraswati menjadi seorang Sintren, Saraswati berubah dari gadis yang lugu menjadi gadis yang memiliki kharisma seorang penari. Ia kini tak terlihat lagi sebagai seorang anak-anak. Saraswati yang tadinya seorang anak yang lugu dan kurang pecaya diri, kini tampil menjadi gadis yang percaya diri dan berani melawan kesewenang-wenangan yang diperbuat kawan-kawannya. Saraswati juga tampak lebih dewasa, selain itu dari aura tubuhnya memancarkan keelokan dan kemolekan seorang penari Sintren yang menbuat banyak lelaki terpana dan ingin mempersuntingnya.

Saraswati kini menjadi seorang penari Sintren yang terkenal, otomatis ia memperoleh uang yang banyak. Cita-citanya untuk melanjutkan sekolah ke SMP tercapai. Para lelaki berduyun-duyun hendak melamarnya. Namun kesuksesan materi ini harus dibayar dengan sejumlah peristiwa ganjil dan tidak mengenakkan. Pesona Saraswati membuat para lelaki di kampungnya baik yang sudah beristri maupun bujangan berniat melamarnya, tentu saja hal ini menjadi gunjingan tak sedap di kampungnya.

Saraswati akhirnya menerima pinangan seorang laki-laki, sayangnya belum sempat lelaki itu menyentuhnya, suaminya tiba-tiba meninggal dunia. Saraswati akhirnya menjadi janda, namun karena masih banyak yang mau menimangnya iapun segera menikah kembali, namun seperti suaminya yang pertama suami Saraswati yang keduapun meninggal sebelum menyentuhnya. Hal ini terus berulang. Saraswati menikah hingga empat kali namun semua suaminya harus mati mengenaskan sebelum menyentuh dirinya. Saraswati tetaplah seorang gadis.

Ia memang menjadi penari yang sukses dan memikat para penontonnya. Namun ada harga yang harus dibayar. Ia dianggap membawa sial bagi kampungnya karena setiap lelaki yang menikahinya pasti meninggal dunia. Ada apa gerangan dalam diri Saraswati apakah roh gaib yang memilihnya menjadi seorang Sintren tak rela jika Saraswati menikah dan berhenti menjadi seorang penari Sintren ?

Kisah Saraswati mengalir dengan lancar dan menarik dalam novel setebal 296 halaman ini. Dianing menuliskan novelnya dengan kalimat-kalimat yang sederhana. Tak ada penggunaan metafora yang berbunga-bunga yang kadang membingungkan pembacanya. Dianing menuliskannya dengan, lancar dan enak dibaca. Alurnya linier, tak berkelok-kelok dan langsung pada menuju inti cerita. Walau plot, kisah dan penggunaan kalimat-kalimatnya tampak sederhana, justru disinilah salah satu keistimewaan novel ini.

Bentuk penyajian novel yang sederhana dan lugas ini menjadi pas sekali dengan kesederhaaan kehidupan masyarakat peisisiran yang menjadi setting utama novel ini. Kultur dan kebiasaan masyarakat setempat mewarnai seluruh novel ini. Dengan demikian Dianing membawa pembacanya masuk kedalam realitas keseharian yang terjadi di tengah masyarakat Jawa Tengah lengkap dengan tradisi keseniannya yang paling menarik perhatian.

Dianing juga menjawab apa yang menjadi pertanyaan setiap orang yang pernah melihat tarian sintren, “Apa yang dirasakan seorang sintren ketika ia sedang menari?”. Novel ini mengungkap apa yang dialami, dilihat, dan dirasakan Saraswati ketika ia sedang menari Sintren. Dikisahkan dalam novel ini bahwa jiwa Saraswati terpisah dari raganya. Raganya dipinjam oleh ‘mahluk halus’ yang membantunya menari. Hal ini seolah menegaskan bahwa kesenian Sintren dilakukan tanpa trik-trik khusus yang menipu penontonnya. Sintren seperti halnya kesenian ronggeng, tayub, reog, dan debus tidak semata dikendalikan oleh kekuatan manusia biasa. Ada unsur mistis yang ikut mewarnai kesenian Sintren, dan ini bukan hal yang aneh karena masyrakat Indonesia toh memiliki sejarah animisme yang berkembang jauh sebelum masuknya agama-agama besar di Indonesia.

Satu hal yang tampaknya kurang dalam novel ini adalah Dianing tak menjelaskan dengan rinci bagaimana kesenian Sintren terbentuk, padahal hal ini sangat memungkinkan diungkap melalui dialog sederhana antara Saraswari dengan Larasati atau Mbah Mo yang membimbingnya menjadi seorang penari Sintren. Jika saja hal ini diungkap, pembaca pasti akan memperoleh wawasan baru mengenai latar belakang keseian sintren.

Novel ini juga tak menjelaskan kenapa Saraswati yang sama sekali tak memiliki darah seniman tiba-tiba bisa menjadi penari Sintren yang sukses. Novel ini hanya mengungkap bahwa Sintren yang ada dalam tubuh Saraswati adalah sintren Den Ayune Lanjar, sintren saksti yang memiliki kecantikan luar biasa. Tentunya akan lebih menarik jika diberikan penjelasan apa keistimewaan Saraswati sehingga Den Ayu Lanjar memilih tubuh Saraswati untuk dirasukinya.

Namun bagaimanapun novel yang sebelumnya pernah dimuat bersambung di harian Republika pada tahun 2005 ini patut diapresiasi dengan baik. Ditengah ragamnya tema-tema fiksi lokal yang mengupas habis kehidupan masyarakat urban modern, sejarah sejarah, politik, fantasi, dll , kehadiran novel Sintren yang membawa muatan lokal plus mengangkat ke permukaan tradisi kesenian Sintren yang hampir terkubur ini memberikan pilihan baru yang menyegarkan sekaligus menambah wawasan bagi pembaca buku-buku fiksi tanah air.

Tak heran jika novel ini terpilih dalam long list (10 besar) kategori Prosa Khatulistiwa Literary Award 2007 , ajang lomba bagi dunia literer yang menggelontorkan uang sebesar 100 juta rupiah plus studi ke luar negeri kepada pemenang pertamanya. Mampukan Sintren, novel perdana yang ditulis oleh penulis muda kelahiran Batang- Jawa Tengah ini bersaing dengan sembilan penulis lainnya di bidang prosa seperti Andrea Hirata, Akmal Nasery Basral, Cok Sawitri, Gus TF Sakai, Noorca M Yudisthira, dll ? Saya pribadi mengharapkan Sintren akan masuk dalam short List (5 besar) KLA 2007 untuk kategori Prosa. Dengan demikian novel ini semakin dibaca orang dan salah satu kesenian lokal yang hampir dilupakan orang akan terangkat kembali.

@h_tanzil
 
ans!!