Monday 24 April 2006

Balzac dan Si Penjahit Cilik dari Cina



Judul : Balzac dan Si Penjahit Cilik dari Cina
Penulis : Dai Sijie
Penerjemah : Lulu Wijaya
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Febr 2006
Tebal : 240 hlm; 23 cm

Seberapa besar buku sastra dapat mempengaruhi kehidupan pembacanya? Sebagian orang beranggapan buku sastra hanyalah bacaan yang tak memiliki arti yang khusus, kecuali hanya untuk bacaan hiburan bagi jiwanya, namun bagi orang yang mengerti akan arti dan manfaat karya-karya sastra, buku sastra adalah kebutuhan utama bagi jiwanya, bagi mereka buku-buku sastra yang dibacanya akan turut berpengaruh pada cara bertutur, cara pandang dan kepribadiannya, bahkan bukan tak mungkin buku-buku sastra yang dibacanya akan merubah jalan hidup pembacanya.

Kecintaan dan kehausan seseorang akan buku-buku sastra dan bagaimana buku sastra dapat merubah jalan hidup seseorang ini tercermin pada novel karya penulis sekaligus sineas kelahiran Cina Dai Sijie "Balzac dan si Penjahit Cilik dari Cina". Dengan setting pada masa Revolusi Kebudayaan di Cina, novel ini menceritakan persahabatan dua anak lelaki, Luo dan "Aku" (si narator) yang oleh pemerintahan Mao dikategorikan sebagai "intelektual muda", bukan karena tingkat pendidikan mereka, namun karena mereka adalah anak-anak dari dokter di Beijing yang dianggap borjuis dan raksioner. Mereka dikirim ke pedesaan untuk "dididik ulang oleh para petani miskin".

Tokoh aku dan sahabat karibnya Luo dikirim ke sebuah desa terpencil di kaki gunung "Burung Hong dari Langit". Ada beberapa desa tersebar di kaki gunung ini. Aku dan sahabatnya Luo ditempati di sebuah desa yang termiskin diantara semua desa di kaki gunung tersebut. Tak ada yang bisa dilakukan setiap harinya kecuali bekerja di bawah pengawasan Kepala Desa di ladang, di tambang batu bara tradisional, hingga memikul ember-ember tinja sambil menaiki lereng gunung ke ladang-ladang yang sebagian besar terletak di ketinggian yang menyeramkan.

Salah satu kepandaian Luo yang disukai kepala desa adalah bercerita/mendongeng. Agar Luo dapat bercerita, setiap bulan mereka diberi cuti beberapa hari untuk menonton sebuah film di kota terdekat, Yong Jing. Sekembalinya dari kota, mereka diharuskan menceritakan film itu dari awal sampai akhir kepada kepala desa dan semua penduduk desa. Hal inilah yang menjadi satu-satunya kegiatan diluar kerja fisik yang harus mereka lakukan selama "pendididikan ulang".

Dalam satu kesempatan, mereka bertemu dengan Pak Penjahit yang selalu berkeliling dari desa ke desa untuk menawarkan jasanya. Ia memiliki seorang putri cantik yang disebut Si Penjahit Cilik, seorang gadis cilik cantik dan lugu yang belum tersentuh oleh peradaban modern. Perkenalannya dengan Pak Penjahit membawanya bertemu dengan si Penjahit Cilik. Lambat laun melalui berbagai pertemuan dan peristiwa akhirnya Luo terpikat oleh kecantikannya dan jatuh cinta pada Penjahit Cilik itu walau diakuinya bahwa penjahit cilik itu masih ‘kurang beradab’

Di kaki gunung Hong, Aku dan Luo memiliki seorang teman yang dijuluki Mata Empat yang ‘dididik ulang’ di desa yang berbeda dengan mereka. Aku dan Luo mengunjungi Mata Empat yang ternyata menyimpan sebuah koper rahasia yang berisi buku-buku karya sastrawan barat klasik yang telah diterjemahkan kedalam aksara Cina. Di masa Revolusi Kebudayaan, buku-buku tersebut termasuk dalam barang yang terlarang. Ketahuan menyimpannya saja bisa menimbulkan bencana dan harus berurusan dengan Kementrian Keamanan yang kejam. Aku dan Luo sangat tertarik dengan buku-buku dalam koper tersebut.

Awalnya Mata Empat tak mau meminjamkan buku-buku itu pada mereka, mereka tak kehilangan akal, agar Mata Empat bersedia meminjamkan buku-bukunya, mereka bersedia mengambil alih pekerjaan Mata Empat memikul beras ke pangkalan. Akhirnya, tergerak oleh kebaikan Aku dan Luo, Mata Empat meminjamkan sebuah buku tipis dan usang karya Balzac. Begitu memperolehnya mereka segera membacanya dan langsung terpikat oleh cerita yang tersaji dalam buku tersebut. Jiwa mereka seolah terbebaskan dari kungkungan rutinitas yang membosankan, wawasan dan pengetahuan mereka bertambah.

