Saturday 21 October 2006

Carry Me Down

Saya baru saja menyelesaikan novel “Carry Me Down” karya M.J Hayland, nominator The Man Booker Prize 2006.

Saya membaca versi terjemahannya (masih dlm bentuk dummy) yang diberikan oleh penerbit Ufuk pada saya untuk diberikan edrosment.

Rencananya terjemahan novel ini akan diterbitkan di bulan November 2006. Untuk itu, sebagai pemanasan saya postingkan Review Patricia Craig yang dimuat di situs The Independent Online.

Nanti jika terjemahannya sudah terbit baru saya postingkan review yang saya buat sendiri.

Selamat membaca…..

juga

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1427 H
Mohon Maaf Lahir dan batin




Carry Me Down, by M J Hyland
Dry wit and sticky moments of an Irish childhood
By Patricia Craig
Published: 28 April 2006

This is a novel about family friction. John Egan, an overgrown 11-year-old, lives in his grandmother's cottage near Gorey, Co. Wexford, with his mother, father and his father's mother. John's favourite reading is The Guinness Book of Records, and he cherishes an ambition to feature in his work himself on account of an unusual ability he believes he possesses. He is a human lie-detector, whose ears tingle and whose stomach churns whenever someone tries to palm him off with an untruth. He has quite a lot of scope to exercise this gift, since the adults around him are not invariable truth-tellers. Lying and other forms of dishonesty, though, are not peculiar to grown-ups. John himself isn't above indulging in a spot of petty larcency from time to time.

The Egans are an odd family. They are all very tall. John's mother is a puppet-maker and his father, a one-time electrician, is studying with a view to enrolling for a degree course in criminal psychology at Trinity College Dublin. The grandmother, not entirely happy about the invasion of her home, spends a lot of time attending horse races at Leopardstown.

John is at the same time severely critical of his parents and mightily attached to them, and the whole family is subject to lightning changes of mood, which makes for an unsettling atmosphere. This atmosphere is not conducive to steady emotional development. One might go so far as to call John retarded in some areas - though advanced in others.

At Gorey National School John has made only one friend, Brendan, and he loses this friend after an "experiment" goes wrong and he wets the classroom floor, to the disgust and taunts of his classmates. He was only trying to break a urine-retaining record. But one of John's characteristics is an inability to envisage the consequences of his actions, and this culminates in a melodramatic incident involving an ambulance and a number of Gardai.

By this stage the family has moved to Dublin, where the only accommodation available is in a high-rise block in Ballymun, with the stink of rubbish in their noses and gangs of youths assembling for no good purpose in the stairwell. In these dispiriting surroundings, the combined forces of domestic uncertainty and personal peculiarity engender a bitter outcome. The events of these crucial months in the lives of the Egan family are narrated by M J Hyland's protagonist, John; and the impersonation of a pre-adolescent's preoccupations is effective and, at times, funny. At other times a kind of low-intensity frustration and dissatisfaction saturates the narrative, to lowering effect. And occasionally an emblem occurs whose meaning is obscure. However, as a record of country-school bleakness, home unpredictability and city grimness, Carry Me Down can be said to carry the day.

Patricia Craig's biography of Brian Moore is published by Bloomsbury



http://enjoyment.independent.co.uk/books/reviews/article360560.ece

Monday 16 October 2006

Kacamata Kuda


Judul : Kacamata Kuda
Penulis : Ardian Syam
Penerbit : Amara Books
Cetakan : I, Juli 2006
Tebal : 201 hlm

Andrias Harefa (penulis 25 buku laris) dalam endorsment buku ini mengatakan bahwa setiap orang dalam aspek tertentu pastilah memiliki “kacamata kuda”nya masing-masing. Kacamata kuda adalah istilah yang berarti bahwa cara pandang orang umumnya diarahkan oleh orang tua, atasan, guru, dll, seperti kuda yang dipasangi kacamata kuda yang harus tunduk pada arah pandangan yang ditetapkan oleh kusirnya.

Terkadang kita tak menyadari bahwa kitapun memakai kacamata kuda dalam berbagai aspek kehidupan kita, kita terlalu ‘biasa’ menggenakannya sehingga kacamata kuda yang kita kenakan seakan menjadi bagian dari diri kita sehingga tak pernah sedikitpun terbesit untuk mencoba membuka kacamata kuda kita dan melihat berbagai aspek dengan cara pandang baru.

Untuk itulah buku Kacamata Kuda yang merupakan kumpulan tulisan Ardian Syam, penulis kolom di situs Pembelajar.com yang kini bekerja sebagai Bussiness Analyst di divisi I Regional Sumatera, PT. Telekomunikasi Indonesia mengajak pembacanya untuk membuka kacamata kuda-nya dan melihat dengan sudut pandang yang baru.

Buku ini berisi 39 tulisan dalam konteks bisnis, entrepreunership, dan pemasaran yang dibagi dalam enam bab yang masing-masing berjudul : Produsen dan Konsumen, Manajemen Usaha, Pribadi, Produsen dan Konsumen, Lagi, Korupsi, dan Manajemen Usaha, juga.

Pada bab Produsen dan Konsumen antara lain berisi pembahasan mengenai bagaimana hubungan antara produsen dan konsumen dan bagaimana kiat-kiat produsen agar produk-produknya dapat terserap dengan baik oleh konsumen. Dalam artikel yang berjudul Psikografi, dibahas bagaimana sebenarnya pelanggan atau konsumen adalah manusia yang memiliki emosi dan akal sehat, karena setiap produk atau jasa yang tersedia selain harus dipilih berdasarkan akal sehat juga harus mempertimbangkan sentuhan emosi yang diberikan pada konsumen. Di sini penulis memberikan contoh dalam produk mobil-mobil mungil hingga botol-botol shampo dan sabun cair yang saat ini tidak lagi sama bentuknya dalam dengan botol-botol sebelumnya yang berbentuk konvensional. Bentuk produk ini menjadi bagian dari kepedulian produsen terhadap emosi konsumen. Bentuk yang manarik minat berarti bentuk yang menggugah rasa estetika konsumen.

