Tuesday 23 December 2008

10 + 2 BUKU YANG KUPILIH 2008
















10 + 2 BUKU YANG KUPILIH 2008


Ini dia 5 buku fiksi dan 5 buku non fiksi yang menjadi Buku Pilihan 2008.
(urutan berdasarkan alvabet)

Buku Fiksi
1. A. Thousand Splendid Suns – Khaled Hosseini (Qanita )
2. Bulan Jingga dalam Kepala – M. Fadjroel Rachman (Gramedia, 2007 )
3. Janda dari Jirah – Cok Savitri (Gramedia, 2007 )
4. Lanang – Yonathan Raharjo (Penerbit Alvabet, 2008)
5. Lolita – Vladimir Nobakov (Penerbit Serambi, 2008)

Buku Non Fiksi
1. Di negeri Penjajah – Harry A. Poeze (KPG, 2008)
2. Kearifan Pelacur – Elizabeth Pisani (Penerbit Serambi, 2008)
3. Lekra Tak Membakar Buku – Rhoma Dwi Aria Y & Muhidin M. Dahlan (Merakesumba, 2008)
4. Menyusuri Lorong-lorong Dunia 2 – Sigit Susanto (Insist Press, 2008)
5. The 7 Laws of Hapiness – Arvan Pradiansyah (Kaifa, 2008)

Buku-buku yang kupilih diatas biasanya adalah buku-buku yang membuat wawasanku terbuka dan meninggalkan kesan yang dalam karena aku mendapat sesuatu yang ‘baru’ dalam kandungan buku tersebut. Berikut adalah komentar singkatku atau mungkin bisa disebut sebagai pertanggungjawabanku atas buku-buku yang kupilih

A Thousand Splendid Suns, selain kisahnya yang menarik, di novel tersebut aku belajar mengenai sejarah berganti-gantinya kekuasaan di Afghanistan yang selalu diwarnai oleh kekerasan.

Bulan Jingga dalam kepala membuatku memahami apa kira-kira isi kepala seorang aktifis mahasiswa, dialog-dialog dalam novel tersebut membuat wawasanku terbuka soal keyakinan politik dari tokoh yang diceritakannya.

Janda dari Jirah, walau terbit pada pertengahan 2007, namun buku ini baru sempat kubaca dan isinya memutar balikkan sosok calon arang yang selama ini kukenal.

Lanang – Yonathan Raharjo walau kisah utamanya terlalu fantasi bagiku, novel ini kupilih karena latar novel ini membuatku memahami mengenai dunia rekayasa genetik yang hingga kini terus dikembangkan bagi kesejahteraan umat manusia.

Lolita – Vladimir Nobakov memang bukan novel yang mudah dicerna, tapi aku terkesan membacanya, karena pergolakan batin tokoh-tokoh utamanya tereksplorasi dengan sangat baik.

Di negeri Penjajah – Harry A Poeze, merekam suka dan duka orang-orang Indonesia yang merantau ke negeri Belanda di saat bangsa mereka sedang berada dalam penjajahan Belanda selama 350 tahun. Orang-orang Indonesia yang terekam itu bukan saja dari kalangan bangsawan, melainkan juga pembantu dan budak. Buku ini sangat menarik karena dilengkapi foto-foto dan bebagai dokumen yang menarik.

Kearifan Pelacur – Elizabeth Pisani membuatku memahami dunia HIV lebih dalam lagi.

Lekra tak Membakar buku – Rhoma Dwi A & Muhidin MD, kupilih karena buku ini membuatku memahami bahwa sepak terjang Lekra tak sekedar berpolemik dengan Manikebu seperti yang selama ini dikenal, namun LEKRA telah banyak melakukan kegiatan berkebudayaan pro rakyat yang ternyata beberapa program kebudayaan mereka masih sangat relevan dengan kondisi sekarang.

