Monday 26 April 2010

Pelacur, Politik, dan hehehe...

Judul : Pelacur, Politik, dan hehehe
Penulis : Tandi Skober
Penerbit : Kakilangit Kencana
Cetakan : I, November 2009
Tebal : 557 hlm

Saat ini ramai jadi polemik, mengenai syarat tidak cacat moral bagi calon kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah. Ada yang pro ada yang kontra. Apakah tabu bagi seorang yang memiliki masa lalu hitam untuk menjadi kepala daerah? Bagi Tandi Skober, penulis senior kelahiran Indramayu 50 tahun yang silam ini syarat tersebut tidaklah berlaku. Hal tersebut terungkap dalam novelnya yang berjudul “Pelacur, Politik, dan hehehe “, dengan imajinasinya Tandi Skober tidak hanya mendudukkan seorang pelacur yang jelas-jelas dianggap memiliki moral yang hitam untuk menjadi kepala daerah, ia bahkan menjadikan seoerang pelacur kelas bawah menjadi calon presiden !

Bagaimana mungkin seorang pelacur bisa dicalonkan untuk menjadi Presiden? Penasaran? Bacalah buku ini. Novel ini menceritakan sosok seorang pelacur kali Asat – Indramayu yang bernama Sumi yang akhirnya terseret masuk ke dalam dunia politik. Sumi adalah pelacur kelas bawah yang berjuang untuk menghidupi keluarganya. Awalnya ia pelacur yang kurang dikenal, bahkan mucikarinyapun selalu meremehkannya, namun ia tak menyerah pada keadaan, keuletannya berhasil membuat dirinya menjadi salah satu pelacur yang terkenal di Kali Asat, yang tadinya hanya bertarif puluhan ribu saja hingga akhirnya laku satu juta rupiah!

Kemauannya untuk maju, kepercayaan dirinya yang tinggi, kemahirannya bersilat lidah, dan dewi keberuntungan yang selalu menyertainya membuat Sumi akhirnya meraih kesuksesan. Kepopuleran Sumi akhirnya terdengar hingga ke Jakarta. Sebuah perusahaan penyedia jasa wanita bagi kalangan pejabat tertarik untuk menjadikannya asset berharga bagi perusahaaannya. Dengan sebuah cara yang tak terduga akhirnya Sumi berhasil direkrut oleh perusahaan tersebut. Disana ia dilatih, didandani untuk dijadikan pelacur kelas atas yang beroperasi di Jakarta.

Lalu dikisahkan juga dua konglomerat Kor dan Karel, walau bersahabat mereka saling bersaing, hobinya adalah melakukan judi dengan perusahaan sebagai taruhannya. Bosan dengan judi bisnis, mereka melakukan taruhan politik. Karena saat itu sedang masa-masa menjelang pemilihan Presiden, Kor dan Karel masing-masing membentuk sebuah partai politik dan memilih seorang calon untuk menjadi kandidat presiden. Kor mendirikan Partai Nalar dengan memilih seorang intelektual nyeleneh Prof. Nurkhlilap Wahid sebagai calon Presiden, sedangkan Karel mendirikan Partai Akar Rumput dengan Sumi sebagai calon presidennya.

Seperti yang terungkap dalam judul dan covernya yang terkesan lucu, novel ini memang merupakan novel yang bernuansa humor. Tandi Skober tampaknya berhasil menghadirkan dialog-dialog yang menggelitik yang membuat kita bisa tersenyum simpul hinga tertawa terbahak-bahak.

Namun novel ini tak hanya menyajikan kisah yang lucu dan menghibur, ada juga bagian-bagian yang serius yang mengajak kita untuk memahami problematik kehidupan masyarakat bawah khususnya kehidupan para pelacur beserta keluarganya. Melalui kisah Sumi ini akan terungkap bagaimana kesulitan ekonomi yang membelit keluarganya sehingga membuat kedua orang tua Sumi dengan kesadaran penuh mendorong anak-anaknya untuk menjadi seorang pelacur. Bagi mereka profesi pelacur sudah bukan lagi perbuatan nista tapi sudah menjadi semacam profesi utama bagi yang bisa menghidupi keluarga mereka

Dalam novel ini penulis juga memasukkan unsur budaya lokal setempat seperti budaya Sintren lengkap dengan legenda yang menyelimutinya. Agar lebih membumi dan menghadirkan suasana lokal penulis juga memasukkan istilah-istilah khas Indramayu seperti tlembuk, kamitenggeng, sejatining, sumringah, dan lain sebagainya.

Selain kisah kehidupan pelacur Kali Asat yang terwakili oleh karakter Sumi, kisah politik yang mewarnai novel ini juga tak kalah menarikya. Diwakili oleh tokoh Kor dan Karel novel ini seakan hendak mengungkap sisi gelap dunia politik yang penuh dengan intrik dan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Lihat saja bagaimana pada akhirnya peta politik dikuasai oleh dua orang konglomerat Kor dan Karel yang dengan uang dan kekuasaannya mampu mengendalikan siapa yang berhak duduk di kursi kepresidenan.