Dalam bab Manajemen Usaha, selain menyajikan bahasan mengenai konsep-konsep manajemen seperti quality time, mitra, budaya dalam organisasi, loyalitas, dll juga dibahas mengenai Seragam. Hal kecil yang setelah dicermati ternyata memberikan pengaruh terhadap manajemen usaha. Penulis berkesimpulan bahwa seragam tidak hanya sekedar menjadi identitas melainkan menjadi uniform. Karena ketika semua orang dalam kelompok tersebut menggunakan seragam, maka hampir tiada perbedaan sikap dan perilaku yang ditunjukkan (hal 191). Hal ini dikarenakan ketika memakai seragam, orang akan cenderung mengikuti perilaku dari teman-teman yang berseragam sama.

Pada Bab Pribadi, dibahas hal-hal yang menyangkut pribadi dalam hal investasi, kesewenang-wenangan, sikap, pengaruh guru, dll. Yang menarik adalah tulisan yang berujudul Investasi, di bagian ini terungkap sebuah penelitian bahwa paling banyak hanya akan ada 6 orang antara kita dengan seorang lain. Dengan kata lain mungkin ada kurang dari 6 orang antara kita dengan Rhenald Kasali. Artinya salah seorang orang yang kita temui mungkin kenal dengan B yang kenal dengan C, C dikenal oleh D, D dikenal oleh E dan E dikenal oleh seorang yang menjadi sahabat Rhenald Kasali. Karena itu penulis menyarankan kita agar selalu bersiap untuk bertemu salah satu dari 6 orang yang akan mempertemukan kita dengan orang yang selama ini kita cari-cari. Caranya dengan selalu melengkapi diri dengan bussines card yang menginformasikan siapa diri kita dan dimana kita bisa dihubungi. Karena siapa tahu orang yang berada di sebelah kita saat kita mungunggu giliran di ruang tunggu dokter, atau seseorang di depan kita yang sedang antri tiket di bioskop adalah orang yang membawa kita pada orang yang kita cari-cari untuk menyukseskan bisnis kita.

Secara keseluruhan, seperti diungkap Edy Zaqeus (editor Pembelajar.com) dalam kata pengantarnya, buku ini akan mengingatkan kita pada gaya penuturan para penulis dalam bidang manajemen dan marketing seperti Hermawan Kertajaya, Rhenald Khasali, Gede Prama, dll. Dimana konsep-konsep majamemen yang aslinya bisa membuat dahi berkerut, di tangan mereka menjadi hal-hal yang mudah dicerna. Ardian melakukan hal yang sama, walaupun tentu saja dengan gaya yang berbeda.

Salah satu yang membuat buku ini berbeda dengan penulis-penulis manajemen lainnya adalah usaha penulis dalam membuat buku ini segar melalui humor-humornya yang menjadi pengantar di tiap babnya.

Jika kita melihat cover buku ini yang berwarna merah dengan ilustrasi kepala kuda yang sedang ‘nyengir’ dan berkacamata, tampaknya sedari awal pembaca diajak menyimpulkan bahwa buku ini bukanlah buku yang ‘berat’. Sayang halaman dalamnya tak didukung dengan ilustrasi-ilustrasi atau karikatur-karikatur segar yang mendukung gambaran bukan buku berat yang dicoba ditampilkan di cover depannya.

Penyajian bab yang unik seperti Korupsi juga menjadi hal yang menarik, di bab ini pembaca akan disuguhkan dengan pandangan-pandangan penulis terhadap praktek korupsi beserta contoh-contoh kasusnya. Entah apa yang membuat bab Korupsi disertakan dalam buku ini, sekilas agak melenceng dari tema utama buku ini yang berbicara dalam konteks manajeman dan pemasaran. Mungkin ini sebuah bentuk kepedulian penulis terhadap praktek korupsi yang sudah menjadi hal yang wajar di negeri ini. Seperti bab-bab lainnya bab inipun menyajikan sudut pandang yang berbeda dan gagasan inopvatif mengenai bagaimana menyadarkan sikap anti korupsi di kalangan kaum terpelajar sedini mungkin.

Setiap tulisan-tulisan dalam buku ini menawarkan berbagai gagasan-gagasan baru yang kreatif dan inovatif. Tips-tipsnya aplikatif sehingga mudah dicerna oleh siapa saja. Walau kasus atau permasalahan yang diangkat mungkin pernah kita dengar, namun secara cerdas Ardian melihat dan memecahkannya dari sudut pandang yang berbeda. Pembaca akan diajak berefleksi dan berkontempelasi lewat tulisan-tulsiannya sehingga pembaca akan mendapat wawasan baru yang mungkin saja akan menginspirasi pembacanya untuk mengembangkankan bisnis yang digelutinya. Selain itu bagi bukan pebisnis ataupun pelaku menajemen usaha, ulasan-ulasan dalam buku ini tampaknya dapat juga diterapkan dalam pengembangan diri pribadi pembacanya.

Secara keseluruhan rangkaian tulisan-tulisan dalam buku ini menarik dan memberi pandangan baru, sayang tulisan yang dikumpulkan dalam rentang waktu 2004 hingga 2006 ini tak menyebutkan sumber-sumber dimana tulisan ini pernah dimuat, apakah semuanya memang pernah dipublikasikan di situs Pembelajar.com ? atau pernah dimuat di media-media lainnya ? Rasanya tak ada penjelasan eksplisit dalam buku ini. Memang bukan hal yang mutlak namun bagi sebuah buku kumpulan tulisan hal ini wajar untuk diungkapkan.