"Coba bayangkan, seorang anak laki-laki berusia sembilan belas tahun, masih terkatung-katung dalam masa puber, seumur hidupnya belum pernah mendengar apapun selain omong kosong revoluioner mengenai patriotisme, komunisme, ideologi, dan propaganda, dan kini terjun ke dalam kisah tentang bangkitnya hasrat, semangat menggelora, tindakan-tindakan gegabah, cinta, tentang semua hal yang sebelumnya tersembunyi dariku" (hlm 75)

Sayangnya hanya buku Balzac itu saja yang dipinjamkan Mata Empat kepada mereka, buku-buku lain yang disimpan dalam koper rahasianya tak bisa mereka pinjam. Kehausan mereka akan bacaan-bacaan sastra lainnya membuat mereka berusaha untuk memperoleh harta terlarang ini bagaimanapun caranya. Sebuah ide gila untuk mencuri koper tersebut terbesit dalam kepala mereka. Akhirnya dalam satu kesempatan mereka berhasil mencuri koper tersebut dan membukanya, ternyata tak hanya karya Balzac yang mereka temui, dalam koper tersebut terdapat juga karya-karya Alexander Dumas, Dickens, Roimain Roland, Flaubert, dll

Setelah memperolehnya, mulailah mereka mengisi waktu-waktu luang mereka dengan secara sembunyi-sembunyi membaca setumpuk buku-buku tersebut. Tak puas hanya membaca untuk diri sendiri, mereka pun bermaksud menceritakan ulang kisah-kisah yang mereka baca dari pada si Penjahit Cilik. Dalam kunjungan-kunjungan berikutnya Luo harus memanggul sendiri buku-buku itu menuju rumah Penjahit Cilik, bukan perjalanan yang mudah, apalagi ketika jalan menuju rumah Penjahit Cilik tertutup longsor dan ia harus memutar dan meniti bumbungan sempit yang sisi kiri dan kananya terdapat jurang yang menganga.

Aku dan Luo sadar bahwa tindakan mereka yang menyimpan, membaca dan menceritakan kisah dari buku-buku itu adalah tindakan yang sangat berbahaya, namun mereka tetap mengambil resiko ini karena buku-buku itu telah membuat mereka menemukan sebuah dunia pelarian yang mereka kira telah hilang selamanya. Tidak itu saja, ternyata kisah-kisah sastra yang mereka baca dan ceritakan membawa akibat yang tak mereka duga-duga. Berbagai peristiwa terjadi pada diri mereka dan orang-orang yang mendengar cerita mereka.

Secara keseluruhan novel ini dikemas dengan menarik, realita sosial akibat revolusi kebudayaan di Cina terungkap dengan jelas, kaum terpelajar harus menerima kenyataan pahit dengan dihapusnya matematika, fisika, dan kimia dari kurikulum. Sebagai gantinya pelajaran mereka dibatasi hanya seputar dasar-dasar industi dan pertanian. Kaum intelektual diharuskan mengalami ‘pendidikan ulang’ yang entah sampai kapan harus mereka jalani. Sementara itu para petani menjadi ‘guru’ dan kader-kader partai bagi mereka yang dididik ulang.

Tidak itu saja, novel yang memilki ending yang tak terduga ini juga menyajikan drama persahabatan, cinta, harapan dan kekuatan sastra yang sanggup merubahan cara pandang dan kehidupan tokoh-tokohnya. Kecintaan akan sastra dari para tokoh-tokoh dalam novel ini memang luar biasa, mereka rela menempuh resiko fatal dianggap sebagai reaksioner akibat menyimpan, membaca, dan menceritakan apa yang telah mereka baca. Keinginan kuat dari Luo untuk membuat Penjahit Cilik menjadi ‘beradab’dengan menceritakan karya-karya sastra dari buku-buku tersebut membuat dirinya harus berjuang melawan tantangan alam yang ganas agar bisa membawa buku-buku sastra menuju rumah Penjahit Cilik.

Melaui kisah ini, pembaca juga akan diajak menyelamai bagaimana sebuah karya sastra selain sanggup mengubah cara pandang tokoh Aku, Luo dan si Penjahit Cilik, juga sanggup mengubah model dan pola dari baju-baju yang dibuat oleh Pak Penjahit setelah mendengar kisah Monte Chisto selama sembilan hari sembilan malam dari mulut si Aku. Atau bagaimana sebuah karya Balzac bisa mempertemukan si narator dengan seorang dokter yang dicari-carinya untuk menolong si Penjahit Cilik.

Walau buku ini menampilkan masa kelam Revolusi Kebudayaan di Cina, namun Dai Sijie menyajikannya tidak secara muram, novel ini tersaji dalam tuturan yang riang sehingga novel ini tidak terasa berat dan membosankan. Walau di bab-bab awal tergambarkan potret kelam kehidupan keras aku dan Luo selama mengalami pendidikan ulang, di halaman-halaman selanjutnya pembaca akan diajak berpetualang dan merasakan gelora antusiasme tokoh aku dan Luo terhadap karya-karya sastra yang telah merubah hari-hari kelam mereka menjadi hari-hari yang menyenangkan dan penuh petualangan.

Dan yang pasti melalui novel ini pembaca akan diajak melihat suatu kenyataan bahwa sastra tidak hanya menghibur tapi juga sanggup membawa perubahan positif bagi mereka yang membaca dan mampu memperoleh ‘mutiara terpendam’ dari setiap karya-karya sastra.
Dai Sijie
Dai Sijie adalah penulis sekaligus sineas yang lahir di China pada tahun 1954. Pada Tahun 1984 ia meninggalkan Cina dan menetap di Perancis hingga kini. Sijie pernah menjalani "pendidikan ulang" pada tahun 1971- 1974. Masa-masa ini rupanya mengilhami dirinya untuk melahirkan novel perdananya yang terkenal "Balzac dan si Penjahit Cilik dari Cina". yang merupakan novel semi outobiografinya. Buku ini diterbitkan pertama kali di Perancis pada tahun 2000, dan langsung menjadi best seller dan memenangkan lima pengharargaan dari berbagai lembaga di Perancis. Novel ini telah diterjemahkan kedalam 25 bahasa, ironisnya novel ini tidak diterbitkan di negeri asalnya Cina karena buku-bukunya termasuk karya yang dilarang di negeri tempat ia dilahirkan.
@h_tanzil