Bagi saya apa yang ditulis Tandi Skober dalam novelnya ini merupakan karya yang komplit, ada kehidupan rakyat kecil lengkap dengan kritik-kirik sosial, ada budaya lokal Indramayu, fenomena carut marut politik tanah air, kisah cinta romantis, wejangan hidup, dan lain sebagainya. Semua unsur itu diikat dalam sebuah kisah yang menarik, walau ada intrik-intrik politik namun apa yang dinarasikan tak membuat kening berkerut karena penulis mengisahkannya dengan cair dan jenaka.

Karena berkisah mengenai seorang pelacur maka dialog-dialog yang menyerempet soal seks dan perilaku seksnya tentu saja menjadi tak terhindarkan, untungnya penulis tidak terjebak dalam kisah atau deskripsi seks yang vulgar, kalaupun ada adegan persetubuhan maka hal tersebut dideskripsikan dengan wajar, bahkan ketika Sumi melayani seorang pensiunan Jenderal adegan tersebut dinarasikan dengan indah. Selain itu walau dialog-dialog dan isitilah nakal betebaran disekujur novel ini hal ini justru membuat narasinya menjadi begitu hidup dan membawa pembacanya untuk lebih menyatu dengan kisahnya.

Demikian mengenai novel ini, bagi saya pribadi saya sangat enjoy membaca novel ini. Nyaris tak ada kritik dalam novel ini kecuali ada beberapa hal yang mungkin berupa kesalahan editing saja. Selebihnya tidak ada. Jadi bacalah.

Walau novel ini terkesan hanya sebagai novel yang menghibur, namun ada banyak pesan yang tampaknya disampaikan oleh Tandi Skober. Yang pasti setelah membaca novel ini saya jadi khawatir apakah peran konglomerat dalam percaturan politik di Indonesia sebesar peran Kor dan Karel dalam novel ini yang menjadikan politik sebagai permainan judi ? Jika demikian betapa mengerikannya negeri ini, semoga apa yang ditulis Pak Tandi memang hanya sekedar khayalan ya….semoga.

@htanzil

Thursday 8 April 2010

Hatta, Hikayat Cinta & Kemerdekaan

No. 233
Judul : Hatta, Hikayat Cinta & Kemerdekaan
Penulis : Dedi Ahimsa Riyadi
Penerbit : Edelweiss
Cetakan : I, Januari 2010
Tebal : 279 hlm

Kehidupan para tokoh sejarah memang menarik untuk ditulis, tak heran begitu banyak biografi, memoir, atau buku-buku yang mengupas kisah hidup tokoh-tokoh sejarah. Begitupun dengan kisah kehidupan Mohamad Hatta. Jika kita perhatikan selain Memoir Hatta yang terbit pertama kalinya pada tahun 1982
oleh penerbit Tinta Mas, muncullah beberapa tulisan dan buku tentang Hatta baik yang ditulis oleh keluarganya maupun dari orang-orang terdekatnya.

Seolah ingin melangkapi kehadiran buku-buku tentang Hatta, Dedi Ahimsa Riyadi, penulis yang aktif menulis cerpen, artikel sastra, budaya dan agama yang diantaranya dimuat di Kompas, Sindo, dan Pikiran Rakyat menulis sebuah buku tentang Hatta berjudul, Hatta, Hikayat Cinta & Kemerdekaan”. Buku ini dilabeli oleh penerbitnya sebagai sebuah “Novel Biografi”.

Buku ini tampaknya berhasil merekam fragmen panjang kehidupan dan perjuangan Hatta mulai dari masa kecil, hingga sepak terjangnya sebelum dan sesaat setelah kemerdekaan. Walau bertaburan oleh fakta sejarah namun kalimat-kalimatnya enak dibaca seperti layaknya buku fiksi.

Penulis membagi buku ini menjadi dua bagian besar, bagian pertama menceritakan masa kecil Hatta sejak di Bukittingi, hingga sekolah di Padang. Di bagian ini akan terungkap bagaiman ia dibesarkan dengan baik. Keluarganya adalah keluarga yang mengutamakan agama dan pendidikan sebagai hal yang penting bagi putra-putirnya. Tadinya ibunya maupun kakeknya menginginkan agar Hatta melanjutkan sekolahnya hingga ke Mekkah, namun takdir membawa Hatta menimba ilmu hingga ke negeri Belanda. Pondasi keagamaan dan pendidikan yang dibangun oleh keluarganya sejak Hatta belia inilah yang di kemudian hari akan menjadi pegangan dan sandarannya dalam memilih jalur pergerakan.

Separuh bagian lain menceritakan kehidupan Hatta selama menempuh pendidikan di Belanda, sampai kembali ke Indonesia, memimpin organisasi pergerakan, kehidupannya di Digul, hingga perannya dalam mengantar Indonesia ke gerbang kemerdekaan dan sebagai proklamator-penandatangan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Di bagian ini juga akan terungkap berbagai perbedaan pendapat dan polemik di surat kabar mengenai bentuk perjuangan yang harus dilakukan guna mencapai kemerdekaan Indonesia.

