Monday 13 December 2010

The Great Gatsby (F.Scott Fitzgerald)

[No. 248]
Judul : The Great Gatsby
Penulis : F.Scott Fitzgerald
Penerjemah : Sri Noor Verawaty
Penerbit : Serambi ilmu Semesta
Cetakan : I, Oktober 2010
Tebal : 286 hlm


The Great Gatsby adalah salah satu novel legendaris karya penulis Amerika F.Scott Fitzgerald (1896-1940). Ketika pertama kali terbit pada tahun 1925 novel ini tidak begitu populer dan hanya terjual kurang dari 25 ribu copy selama sisa hidup Fitzgerald yang meninggal pada usia 44 tahun.

The Great Gatsby dipublikasi ulang pada tahun 1945 dan 1953, barulah setelah itu novel ini menjadi sangat laris dan melambungkan nama Fitzgerald sebagai pengarang kelas dunia. Saking populernya novel ini juga banyak diadaptasi ke dalam film, drama, opera, dan sebagainya. Adaptasi film yang paling terkenal adalah produksi tahun 1974 yang dibintangi oleh Robert Renford yang hingga kini dinilai paling pas memerankan tokoh flamboyan Jay Gatsby.

Tak hanya itu saja The Great Gatsby juga dianggap menjadi novel terbaik sepanjang masa dan menjadi bacaan standard dalam pelajaran literatur Amerika. Selain itu penerbit terkemuka Amerika Modern Library memuji novel ini sebagai “Satu diantara dua novel terbaik Amerika” dan menempatkan novel ini dalam urutan ke dua setelah Ullysses (James Joyce) dalam Daftar 100 Novel Terbaik abad 20 yang disusun berdasarkan peringkat.

Di Indonesia sendiri nama Fitzgerald mungkin kurang dikenal, sebenarnya di tahun 1950 salah satu novel Firzgerald "The Last Tycoon" pernah diterjemahkan oleh Mochtar Lubis dengan judul "Orang Kaya". Setelah itu namanya kembali terdengar ketika film “The Courious Case of Benjamin Button” (2008) yang dibintangi Brad Pitt dan telah diputar di Indonesia beberapa waktu yang lalu. Film tersebut merupakan adaptasi dari cerita pendek Fitzgerald dalam judul yang sama.

Lalu apa yang membuat The Great Gatsby menjadi begitu terkenal dan menjadi novel legendaris? Novel dengan setting New York di era tahun 1920-an ini menceritakan sosok Jay Gatsby seorang jutawan dari sudut pandang tetangganya, Nick Carraway, seorang pendatang baru di New York yang sedang merintis kariernya sebagai seorang pialang saham.

Nick tinggal persis di sebelah rumah Jay Gatsby yang secara rutin melakukan pesta-pesta di rumah mewahnya. Walau Gatsby sering mengundang tetangga-tetangganya yang berasal dari kalangan atas untuk hadir di pesta-pestanya namun siapa sebenarnya sosok Gatsby tetap menjadi misteri bagi banyak orang sehingga banyak beredar gossip bahwa Gatsby adalah seorang panyeludup minuman keras, pernah membunuh orang, dan sebagainya.

Sebenarnya Gatsby sendiri adalah pemuda yang lahir dari keluarga miskin, namun akhirnya ia dapat meraih kesuksesan dan mencapai status sosial yang tinggi. Gatsby muda juga pernah menjadi seorang tentara pada saat Perang Dunia I berlangsung. Saat itu ia sempat menjalin kasih dengan Daisy (sepupu Nick Carraway) yang berasal dari kalangan atas, malangnya ketika Gatsby berangkat berperang Daisy menikah dengan Tom Buchanan seorang pria kaya dari Chicago.

Walau Daisy telah menikah namun Gatsby tetap mencintainya, patah hati karena kekasihnya sudah direbut orang tak membuatnya putus asa, setelah perang usai ia berusaha meraih kesuksesan agar ia dapat merebut kembali Daisy ke pelukannya. Setelah sukses Gatsby membeli sebuah rumah mewah di West Egg, Long Island, New York, rumah itu dipilihnya karena Daisy juga tinggal di bagian lain Long Island yang hanya terpisah oleh laut dengan rumahnya.

Agar dapat bertemu Daisy, Gatsby sengaja secara rutin menggelar pesta-pesta bagi kalangan atas dengan harapan Daisy akan datang ke pesta tersebut, sayangnya Daisy belum pernah sekalipun hadir di pesta-pestanya. Ketika mengetahui bahwa Nick Carraway yang tinggal di sebelah rumahnya adalah sepupu Daisy ia meminta Nick untuk mengundang Daisy ke rumah Nick

Akhirnya Gatsby dan Nick berhasil bertemu, namun Gatsby akhirnya harus menerima kenyataan bahwa sesungguhnya Daisy tak lagi mencintainya. Walau rumah tangganya dibayangi oleh perselingkuhan suaminya, Daisy tetap memilih tetap bersama Tom, suaminya. Namun Gatsby tak menyerah begitu saja ia berusaha agar Daisy kembali ke pelukannya.

Secara garis besar kisahnya memang sederhana tentang bagaimana Gatsby berusaha memperoleh kembali cinta Daisy, namun jika kita membaca novel ini kita akan dapati bagaimana rumitnya sebuah hubungan cinta dan uniknya pergaulan antar kelas sosial masyarakat Amerika era di tahun 20-an yang dikenal sebagai era “Jazz Age”.

Di novel ini akan terungkap bahwa di masa itu banyak bermunculan orang kaya baru yang hidup dalam kemewahannya. Kehidupan mewah itu membuat lunturnya nilai-nilai moral terlebih dalam hal menjaga kesetiaan terhadap pasangan hidup. Selain tokoh Gatsby, Daisy, dan Nick, novel ini juga menghadirkan tokoh-tokoh lain dengan karakter-karakter yang unik yang sebagian besar menganggap bahwa perselingkuhan adalah hal yang biasa dan sepertinya telah menjadi rahasia umum dan sebuah gaya hidup baru bagi kalangan atas.

Jay Gatsby sendiri merupakan tokoh dengan karakter yang unik, dia merupakan sosok yang misterius, walau ia juga termasuk dalam golongan atas dan gemar mengadakan pesta pesta-pesta mewah ia tak pernah menyentuh minuman keras, dan walau dalam pestanya ia banyak dikelilingi oleh banyak wanita kaya namun Ia tetap setia pada cinta sejatinya pada Daisy. Hanya saja karena saat itu perselingkuhan adalah hal yang biasa Gatsby sepertinya melihat hal itu sebagai sebuah kesempatan untuk merebut kembali Daisy walau Daisy telah bersuami .

Di novel ini tampanya Fitzgerald benar-benar mendeskripsikan apa-apa yang terjadi di era tahun-20an dengan detail, banyak beberapa peristiwa, benda, sastra, teater, dan sebagainya yang disinggung di novel ini sehingga bagi kita akan jadi sebuah hal yang asing, untungnya novel ini menyertakan catatan kaki yang mencoba menjelaskan semuanya itu.

Cara Fitzgerald berhasil mendeskripsikannya dengan detail baik situasi dan pendalaman karakter tokoh-tokohnya memang memberi warna tersendiri pada novel ini, namun akibatnya ada beberapa bagian yang jadi membosankan. Selain itu, walau tak banyak namun beberapa kalimat dalam novel ini membuat saya agak tersendat membacanya, apakah ini karena terjemahannya yang kurang tepat? Karena saya tak pernah membaca versi aslinya saya tak berani menyimpulkannya demikian.