Akhirnya buku ini memang sangat berpotensi dalam membantu membuka wawasan pembacanya dalam memandang masalah dari sisi yang tidak pernah diperhatikan orang, menerobos pemikiran-pemikiran klise, dan yang pasti membuka (dan membaca) buku ini, berarti Anda sedang membuka “Kacamata Kuda Anda”.

Bacalah buku ini dan bukalah Kacamata Kuda Anda!

@htanzil

Saturday 14 October 2006

The Nobel Prize in Literature 2006

Press Release
12 October 2006


The Nobel Prize in Literature 2006
Orhan Pamuk



The Nobel Prize in Literature for 2006 is awarded to the Turkish writer Orhan Pamuk

"who in the quest for the melancholic soul of his native city has discovered new symbols for the clash and interlacing of cultures".

--------------------------


Biobibliographical Notes

Orhan Pamuk was born 7 June 1952 in Istanbul into a prosperous, secular middle-class family. His father was an engineer as were his paternal uncle and grandfather. It was this grandfather who founded the family's fortune. Growing up, Pamuk was set on becoming a painter. He graduated from Robert College then studied architecture at Istanbul Technical University and journalism at Istanbul University. He spent the years 1985-1988 in the United States where he was a visiting researcher at Columbia University in New York and for a short period attached to the University of Iowa. He lives in Istanbul.

Pamuk has said that growing up, he experienced a shift from a traditional Ottoman family environment to a more Western-oriented lifestyle. He wrote about this in his first published novel, a family chronicle entitled Cevdet Bey Ve Oğulları (1982), which in the spirit of Thomas Mann follows the development of a family over three generations.

His second novel, Sessiz Ev (1983; The House of Silence, 1998), uses five different narrator perspectives to describe a situation in which several family members visit their ageing grandmother at a popular seaside resort with Turkey teetering on the brink of civil war. The period is 1980. The grandchildren's political discussions and their friendships reflect a social chaos where various extremist organisations vie for power.

Pamuk's international breakthrough came with his third novel, Beyaz Kale (1985; The White Castle, 1992). It is structured as an historical novel set in 17th-century Istanbul, but its content is primarily a story about how our ego builds on stories and fictions of different sorts. Personality is shown to be a variable construction. The story's main character, a Venetian sold as a slave to the young scholar Hodja, finds in Hodja his own reflection. As the two men recount their life stories to each other, there occurs an exchange of identities. It is perhaps, on a symbolic level, the European novel captured then allied with an alien culture.

Pamuk's writing has become known for its play with identities and doubles. The issue appears in his novel Kara Kitap (1990; The Black Book, 1995) in which the protagonist searches the hubbub of Istanbul for his vanished wife and her half-brother, with whom he later exchanges identities. Frequent references to the mystic tradition of the East make it natural to see this in a Sufi perspective. Kara Kitap represented a definite break with the governing social realism in Turkish literature. It provoked debate in Turkey not least through its Sufism references. Pamuk based his screenplay for the film Gizli Yüz (1992) on the novel.

Yeni Hayat (1994; The New Life, 1996) is a novel about a secret book with the capacity to irrevocably change the life of any person who reads it. The search for the book provides the structure of a physical journey but bordered by literary references, thought experiments in the spirit of mysticism, and reminiscences of older Turkish popular culture, turning the plot into an allegoric course of events correlated with the Romantic myth of an original, lost wisdom.

According to the author, the major theme of Benim Adim Kırmızı (2000; My Name is Red, 2002) is the relationship between East and West, describing the different views on the artist's relation to his work in both cultures. It is a story about classical miniature painting and simultaneously a murder mystery in a period environment, a bitter-sweet love story, and a subtle dialectic discussion of the role of individuality in art.

Pamuk has published a collection of essays, Öteki Renkler : Seçme Yazılar Ve Bir Hikâye (1999), and a city portrait, İstanbul : Hatıralar Ve Şehir (2003; Istanbul : Memories and the City, 2006). The latter interweaves recollections of the writer's upbringing with a portrayal of Istanbul's literary and cultural history. A key word is hüzün, a multi-faceted concept Pamuk uses to characterise the melancholy he sees as distinctive for Istanbul and its inhabitants.

Pamuk's latest novel is Kar (2002; Snow, 2005). The story is set in the 1990s near Turkey's eastern border in the town of Kars, once a border city between the Ottoman and Russian empires. The protagonist, a writer who has been living in exile in Frankfurt, travels to Kars to discover himself and his country. The novel becomes a tale of love and poetic creativity just as it knowledgeably describes the political and religious conflicts that characterise Turkish society of our day.

In his home country, Pamuk has a reputation as a social commentator even though he sees himself as principally a fiction writer with no political agenda. He was the first author in the Muslim world to publicly condemn the fatwa against Salman Rushdie. He took a stand for his Turkish colleague Yaşar Kemal when Kemal was put on trial in 1995. Pamuk himself was charged after having mentioned, in a Swiss newspaper, that 30,000 Kurds and one million Armenians were killed in Turkey. The charge aroused widespread international protest. It has subsequently been dropped.