Menyusuri Lorong Dunia 2 – Sigit Susanto membuatku mengenal kondisi dan kultur negeri-negeri asing beserta sastrawan dan karya-karyanya.

The 7 Laws of Hapiness – Arvan Pradiansyah mengajari untuk bagaimana aku memilih pikiran dan bagaimana aku harus mengisi pikiranku dengan hal-hal positif agar hidupku bahagia.

Sebenarnya ada dua buku yang sedang kubaca namun belum tuntas, jadi tak kumasukkan dalam daftar buku yang kupilih, sejauh yang telah kubaca kedua buku tersebut membuatku terkesan dan mungkin akan merupakan calon buku yang kupilih tahun 2009 nanti.

Kedua buku tersebut yaitu :
1. Jenghis Khan – John Mann (Penerbit Alvabet,2008)
2. Road to Cana – Anne Rice (Gramedia Pustaka Utama, 2008)

Jenghis Khan membuatku mengerti sejarah mengenai sang penakluk lagendaris, tampaknya penulis buku ini tidak hanya menulis buku berdasarkan riset pustaka semata melainkan berdasarkan pengamatan dan pengalamannya langsung ke tempat-tempat Jenghis Khan pernah hidup.

Road To Cana merupakan fiksi yang menarik karena kehidupan Yesus dikisahkan dan difiktifkan, Anne Rice mencoba mengisahkan kehidupan Yesus sebelum ia memulai pelayanannya pada publik. Walau berada dalam jalur fiksi novel ini tetap setia pada kerangka injil. Anne Rice hanya mencoba menggali kira-kira apa yang dipikirkan dan dirasakan Yesus dalam sebagai manusia.

Mungkin ada buku-buku menarik yang baru-baru ini terbit yang sebenarnya telah kumiliki dan berpeluang menjadi BUKU YANG KUPILIH, misalnya : Maryamah Karpov (Andrea Hirata), The Last Cuncubine (Lesley Donwer), A Tree Cup of Tea (Greg Mortenson) , The Glass Palaces (Amitav Ghoss), dll, tapi karena buku-buku itu belum terbaca mungkin buku-buku itu akan masuk dalam daftar tahun 2009 yang akan datang.

@h_tanzil

Saturday 13 December 2008

Kearifan Pelacur

Judul : Kearifan Pelacur
(Kisah gelap di balik Bisnis Seks dan Narkoba)
Penulis : Elizabeth Pisani
Penerjemah : Bhimantoro Suwastoyo
Penyunting : Anton Kurnia
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, September 2008
Tebal : 589

“Buku ini adalah sebuah buku mengenai hidup dan mati, seks dan narkoba; mengenai harapan dan kekecewaan. Buku ini mencoba menggambarkan kehidupan dalam dunia HIV?AIDS internasional yang berputar di sekiling hotel-hotel dan pusat-pusat konvensi yang mewah, maupun di jalanan kumut kota Jakarta. “ (hal 7)

Demikian yang diungkap oleh Elizabeth Pisani, ahli epidemilogi asal Inggris yang sempat lama tinggal dan bekerja di Jakarta dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. Berdasarkan pengalamannya selama bekerja di salah satu badan PBB yang menangani masalah AIDS hingga terjun langsung ke pusat-pusat epidemi HIV di berbagai negara belahan dunia dan persinggungannya dengan korban HIV, para pekerja seks, dan pemakai narkoba , maka di awal tahun 2008 lahirlah sebuah buku yang diberinya judul “Wisdom of Whores : Bureucrats, Brothles, Bussines of AIDS” (Granta, London, 2008). Pada Juni 2008 buku ini diterbitkan di Amerika Serikat dan Kanada, dan 3 bulan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Serambi dengan judul “Kearifan Pelacur, kisah gelap di balik bisnis seks dan narkoba” .