Bersyukur karena akhirnya novel yang masuk dalam kategori sebagai novel terbaik di abad 20 ini akhirnya bisa kita baca dalam bahasa Indonesia dengan tampilan cover berbentuk komik yang indah namun tak meninggalkan kesan klasiknya. Jika sebelumnya mungkin novel ini hanya dibaca di kalangan terbatas yang melek sastra kini novel ini bisa dibaca di kalangan yang lebih luas lagi. Jika novel ini menjadi bacaan wajib dalam sekolah-sekolah di Amerika tentunya ada hal yang bemanfaat juga bagi pembaca di Indonesia secara umum ketika akhirnya buku ini diterjemahkan

Bagi saya pribadi dengan membaca novel ini selain dapat memahami situasi sosial masyarakat New York di era tahun 20-an saya juga melihat bahwa walau novel ini ditulis lebih dari 80 tahun yang lalu namun kisahnya masih relevan hingga kini dimana kekayaan dapat meruntuhkan nilai-nilai sosial dan moral dalam sinisme, keserakahan, dan pemenuhan hasrat akan kesenangan duniawi. Apakah nilai-nilai sosial dan moral dunia sekarang tidak lebih baik dari 80 tahun yang lampau?

Sebagai catatan tambahan, saat ini The Great Gatsby mulai dibicarakan orang kembali, kabarnya industri film Hollywood akan memfilkan kembali novel ini. Sutradara Buz Lurhmann (Australia, Moulin Rouge) kini sedang mempersiapkan pembuatan film ini, dan aktor terkenal Leonardo de Caprio disebut-sebut akan berperan sebagai Jay Gatsby. Akan seperti apa filmnya nanti ? Pastinya semenjak novel klasik ini beberapa kali difilmkan banyak kalangan yang menilai kalau filmnya lebih menarik dibanding novelnya…:D

@ htanzil

Tuesday 30 November 2010

Guardians of Ga'hoole #1 : The Capture

[No. 247]
Judul : Guardians of Ga'hoole #1 : The Capture
Penulis : Kathyrn Lasky
Penerjemah : T. Dewi Wulansari
Penerbit : Kubika
Cetakan : 2010
Tebal : 338 hlm

Burung hantu identik dengan hal-hal yang menyeramkan, mungkin karena jenis burung ini hanya beraktifitas di malam hari dengan suaranya yang menyeramkan bagaikan hantu tak heran burung ini muncul di kisah-kisah horror, penyihir, atau kisah-kisah seram lainnya. Beberapa film atau drama horror tak jarang menggunakan burung hantu dan memperdengarkan suaranya agar menimbulkan kesan mistis dan seram pada adegannya.

Kita tentu masih ingat bagaimana sebuah acara TV “The Master” menampilkan sosok magician fakir Master Limbad yang selalu tampil dengan tata panggung dan rias wajah yang seram bersama burung hantunya. Namun tak jarang sosok burung hantu juga muncul dalam bentuk yang lebih bersahabat seperti dalam Buku dan film Harry Potter yang menghadirkan burung hantu sebagai burung pengantar surat bagi para murid-murid penyihir Howgart

Demikian pula dalam novel fantasi Guardians of Ga’Hoole, sebuah kisah fabel burung hantu karya Kathryn Lasky yang sama sekali jauh dari kesan menyeramkan. Di novelnya ini alih-alih menampilkan sosok burung hantu yang seram Lansky mencoba menjadikan burung hantu sebagai burung yang cerdas, bijaksana, dan suka menolong. Apakah Lasky terlalu mengada-ngada? Tentu saja tidak karena ternyata menurut kepercayaan orang Yunani burung hantu itu melambangkan kebijaksanaan dan sifat penolong.

Buku ini merupakan seri pertama dari ke enambelas judul seri Guardians of Ga’Hoole. Di buku pertamanya ini dikisahkan seekor burung hantu Barn yang masih berusia tiga minggu bernama Soren. Saat kedua orang tuanya pergi berburu Soren terjatuh dari sarangnya. Soren tak bisa selain mengunggu pertolongan dari orang tuanya atau saudara-saudaranya. Malangnya ketika ia menunggu pertolongan tiba-tiba seekor burung hantu membawanya terbang ke sebuah tempat yang merupakan sebuah tebing yang tinggi, saat itu barulah ia sadar bahwa dirinya diculik.

Oleh burung hantu itu Soren dibawa ke sebuah tempat yang bernama St Aegolius, sekolah untuk burung hantu yatim piatu. Di tempat itu sudah terdapat ratusan anak-anak burung hantu yang diculik dan dididik dengan keras untuk sebuah tujuan tertentu. Mereka diharuskan patuh pada para gurunya, bekerja sesuai dengan yang diperintahkan dan harus mengikuti sesi pembingungan dimana anak-anak burung hantu harus berbaris dan tidur dibawah pancaran bulan purnama. Dengan demikian anak-anak burung hantu itu akan bertindak diluar kebiasaan burung hantu pada umumnya, lupa akan jati dirinya dan tidak memiliki keinginan untuk kabur dari St Aegolius.

Untungnya di tempat itu Soren bertemu dengan Gylfie, seekor burung hantu Peri yang cerdas, ia sadar bahwa semua anak-anak burung hantu yang tertidur di bawah pancaran sinar bulan purnama akan mengalami pembingungan. Selain itu mereka juga dibuat kehilangan jati diri mereka dengan menganti nama mereka dengan nomor. Dan yang lebih keji ada suatu masa dimana para anak-anak burung hantu itu diperintahkan untuk tidur terlentang dan sekelompok kelelawar datang untuk menghisap darah mereka dengan demikian anak-anak burung hantu itu akan kekurangan darah sehingga membuat bulu terbang mereka layu dan mati dengan demikian keinginan untuk kabur pun lenyap.

Karena Gylfie sudah berada di tempat itu lebih awal daripada Soren maka iapun memberitahukan semua itu pada Soren sehingga mereka berdua berusaha untuk mengamati apa yang sebenarnya sedang terjadi dan berusaha untuk menghindari sesi pembingungan setiap malamnya. Akhirnya diketahui bahwa tujuan para penculik itu adalah untuk menguasai kerajaan burung hantu. Maka sambil menunggu bulu-bulu terbang Soren berkembang dengan sempurna mereka merencanakan untuk kabur dari St. Aegolius.

Akhirnya dengan bantuan seekor burung hantu bernama Grimble yang juga terhindar dari proses pembingungan Soren dan Gylfie diajari cara terbang olehnya. Soren dan Gylfie akhirnya bisa terbang dan lolos dari kejaran para burung hantu St. Aegolius walau hal itu harus ditebus oleh nyawa Grimble yang tewas demi lolosnya Soren dan Gylfie.

Kaburnya Soren dan Gylfie bukan akhir dari segalanya, setelah berhasil kabur mereka berdua berusaha mencari keluarganya terlebih dahulu. Dalam pencariannya mereka bertemu dengan Twilight dan Digger, dua ekor burung hantu yang juga pelarian dari St. Aegolius. Hal ini menjadi titik awal dari petualangan mereka untuk menyelamatkan kerajaan burung hantu dari niat jahat burung hantu. St. Aegoluis.

Sebelum mereka sampai pada tujuan itu, Soren dan kawan-kawannya berniat untuk terbang menuju tempat dimana Pohon Ga’Hoole Agung tumbuh, tempat dimana hidup sebuah Legenda tentang para kasatria burung hantu yang akan terbang setiap malam untuk melaksanakan tugas-tugas mulia untuk menjaga kerajaan burung hantu dari niat jahat musuh-musuh mereka.