Monday 17 April 2006

The Book of Mirdad



Judul : The Book of Mirdad
(Kitab Rahasia dari Biara The Ark)
Penulis : Mikhail Naimy
Penerjemah : Alpha M. Febrianto
Kata Pengantar : Wandy N. Tuturoong, Mona Darwish
Penerbit : PT. One Earth Media
Cetakan : I, Maret 2006
Tebal : xxxviii+296 hlm

Mirdad adalah perjalanan menuju sang hati
Hanya ada satu jalan untuk membaca Mirdad, dengan hatimu.
Hanya ada satu jalan untuk memahami Mirdad, dengan merasakannya dalam hatimu.
Hanya ada satu jalan untuk merayakan Mirdad, di dalam hatimu.
- Mona Darwish, pemerhati budaya asal Lebanon-

The Book of Mirdad adalah sebuah mahakarya dari sastrawan besar Lebanon Mikhail Naimy (1889-1988) penulis biografi Kahlil Gibran yang juga merupakan sahabat dekatnya. Dalam buku ini Mikhail Naimy mengambil kisah Nabi Nuh dan bahteranya kedalam karya monumentalnya ini. Bertahun-tahun setelah banjir besar Nuh dan keluarganya mendarat di pegunungan Ararat dan memutuskan untuk tinggal di daerah tersebut. Menjelang ajalnya Nuh berpesan pada anak-anaknyanya untuk membangun sebuah altar yang dinamai Puncak Mezbah di puncak tertinggi Ararat yang dikelilingi sebuah wisma berbentuk bahtera dalam ukuran yang lebih kecil yang disebut ‘Bahtera’. Nuh juga berpesan agar api di altar tetap menyala dan wisma itu menjadi tempat suci sekelompok orang pilihan yang jumlahnya tak pernah melebihi atau kurang dari sembilan orang. Mereka akan dikenal sebagai ‘Persaudaraan Bahtera’ yang akan terus berada dalam biara Bahtera dan menjalankan semua aturan yang ada dan berdoa kepada Tuhan. Sembilan orang ini merupakan simbol dari delapan orang (Nuh beserta keluarganya yang selamat) dan seorang ‘Penumpang Gelap’

Beberapa generasi telah berlalu ketika salah seorang dari Sembilan Saudara meninggal, dan datanglah seorang asing (Mirdad) ke gerbang Bahtera yang memohon untuk diterima menjadi anggota pengganti. Sesuai dengan tradisi Bahtera seharusnya orang asing tersebut dapat diterima karena ia adalah orang pertama yang datang setelah kematian salah seorang anggota persaudaraan. Namun Shamadam si Tertua dari anggota persaudaraan yang berpikiran sempit dan keras hati tidak menyukai penampilan Mirdad yang telanjang dan kotor dan penuh luka. Namun karena Mirdad memaksa dirinya untuk diterima dan Shamadan bersikeras untuk menolaknya akhirnya ia memohon si Tertua agar menjadikannya seorang pelayan. Jadilah Mirdad pelayan di Bahtera, sementara itu si Tertua tetap menantikan kedatangan seorang pengganti bagi saudaranya yang meninggal.

Tujuh tahun kemudian dalam sebuah pembicaraan antara kedelapan saudara, timbul perbedaan pendapat yang membingungkan diantara mereka. Dengan maksud mengubah kebingungan menjadi sebuah lelucon, Shamadam, Sang Tertua meminta Mirdad untuk angkat suara dan menunjukkan jalan keluar dari permasalahan yang terjadi. Inilah untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun setelah kedatangannya Mirdad membuka suara dan apa yang Shamadam harapkan agar tercipta sebuah lelucon malah terjadi sebaliknya. Mirdad dengan penuh wibawa menguraikan jawaban dan petuah-petuahnya. Semenjak saat itulah ketujuh saudara menganggapnya sebagai Guru, sementara Shamadam sang tertua diam-diam menyimpan ketidaksukaannya dan berusaha mempengaruhi ketujuh saudara lainnya untuk menjauhi Mirdad bahkan berusaha untuk mengusirnya.

Sementara itu ketujuh saudara lainnya semakin lama semakin menghormati dan menganggap Mirdad sebagai Sang Guru dan menjadikannya tempat bertanya berbagai hal mulai dari pertanyaan siapa sebenarnya Mirdad dan berbagai pertanyaan lain yang meliputi berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Percakapan para anggota Persaudaraan Bahtera dengan Mirdad inilah yang nantinya akan dicatat oleh Naronda sebagai saudara termuda sehingga memungkinkan percakapan ini menjadi sebuah kitab yang disebut dengan Kitab MIRDAD.

The Book of Mirdad disajikan dalam bentuk cerita berbingkai yang intinya berisi percakapan filosofis antara anggota persaudaraan dengan Mirdad. Tiga bab pertama buku ini diawali dengan kisah seorang pengembara asing yang setelah mendengar legenda biara Bahtera berniat untuk mendaki puncak Ararat untuk membuktikan kebenaran cerita tentang Bahtera dan Puncak Mezbahnya. Dalam perjalanan spiritualnya si pengembara ini menemui banyak tantangan hingga akhirnya mencapai puncak tertinggi dan bertemu dengan seorang biarawan yang ternyata adalah Sang Tertua Biara Bahtera – Shamadam yang memberinya kitab MIRDAD.