Buku ini adalah sebuah buku non fiksi, namun kita tidak akan disuguhkan dengan uraian-uraian teoritis dengan seabrek data-data kering dengan bahasa yang sulit dimengerti . Buku ini bisa dikatakam merupakan campuran antara memoar dan berbagai analisis kebijakan penanganan HIV baik di berbagai negara di dunia. Selain itu pembaca juga diajak menyelami pergolakan batin penulisnya. Itulah yang menjadikan buku ini tak hanya kaya akan data dan informasi, tetapi juga realistis dan sangat membumi, bahkan beberapa hal sangat praktis untuk dapat diterapkan. Pengalaman Elizabeth yang pernah bekerja sebagai jurnalis Reuters sangat berpengaruh dalam menyajikan tulisan yang enak dibaca dan sangat informatif ini.

Walau buku ini bukan buku tentang AIDS di Indonesia, namun karena Elizabeth banyak berkiprah di Indonesia, maka banyak dari apa yang diceritakannya dalam buku ini terjadi di Indonesia. Khusus mengenai Indonesia, berdasarkan analisanya, Elizabeth mengemukakan bahwa Indonesia memiliki dunia perdagangan seks yang besar dengan tingkat penggunaan kondom yang sangat rendah dan tingkat penularan penyakit seksual yang amat tinggi. Ini merupakan resep paling mujarab bagi penyebaran HIV/AIDS.
Pada tahun 1992, seorang peneliti Amerika Serikat bernama Mike Linnan menerbitkan sebuah laporan berjudul , “AIDS di Indonesia : Badai yang Akan Datang”, yang menyebutkan bahwa gelombang penularan penyakit ini akan segera menyapu Indonesia.

Laporan ini membuat Bank Dunia pada tahun 1996 memberikan hampir 25 juta dolar kepada pemerintah Indonesia untuk menangani masalah ini. Sayang proyek ini mengalami ‘kesalahan pengelolaan’ hingga akhirnya tak memberikan pengaruh berarti pada penanganan virus AIDS di Indonesia. Untunglah dana-dana bantuan baik dari Amerika Serikat maupun Australia terus mengalir sehingga berbagai usaha pencegahan penyebar virus mematikan ini masih dapat terus berlangsung.

Mengenai dana-dana besar berjumlah puluhan milyar dolar yang digelontorkan berbagai negara termasuk Bank Dunia ini, Elizabeth mengandaikannya bagaikan semut dalam semangkuk gula, dimana dana yang besar ini menjadi rebutan baik pemerintah maupun LSM-LSM yang saling sikut untuk memperoleh bagiannya.

Dalam buku ini Elizabeth mengungkapkan bahwa ada beberapa golongan yang dianggap sebagai kendaraan penyebaran virus HIV, yaitu : para PSK, waria, kaum homoseksual, dan pemakai jarum suntik. Karena di Indonesia tingkat penggunaan kondom yang rendah, maka waria dan kaum homoseksual sangatlah beresiko tinggi dalam penyebaran virus HIV di Indonesia. Ironisnya mereka tak memiliki pengetahuan yang cukup tentang bahaya HIV/AIDS sehingga resiko tertular yang dihadapinya semakin besar.

Di Indonesia sendiri tingkat penyebaran virus HIV kini sudah dalam taraf mengkhawatirkan, beberapa daerah telah dinyatakan sebagai epidemi. Banyak versi berapa jumlah data penderita HIV di Indonesia, yang tertinggi hingga bulan Semptember 2008 penderitanya telah mencapai 270 ribu orang. Jika hal ini tidak ditangani dengan serius maka badai AIDS akan menyapu Indonesia. Karenanya kini kampanye anti HIV yang khususnya dilakukan oleh LSM-LSM semakin gencar antara lain kampanye safe sex dengan mempopulerkan penggunaan kondom dan penggunaan jarum suntik baru. Sayangnya kampanye ini banyak ditentang oleh masyarakat, dinilai tidak etis karena seolah melegalkan dan mendorong seseorang untuk melakukan seks bebas dan narkoba.