Sebagai kisah fantasi remaja, dengan bijak Kathyrn Lasky menyisipkan beberapa pelajaran moral bagi pembacanya, misalnya dalam hal toleransi, Lasky menghidupkan tokoh Mrs. P , seekor ular buta yang menjadi pelayan sarang burung hantu di keluarga Soren. Ini adalah hal yang tidak umum bagi keluarga burung hantu karena ular adalah makanan burung hantu. Namun walau Mrs. P adalah seekor ular dan menjadi pelayan sarang, Soren dan keluarga memperlakukan Mrs. P dengan hormat bahkan untuk menjaga perasaan Mrs. P Soren dan keluarganya pantang makan ular.

Lasky juga mengajak pembacanya untuk meneladani tokoh Gylfie yang sangat setia kawan, ketika masih terperangkap di St. Aegoluis Gylfie dengan sabar menunggu Soren tumbuh bulu-bulu terbangnya agar bisa melarikan diri bersama, padahal kalau mau Gylfie bisa lebih dulu terbang dan meninggalkan Soren. Lalu ada kisah pula bagaimana Grimble memberi motivasi dan keyakinan pada Soren dan Gylfie kalau mereka sesungguhnya sudah bisa terbang.

Selain beberapa pelajaran moral yang bisa diperoleh di novel ini, karena novel ini berasal dari riset serius Lasky yang tadinya hendak membuat buku non fiksi tentang burung hantu maka dalam novelnya ini ia menyajikan berbagai pengetahuan tentang burung hantu seperti jenis-jenis burung hantu seperti burung hantu Peri, burung hantu Barn, burung hantu hitam, dan yang unik adalah burung hantu Digger atau burung hantu penggali yang menggali lubang di tanah sebagai sarangnya. Selain itu pembaca juga akan diajak memahami karakter, perilaku dan perkembangan fisik burung hantu semenjak menetas, hingga ia cukup dewasa untuk bisa terbang dan berburu makanan.

Kisah yang seru, perilaku dan karakter burung hantu, dan nilai moral yang terdapat dalam kisah ini ini dipadu sedemikian rupa sehingga mampu memikat pembacanya untuk terus membaca petualangan para tokoh-tokohnya. Tak heran jika novel ini tampaknya diapresiasi dengan baik oleh pembacanya dan menjadi International Bestselling Series, hal ini pula yang membuat Lasky dengan tekun meneruskan seri burung hantu Ga’hoole ini hingga 16 seri yang terbit dua judul setiap tahunnya. Mungkin ini pula yang menjadi alasan Warner Bross untuk mengadaptasi kisah legenda Ga’ahoole ini dalam bentuk film yg berjudul “Legend of The Guardians : The Owl of Ga’hoole”. Film tersebut merupakan gabungan dari tiga judul awal seri ini yaitu The Capture, The Journey, dan The Rescue

Dengan banyaknya hal-hal positif yang bisa didapat pembaca dalam novel ini semoga pembaca fiksi fantasi tanah air juga khususnya para pembaca remaja kita dapat mengapresiasi novel berseri ini dengan baik sehingga penerbit Kubika dapat terus termotivasi untuk konsisten menerbitkan ke 16 judul dari seri Guardians of Ga’hoole ini.

@htanzil

Wednesday 24 November 2010

Aku Berkicau

[No. 246]
Judul : Aku berkicau (Saat Prosa dan kisah bercerita
Penulis : Nuzula Fildzah
Penerbit : www.nulisbuku.com
Cetakan : Oktober 2010
Tebal : 112 hlm

Aku berkicau adalah sebuah kumpulan cerpen karya penulis muda Nuzula Fildzah atau biasa dipangil dengan ‘Zula’. Saat ini ia masih menempuh pendidikan bidang Kurikulum dan Tekonolgi Pendidikan Universitas Jakarta, menulis baginya adalah salah satu hobinya yang sejak lama terus ditekuninya hingga kini. Pada tahun 2008 salah satu cerpennya berhasil dimuat di sebuah majalah remaja. Kini Zula rajin menulis di blog pribadinya (zulazula.wordpress) , selain itu ia juga menulis artikel dan cerpen di sebuah majalah elektronik (Myjalah.com).

Menerbitkan tulisan-tulisannya dalam sebuah buku adalah impian Zula, bersyukur karena akhirnya kesempatan itu datang melalui nulisbuku.com sebuah perusahaan self-publishing berbasis online pertama di Indonesia yang menawarkan jasa menerbitkan buku secara indie. Melalui acara 99 Writerrs yag digagas oleh nulisbuku.com yang mengumpulkan 99 penulis dan menerbitkan bukunya secara serentak akhirnya di awal Oktober lalu lahirlah buku perdana Zula yang diberi judul “Aku Berkicau” yang sebagian besar berasal tulisan-tulisan yang telah tersimpan rapih di blog pribadinya.

Buku ini menyuguhkan 8 buah kisah yang dihantar oleh sebuah prosa pendek sebagai penghantar masuk dalam masing-masing kisahnya. Jika hendak dicari benang merahnya, semua kicauan Zula dalam buku ini bertemakan cinta. Namun bukan hanya cinta romantis antara pria dan wanita semata, melainkan cinta dalam arti yang lebih luas lagi seperti cinta pada anak dan ayah, cinta lingkungan, cinta sejarah, dan sebagainya. Keragaman cinta inilah yang membuat kisah-kisah dalam buku ini menjadi menarik dan tidak membosankan walau kicauan Zula hanyalah kiacauan cinta.

Dari segi ide cerita dan tokoh-tokoh dalam ceritanya saya rasa Zula termasuk berani dalam menyuguhkan sesuatu yang segar. Ada dua kisah dimana tokohnya bukanlah manusia, yaitu di kisah “Pendengar Terbaikmu” dan “Ilalang dan aku” Jika kita membaca kedua kisah tersebut maka sepanjang tubuh kisah kita akan dibuat penasaran siapa sebenarnya tokoh ‘aku’ dalam dua kisah itu, awalnya mungkin kita tidak akan menyangka bahwa tokohnya bukanlah manusia, di akhir kisah barulah pembaca akan menyadari siapa sebenarnya tokoh ‘aku’ yang dimaksud.

Selain itu keberanian Zula sebagai generasi muda dalam memasukkan peristiwa proklamasi dalam kisah “Perjalanan Proklamasi Kemerdekaan” patut diacungi jempol. Hanya sayang judulnya kurang menarik karena seperti judul sebuah Essai . Secara ide kisah ini menarik karena membawa pembaca ke saat-saat pembacaan detik-detik proklmasi 1945, namun sayang penulis tampak terlalu tergesa mengakhiri kisahnya padahal kalau dieksplorasi lagi lebih jauh, cerpen ini akan semakin menarik.

Dari kedelapan kisah yang ada, yang menurut saya paling kuat kisahnya adalah “05:05”. Yaitu tentang tokoh bernama Zahra yang harus kehilangan kegadisannya karena direngut oleh mantan kekasihnya. Dilema muncul ketika seorang pria kembali hadir dalam hidupnya dan menyatakan cintanya. Kisahnya memang sudah umum namun dikisah ini penulis membingkainya dengan baik, karakter dan pergulatan batin tokoh-tokohnya tersebut tersaji dengan apik sehingga pembaca akan hanyut dalam kisahnya itu. Selain itu ending dari kisahnya juga mengagetkan, sangat tak terduga dan menggugah hati pembacanya.

Secara umum seluruh kisah dalam buku ini menarik dan mengibur pembacanya, kisah-kisahnya sederhana karena tema yang disajikan adalah cinta yang universal dan diangkat dari peristiwa-peristiwa yang bisa terjadi pada siapa saja. Namun kesederhanaan kisah dan temanya itu dikemas dan disisipi untaian kalimat-kalimat puitis sehingga pembaca akan hanyut dalam saat membaca kisah demi kisahnya.