Pada Bab-bab selanjutnya barulah buku ini memuat isi dari Kitab Mirdad yang terdiri dari 37 bab yang berisi percakapan-percakapan antara Mirdad dan kedelapan anggota Persaudaraan Bahtera. Dari dialog-dialog filosofis, argumen dan tafsir mimpi yang terdapat dalam buku ini pembaca akan diajak untuk menyingkap jalan sejati bagi manusia untuk mencapai pencerahan. Tak hanya itu, buku ini juga mengungkap misteri "Penumpang Gelap" yang konon menyertai dan mengajarkan Nabi Nuh ketika dalam bahteranya.

Buku ini memuat banyak sekali jalan-jalan menuju pencerahan jiwa, dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan Tuhan Mirdad mengungkapkan bahwa Manusia adalah "Tuhan dalam balutan kain".

Manusia adalah tuhan dalam balutan kain. Waktu adalah balutan kain. Ruang adalah balutan kain. Daging adalah balutan kain, dan semua rasa dan segalanya adalah balutan kain. Sang ibu sangat mengetahui bahwa balutan kain bukanlah bayinya. Namun si bayi tak akan tahu bahwa ia terbalut kain. (hlm 55).

Dalam pengertian ini seolah Mirdad menyatakan bahwa ketidaksadaran akan ketuhannyalah yang membuat manusia hidup dalam penderitaannya.


Maka manusia meminta pertolongan. Tangis pilunya bergema melalui ruang dan waktu. Udara dipenuhi ratapannya. Laut terasa asin karena air matanya. Bumi disesaki makam-makamnya. Surga dikalahkan oleh doa-doanya. Dan semua karena ia tidak mengetahui makna Aku-nya yang merupakan balutan kain sebagaimana bayi yang terbalut kain (hlm 56)


Mirdad mengungkap bahwa manusia haruslah menerima kesadaran akan keilahian manusia. Ketaksadaran manusia akan ketidakilahiannya membuat manusia lupa untuk "membersihkan dan mempersiapkan ladang bagi tumbuh dan berbuahnya anggur ilahi" dalam dirinya.

Dalam hal cinta, Mirdad mengungkap bahwa Cinta adalah hukum Tuhan dan manusia harus hidup untuk belajar mencintai

Engkau hidup untuk belajar mencintai.
Engkau mencintai agar engkau belajar untuk hidup
Tak ada pelajaran lain yang harus dipelajari Manusia. (hlm. 87)


dan cinta haruslah dilakukan tanpa pamrih

Jangan mengharap pamrih dari Cinta. Cinta adalah imbalan untuk Cinta, seperti Kebencian adalah hukuman dari Kebencian.
Jangan menilai apapun berdasarkan Cinta. Karena Cinta tak pernah menilai seseorang kecuali diri sendiri.
Cinta tak dapat dipinjamkan atau disewakan; cinta tak dapat dijual atau dibeli; namun saat Cinta memberi, ia memberikan segalanya; dan ketika ia mengambil, ia mengambil semuanya. Yang ia ambil adalah yang ia beri. Yang ia beri adalah yang ia ambil. Terus demikian hari ini, hari esok dan selamanya (hlm 93).

Di akhir kitabnya Mirdad mengungkapkan bahwa kedatangannya ke biara Bahtera adalah untuk mengingatkan manusia akan bencana air bah yang lebih dasyat dibandingkan air bah di zaman Nuh. Sebab, bencana itu berasal dari dalam diri manusia sendiri.

Air bah bah api dan darah yang akan melanda bumi akan lebih dasyat dari yang terakhir. Akankah kalian siap mengapung, atau kalian akan tenggelam? (hlm 283)

Sekali lagi kukatakan kepadamu, Engkaulah air bah, bahtera dan nahkodanya. Nafsu kalianlah air bahnya. Iman kalianlah nahkodanya. Namun di atas semua itu adalah kehendakmu. Dan lebih dari itu semua adalah pengertianmu. (hlm 284)

Masih banyak lagi hal-hal menarik tentang makna kehidupan akan kita temui ketika membaca buku ini. Buku ini bisa dikatakan sebuah kitab kehidupan. Walau memasukkan unsur legenda dan mistisme yang berkembang dalam tradisi Kristen, Islam dan Yahudi namun buku ini secara jelas menyampaikan berbagai pesan kehidupan yang universal. Rasanya tak ada satupun juga kalimat-kalimat yang sia-sia tertulis dalam buku ini, hampir semuanya mempunyai makna yang dalam.

Dalamnya makna filosofis dalam untaian kalimat-kalimat yang dirangkai secara indah dalam buku ini tentu saja bisa membuat pembaca yang tak sabar akan kesulitan menangkap maknanya, buku ini memang bukan buku yang mudah diselesaikan hanya dalam sekali duduk, namun jika pembaca mau membacanya secara sabar dan memberi ruang untuk merenungkannya secara baik, buku ini akan memunculkan rangkaian mutiara kehidupan indah yang dapat dijadikan tuntunan hidup. Sepertinya buku ini memang bukan buku yang hanya sekali dibaca lalu selesai dan dilupakan, buku ini akan semakin indah dan bermakna jika kita terus membacanya berulang-ulang. Semakin dibaca ulang semakin banyak sarinya diperoleh.

Karena plot dalam buku ini tidak seperti novel maka bab-babnya bisa dibaca ulang mulai dari mana saja sesuai dengan kebutuhan pembacanya. Namun tak ada salahnya juga untuk membaca ulang secara urut mulai dari depan hingga belakang, kedua-duanya memberikan kedalaman makna yang sama.