Dibanding kampanye penggunaan kondom, sebagian masyarakat dan pemerintah tampaknya memilih cara lain dalam mengerem laju virus HIV pada pemakai narkoba dan industri seks. Salah satunya dengan menutup kompleks lokalisasi pelacuran. Cara ini dikritik oleh Elizabeth, usaha pemerintah yang serta merta menutup kompleks lokalisasi, kemudian mendirikan tempat ibadat di bekas kompleks tersebut tidaklah efektif dalam penanganan penyebaran virus HIV/AIDS.

Beberapa wanita pekerja seks yang sumber kehidupannya dirampas, memilih pulang kampung dengan membawa penyakit mereka. Beberapa yang lain kembali beroperasi di jalanan tanpa pemeriksaan berkala dari dinas kesehatan seperti saat mereka bekerja di lokalisasi. Akibatnya penyakit yang dibawanya menyebar tak terkendali dan jika ada diantara mereka yang mengidap HIV maka penyebaran virus tersebut menjadi semakin liar.

Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia ini berbeda dengan yang dilakukan oleh pemerintah Thailand yang tekenal dengan industri seksnya dan pernah memiliki tingkat penyebaran HIV yang tinggi di Asia. Pemerintah setempat tak menutup pusat-pusat lokalisasi, melainkan dengan melakukan kontrol yang ketat terhadap kesehatan para pekerja seksnya, selain itu pemerintah Thailand juga mengharuskan semua aktivitas seks di lokalisasi tersebut menggunakan kondom. Jika ketahuan tidak menggunakan kondom atau diketahui bahwa virus HIV/AIDS berasal dari kompleks tersebut, barulah izin usaha mereka dicabut.

Mana yang efektif dalam menangkal penyebaran virus HIV?. Yang pasti data menunjukkan bahwa kebijakan tersebut berhasil mengerem laju epidemi HIV di industi seks komersial Thailand dibanding Indonesia. Hal ini mengajarkan pada kita bahwa lebih mudah meningkatkan penggunaan kondom daripada mengukung industri seks dalam menekan penyebaran HIV.

Dalam hal penyebaran HIV melalui jarum suntik. Penulis dengan tegas menyatakan bahwa penggunaan jarum suntik secara bergantian adalah salah satu cara yang paling efektif bagi virus HIV untuk terjun bebas berpindah dari tubuh seseorang ke seseorang lainnya. Peperangan melawan Narkoba dengan memenjarakan para pemakai barkoba tidaklah efektif . Penjara merupakan tempat yang bagus untuk belajar menjadi penyuntik. Dengan tegas penulis menyatakan bahwa di Indonesia penjara tak ubahnya pabrik HIV. Hasil risetnya membuktikan bahwa lonjakan penularan HIV ternyata bukan ditemukan dalam industri seks, melainkan di antara para tahanan. Bahkan satu diantara enam orang yang ditahan di penjara yang berada persis di seberang jalan kantor program AIDS Depkes RI telah tertular HIV! Jadi jika sebelumnya para tahanan itu masuk dalam keadaan sehat, sekeluar dari penjara mereka sudah tertular HIV.

Selain kampanye penggunaan jarum suntik steril yang disinggung dalam buku ini, Elizabeth juga mengulas cara terbaru yang terbukti efektif untuk pencegahan HIV di antara para pecandu heroin suntik yaitu dengan terapi Methadon. Methadon adalah sebuah obat sintesis yang meniru efek dari obat-obatan sejenis heroin. Obat yang berbentuk sirup ini secara bertahap dapat menghilangkan ketergantungan pada heroin tanpa harus mengalami sakau. Dan yang menggembirakan obat ini sangat murah, satu dosisnya seharga beberapa ribu rupiah saja dan kini sudah mulai diperoleh di klinik-klinik.