Satu hal yang patut disayangkan dari buku ini adalah terdapatnya beberapa kesalahan ketik, tidak sampai mengganggu namun tetap saja membuat buku ini menjadi kurang sempurna. Mungkin ini karena proses editing dimana penulis sendiri yang mengeditnya. Untuk selanjutnya, walau buku ini diterbitkan secara indie, penulis sebaiknya bisa meminta jasa teman atau seorang editor professional yang bisa menjadi proofreader bagi tulisan yang akan dibukukan.

Yang juga agak mengganggu adalah munculnya kalimat bergaris sebanyak 2 halaman lebih di kisah “05.05”, sebagai visualisasi dari sebuah kertas surat karena bagian itu adalah bagian surat Zahra pada kekasihnya. Dalam sebuah tulisan umumnya sebuah surat dibedakan dengan menggunakan huruf italic, tapi disini penulis mencoba visualisasi baru dengan menggunakan garis, tapi karena garisnya tebal dan tepat berada di bawah kalimat-kalimatnya maka hal ini menjadi ganjil, mungkin sebaiknya menggunakan garis tipis atau diberi kotak di seluruh kalimat suratnya agar lebih menyerupai visualisasi sebuah surat.

Namun terlepas dari hal di atas, saya rasa semua kicauan yang ditulis oleh penulisnya ini patut mendapat apresiasi yang positif dari pembacanya. Walau ini adalah buku pertamanya, dari semua kisah yang tersaji di buku ini saya rasa penulisnya memiliki modal dan potensi besar untuk menjadi penulis yang baik asalkan ia terus konsisten dan mengembangkan kreatifitasnya dalam berkarya.

Pada kesempatan ini saya juga memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada www.nulisbuku.com sebagai penerbit self publishing yang memberikan kesempatan selebar-lebarnya kepada banyak penulis-penulis baru untuk berani menerbitkan karya-karyanya. Jika ini terus berlanjut saya optmis dunia literer kita akan semakin berkembang dan bisa berbicara banyak dalam kancah sastra dunia.
Semoga!

@htanzil

Tuesday 16 November 2010

200 Ikon Bandung, Ieu Bandung Lur!

[No. 245]

Judul : 200 ikon Bandung ; Ieu Bandung Lur!

Penulis : Ahda Imran, dkk

Koordinator Penulis : Zaky Yamani

Penerbit : Pikiran Rakyat

Cetakan : i, Sept 2010

Tebal : xvi+269 hlm



Sebutkan dengan cepat apa yang terlintas dalam benak ketika kita mendengar kata “Bandung”, umumnya Bandung diidentikkan sebagai pusat belanja pakaian dan wisata kuliner, hal ini ditunjang dengan menjamurnya factory outlet dan aneka makanan khas Bandung yang tersebar di berbagai tempat. Hampir setiap akhir pekan wisatawan domestik khususnya penduduk Jakarta menyerbu kota Bandung untuk membeli pakaian sambil menikmati wisata kuliner.



Factory Outlet dan aneka kuliner memang telah menjadi ikon kota Bandung, namun sebenarnya bukan itu saja, ada 200 ikon yang menjadi trade mark kota Bandung! Apa saja? Dalam rangka ulang tahun kota Bandung yang ke 200, Pikiran Rakyat selaku surat kabar lokal terbesar di Jawa Barat merasa perlu untuk mengangkat dan mendokumentasikan ikon-ikonnya sehingga Bandung tak hanya dikenal sebagai kota wisata belanja saja.



Niat untuk mendokumentasikan ikon-ikon Bandung ini terealisasi dalam bentuk sebuah buku yang berjudul “ 200 Ikon Bandung, Ieu Bandung Lur!” Semula ke 200 ikon ini akan ditampilkan untuk dalam satu buku, namun karena keterbatasan waktu dan pertimbangan ekonomis dan ketebalan buku maka buku ini dibagi dalam dua jilid. Hingga tulisan ini dibuat baru buku pertamanya saja yang telah diterbitkan yang mennampilkan seratus ikon di berbagai bidang yaitu ekonomi (tempat usaha), politik, seni, agama, kesehatan, lanskap, pendidikan, dan olah raga yang masing-masing terbagi dalam bab-bab tersendiri



Sebagai kisah pembuka buku ini menyajikan sejarah berdirinya kota Bandung. Pada tahun 1810 Gubernur Jenderal Daendels bersama bupati Wiranatakusumah II bertandang ke sebuah lokasi hutan yang akan dilewati jalur pembangunan Grote Postweg (Jalan Raya Pos). Sambil menancapkan tongkatnya Daendels berkata “Usahakan saat aku datang lagi ke sini, sebuah kota sudah dibangun!”.



Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 25 September 1810, Bupati Wiranatakusumah II mendapat SK (Surat Keputusan) pemindahan kota kabupaten ke wilayah dimana Daendels menancapkan tongkatnya. Tanggal surat SK itulah yang kini dijadikan patokan sebagai hari lahirnya kota Bandung. Sedangkan tempat dimana Daendels menancapkan tongkatnya itu kini dijadikan titik KM 0 dimana terdapat tugu atau monumen “Kilometer Nol” yang kini letaknya persis di depan kantor Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Barat atau tepat di seberang hotel Savoy Homan di jalan Asia Afrika Bandung.



Tugu atau monument “Kilometer Nol” tersebut diresmikan gubernur Jawa Barat pada thun 2004. Selain tugu terdapat juga monumen mesin penggilingan (stoomwals) kuno disertai sebuah batu prasasti beruliskan sejarah yang menaungi keberadaannya. Tugu dan monument mesin stoomwals ini didedikasikan bagi rakyat Priangan yang menjadi korban kerja paksa saat membangun Jalan Raya Pos.



Setelah kisah tentang KM 0 buku ini mengurai satu persatu ikon Bandung secara menarik. Ada yang memang mungkin sudah sangat dikenal seperti Gedung Sate,kampus ITB, Gedung Merdeka, dll, tapi ada juga yang mungkin merupakan hal-hal yang belum diketahui khususnya bagi generasi muda Bandung. Kalaupun ikon tersebut sudah dikenal tapi melalui buku ini pembaca akan menemukan kisah-kisah menarik dan unik dibalik ikon-ikon tersebut.



Misalnya fakta tentang ikon Bandung paling terkenal yaitu Gedung Sate. Siapa yang menyangka kalau ternyata di halaman Gedung Sate hingga kini masih tertanam empat jenazah pejuang Bandung yang gugur untuk mempertahankan Gedung Sate dari Pasukan Gurkha dan Nica pada tahun 1945.

Lalu siapa yang tahu jika di Pabrik Kina yang didirikan sejak 1896 itu memiliki lorong bawah tanah yang melintas di jalan Pajajaran yang hingga kini masih dipakai untuk lalu lintas karyawan pabrik yang hendak menyeberang ke pabrik di seberangnya.



Di buku ini akan terungkap pula bahwa Badak Bercula satu yang kini hanya dapat ditemui di Ujung Kulon konon kabarnya pernah memiliki habitat di Bandung saat masih berupa hutan dan rawa-rawa karenanya kawasan itu dinamakan Rancabadak (Rawa Badak) yang sekarang menjadi Rumah Sakit Umum Dr. Hasan Sadikin, karenanya tak heran jika dulu Rumah Sakit tersebut dikenal dengan RS Rancabadak.