Bertaburannya kalimat-kalimat bermakna yang terdapat dalam buku ini tentunya memungkin untuk dibuatkan buku kumpulan kata-kata mutiara yang diambil dari buku ini, hal ini sempat pula diusulkan oleh Mula Harahap (praktisi perbukuan) dalam acara bedah buku ini beberapa waktu yang lalu yang menyarankan penerbit agar menerbitkan tersendiri kutipan-kutipan kalimat dalam The Book of Mirdad sebagai kata-kata mutiara.

Akhirnya seperi diungkap oleh Mona Darwish (pemerhati budaya asal Libanon) dalam kata pengantarnya. Ajaran-ajaran Mirdad dalam buku ini, pada hakikatnya mengajak kita untuk mentransformasikan kesadaran agar dapat menemukan cahaya ilahi yang sudah berada dalam diri. The Book of Mirdad tak lain adalah ‘ayat’ mengagumkan yang dalam harapanku dapat menyinari hati banyak orang di Indonesia. (hlm. xxviii)

Tak berlebihan rasanya jika spiritualis India Osho, seperti yang tertera pada sampul buku ini mengatakan bahwa

"Ada jutaan buku yang terdapat di muka bumi ini,
namun The Book of Mirdad berada jauh di atas buku-buku lain yang pernah ada"
OSHO-

@h_tanzil

Saturday 8 April 2006

Pangeran Pencuri


Judul : Pangeran Pencuri
Penulis : Cornelia Funke
Penerjemah : Hendarto Setiadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
(bekerja sama dgn Penerbit Katalis)
Cetakan : I, Maret 2006
Tebal : 420 hlm

Cornelia Funke, adalah penulis novel anak-anak pra remaja kelahiran Jerman. Funke termasuk penulis yang produktif, sekitar 40 buah novel telah dihasilkannya. Publik buku dunia mulai mengenal namanya ketika salah satu karyanya Pangeran Pencuri ( Herr der Diebe, 2000) diterjemahkan kedalam bahasa Inggris pada tahun 2002 (The Thief Lord, Scholatic, 2002). Setelah itu itu secara berturut-turut 5 buah novel-novel karyanya diterjemahkan kedalam bahasa Inggris yaitu : Inkheart (2003), The Prince Knight (2004), Dragon Rider (2004), Pirate Girl (2005), Inkspell (2005).

Setelah novel-novelnya diterjemahkan kedalam bahasa Inggris namanya semakin terkenal dan para pengamat buku anak-anak sering membanding-bandingkannya dengan penulis serial Harry Potter - J.K Rowling, bahkan publik sering menyebut dirinya dengan JK Rowling-nya Jerman. Cornelia Funke, lahir pada tahun 1958 di Dorsten – Jerman. Awalnya ia bekerja sebagai pekerja sosial yang bergerak di bidang anak-anak selama tiga tahun, setelah itu Funke memulai kariernya di bidang penerbitan sebagai ilustrator buku anak-anak.Pekerjaannya ini membuat dirinya tergerak untuk menulis sendiri cerita anak-anak dan membuat ilustrasinya sendiri. Kesukaannya membaca buku-buku fantasi seperti Lord of The Ring, The Chronicles of Narnia - CS Lewis, Peter Pan, dll sedikit banyak mempengaruhinya dalam melahirkan karya-karya terbaiknya. Saat ini Funke tinggal di Los Angeles bersama suami dan kedua anaknya.

Pangeran Pencuri yang merupakan salah satu karya best sellernya menceritakan kisah petualangan dua kakak beradik Prosper (12 thn) dan Bo (5 thn) yang telah menjadi yatim piatu. Semenjak kematian orang tuanya, Bibi Hartlieb berencana untuk mengadopsi Bo dan mengirimkan Proper ke rumah yatim piatu. Tentu saja kedua kakak beradik ini tak rela jika mereka harus berpisah. Proper dan Bo segera melarikan diri dari Jerman menuju Venesia - Italia, kota eksotis yang sering mereka dengar keindahannya dari mendiang ibu mereka.

Sesampainya di Venesia Proper dan Bo bertemu dengan Tawon yang mengajakanya tinggal bersama dua anak lainnya ( Riccio & Mosca). Kedua anak itu ternyata para pencuri yang dipimpin oleh Scipio, seorang anak laki-laki yang selalu menggenakan topeng ketika beraksi dan dijuluki "Pangeran Pencuri". Mereka, kecuali Scipio tinggal bersama-sama layaknya sebuah keluarga dalam sebuah gedung bioskop yang sudah tak dipakai lagi. Hasil dari mencuri mereka jual pada Barbosa – Si Janggut Merah, pemilik toko barang antik yang juga seorang penadah, hasilnya mereka gunakan untuk membeli makanan dan berbagai kebutuhan mereka.
Bibi Hartlieb tak tinggal diam, dugaannya yang kuat bahwa Prosper dan Bo melarikan diri ke Venesia membuat dirinya menyewa jasa seorang detektif, Victor Getz untuk menemukan kedua keponakannya itu disudut-sudut kota Venesia.

Sementara itu, Scipio si Pangeran Pencuri menerima ‘misi’ dari seseorang misterius yang dinamai Sang Conte untuk mencuri potongan sayap singa yang terbuat dari kayu dirumah seorang fotografer Ida Spavento di Venesia. Tergiur oleh bayaran yang dijanjikan sang Conte sebanyak lima juta lira, Scipio beserta kawan-kawannya memerima tawaran itu. Mulanya mereka tidak tahu untuk apa mereka harus mencuri potongan kayu itu, namun akhirnya mereka mengetahui bahwa potongan kayu tersebut adalah potongan sayap singa dari sebuah komedi putar ajaib yang telah lama raib dan tak diketahui rimbanya. Konon komedi putar ajaib itu bisa merubah orang yang menaikinya untuk menjadi dewasa atau anak-anak hanya dalam beberapa putaran saja. Petualangan ini akhirnya menyeret mereka untuk mengunjungi pulau Isola Segrata yang angker dimana tak seorangpun berani mengunjunginya karena setiap orang yang bertandang ke pulau tersebut selalu hilang secara misterius dan tak pernah kembali.