Dalam buku ini juga akan terungkap bahwa usaha untuk melawan virus mematikan ini terdapat dua kubu yang berperang dengan caranya masing-masing. Yang satu berperang dengan cara membagikan kondom dan jarum suntik baru. Di lain pihak ada yang berperang dengan menganjurkan berpantang seks. Keduanya kadang saling menyalahkan, pihak yang menganjurkan berpantang seks berpendapat bahwa membagikan kondom dan jarum suntik adalah tindakan amoral karena seolah menganjurkan seks bebas dan narkoba. Sementara pihak lain mengklaim bahwa metode berpantang seks hanya efektif bagi orang yang dengan teguh mengikuti pantangan ini dan metode ini memiliki tingkat kegagalan yang tertinggi. Melihat hal ini Elizabeth di akhir paragraf buku ini menganjurkan agar para dua kubu yang berperang dalam caranya masing-masing hendaknya mau meninggalkan egonya masing-masing dan bersatu padu dalam satu barisan untuk melawan penyakit ini agar dapat membuat bumi kita ini menjadi lebih baik lagi.

Masih banyak fakta-fakta yang menarik dan bermanfaat dalam buku ini baik mengenai penyebaran HIV, penanggulangannya, bagaimana cara kerja virus ini dalam tubuh seseorang, berbagai metode pengobatan, intrik-intrik dalam industri AIDS, dan sebagainya. Karenanya buku ini dapat dijadikan semacam buku panduan tak resmi bagi para pengambil keputusan, praktisi sosial, atau bagi mereka yang ingin terjun dalam bidang HIV baik itu sebagai relawan maupun bagi mereka yang bekerja di lembaga resmi pemerintah. Bagi mereka yang awam yang tadinya hanya tahu sedikit mengenai AIDS, buku ini akan membuka cakrawala kita lebih dalam lagi mengenai apa dan bagaimana sebenarnya virus ini bisa menyebar dan bagaimana penanganannya yang efektif.

@h_tanzil

Thursday 4 December 2008



Judul : Tukang Kuda Kapal La Providence
Penulis : Georges Simenon
Penerjemah : NH Dini
Penerbit : Kiblat Buku Utama & Forum Jakarta-Paris
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : 192 hlm

Judul : Pertaruhan Jiwa
Penulis : Geroges Simenon
Penerjemah : Ida Sundari Husein
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : 218 hlm

Jika kita secara spontan diminta untuk menyebutkan tokoh detektif fiktif beserta penulisnya, umumnya kita akan menjawab : “Sherlock Holmes (Sir Arthur Conan Doyle), Hercule Poirot (Agatha Christie), dan James Bond (Ian Fleming)”. Tampaknya hanya tiga nama itu yang melekat dalam memori kita. Mengapa demikian? Mungkin karena novel-novel Sherlock Holmes dan Agatha Cristhie selalu ada di toko-toko bbuku dan terus dicetak ulang hingga kini. Kisah James Bond, yang kini lebih dikenal di layar lebar dibanding bukunya hampir setiap tahun dibuat filmnya dan selalu menjadi film yang ditunggu-tunggu para penggemarnya.

Namun selain Sherlock Holmes, Poirot, dan James Bond, ternyata ada satu nama tokoh detektif lagi yang luput dari perhatian kita, dia adalah detektif Perancis yang bernama Jules Maigret. Ia merupakan tokoh fiktif ciptaan Goerges Simenon (1903-1989), penulis flamboyan kelahiran Belgia yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Perancis. Konon Simenon telah tidur dengan lebih dari 10.000 wanita, namun selain produktif merayu dan bercinta ia termasuk penulis yang sangat produktif, ia mampu menulis sebanyak 60-80 halaman setiap harinya. Karenanya tak heran hingga akhir hidupnya ia telah menghasilkan sekitar 200 novel, 150 novelet, cerita pendek, autobiografi, beberapa artikel lepas dengan menggunakan hampir dua lusin nama samaran. Hingga kini sudah lebih dari 550 juta copy bukunya yang telah dicetak dan diterjemahkan kedalam berbagai bahasa.