Literary Prizes and Awards: Milliyet Roman Yarışması Ödülü (1979, shared with Mehmet Eroğlu), Orhan Kemal Roman Ödülü (1983), Madaralı roman Ödülü (1984), the Independent Award for Foreign Fiction (1990), Prix de la Découverte Européenne (1991), Prix France Culture (1995), Prix du Meilleur Livre Étranger (2002), Premio Grinzane Cavour (2002), the IMPAC Dublin Award (2003), Ricarda-Huch-Preis (2005), Der Friedenspreis des Deutschen Buchhandels (2005), Prix Médicis étranger (2005), Prix Méditerranée Étranger (2006).
Works in Turkish
Cevdet Bey Ve Oğulları. – İstanbul : Karacan Yayınları, 1982
Sessiz Ev. – İstanbul : Can Yayınları, 1983
Beyaz Kale. – İstanbul : Can Yayınları, 1985
Kara Kitap. – İstanbul : Can Yayınları, 1990
Gizli Yüz : Senaryo. – İstanbul : Can Yayınları, 1992
Yeni Hayat. – İstanbul : İletişim, 1994
Benim Adım Kırmızı. – İstanbul : İletişim, 1998
Öteki Renkler : Seçme Yazılar Ve Bir Hikâye. – İstanbul : İletişim, 1999
Kar. – İstanbul : İletişim, 2002
İstanbul : Hatıralar Ve Şehir. – İstanbul : Yapı Kredi Kültür Sanat Yayıncılık, 2003

Works in English
The White Castle / translated from the Turkish by Victoria Holbrook. – New York : Braziller, 1991. – Translation of Beyaz Kale
The Black Book / translated by: Güneli Gün. – New York : Farrar, Straus, 1994. – Translation of Kara Kitap
The New Life / translated by Güneli Gün. – New York : Farrar, Straus, and Giroux, 1997. – Translation of Yeni Hayat
My Name is Red / translated from the Turkish by Erdağ M. Göknar. – New York : Knopf, 2001. – Translation of Benim Adım Kırmızı
Snow / translated from the Turkish by Maureen Freely. – New York : Knopf, 2004. – Translation of Kar
Istanbul : Memories and the City / translated from the Turkish by Maureen Freely. – New York : Knopf, 2005. – Translation of İstanbul : Hatıralar Ve Şehir

Works in French
La maison du silence / trad. du turc par Münevver Andaç. – Paris : Gallimard, 1988. – Traduction de: Sessiz Ev
Le livre noir / trad. du turc par Münevver Andaç. – Paris : Gallimard, 1994. – Traduction de: Kara Kitap
Le château blanc / trad. du turc par Münevver Andaç. – Paris : Gallimard, 1996. – Traduction de: Beyaz Kale
La vie nouvelle / trad. du turc par Münevver Andaç. – Paris : Gallimard, 1998. – Traduction de: Yeni Hayat
Mon nom est Rouge / trad. du turc par Gilles Authier. – Paris : Gallimard, 2001. – Traduction de: Benim Adım Kırmızı
Neige / traduit du turc par Jean-François Pérouse. – Paris : Gallimard, 2005. – Traduction de: Kar

Works in Swedish
Den vita borgen / översättning från turkiskan av Kemal Yamanlar i samarbete med Anne-Marie Özkök. – Stockholm : Tiden, 1992. – Originaltitel: Beyaz Kale
Den svarta boken : roman / översatt av Jan Verner-Carlsson. – Stockholm : Tiden, 1995. – Översättning från den norska utgåvan med titeln: Svart bok och den engelska utgåvan med titeln: The black book. – Originaltitel: Kara Kitap
Det nya livet : roman / översatt från turkiskan av Dilek Gür. – Stockholm : Rabén Prisma/Arleskär, 1996. – Originaltitel: Yeni Hayat
Det tysta huset : roman / översatt från turkiskan av Dilek Gür. – Stockholm : Norstedt, 1998. – Originaltitel: Sessiz Ev
Mitt namn är röd / översättning: Ritva Olofsson. – Stockholm : Norstedt, 2002. – Originaltitel: Benim Adım Kırmızı
Snö / översättning Inger Johansson. – Stockholm : Norstedt, 2005. – Översättning från den engelska utgåvan med titeln: Snow. – Originaltitel: Kar
Istanbul - minnen av en stad / översatt av Tomas Håkanson. – Stockholm : Norstedt, 2006. – Originaltitel: İstanbul : Hatıralar Ve Şehir

Works in German
Die weisse Festung / Aus dem Türk. übertr. von Ingrid Iren. – Frankfurt am Main : Insel, 1990. – Originaltitel: Beyaz Kale
Das schwarze Buch / Aus dem Türk. von Ingrid Iren. – München : Hanser, 1995. – Originaltitel: Kara Kitap
Das neue Leben / Aus dem Türk. von Ingrid Iren. – München : Hanser, 1998. – Originaltitel: Yeni Hayat
Rot ist mein Name / Aus dem Türk. von Ingrid Iren. – München : Hanser, 2001. – Originaltitel: Benim Adım Kırmızı
Schnee / Aus dem Türk. von Christoph K. Neumann. – München : Hanser, 2005. – Originaltitel: Kar
Der Blick aus meinem Fenster : Betrachtungen. – München : Hanser, 2006

The Swedish Academy

sumber : http://nobelprize.org/nobel_prizes/literature/laureates/2006/

Monday 9 October 2006

The Voice of Demons


Judul : The voice of Demons : Suara-suara Iblis
Penulis : Lori Schiller dan Amanda Bennet
Penerjemah : Edrijani
Penyunting : Berliani M. Nugrahani
Penerbit : Qanita


Dia ingin kamu mati.
Bunuh dia sebelum dia membunuhmu!
Cekik saja lehernya!
Atau, potong nadimu sendiri!
Bunuh dirimu sebelum dia membunuhmu….

Suara-suara yang menyiksa itu terus berdengung di telingaku. Suara-suara itu tak pernah diam, terus memerintahku, merasuki kepalaku. Mereka mengutuk dan mencaci makiku.