Kisah petualangan fantasi Pangeran Pencuri dan kawan-kawannya dalam menjalankan misi ini semakin menarik untuk disimak, selain harus menjalankan misi rahasianya, mereka juga harus berhadapan dengan Victor yang berusaha untuk mengembalikan Prosper dan Bo pada Bibi Hartlieb, Barbarosa pedagang barang antik yang licik,dan kaka beradik Renzo dan Morosina yang menghuni pulau Isola Segrata yang angker dan menyimpan komedi putar ajaib. Berhasilkah Pangeran pencuri dan kawan-kawannya menuntaskan misinya? Apakah mereka juga akan menemukan kembali komedi putar ajaib dan beranikan mereka mencobanya untuk mencoba menjadi dewasa ?

Selain kisahnya yang memikat buku ini yang juga berisi ilustrasi menarik yang dibuat oleh Funke sendiri. Melalui buku ini pembaca akan diajak menikmati lanskap kota Venezia yang terkenal dengan puluhan kanal- kanal dengan gondolanya, kemegahan gedung-gedung antik yang telah berusia ratusan tahun dan juga patung-patung yang menghiasi setiap bangunan dan plaza yang berada dalam kota eksotis Venezia. Namun dibalik keindahannya Venezia juga menyimpan keruwetan. Jalan-jalan di kota ini terkenal rumit dan sering membingungkan wisatawan yang mengunjunginya, bahkan penduduk asli kota inipun tak jarang tersasar arah. Rupanya landskap kota yang sangat baik untuk tempat bersembunyi inilah yang mengilhami Funke untuk membuat cerita dengan setting kota Venesia yang tokoh-tokohnya harus menyembunyikan diri dari orang yang tidak diinginkannya.

Buku ini yang diperuntukkan bagi anak pra-remaja ini ditulis dengan bahasa yang lancar dan menarik sesuai untuk pembaca anak/remaja. Peran penerjemah senior Hendarto Setiadi yang menerjemahkan buku ini langsung dari bahasa aslinya (Jerman) patut dihargai. Kepiawaian Funke dalam menghadirkan cerita dengan kalimat-kalimat yang lancar tampaknya berhasil diterjemahkan dengan baik, sehingga melalui buku ini pembaca akan diajak serunya berpetualang bersama Pangeran Pencuri dalam menjalankan misinya. Di buku ini Funke juga mengungkap apa yang ada dalam benak seorang anak-anak yang kadang menginginkan dirinya cepat untuk menjadi dewasa karena tidak ingin dirinya hidup dalam aturan-aturan yang menjemukan yang dibuat oleh orang dewasa. Kisah ini juga menggambarkan arti persahabatan dan bagaimana anak-anak dapat bertanggung jawab, saling menyayangi satu sama lainnya walau berada dalam lingkungan yang buruk dan tanpa pengawasan orang tua mereka.

Walau buku ini diperuntukkan untuk anak pra-remaja, buku ini bisa dan layak dibaca disegala usia. Kisah Pangeran Pencuri yang beberapa tokohnya kelak akan terperangkap dalam tubuh orang dewasa dan orang dewasa terperangkap dalam tubuh anak-anak akan memberikan pembacanya pengertian bahwa baik anak-anak maupun orang dewasa memiliki kesenangan dan kesulitannya sendiri. Bagi orang dewasa kisah ini menyadarkan pembacanya bahwa anak-anak memiliki pandangan dan keinginannya sendiri bahkan kedewasaan berpikir yang kadang tidak disadari dan tidak dimengerti oleh orang-orang yang dewasa.

Kisah Pangeran Pencuri ini telah difilmkan dengan judul The Thief Lord, diproduksi oleh Richard Clauss yang pernah membuat film The Litte Vampire (2000). Rencananya film ini akan dirilis pada tahun ini. Dengan demikian kehadiran terjemahan buku Pangeran Pencuri yang kabarnya laris manis dipasaran ini sangat tepat kehadirannya. Sebelum menonton filmnya tentunya akan lebih menarik jika dapat membaca bukunya terlebih dahulu.
Menurut sebuah sumber, Gramedia juga berencana akan menerbitkan karya2 lainnya dari Cornelia Funke. Mampukah Cornelia Funke menyaingi kepopuleran JK Rowling dengan Harry
Potternya ? Kita tunggu saja ?