Dari ratusan buku yang ditulisnya itu, 75 novel dan 28 cerpennya merupakan kisah detektif Komisaris Maigret yang muncul pertama kalinya pada tahun 1931 hingga 1972. Saking populernya, novel-novel seri Maigret telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, diadaptasi ke dalam cerita radio dan 50 film layar lebar, dan ratusan episode dalam serial TV. Berbagai penghargaan telah diraihnya, namanya menjadi legenda sebagai penulis cerita detektif , dan dalam rangka peringatan 100 tahun kelahirannya pada tahun 2003 dibuatlah coin perak dengan gambar wajahnya. Baru-baru ini Times Online memasukkan nama Georges Simenon dalam The 50 Greatest Crime Witers di urutan ke 2 setelah Patricia Higsmith. Sementara Agatha Chistie dan Sir Arthur Conan Doyle masing-masing menempati urutan ke 3 dan ke 6

Melihat karya-karyanya yang luar biasa dan telah diakui sebagai salah satu penulis cerita detektif terbaik di dunia, sangat mengherankan kalau belum satupun karyanya yang pernah diterbitkan di Indonesia, karenanya tak heran jika nama Maigret dan Georges Simenon tidak dikenal di kalangan pembaca kita.. Barulah setelah hampir 20 tahun sejak meninggalnya Simenon, kisah sang Komisaris Maigret hadir di Indonesia berkat kerjasama antara Penerbit Kiblat Buku Utama yang didirikan oleh budayawan senior Ajip Rosidi dengan Forum Jakarta Paris pimpinan Dr. Henry Chambert-Loir.

Dua buah judul seri Maigret pertama yang diterjemahkan langsung dari bahasa aslinya (Perancis) untuk pertama kalinya hadir di Indonesia adalah Tukang Kuda Kapal La Providence dan Pertaruhan Jiwa. Pada novel Tukang Kuda Kapal La Providence yang diterjemahkan oleh NH. Dini, Maiget diperhadapkan dengan kasus ditemukannya mayat wanita di sebuah kandang kuda di desa Dizy yang terletak di tepi terusan menuju pedalaman Perancis. Bukan kasus yang mudah diungkap karena banyak sekali kapal-kapal yang melewati terusan dan singgah di desa itu setiap harinya.

Baru saja Maigret mempelajari bagaimana keadaan desa, sistem pengaturan transportasi di terusan, kapal-kapal beserta orang-orangnya, pembunuhan yang kedua terjadi. Apakah ini merupakan pembunuhan berseri? Ataukah ini hanya kebetulan? Hal ini menyebabkan Maigret harus memutar otak dan bekerja secepat mungkin mencari petunjuk-petunjuk untuk melacak jejak si pembunuh sebelum terjadi lagi pembunuhan berikutnya.

Yang menarik pada buku ini selain diajak menyelidiki kasus pembunuhan, pembaca juga akan diajak berjalan-jalan di sekitar lokasi pembunuhan terjadi , yaitu di sebuah terusan menuju pedalaman Perancis di tahun 30-an dimana tenaga kuda masih dipergunakan untuk menarik kapal-kapal ketika memasuki kanal terusan.

Sedangkan di novel kedua yang berjudul “Pertaruhan Jiwa”, menceritakan seorang pemuda lugu dan miskin yang ditangkap dan dijatuhi hukuman mati karena dituduh membunuh seorang janda kaya beserta pengurus rumahnya. Apakah benar dia pembunuhnya?. Yang menarik adalah bagaimana Maigret menyusun rencana cerdik dengan sengaja memberi kesempatan pada si pemuda agar melarikan diri dari penjara untuk mengungkap kebenaran apakah betul si pemuda itu benar-benar pembunuhnya atau bukan.