Secara umum buku ini memang menarik, namun ada juga kekecewaan saya terhadap buku ini. Mungkin karena saya terlalu berekspektasi terlalu jauh terhadap buku yang diberi label novel biografi ini. Karena di cover buku ini tertera predikat sebagai “Novel Biografi” saya beranggapan buku ini ya seperti novel-novel pada umunya dimana ada kisah-kisah kehidupan yang menarik atas tokoh Hatta yang terungkap. Namun sayangnya novel ini terlalu setia pada alur sejarah. Tak ada kisah-kisah kehidupan Hatta yang ditafsirkan oleh penulisnya. Padahal dalam ranah fiksi, walau tokoh yang diangkatnya merupakan tokoh sejarah penulis toh punya kebebasan untuk mengembangkan kisahnya sendiri sesuai dengan imajinasinya.

Hal ini tampaknya tidak dilakukan oleh penulis. Jadinya apa yang dikisahkan sama dengan buku-buku memoir Hatta ataupun buku-buku lain tentang Hatta. Tak ada kisah yang baru tentang Hatta di novel ini, penulis hanya membeberkan fakta dan menambahkan suasana, deskripsi tempat, dan sedikit sekali dialog antar tokoh-tokohnya. Jadi membaca novel ini tak ubahnya seperti membaca buku memoir, bukan novel!

Padahal berdasarkan apa yang terdapat dalam buku ini, penulis tampak mengetahui sekali alur dan fakta2 sejarah kehidupan Hatta, itu bisa jadi modal utama untuk memfiksikan kehidupan Hatta, sayang penulis tidak melakukannya dan memilih hanya membeberkan fakta sejarahnya saja. Andai saja penulis berani menciptakan drama kehidupan Hatta selama masa kanak-kanak, hubungannya dengan saudara-saudaranya, kehidupannya selama di Belanda, perjuangannya mempertahankan hidup di Digul dengan lebih naratif, lengkap dengan konflik-konflik batin yang dialami Hatta tentunya buku ini akan semakin menarik.

Karena tidak adanya drama kehidupan Hatta yang diceritakan, sosok Hatta di novel ini menjadi sama dengan sosoknya di buku-buku sejarah, seorang tokoh sejarah yang nyaris sempurna. Padahal jika buku ini diniatkan sebagai sebuah novel, tentunya akan lebih menarik jika sosok Hatta dihadirkan sebagai sosok manusiawi dengan segala persoalan dan kelemahan-kelemahannya. Selain itu Alur kisahnya yang terkadang melompat-lompat dan beberapa pengulangan di sana-sini sedikit banyak agak mengganggu saya dalam menikmati buku ini.

Cover buku dan judul buku ini juga sempat membuat saya terkecoh. Begitu melihat judul “Hikayat Cinta dan Kemerdekaan” dan cover buku ini yang menampilkan Hatta bersama dengan Rahmi Hatta saya langsung menduga bahwa akan ada kisah menarik tentang kisah cinta antara Hatta dengan Rahmi, ternyata tidak, hanya sedikit sekali kisah mengenai Hatta dan Rahmi di novel ini.

Novel ini juga dihiasi oleh beberapa foto Hatta, sayang penempatannya tidak sesuai dengan narasinya, misalnya foto Hatta di Jenewa, 1952 disisipkan di bagian kelahiran Hatta, foto ulang tahun ke 70 ditempatkan di bagian yang mengisahkan proklamasi kemerdekaan, dll. Mungkin daripada foto-foto tersebut ditempatkan tidak sesuai dengan narasinya akan lebih baik jika ditempatkan saja di halaman khusus foto.

Namun terlepas dari hal diatas, sebagai sebuah buku yang mengungkap kehidupan Hatta dan sepak terjangnya buku ini bisa dijadikan pilihan. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa buku ini merupakan buku pengantar bagi mereka yang baru dan ingin mengenal siapa sosok Hatta.

Fakta-fakta sejarah yang terungkap cukup lengkap, pembaca diajak mengetahui bagaimana sejarah Perang Paderi, perjuangan Hatta di Belanda bersama perkumpulan Perhimpunan Indonesia, bagaimana Hatta membesarkan partainya, perbedaan pendapatnya dengan Soekarno, kecintaannya terhadap buku, dan sebagai bonus bagi pembaca adalah dimuatnya puisi karya Hatta yang berjudul "Berantara Indera" sebagai penutup buku ini.

Dalam endorsmentnya Acep Zamzam Noor menulis bahwa, “ Apa yang dilakukan penulis dalam buku ini bukan sekedar mengungkap fakta-fakta sejarah, tapi bagaimana fakta-fakta tersebut diungkapkan dengan cara yang indah. Dengan demikian, bagi saya buku ini merupakan sebuah karya sastra.”

Saya sepakat dengan endorsement Acep Zamzam Noor, buku ini memang berhasil menyastrakan sebuah narasi sejarah dan kehidupan Hatta, namun sebagai novel, berdasarkan hal-hal yang telah saya tuliskan di atas, saya rasa buku ini bukan sebuah novel melainkan sebuah memoir atau buku sejarah dengan kemasan sastra.

@htanzil

 
ans!!