@h_tanzil

Monday 3 April 2006

Menyusuri Lorong-Lorong Dunia


Judul : Menyusuri Lorong-Lorong Dunia
(Kumpulan Catatan Perjalanan)
Penulis : Sigit Susanto
Penyunting : Puthut EA
Penerbit : Insist Press
Cetakan : I, Desember 2005
Tebal : xxxiii + 375 hlm , 15x21 cm

Catatan Perjalanan/Travel Writing, atau Sastra Pelancongan adalah salah satu genre dalam dunia sastra. Konon genre ini adalah bentuk narasi yang paling tua yang dikenal dalam sejarah sastra dunia. Kisah Oddyses dari Homer pada dasarnya adalah kisah perjalanan dari sang tokoh utamanya. Kisah klasik Hercules yang menunaikan dua belas tugas besarnya, juga adalah sebuah kisah perjalanan. Marco Polo (1254-1324) yang menempuh jalur sutera membukukan catatan-catatan perjalanannya sehingga namanya mendunia dan dikenal hingga kini. Di zaman yang lebih modern penulis-penulis sastra pun mulai menuliskan kisah-kisah perjalanan mereka, sebut saja Goethe yang menulis catatan perjalanannya ke Italia yang kemudian dibukukan dengan judul "Italian Journey". Lalu penulis-penulis lainnya seperti Charles Dickens, DH Lawrence, Orwell, Hemingway, VS. Naipaul, dan masih banyak lagi. Catatan perjalanan tidak hanya dimonopoli oleh para sastrawan, seorang tokoh revolusioner Kuba yang kini dijadikan ikon perjuangan anak-anak muda Indonesia Che Guevera pun menorehkan kisah perjalanan keliling Amerika dengan motornya dalam "The Motorcycle Diary".

Di Indonesia, walau genre ini jarang disentuh oleh penulis-penulis kita, kita pernah mendengar nama HOK Tanzil yang kerap menuliskan kisah-kisah perjalanannya mengelilingi dunia dalam majalah Intisari di era tahun 80-an. Belakangan tulisan-tulisannya dibukukan secara berseri hingga mencapai puluhan seri dan hingga kini buku-bukunya yang sudah dikategorikan out of print ini masih banyak dicari orang dan harus cukup puas jika hanya memperoleh foto copy-nya saja.

Apa yang menarik dari sebuah catatan perjalanan? Tak dapat dipungkiri, genre sastra ini memiliki pesona tersendiri. Isinya sangat kaya dengan keragaman. Bukan hanya menceritakan keeksotisan tempat-tempat yang dikunjungi, namun juga mengungkap keberadaan dan kebiasaan masyarakat yang ada diberbagai penjuru dunia. Sebuah catatan perjalanan tentunya tak lepas dari unsur subyektif penulisnya karena setiap orang yang menulisnya memiliki kesan berbeda dalam tiap tempat yang dikunjunginya. Jika dua orang berada dalam suatu tempat dan waktu yang sama, kesan yang ditangkap dalam dua buah catatan perjalanan yang dibuat oleh masing-masing orang pastilah berbeda. Perbedaan inilah yang membuat catatan perjalanan selalu menarik untuk dibaca .

Dalam Buku Menyusuri Lorong-Lorong Dunia, Sigit Susanto menuliskan kunjungannya ke berbagai negara di kawasan Eropa, Rusia, hingga Amerika Selatan. Sebagian besar tulisan-tulisan dalam buku ini pernah beredar di berbagai mailing list yang ia ikuti (Apresiasi-Sastra, Jalansutra, dll), selain itu beberapa tulisan pernah juga dimuat di berbagai media cetak seperti Koran Tempo, Gatra, Intisari, majalah Aksara, dll.

Buku ini secara menarik diawali oleh kisah penyuntingan yang ditulis oleh Puthut EA, sastrawan sekaligus sahabat dekatnya. Di bab ini Puthut mengungkap kisah pertemanannya dengan penulis sehingga melalui bab ini pembaca akan diajak melihat sedikit profil penulis dari sudut pandang Puthut dan kesan-kesannya selama menyunting buku ini.

Sigit Susanto sendiri mengawali catatan perjalanannya dengan semacam kata pengantar panjang yang diberi judul "Berangkat…". Di bab ini secara singkat Sigit mengungkap penggalan kisah hidupnya di Bali ketika ia bertemu dengan seorang gadis wisatawan Swiss yang sedang berlibur di Bali. Pertemuan ini rupanya membuahkan cinta diantara mereka dan akhirnya mereka memutuskan untuk berangkat ke Swiss dan menikah disana. Dari Swiss inilah titik keberangkatan penulis beserta istrinya berkelana mengunjungi berbagai negara di belahan dunia.

Menurut penuturannya ia dan istrinya sudah mengunjungi paling tidak 21 negara, namun sayangnya ia baru bisa menuliskannya sebanyak 10 negara (hlm.xviii). Adapun pilihan-pilihan negara yang dikunjunginya biasanya disesuaikan dengan konteks yang sedang berlangsung baik dalam keseharian penulis , maupun konteks sosial yang sedang terjadi di tanah air. Jadi walaupun penulis berada jauh dari tanah kelahirannya, ia terus memantau perkembangan sosial dan politik di tanah air. Misalnya ketika Orde Baru telah jatuh dan dibuka wacana untuk mempelajari Marxisme, penulis segera mengunjungi negara-negara komunis seperti Kuba dan Rusia. Dalam konteks kesehariannya sebagai seroang penulis yang menyukai karya-karya Kafka, ketika kesempatan untuk bepergian tiba, iapun tak menyia-nyiakan kesempatannya untuk berziarah ke makam Kafka di Praha

Buku ini memuat 16 catatan perjalanan penulis ketika melancong ke berbagai negara bersama istrinya. Catatan perjalananya dimulai dari kisah pertama kalinya penulis mengunjungi Eropa dimana di bab ini ia mengungkap pengalaman-pengalaman uniknya ketika pertama kali naik pesawat terbang, pemeriksaan di bandara hingga pengalaman dibulan-bulan pertamanya di tempat tinggal barunya di terpi danau Zug – Switzerland.