Suara-suara iblis itu pertama kali didengar oleh Lori Schiller di usianya yang ke tujuh belas pada saat ia mengikuti perkemahan musim panasnya yang terakhir di SMA. Sebelumnya tak ada yang salah dalam dirinya, ia dilahirkan dari orang tua yang terpelajar, masa kanak-kanak hingga remaja ia lalui bersama keluarganya yang harmonis. Di sekolahnya Lori tergolong anak yang cerdas. Ia memiliki sejuta mimpi untuk melanjutkan hidupnya, masuk perguruan tinggi, bekerja, dan menata hidupnya dengan penuh tanggung jawab.

Namun siapa yang menyangka impiannya semakin jauh dari kenyataan. Di Musim panas yang naas pada tahun 1976 tiba-tiba saja suara-suara iblis itu terdengar dalam kepalanya dan terus mengganggunya hingga menghancurkan hidupnya.

Walau berhasil memasuki bangku kuliah, hidup Lori menjadi berantakan, perilakunya menjadi aneh, ia berusaha menghalau suara-suara itu dari kepalanya, namun suara-suara itu tak juga mau pergi, semakin ia melawan semakin keras suara itu terngiang di kepalanya. Berkali-kali Lori hilang kendali diri dan mencoba melakukan bunuh diri seperti yang diperintahkan oleh suara-suara itu. Hal ini membuat dirinya didiagnosa menderita skizofrenia dan harus keluar masuk rumah sakit jiwa untuk mendapat perawatan.

Dalam perawatan rumah sakit, kondisi Lori semakin memburuk, tak jarang ia menjadi lepas kendali, mencoba untuk lari, berperilaku destruktif dengan mengancurkan benda-benda di sekitarnya dan melukai dirinya. Tak jarang ia harus mendekam dalam ruang isolasi bahkan harus mengalami pengekangan yang dinamakan cold-wet-pack. Sebuah cara pengekangan yang digunakan untuk meredam amukan pasien yang sudah tak terkendali lagi. Tujuannya adalah untuk membekukan pasien sehingga pasien akan kehabisan tenaga dan menjadi tenang.

Berbagai pengobatan sudah diberikan pada Lori, namun efek obat-obat itu hanya bereaksi sementara karena lambat laun ketika tubuhnya telah menyesuaikan diri dengan obat-obatan tersebut, penyakitnya kembali akan kambuh. Selain itu pemberian obat-obatan bukan tanpa efek samping, seringkali obat-obatan yang diminumnya mengakibatkan tubuhnya gemetaran, tenggorokannya terbakar, dll. Selain itu cara yang paling ekstrim dengan memberikan terapi kejutan listrik pun sudah dialaminya. Namun semua itu tak menyembuhkannya hingga akhirnya Lori terjerat dalam penggunaan Narkoba. Baginya Narkoba adalah cara yang paling efektif untuk menghalau suara-suara itu dalam kepalanya.

Beruntung Lori mendapatkan penanganan yang baik, walau berulangkali mencoba menghabisi nyawanya sendiri dan harus keluar masuk beberapa rumah sakit, hal ini tak membuat putus asa kedua orang tua dan psikiater yang menganganinya. Di New York Hospital, White Plains, Lori mendapat penanganan dari Dr. Fischer dan Dr. Doller. Melalui kedua psikiater ini Lori mendapat penangan yang ‘lain’, tak hanya memfokuskan pada penggunaan obat-obatan melainkan melalui sentuhan personal dan lebih berkonsentrasi pada upaya mengetahui apa yang ada di kepala Lori.

Lambat laun Lori mampu mengenali masalahnya, untuk kemudian menghentikannya. Ketika pada akhirnya dia mengetahui bahwa dirinya sakit, dia tidak membiarkan apa pun menghalangi niatnya untuk sembuh.

Di banding buku-buku lain yang bertema skizofren seperti "Mereka Bilang aku Gila – Ken Steele & Claire Berman (Qanita 2004) atau A Beautiful Mind – Sylvia Nashar (GPU,2005) yang hanya mengupas memoar seorang penderita skizofren dari sisi penderitanya, buku The Voice of Demons (Suara-suara Iblis) ini bisa terbilang istimewa. Selain mengungkap derita-derita dan perjuangan yang dialami oleh si penderita Skizofren yang diwakili oleh Lori. Buku ini memuat pula pandangan-pandangan dari orang-orang yang bersinggungan secara langsung dengan Lori.

Kisah dalam buku ini selain diceritakan oleh Lori sendiri, juga dicertiakan secara langsung oleh Marvin & Nancy Schiler (ayah & ibu Lori), Steven & Mark Schiler (adik2 Lori), Lori Winters (teman sekamar Lori), dan Dr. Jane Doller (psikiater Lori).
Dari sudut pandang Marvin & Nancy schiller, pembaca akan merasakan bagaimana galaunya perasaan orang tua Lori dalam menerima kenyataan pahit harus memiliki seorang anak penderita Skiizofrenia, padahal sebelum sakit Lori adalah anak yang sangat dibanggakannya. Bagi Marvin yang pernah menjalani pendidikan sebagai seorang psikiater tentu saja sangat memukul perasaannya. Apalagi saat itu masih berkembang anggapan bahwa penyakit jiwa diakibatkan oleh pola asuh yang salah dari orang tua terhadap anaknya. Dari sudut pandang Steven & Mark Schiler akan terungkap bagaimana perasaan mereka memiliki seorang kakak yang harus dirawat di rumah sakit jiwa, hal ini berpengaruh pada Steven yang enam tahun lebih muda dari Lori, diam-diam ia merasa takut jika apa yang dialami Lori juga kelak akan menimpa dirinya.