Di bidang kuliner selain mengetengahkan Brownies Amanda, lotek Edja, Es Oyen, Cireng Cipaganti, dan sebagainya tercatat pula sebuah warung kopi Purnama di jalan Alketeri Bandung yang ternyata sudah berusia seratus tahun dan tidak boleh ditutup oleh pelanggannya. Walau telah berusia seratus tahun namun warung kopi Purnama tidak pernah berniat untuk mengubah warungnya menjadi Kafe atau lebih besar lagi, jadi ia tetap warung kopi yang bersaja hingga kini.



Masih banyak ikon-ikon menarik lainnya, seperti tokoh-tokoh seni (Bimbo, Kang Ibing, Harry Roesli, dll), tempat ibadah (Mesjid Cipaganti, Katedral, Gereja Betel), olah raga ( Pemandian Tjihampelas, Stadion siliwangi, BHHH) dan sebagainya. Kesemua ikon dalam buku ini disusun dengan gaya penulisan jurnalistik karena para penulisnya adalah wartawan HU Pikiran Rakyat.



Dalam menampilkan setiap ikon selalu terdapat sisi unik yang disajikan dengan gaya penulisan feature yang ringkas, padat, dengan bahasa yang mudah dimengerti. Tiap ikonnya umumnya tak lebih dari dua halaman yang dilengkapi dengan sebuah foto hitam putih dan box keterangan berisi data-data tempat seperti tahun berdirinya, alamat, nama pemilik, dsb.

Sebagai buku yang mengungkap ikon-ikon Bandung kehadiran buku ini dapat menjadi pelengkap literatur tentang Bandung yang telah terlebih dahulu hadir seperti buku-buku karya Haryanto Kunto (Wajah Bandung Tempo Doeloe, Semerbak Bunga di Bandung Raya, Balai Agung di Kota Bandung, dll), Bandung Citra Sebuah Kota (Robert PGA Voskuil, dkk ), Jendela Kota Bandung (Her Suganda), dan sebagainya,



Yang agak disayangkan dari buku ini adalah editing yang tidak maksimal karena disana-sini masih ada beberapa kesalahan ketik yang seharusnya bisa dihindari oleh editor yang tentunya telah terbiasa mengedit sebuah harian besar. Kesalahan fatal terdapat di halaman 5 dimana tertulis surat keputusan p[emindahan Ibu kota Kabupaten Bandung tertanggal 25 Mei 1810, seharusnya tanggal 25 September 1810 yang tanggalnya dijadikan acuan untuk memperingati hari jadi kota Bandung.





Kemasan buku yang dikemas secara hard cover dengan penjilidan yang sempurna memang sangat baik untuk buku koleksi, namun hal ini mengakibatkan harga buku menjadi relatif mahal dan mungkin agak sulit dijangkau oleh masyarakat umum. Alangkah bijaknya jika di kemudian hari penerbit bisa menerbitkan edisi paperback sehingga harganya bisa lebih terjangkau dan buku ini dapat dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya warga Bandung yang ingin mengenal kotanya lebih dekat lagi.



Akhir kata, tentunya dengan kehadiran buku ini maka akan menimbulkan interaksi positif antara kota dan warganya. Interaksi yang baik akan lahir jika ada ingatan kolektif di benak warga tempat dia tinggal. Pencatatan, pendokumentasian, dan publikasi ikon-ikon kota seperti yang tersaji dalam buku ini adalah salah satu cara untuk membangun ingatan kolektif tersebut sehingga masyarakat khususnya warga Bandung dapat menyelusuri Bandung tempo doeloe maupun Bandung masa kini sehingga semakin mencintai kotanya.



@htanzil

Wednesday 27 October 2010

Ompung Odong-Odong

[No. 244]
Judul : Ompung Odong-Odong (Membingkai Kenangan Merangkai Makna)
Penulis : Mula Harahap
Editor : Ang Tek Khun
Pengantar : Jansen Sinamo
Catatan Penutup : Hernadi Tanzil

Bagi orang yang berkecimpung di dunia buku nama Mula Harahap tentunya sudah tidak asing lagi. Bagi orang yang berkecimpung di dunia buku nama Mula Harahap tentunya sudah tidak asing lagi. Di kalangan perbukuan Indonesia, beliau sangat dihormati karena kecerdasan gagasan-gagsannya.

Bang Mula, begitu teman-temannya memanggilnya berkiprah di dunia buku hampir seumur hidupnya, sejak ia mulai mencoba menulis di majalah Kuncung, menjadi pengurus teras IKAPI DKI Jakarta dan IKPAI pusat untuk beberapa periode, ketua panitia Pesta buku untuk beberapa tahun , pengurus Yayasan Adi Karya yg memberikan penghargaan kepada buku-buku bermutu, menjadi konsultan perbukuan di DIKNAS, dan aktivitas lainnya di dunia perbukuan, terakhir beliau menjabat sebagai direktur Tangga Pustaka yang didirikannya. Selain berkiprah di dunia buku, Bang Mula juga aktif di organisasi sosial keagamaan.

Selain seabrek aktivitasnya di dunia buku, Bang Mula juga seorang pembaca buku yang baik, namun tak hanya buku yang dibacanya ia juga membaca kehidupan baik kehidupannya sendiri maupun orang-orang yang ada disekitarnya dan semuanya itu dituangkan dalam tulisan-tulisannya yang blog pribadinya

http://mulaharahap.wordpress.com/

Karenanya ketika hari Kamis pagi (16/9/2010) yang lalu ketika secara mendadak Bang Mula dipanggil oleh Tuhan maka dunia perbukuan Indonesia berduka karena kehilangan seseorang pejuang buku, yang mampu berpikir kritis untuk kemajuan dunia buku tanah air. Paska perginya Bang Mula teman-teman sejawatnya langsung berencana sebuah gelaran saat pembukaan Indonesia Book Fair (2 /10/2010) dengan mengadakan event Tribute to Mula Harahap sekaligus launching buku yang berisi tulisan-tulisan Bang Mula di blognya yang diterbitkan oleh Gradien.

Karena materi tulisan sudah tersedia maka tampaknya penerbit bergerak cepat untuk menerbitkan buku ini, dan berhasil memilih lebih dari 70 tulisan Bang Mula yang dibagi ke dalam empat bagian utama : Membingkai kenangan, Ompung Odoing-odong, Gaptek Man, dan Merangkai Makna.

Membaca tulisan-tulisan Bang Mula adalah membaca kehidupannya dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Seluruh tulisannya diangkat dari kesehariannya. Tak ada kisah-kisah heroik ataupun kisah bombastis, semuanya tersaji apa adanya sehingga tulisan-tulisannya terasa sangat dekat dengan pembacanya. Tidak ada kesan menggurui atau memaksakan agar pembacanya mengambil pelajaran moral dari tulisannya. Tidak karena tampaknya Bang Mula hanya bertutur mengenai apa yang ‘dibaca’nya dari kesehariannya. Ia hanya membaca dan menulis, dan pembaca dipersilahkan menyimpulkan sendiri apa yang telah ditulisnya.

Ada berbagai macam kisah yang ditulisnya, mulai dari masa lalunya, anak-anaknya, adat batak, keluarga, kegaptekannya soal teknologi, kegemarannya ber Facebook, cucunya, soal kepecayaannya, hingga soal buku generasi baru dengan perangkat e-reader, semua tertuang apa adanya dengan sederhana dan tanpa perenungan-perenungan yang membuat kening pembacanya berkerut.