Di bab-bab selanjutnya kisah-kisah perjalanannya ditulis dengan cara penyampaiannya yang lancar, segar, dan mengalir yang disusun secara urut berdasarkan waktu keberangkatannya dalam rentang waktu 1998-2004. Buku ini mencatat kisah perjalanannya di 13 tempat di berbagai negara, seperti Amsterdam-Belanda, Kuba, Venesia, P. Ischia - Italia, Praha, Tunisia, Bulgaria, Stassbough-Jerman, Roma, Meksiko, Rusia, London dan Paris.

Berbeda dengan HOK Tanzil yang catatan-catatan perjalanannya lebih banyak bercerita sebagai seorang wisatawan yang lebih banyak mengungkap keindahan dan keunikan tempat-tempat yang dikunjunginya. Sigit Susanto lebih dari itu. Kesukaannya akan buku-buku dan sastra membuat catatan-catatan perjalannya menjadi lebih kaya akan nuansa sastra. Di setiap tulisannya Sigit selalu menyertakan kisah penulis / sastrawan dunia yang pernah bersinggungan dengan negeri yang dikunjunginya. Tak heran jika dalam buku ini akan banyak dijumpai peristiwa dan telaah seputar dunia sastra. Tak kurang dari 40 nama penulis/sastrawan muncul dalam buku ini, 5 orang diantaranya sastrawan indonesia ( HB Jasin, Sutan Alisyahbana, Iwan Simatupang, Pramoedya AT, Sobron Aidit). Beberapa penulis mendapat porsi cukup detail, bahkan dibuatkan judul tersendiri "Ziarah ke Makam Kafka di Praha" (hlm. 97-134). Di bagian ini pembaca akan diajak menyelami kehidupan Kafka dan Karya-karyanya. Begitu pula dengan Karl Marx yang disajikan dalam bab tersendiri yang berjudul "Makam Mbah Marx di London" (hlm 325-340).

Selain itu beberapa puisi karya sastrawan-sastrawan dunia turut menghiasi buku ini. Terjemahannya sendiri dilakukan oleh penulis yang memang kerap menerjemahkan puisi-puisi para penyair dunia kedalam bahasa Indonesia. Porsi puisi yang paling banyak muncul di bab "Venesia Surga Sastrawan Dunia" (hlm 218-231), dimana setidaknya ada 8 buah puisi karya penyair dunia diterjemahkan di bab ini.

Selain pesona keindahan alam, bangunan klasik, serta kelembutan sastra, buku ini menyuguhkan pula ironi politik yang cukup terasa nuansanya di bab "Che masih hidup di Kuba" (hlm. 38-70). Di bab ini pembaca akan diajak melihat secara dekat realita sosial dan politik yang terjadi di Kuba pada saat negeri ini dikunjungi oleh penulis.

Satu hal lain yang membuat buku ini menarik, seperti diungkap oleh Puthut EA dalam kisah penyuntingannya adalah kepiawaian Sigit Susanto untuk melampirkan benda-benda kecil yang sangat penting di sebuah wilayah. Tidak aneh jika disana-sini Sigit bisa meramu dengan tangkas perihal cerutu, vodka, dondola, oase, sampai kepekaannya menangkap grafiti si sebuah tempat (hlm. xvi). Hal ini yang membuat buku ini menjadi unik karena penulis secara piawai menyajikan apa yang selama ini mungkin terabaikan oleh penulis-penulis lain.

Selain itu buku ini juga dilengkapi oleh indeks yang informatif yang memungkinkan pembaca untuk mencari entri-entri yang diinginkan secara cepat dalam buku setebal 373 halaman ini.

Seperti telah diungkap diparagraf awal di review ini, sebuah catatan perjalanan adalah sebuah pengalaman subyektif dari penulisnya. Bagian-bagian mana yang dari sebuah obyek yang mendapat porsi yang lebih detail atau tidak bergantung sepenuhnya pada ketajaman pena penulisnya. Begitupun dengan buku ini, pilihan negara-negara maupun detail-detail obyek yang diungkap dalam buku ini bisa saja memuaskan pembacanya, namun mungkin juga beberapa pembaca menyesalkan mengapa sebuah obyek tertentu luput dari pengamatan penulisnya atau tak dijelaskan secara mendetail.

Sebagai contoh, bertaburannya data-data dan kisah-kisah para sastrawan dunia bagi pembaca yang kebetulan menyukai sastra tentunya membuat buku ini akan sangat menarik dan bermanfaat dalam memperluas wawasan sastra dunia, namun bagi pembaca yang kurang menyukai sastra, entri-entri sastra dalam buku ini bisa saja menjadi bagian yang dianggap tidak perlu dan membosankan.

Diterbitkannya buku kumpulan catatan perjalanan ini patut dihargai sebagai suatu usaha mengisi kekosongan buku-buku jenis ini dalam ranah perbukuan kita. Genre sastra ini kemunculannya baru terbatas pada media-media internet (milis, blog,dll) , maupun media cetak seperti koran dan majalah. Setelah diterbitkannya buku kisah perjalanan HOK Tanzil pada medio akhir 80-an oleh penerbit Alumni- Bandung, kemungkinan besar tak ada lagi buku-buku catatan perjalanan karya penulis lokal yang diterbitkan menjadi sebuah buku.

Pada akhirnya, kehadiran buku catatan perjalanan ini setidaknya bisa dijadikan bekal bagi mereka yang gemar berpetualang mengunjungi berbabagi negara sambil menggali kekayaan sastra di negara-negara yang akan dikunjunginya. Atau setidaknya dengan membaca buku ini pembaca akan diajak melakukan perjalanan imajiner menyusuri lorong-lorong dunia tanpa harus beranjak dari kamarnya.

@h_tanzil
 
ans!!