Dari sudut pandang Lori Winters selaku teman sekamar Lori Schiler ketika Lori belum didiagnosis sebagai penderita Skrizofrenia, akan terungkap bagaimana awal dari keanehan-keanehan jiwa Lori yang tidak stabil. Ketika masih sekamar dengan Lori Winter-lah Lori Schiller pertama kali melakukan usaha bunuh dirinya.

Yang tak kalah menarik adalah bab yang diceritakan oleh Dr. Jane Doller. Di bab ini pembaca akan memperoleh pengetahuan mengenai skrizofren beserta tahap-tahap penderitaan dan penanganannya. Juga akan diungkap bagaimana dan apa alasan Dr. Doller dalam melakukan pendekatan baru pada Lori dalam menyembuhkan dirinya dari Skizofren.

Walau buku ini terdiri dari beberapa penutur, penempatan siapa yang menuturkan cerita di setiap bab-nya tampaknya disusun mengikuti alur cerita yang berkesinambungan sehingga terkesan mengalir dan tak membingungkan pembacanya. Malah dengan adanya beberapa penutur dalam buku ini membuat buku ini menjadi buku yang lengkap dalam mengungkap penderitaan seorang penderita Skriizofen karena pembaca dapat melihatnya dari berbagai sudut pandang. Tampaknya peran Amanda Bennett sebagai editor dalam buku ini memegang peranan penting.

Lori dalam kisah ini termasuk satu diantara mereka yang menderita skrizofrenia, gangguan kejiwaan ini semakin lama semakin meningkat jumlahnya. Sebuah penelitian di tahun 2000-an mengungkap bahwa di Indonesia saja ada sekitar 2.5 juta penderita skrizofenia, itu pun yang tercatat, tentunya angka ini lebih kecil dari kenyataannya karena umumnya banyak yang menutup-nutupi jika ada salah satu anggota keluarganya yang mengidap skriizofenia.

Lori beruntung mendapat dukungan dari orang tua yang mencintainya, kepedulian dari rumah sakit, dan tersedianya perawatan yang terbaik. Tak semua penderita skrizofrenia di Indonesia mendapat kesempatan pengobatan yang sama dengan Lori. Alih-alih mendapat perawatan yang baik mereka umumnya dikucilkan, diasingkan, dipenjara, bahkan dipasung dalam rumahnya sendiri.

Untuk itu kehadiran buku ini setidaknya memberikan pesan penting bagi pembacanya. Untuk para ahli jiwa dan dokter, ini merupakan suatu contoh bagaimana para dokter sebaiknya untuk melihat ke dalam dunia penderita penyakit jiwa melalui sentuhan personal, dunia yang terkadang dilupakan oleh para dokter karena terlalu beroientasi pada pengobatan secara medis melalui obat-obatan psikotik.

Untuk para orang tua yang anak-anaknya mungkin menderita skrizofren buku ini memberikan pengertian bagi mereka akan bagaimana memahami perasaan seorang anak yang begitu menderita karena penyakitnya.

Sedangkan bagi penderita sendiri, kisah Lori memberikan sekilas pandangan adanya kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk mengatasi penyakit mereka seperti halnya Lori.

Dan akhirnya untuk kita semua, seperti yang diungkapkan oleh DR. Jane Doller, M.D dalam kata pengantarnya, kisah Lori merupakan kisah perjalanan pribadi yang menggugah hati. Bukan hanya cerita tentang penyakit jiwa, tetapi cerita tentang manusia, kisah tentang ketetapan hati, keberanian dan harapan.

@h_tanzil

Monday 2 October 2006

1421 - Saat China Menemukan Dunia


Judul : 1421 - Saat China Menemukan Dunia
Penulis : Gavin Menzies
Penerjemah : Tufel Najib Musyadad
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Juli 2006
Tebal : 524 hlm 15x23 cm
Harga : Rp. 75.000,-

Sang Kaisar telah memerintahkan kami [Cheng Ho] dan lainnya [Zhao Man, Hong Bao, Zhou Wen, dam Yan Qing] di depan puluhan ribu pejabat dan tentara kekaisaran untuk melakukan perjalanan menggunakan lebih dari seratus kapal…untuk memperlakukan orang-orang asing dengan baik … Kami telah pergi ke wilayah-wilayah barat … total semuanya lebih dari tiga ribu negara besar dan kecil. Kami telah melewati lebih dari seratus ribu li (empat puluh mil laut) perairan luas.

- Prasasasti Cheng Ho di muara Yangtzhe – China –


Sejarah eksplorasi dunia mencatat bahwa pelaut-pelaut Eropalah yang menemukan dunia baru. Kisah perjalanan mereka selalu dikenang, dimulai dari Bartolomeu Diaz (1450-1500) yang meninggalkan Portugal pada tahun 1487 dan menjadi orang pertama yang mengelilingi Tanjung Harapan di ujung Selatan Afrika. Vasco Da Gama (1469-1525) mengikuti jalur Diaz sepuluh tahun kemudian. Ia mengarungi lautan timur Afrika dan menyeberang Samudera Hindia menuju India, membuka jalur perdagangan rempah-rempah melalui laut. Dan yang paling populer, Christopher Columbus (1451-1506), sejarah mencatat bahwa dialah orang yang pertama melihat Dunia Baru – Benua Amerika. Lalu mucullah Ferdinand Magellan (1480-1521) mengikuti jejak Columbus dan dikenal karena menemukan selat antara lautan Atlantik dan Pasifik yang kemudian dikenal dengan selat Magellan.