Dalam tulisan-tulisannya kita akan melihat sosok Bang Mula apa adanya baik sebagai seorang anak kecil yang polos, seorang bapak, seorang Ompung, hingga pimpinan sebuah penerbitan. Semua ditulisnya dengan jujur. Bang Mula yang namanya dikenal di dunia buku sebagai pegiat dan praktisi perbukuan yang disegani tak ragu untuk menelanjangi dirinya apa adanya. Bahkan ketika kasus video mirip artis menyeruak ia menulis dengan sangat jujur bagaimana ia yang pada awalnya menolak untuk menontonnya akhirnya toh menontonnya. Sungguh sebuah pengakuan yang jujur dan apa adanya.

Selain jujur dan apa adanya, melalui tulisan-tulisannya kita akan melihat sosok Bang Mula sebagai sosok yang tegas, punya prinsip, dan mampu menggali sesuatu dari hal yang paling remeh temah sekalipun sehingga menjadi sebuah tulisan yang menarik untuk dibaca.

Banyak dari tulisan-tulisan dalam bukunya ini Bang Mula memposisikan diri sebagai Ompung (Kakek), karena alasan inilah rupanya penerbit memberikan judul untuk buku ini dengan “Ompung Odong-Odong” Selain karena itu adalah salah satu judul dalam tulisan beliau yang ada dalam buku ini. Ompung Oddong-odong memang bukan tulisan terbaiknya yang ada di buku ini, namun rupanya penerbit menangkap semburat kebahagiaan yang dinikmati Bang Mula saat ia menjadi seorang Ompung dengan satu orang cucu yang memang sangat terasa sekali dalam sebagian besar tulisan-tulisannya.

Sebagai buku kumpulan tulisan yang memuat tulisan-tulisan bernas Bang Mula saya rasa buku ini bisa mewakili semua hal yang telah diungkap Bang Mula di blognya. Tulisan-tulisan yang dipilih termasuk yang terbaik dari ratusan tulisan di blognya. Sayangnya penerbit tak mencantumkan tanggal kapan tulisan itu pernah diposting di blognya. Saya rasa itu perlu karena dengan demikian pembaca dapat menautkan antara isi tulisan dengan waktu tulisan itu dibuat sehingga ketika buku ini dibaca di masa-masa yang akan datang, pembaca akan mengetahui bahwa peristiwa yang disinggung di tulisan-tulisan itu terjadi pada era tahun sekian, bulan sekian, dsb.

Namun terlepas dari hal diatas, seperti sub judul buku ini, maka semua tulisan dalam buku ini akan menjadi sebuah bingkai kenangan akan seorang Mula Harahap dalam memaknai setiap kehidupannya dan orang-orang di sekitarnya .

Apa yang telah ditulisnya bukanlah sebuah kisah perenungan atau sebuah buku motivasi yang menuntun pembacanya untuk berubah atau menjadi seperti dirinya, Bang Mula hanya mengisahkan dirinya dan apa yang dilihatnya secara jujur apa adanya dengan demikian pembaca seolah diberi kebebasan untuk menyimpulan apa yang telah dibacanya menurut sudut pandangnya dan interpretasinya masing-masing.

@htanzil

Tuesday 19 October 2010

Betelguese Incident - Toba Beta


[No. 243]
Judul : Betelguese Incident - Insiden Bait Al-Jauza
Penulis : Toba Beta
Penerbit : PT. Bumi Initama Semesta
Cetakan : I, Juni 2010
Tebal : 492 hlm

Betelgeuse adalah adalah bintang yang terletak 427 tahun cahaya dari Bumi. Bintang ini merupakan bintang paling terang kedua di rasi bintang Orion dan bintang paling terang kesembilan pada langit malam. Nama Betelgeuse berasal dari kata Bait al-Jauzā, berasal daribahasa Arab yang berarti "rumah sang raksasa".

Bintang yang menurut para ahli astronomi sedang mendekati kehancurannya dan dapat membengkak 100 kali lipat sebelum meledak ini oleh Toba Beta dijadikan judul sebuah novel science fiction Sebuah genre yang boleh dibilang masih jarang digarap oleh penulis-penulis lokal. Ini adalah novel pertamanya dan sekaligus merupakan buku pertama dari sebuah seri yang diberinya nama "Novel berseri petualangan jagad raya : Sandi Semesta"

Yang menjadi dasar dari novel berseri ini adalah sebuah rangkaian peristiwa bencana alam sangat dahsyat yang terjadi akibat ledakan kataklismik Gunung Sunda Purba dan Gunung Toba Purba antara 100.000 hingga 50.000 tahun yg lalu. Efek dari Bencana tersebut ternyata memancarkan badai partikel unik. Badai partikel tersebut terus merambat dan melintasi ruang antarbintang dan mengarah ke suatu sector yang berjarak 36.200 tahun cahaya dari pusat galaksi Bimasakti.

Badai partikel itu akhirnya menghantam bintang Sactir yang berada di kawasan Global Cluster NGC-6101. Ada 10 planet yang mengitari bintang Sactir. Planet kedua dan ketiga terpanggang habis. Namun ada satu planet yang tak terkena bencana dimana di atas planet tersebut ada kehidupan dengan 600 juta jiwa dengan teknologi antarbintang yang canggih. Mereka adalah bangsa Sactirion. Mereka mengira bencana ini diakibatkan oleh sebuah peradaban di bumi sehingga mereka menyiapkan armada perang untuk menghantam bumi dan isinya.

Pada tahun 2056 sebuah pesan dari galaksi lain yang tidak diketahui darimana berasal sampai ke Bumi tepatnya pusat luar angkasa Indonesia. Saat itu Indonesia dikisahkan telah menjadi negara yang sangat maju dalam bidang IPTEK khususnya dalam hal teknologi ruang angkasa dimana Ciwidey – Bandung yang menjadi sentral penelitian ruang angkasa. Karena isi dari pesan itu belum mampu dipecahkan dan khawatir merupakan pesan penting dari kehidupan lain maka para ilmuwan dan petinggi negeri secara rahasia mengadakan rapat darurat untuk mencoba memahami isi pesan tersebut.

Lalu kisah dalam novel ini mundur ke tahun 2016-2037 yang mencertiakan sepak terjang dua orang mahasiswa INTERAIN (Institut Ruang Angkasa Indonesia) yang berlokasi di Ciwidei Bandung bernama Sandi Semesta dan Mira Darwis. Sandi Semesta adalah mahasiswa cerdas yang lahir dari keluarga sederhana. Sedangkan Mira Lesmana adalah putri seorang konglomerat yang memiliki pengaruh luas dan banyak membiayai proyek-proyek luar angkasa Indonesia.

Awalnya keduanya tidak saling mengenal namun sebuah persitiwa perkelahian antara dua geng pemuda yang melibatkan Mira Darwis yang saat itu sedang berpacaran dengan salah satu pimpinan geng tersebut akhirnya membuat mereka bertemu karena secara tidak disengaja Sandi Semesta menyelamatkan Mira dari kejaran anggota geng yang memusuhinya. Setelah kejadian itu Mira putus dengan pacarnya dan lambat laun tumbuh rasa cinta antara Sandi dan Mira

Bertahun-tahun kemudian di jagad raya sana dimana para Dewan Devara yang dalam novel ini dikisahkan menjadi semacam entitas yang mengatur kendali semesta tengah terjadi perselisihan pendapat soal pengaturan semesta raya, pertengkaran mereka mengakibatkan salah satu Dewan Devara yang bernama Bara keluar dengan membawa niat untuk mempengaruhi dan menguasai dewan devara yang ada.

Devara Bara berniat turun ke bumi untuk melakukan hal-hal jahat, niat ini diketahui oleh anggota dewan Devara lain. Devata Talmis yang mengetahui bahwa Bara sedang melakukan aktivitas berbahaya di dalam ruang yang sudah lama diciptakannya di gua Belanda area Taman Hutan Raya Dago, Bandung segera mengejarnya.