Lima belas tahun yang lalu, Gavin Manzies (69 thn), mantan perwira Angkatan Laut Kerajaan Inggris tengah melakukan riset mengenai sejarah abad pertengahan. Secara kebetulan ia mendapati sebuah hasil temuan yang sangat mengagumkan, sebuah petunjuk tersembunyi di dalam sebuah peta kuno. Peta tersebut bertuliskan tahun 1424 dan ditandatangani oleh seorang pembuat peta dari Venezia bernama Zuane Pizzigano. Peta tersebut memperlihatkan beberapa buah pulau yang baru saja ditemukan oleh pembuatnya yang ternyata merupakan pulau-pulau di kepulaun Karibia, Puerto Rico dan Guedepole. Hal ini mengejutkannya karena berarti seseorang telah menjelajah kepulauan tersebut sekitar tujuh puluh tahun sebelum Columbus singgah di Karibia. Ini temuan baru, sebelum Columbus sudah ada yang terlebih dahulu menemukan Dunia Baru. Siapa yang melakukan pernjelajahan sebelum Columbus ? Berdasarkan riset awalnya terhadap peta tersebut, Mandiez mengambil satu kesimpulan awal bahwa saat itu hanya satu negara dengan segala perlengkapan dan pengetahuannya ilmiah yang tinggi yang dapat melakukan penjelahan tersebut. Negara tersebut adalah China.

Mandiez tak berhenti dengan meneliti peta Pizzigano, berbekal pengetahuannya mengenai masa Peradaban Yang Agung, ia menghabiskan bertahun-tahun mengelilingi dunia di jalur perjalanan armada China abad ke 15. Ia meneliti arsip, museum, dan perpustakaan, mengunjungi monumen kuno, kastil, istana, dan pelabuhan besar pada akhir Abad Pertengahan, mengesplorasi tanjung berbatu, karang koral, pantai dan pulau terpencil. Ke mana pun ia pergi, ia menemukan semakin banyak bukti fisik berupa porselen China, sutera, artefak, batu pahatan, tanaman yang berasal dari China yang tersebar di pantai Afrika, Amerika, Australia dan Selandia Baru yang akan memperkuat tesisnya bahwa China lah yang menemukan Dunia Baru!

Walau hingga kini risetnya masih terus berlangsung dan berbagai temuan baru masih ia peroleh, pada tahun 2002 Mandiez medokumentasikan tesisnya yang memutar balikkan sejarah tersebut kedalam sebuah buku yang mencengangkan dunia : 1421: The Years China Discovered The World.

Kini, empat tahun setelah bukunya diterbitkan, penerbit Alvabet menerjemahkannya dengan judul 1421 : Saat China Menemukan Dunia. Secara sistematis buku ini mengulas bagaimana China di abad ke 15 yang telah memiliki pengetahuan navigasi yang luas memulai penjelajahannya mengelilingi dunia.

Buku ini dibagi kedalam tujuh bab besar yang masing-masing berjudul : Kekaisaran China, Bintang-bintang Petunjuk, Pelayaran Hong Bao, Pelayaran Zhou Man, Pelayaran Zhou Wen, Pelayaran Yang Qing, dan, Portugal Mewarisi Tahta.

Pada bab Kekaisaran China dan Bintang-bintang Petunjuk, secara rinci dijelaskan bagaimana latar belakang Zhu Di, putra keempat Zhu Yuanzhang – yang tumbuh menjadi kaisar Ming pertama., dan bagaimana Zhu Di merebut Nanjing Ibukota kekaisaran dari tangan kaisar Zhu Yunwen yang hendak membunuhnya. Setelah berhasil menduduki Istana Naga, ia memroklamirkan dirinya sebagai kaisar dengan menggunakan gelar dinasti Yong Le. Cheng Ho seorang kasim yang sebelumnya merupakan penasehat tredekat Zhu Di kini menjadi salah satu kasim yang berada dalam lingkaran dalam kekaisaran. Di era kaisar Zhu Yunwen, kelompok kasim merupakan kelompok yang terpinggirkan, kini di era Zhu Di kaum kasim menjadi salah satu kekuatan politik China, dan tokoh yang paling berkuasa dari semua itu adalah Kasim Agung, Cheng Ho

Oleh Zhu Di, Ceng Ho dijadikan kepala komandan salah satu armada perang. Ia diperintahkan untuk melipatgandakan ukuran galangan kapal Longjiang, dekat Nanjing. Tujuan Zhu Di adalah untuk menciptakan apa yang telah gagal diraih oleh Kubilai Khan : Kerajaan Maritim yang merentang samudera.

Untuk mewujudkan ambisinya Zhu Di menyiapkan ribuan kapal baru. Kapal-kapal ini akan berlayar menuju samudera dunia dan menggambarnya, mengesankan sekaligus mengintimidasi para penguasa asing, membawa seisi dunia ke dalam ‘sistem upeti’ China. Selain itu Zhu Di juga memindahkan ibukota China dari Nanjing ke Beijing. Ia membangun Kota Terlarang yang pada saat pembukannya diperingati secara besar-besaran dan mengundang para duta besar dari berbagai negara.

Beberapa bulan kemudian, pada 3 Maret 1421, sebuah upacara besar digelar kembali untuk mengantar keberangkatan para duta besar ke negara asalnya. Lima Armada besar telah disiapkan oleh Cheng Ho untuk membawa para tamu itu ke negaranya masing-masing. Kembalinya para duta besar ke negeri asal mereka masing-masing hanyalah salah satu dari bagian dari seluruh misi armada itu. Kelak armada itu akan melanjutkan mengarungi lautan menuju ujung dunia untuk mengumpulkan upeti dari kaum Barbar yang berada di seberang lautan, menarik semua yang berada di bawah langit untuk hidup bermasyarakat dalam kerukunan ajaran Confusius (hal 33). Dan ini terjadi 70 tahun sebelum Columbus mengarungi samudera.