Pertemuan mendadak antara dua entitas tersebut menyebabkan kota Bandung dilanda guncangan gempa hebat berkekuatan 6.2 SR. Planet bumi seakan shock akibat peremuan dua kekuatan dahsyat yang muncul spontan di permukaannya. Saat itu kebetulan Mira Darwis dan keluarganya sedang mengunjungi Gua Belanda di Tahura dengan ditemani Dewi yang adalah adik dari Sandi Semesta. Gempa berkekuatan besar itu menyebabkan mulut gua hancur dan mereka terperangkap dalam gua. Mira beserta keluarga bisa selamat keluar dari gua namun Dewi masih terperangkap di dalam.

Sandi Semesta berusaha mencari keberadaan Dewi namun sialnya ia bertemu dengan Bara yang menyandera Dewi, mereka berkelahi dan Sandi terluka parah. Dalam keadaan terluka parah Sandi ‘diambil’ oleh Devara Talmis sedangkan Dewi tetap menjadi sandera Devara Bara. Dengan demikian Sandi dan Dewi tak pernah ditemukan dan dikabarkan hilang dan mati terperangkap dalam gua yang runtuh.

Hilangnya Sandi dan Dewi membuat Mira merasa bersalah, karenanya Mira dengan bantuan orang tuanya melakukan proyek besar-besaran di gua Belanda untuk menemukan Sandi dan Dewi, jikapun tidak ia berharap dapat menemukan jasad mereka berdua. Namun proyek tersebut akhirnya membawa Mira pada sebuah temuan aneh di dalam gua yang berasal dari peradaban yang lebih maju dari manusia. Dan hal ini akan membawa Mira pada sebuah petualangan yang menakjubkan ke sebuah galaksi lain yang tidak mungkin akan ia lupakan.

Sementara di galaksi lain Sandi digembleng oleh Devara Talmis untuk menggantikan posisi Devara Bara. Sandi terus belatih sambil berharap jika kemampuannya telah memadai ia akan mengejar Bara dan menyelamatkan Dewi. Selain itu ada misi lain yang harus diemban oleh Sandi yaitu mencegah terjadinya pertempuran besar-besaran antara bangsa Sactrion dan penduduk bumi.

Secara umum novel ini memang menarik dan ini adalah novel Sci Fiction yang sesungguhnya dimana materi-materi sci-fic tidak hanya sekedar tempelan melainkan menjadi bagian dari sebuah kisah besar yang hendak dibangun oleh penulisnya. Penulis tampaknya tak canggung-canggung untuk mengisahkan kisahnya ini dengan setting di Bandung, Indonesia yang dikisahkan memiliki infrastruktur dan SDM yang hebat dalam teknologi ruang angkasa .

Walau novel ini adalah rekaan belaka namun penulis mendasari semua itu berdasarkan referensi ilmiah sehingga tak menimbulkan kesan sebagai kisah dari negeri khayalan. Apa-apa yang dituliskan mengenai teknologi komunikasi, transportasi, navigasi antara planet, dll dideskpripsikan dengan cukup mendetail sehingga seolah-olah teknologi itu sudah ada dan diterapkan padahal kenyataannya mungkin baru sekedar wacana atau prototipe saja. Namun karena didasarkan pada hal-hal yang ilmiah maka rasanya bukan tak masuk akal bisa di masa depan semua yang terdapat dalam novel ini akan terwujud juga.

Selain memaparkan kehebatan-kehebatan peralatan, pesawat, dan teknologi ruang angkasa yang sudah sangat maju dan, serunya duel antara Sandi dan Bara di Betelgeuse, kisah pertempuran antara pasukan bumi dan mahluk asing novel ini juga menyajikan dialog-dialog filosofis perihal keberadaan alam semesta antara tokoh Sandi dan Devara Talmis sehingga hal ini akan membuka cara berpikir dan wawasan pembaca dalam memaknai alam semesta.

Novel gemuk ini sepertinya memang mencoba memuaskan pembacanya dengan berbagai hal, selain materi sci fiction, penulis juga memasukkan unsur kisah asmara dan dunia mahasiswa layaknya sebuah novel roman, mungkin hal ini dimaksudkan agar pembaca tak bosan membaca novel sci fiction setebal 492 halaman. Namun justru di bagian ini saya rasa ada banyak hal yang terlalu didalami oleh penulis yang mungkin seharusnya bisa dipangkas agar novel ini bisa menjadi lebih ramping dan tidak berlarut-larut dalam kisah yang mungkin bisa mengaburkan pembacanya dari tema sentral novel ini.

Contohnya saat Sandi menolong keluarga kaya dari perampokan, lalu deskripsi keseharian Sandi dan kawan-kawannya di kampus, dan konflik antara dua geng pemuda. Saya rasa bagian ini bisa dipangkas lebih ringkas lagi sehingga pembaca bisa diajak langsung masuk ke inti kisah. Karena judul novel ini adalah Betelguese Incident : Insident di bait al-zura tentunya sejak awal pembaca umumnya akan bertanya-tanya ada insiden apa di Al Zura? Sedangkan di novel ini peritiwa di bait Al zura sendiri baru muncul di bagian-bagian akhir itupun tak banyak.

Sayangnya juga di bagian ketika menceritakan dunia mahasiswa Sandi dan Mira, penulis tak mengeksplorasi perangkat-perangkat teknologi yang mereka pakai saat itu. Kalau saja di bagian ini diceritakan bagaimana teknologi hp, computer, dan gadget2 lain di masa itu tentunya akan lebih menarik lagi.

Setting waktu yang bolak balik antara tahun 2026, 2057, 2032 dan kisahnya yang kompleks juga menuntut pembaca untuk lebih konsentrasi membaca novel ini. Ada beberapa bagian yang tak tuntas tapi memang sepertinya harus seperti itu karena ini merupakan buku pertama dari sebuah novel berseri dan kita baru akan bisa menemukan sebuah gambaran utuh jika sudah membaca seluruh seri dari novel ini. Semoga kemunculan judul berikutnya bisa terbit tak terlalu lama sebelum pembaca lupa akan apa yang telah dibacanya.

Terlepas dari hal-hal diatas ada banyak hal menarik dari novel ini. Dengan cerdas penulis juga mencoba memadukan kondisi geografis sunda kuno dengan misteri semesta yang belum terpecahkan. Penulis tampaknya berhasil menciptakan kisah masa depan yang didasarinya dari peristiwa-periwtiwa geologi yang terjadi di Nusantara ribuan tahun yang lampau

Dan yang luar biasa, seperti telah saya ungkap diatas tak canggung-canggung menuliskan kisahnya dengan sangat Indonesia sehingga ada semangat optimisme yang hendak disampaikan bahwa Indonesia akan menjadi Negara maju di bidang teknologi ruang angkasa. Sebenarnya bisa saja penulis menuliskan setting kisahnya di negera maju atau di Negara antah berantah namun penulis dengan percaya diri meghadirkan setting kisahnya di Indonesia tepatnya di Bandung di kota yang pernah memberinya ide-ide sinpiratif di perjalanan hidupnya.

Toba Beta sedang menciptakan mimpi-mimpi masa depan bagi Indonesia. Akankah 40-50 tahun lagi Indonesia akan sedemikian majunya seperti dalam novel ini. Mimpi telah ditulis dan ditawarkan bagi kita dan generasi di masa depan, tinggal apakah kita mau bersuaha meraih mimpi itu?