Selanjutnya buku ini secara berturut-tutur membahas pelayaran Hong Bao, Zhou Man, Zhou Wen dan Yang Qing. Armada Hong Bao dan Zhao Man berlayar dengan mengambil jalur arus khatulistiwa barat daya menuju Amerika Selatan. Sesampai di kepualauan Fakland Hong Bao bergerak menuju menuju Antartika dan Australia, sementara armada Zhou Man menjelajahi wilayah Barat Amerika Selatan menuju Australia dan sampai di kepulauan rempah-rempah di Asia Tenggara yang terletak antara Australia dan China.

Sementara itu Armada Zhou Wen yang mengambil jalur ke barat daya laut mengikuti arus khatulistiwa utara hingga akhirnya tiba di Kepulauan Tanjung Verde, menuju Karibia, pesisir Timur Florida hingga Amerika Utara, dan menuju Kutub Utara dengan mengelilingi Greenland.

Armada Yang Qing yang telah meniggalkan Beijing satu bulan lebih awal dari armada lainnya, menghabiskan seluruh pelayarannya di perairan Samudera Hindia dan berdagang dengan negara-negara di wilayah sekitarnya. Namun bukan berarti palayaran Yang Qing kalah pamor dibanding armada lainnya. Selain sukses berdagang, di akhir pelayarannya orang-orangnya berhasil menyempurnakan metode menentukan garis bujur lebih dari dari tiga abad sebelum penemuan kronometer oleh John Harisson.

Pada Bab terakhir yang berjudul Portugal Mewarisi Tahta, terungkap bahwa pelaut-pelaut Portugal yang menyusuri dunia ternyata telah memiliki peta yang dibuat oleh pelaut-pelaut China. Dengan peta China sebagai pemandu, maka tak ada tempat yang tak bisa dilalui oleh para kapten kapal laut Portugis, dan bagi mereka menjelajah batas-batas dunia hanyalah masalah waktu saja.

Buku ini memang sangat komprehensif dalam mengungkap siapa sebenarnya yang telebih dahulu menjelajahi dunia. Pengalaman Menzies sebagai marinir Angkatan Laut Kerajaan Inggris yang terbiasa dengan peta, navigasi, arah angin, dan arah bintang sebagai petunjuk memudahkan dirinya untuk menelusuri jejak-jejak armada China baik melalui peta-peta kuno maupun bukti-bukti yang ia peroleh dalam perjalanan dan risetnya.

Bukan hal yang mudah bagi Menzies untuk melakukan risetnya ini. Seperti diungkap dalam buku ini banyak bukti tertulis pelayaran penjelajahan bangsa China telah hilang atau dimusnahkan secara sengaja ketika kaisar Zhu di mangkat dan digantikan oleh putranya. Kebijakan politik yang berbeda dengan Zhu Di menyebabkan warisan Zhu Di, Ceng Ho berupa arsip-arsip, catatan perjalanan, dll dirampas dan dihancurkan oleh penguasa baru

Bukti resmi tertulis yang dimiliki China sebagian besar telah lenyap, namun pelayaran armada-armada China di abad 15 meninggalkan warisan berharga di tiap daerah yang dikunjunginya. Berbagai bukti warisan pelayaran China tersebut terungkap secara mendalam dan rinci dalam buku ini, misalnya satu bukti yang bisa disaksikan dimana-mana : tanaman dan binatang yang dibawa oleh armada China menuju kepualauan baru, juga tanaman dan binatang yang dibawa kembali ke China.

Selain itu beberapa artefak, prasasti, bangkai kapal China yang terdapat di pesisir Amerika Selatan, Australia, Kepulauan Pasifik menjadi saksi bisu tentang kedatangan armada China ke pulau-pulau tersebut. Lalu ditambah lagi legenda yang mengisahkan kedatangan orang-orang berkulit kuning yang menggenakan jubah panjang di kalangan suku Aborigin juga menjadi saksi kedatangan bangsa China jauh sebelum bangsa Eropa sampai di Australia.

Buku ini dilengkap pula dengan Catatan Tambahan yang memuat temuan-temuan terbaru mengenai ekspedisi China ke berbagai negara di dunia, antara lain hasil tes DNA terhadap suku Indian Sioux dan Cree Ojibwa di wilayah Wiscosin Amerika ternyata memiliki DNA China!. Selain catatan tambahan, di bagian akhir buku ini juga memuat lampiran ringkasan Bukti setebal 84 halaman yang berisi ribuan bukti-bukti primer dan sekunder yang menunjukkan bahwa China lah yang membuka jalan bagi penjelajahan dunia.

Buku yang ditulis dengan mendetail ini memang menarik untuk dibaca. Di setiap lembar halamannya pembaca akan diajak menyelami bukti-bukti yang menegaskan kedatangan bangsa China ke berbagai penjuru dunia, hanya saja bagi pembaca awam yang asing dnegan istilah-istilah navigasi, peta, arah angin, dan letak-letak garis lintang dan bujur dalam menentukan arah pelayaran, beberapa bagian dalam buku ini mungkin menjadi sangat membosankan.

Publik Indonesia patut bersyukur dengan diterjemahkannya buku ini. Seperti kita ketahui Indonesia memiliki persinggungan sejarah dan budaya dengan Cheng Ho, bahkan di Semarang terdapat sebuah kuil yang didirikan khusus untuk menghormatinya. Tentunya buku ini layak dijadikan buku referensi bagi mereka yang hendak melakukan riset mengani sejarah eksplorasi dunia dan memberikan fakta baru mengenai siapa sesungguhnya penemu dunia Baru, Columbus kah, atau Laksamana-laksamana China di bawah komando Cheng Ho?

Yang pasti buku ini akan menjadi sebuah karya legendaris dan cerdas yang melacak sejarah hingga mengubah pemahaman kita tentang penjelajahan dunia. Dengan buku ini, sejarah telah ditulis ulang.


@h_tanzil
 
ans!!