Selain itu melihat betapa seriusnya penulis menggarap novel ini saya merasa jika penulis konsisten untuk menulis di jalur ini dan memiliki nafas panjang untuk melanjutkan judul-judul selanjutanya saya percaya ini akan menjadi era kebangkitan genre Sic Fiction lokal yang lama tenggelam dan tak terdengar di khazanah sastra tanah air.


@htanzil

Thursday 7 October 2010

Karamazov Bersaudara - Dostoevsky

[No. 242]
Judul : Karamazov Bersaudara (Novel Grafis)
Penulis : Dostoevsky
Penerjemah : Isao Arief
Penerbit : Elexmedia Komputindo
Tebal : 382 hlm

Buku Ini adalah novel grafis/komik yang diadaptasi dari salah satu karya monumental Vyodor Dostoevsky “The Brothers Karamazov”. Awalnya saya sama sekali tidak menyangka kalau salah satu masterpiece Dostoyevsky itu bisa diadaptasi ke dalam novel grafis, karenanya begitu melihat bukunya di rak buku komik di TB Gramedia saya langsung membelinya. Ketebalan komiknya juga membuat saya tertantang untuk membacanya. Dikemas dalam ukuran novel komik ini memiliki ketebalan 382 halaman! Wow! Belum pernah rasanya melihat dan membaca komik setebal itu dalam satu buku.

Yang juga membuat saya penasaran adalah pertanyaan bagaimana mungkin sebuah novel serius karya novelis Rusia ini bisa diadaptasi ke dalam komik? Mampukah panel-panel gambar dan kata-kata dalam balon gambarnya ini menyampaikan intisari novel setebal 700-an halaman ke dalam sebuah komik tebal.

Tadinya saya penasaran siapa komikus yang mengadaptasi Kamarazov Brother ke dalam bentuk komik, ternyata setelah melihat halaman copyright nya tak tertulis satu namapun kecuali nama pemegang copyrightnya yaitu VARIETY ART WORKS, EAST PRESS., LTD , Tokyo Japan.

Kisahnya sendiri menceritakan masa muda Aluysha, tokoh utama dan putra ketiga keluarga Karamazov. Ayahnya, Fyodor Karamazov adalah pria miskin yang kemudian menjadi kaya, dan memiliki tanah sehingga menjadi bangsawan dan memiliki istri yang cantik. Namun Fyodor bukanlah pria baik-baik, ia memiliki moral yang bejat, di depan istinya ia kerap bermain wanita dan minum minuman keras. Tak tahan dengan kelakuan suaminya, istrinya melarikan diri. Fyodor tak berubah, istri keduanya menjadi gila dan meninggal dunia, namun ia tak juga jera dan terus hidup seenaknya. Ia terus menumpuk harta, bermain wanita dan minum minuman keras.

Di tengah kehidupan bejat seperti itulah lahir ketiga anaknya, ia tega meninggalkan anak-anaknya dan terus hidup bersenang-senang dengan harta dan wanita-wanitanya sehingga ketiga anak-anaknya ini diasuh oleh keluarga yang berbeda sehingga masing-masing menjalani hidupnya sendiri-sendiri. Putra sulungnya, Dimitri adalah sosok pemberani yang menjadi tentara, seperti ayahnya ia suka bersenang-senang dan emosional. Ivan, putra kedua menimba ilmu di Moskow dan menjadi intelektual atheis. Dan yang terakhir adalah Aloyshia, pemuda yang baik hati, polos dan memutuskan untuk menjalani kehidupannya di biara.

Suatu saat sang ayah mengumpulkan ketiga anak-anaknya dan menyatakan bahwa ia akan menikah kembali. Foyodor juga menyatakan bahwa kini ia membutuhkan banyak uang karenanya ia tak akan memberikan satu rubel pun uangnya pada ketiga anaknya. Ivan dan Aloyshia tak keberatan dengan keinginan ayahnya namun Dimitri menolaknya apalagi setelah diketahui bahwa wanita yang ingin dinikahi oleh ayahnya adalah Grushenka yang masih menjadi kekasih Dimitri.

Pertemuan ayah dan ketiga anaknya itu menjadi ricuh karena baik Fyodor maupun dimitri saling mempertahankan keinginannya, ayah dan anak teribat perkelahian bahkan hampir saja Dimitri membunuh ayahnya sendiri. Beruntung perkelahian itu berhasil dicegah, Dimitri meninggalkan ayahnya dengan membawa dendam di hatinya dan ia tetap bertekad untuk menghalangi niat ayahnya untuk menikahi kekasih hatinya.

Dari peristiwa inilah kisah keluarga Karamazov berkembang, masing-masing tokoh kelak memiliki konfliknya sendiri-sendiri. Selain kakak beradik Karamazov muncul pula tokoh-tokoh lain yang ikut mewarnai kisah ini. Seperti yang menjadi ciri khas novel2 Dostoyevsky maka aspek psikologis tokoh-tokohnya begitu kental mewarnai sekujur tubuh komik ini.

Tak hanya itu, dengan membaca Karamazov bersaudara ini pembaca diajak memahami situasi sosial dan politik Rusia di abad 19 dimana kebebasan mulai berani diekspresikan namun ketidak adilan masih dirasakan sehingga mulai menimbulkan konflik antara para bangsawan dan rakyat kecil yang saat itu mulai dipengaruhi oleh gerakan komunisme.

Kembali ke pertanyaan di atas, mampukah komik ini mengadaptasi novel serius yg merupakan salah satu masterpiece Dostoevsky? Saya belum pernah membaca versi novelnya jadi saya tak bisa membandingkan antara komik ini dengan novelnya. Namun demikian walau kisah dan karakter tokoh-tokohnya kompleks dan saya tidak terbiasa membaca komik setebal ini saya tetap bisa memahami keseluruhan kisahnya.

Selain kisahnya yang menarik gambaran ekspresi wajah tokoh-tokohnya juga digambarkan dengan begitu baik sehingga mampu menggambarkan karakter dan situasi hati dari masing-masing tokoh2nya sehingga pembaca akan ikut larut dalam dramatisasi kisah yang terdapat dalam buku ini. Penyajian panel-panel gambarnyapun dibuat demikian dinamis, dalam satu halaman bisa terdiri dari 3 sampai 7 panel gambar. Atau kadang ada yang hanya berisi satu atau dua panel saja, bahkan ada dua halaman sekaligus yang hanya berisi satu panel gambar wajah tokohnya sehingga emosi dari si tokoh tergambar dengan jelas.

Terbitnya karya Dostevsky ini dalam bentuk komik ini patut mendapat apresiasi setinggi-tingginya. Novel Karamazov Bersaudara ini hingga kini belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Walau kini hadir dalam bentuk komik namun setidaknya ini adalah langkah awal untuk mengenalkan karya ini ke pembaca Indonesia sebelum membaca novelnya.

Selain Karamazov Bersaudara, penerbit Elexmedia juga menerjemahkan komik-komik yang diadaptasi dari karya2 sastra dunia dalam seri ‘World Masterpiece’ antara lain Metamorphosis (Kafka), Crime and Punishment (Dostoevsky), King Lear (Shaskepheare), dan sebagainya. Tentunya kehadiran komik-komik seri World Masterpiece ini sedikit banyak dapat mempopulerkan karya-karya sastra klasik dunia ke pasar pembaca yang lebih luas lagi sehingga karya2 besar ini tak hanya dibaca oleh segelintir pembaca sastra saja tapi dapat juga dibaca dan dipahami oleh pembaca umum. Karena pasar komik manga lebih didominasi oleh pembaca remaja tentu saja akan jadi hal yang positif jika karya2 klasik dunia ini dapat dibaca oleh para remaja yang selama ini membaca Naruto, One Piece, Kungfu Boy, dll.

@htanzil

 
ans!!