Jika di novel “Tukang Kuda Kapal La Providence” kita diajak menyelusuri daerah terusan di pedalaman Perancis, maka di novel ini kita akan diajak menyelusuri lika-liku kota Paris dengan tokoh-tokoh yang memiliki karakter unik hingga akhirnya sedikit-demi sedikit misteri pembunuhan janda kaya itu terkuak.

Komisaris Maigret oleh penulisnya dideskripsikan sebagai detektif yang gemar mengisap pipa dengan dandanan topi dan jas panjang layaknya gambaran klasik seorang detektif. Namun cara kerjanya tidak seperti detektif ortodok yang hanya mengandalkan instituisinya dibanding bukti-bukti petunjuk. Maigret juga senantiasa melakukan pendekatan yang manusiawi dalam setiap kasusnya.

Dalam tiap penyelidikannnya Maigret selalu mencoba menyelusuri mengapa dan apa yang menyebabkan seseorang melakukan kejahatan dari sisi manusiawi. Magiret lebih menyukai mengungkapkan mengapa sebuah kejahatan bisa terjadi dibanding bagaimana terjadinya sebuah kasus kriminal. Jadi kisah-kisah Maigret berpusatkan pada karakter orang-orang dan motivasi terdalam para pelaku kejahatan, tidak hanya mengutamakan plot yang cepat dan pengungkapan bukti-bukti semata seperti kisah-kisah detektif umumnya.

Bagi mereka yang menyenangi kisah-kisah detektif, terbitnya seri Maigret karya Georges Simenon ini tentunya layak untuk diapresiasi. Hingga kini baru dua judul ini yang diterjemahkan, dan semoga penerbit memiliki komitmen dan nafas yang panjang untuk menerbitkan judul-judul lainnya. Covernya tersaji dalam gaya komik dengan paduan warna yang menarik. Jumlah halaman per judulnya tak terlalu tebal dan dikemas dalam ukuran kecil namun nyaman dibaca dan mudah dibawa kemana-mana.

Sayang dalam buku edisi terjemahannya tak ada halaman yang menerangkan siapa itu Georges Simenon. Padahal dua judul ini merupakan dua karya pertama Simenon yang untuk pertama kalinya hadir di Indonesia dan sebagian besar pembaca kita belum mengenal nama besar Simenon. Dengan dicantumkanya biografi singkat Simenon dan sedikit mengenai karya-karyanya di setiap bukunya tentunya akan menambah kenikmatan dalam mengapresiasi buku ini sehingga pembaca tak dibuat bertanya-tanya siapa itu Simenon seperti yang saya alami sebelum akhirnya saya browsing di internet. Semoga di judul-judul berikutnya penerbit dapat memuat sedikit keterangan mengenai Georges Simenon.

Akhir kata seperti yang diungkap oleh Tania Intan, M.Pd. (dosen Sastra Unpad) pada saat pembahasan buku ini di Bandung beberapa waktu yang lalu, dengan diterjemahkannya buku-buku karya Simenon dalam bahasa Indonesia diharapkan akan menambah khasanah sastra di Indonesia. Selain itu, hal ini akan menjadi kesempatan bagus bagi mahasiswa Sastra Perancis dan penyuka sastra Perancis untuk lebih dapat mengenal Simenon dalam karya-karyanya.


@h_tanzil

Friday 21 November 2008

Lekra tak Membakar Buku













Judul : Lekra Tak Membakar Buku
(Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965)
Penulis : Rhoma Dwi Aria Yuliantri & Muhidin M Dahlan
Penerbit : Merakesumba
Cetakan : I, Sept 2008
Tebal : 584 hlm ; 15x24 cm


Jika kita mendengar kata Lekra, maka yang langsung terpikirkan oleh kita adalah sebuah lembaga kebudayaan bentukan PKI yang pernah membikin ricuh panggung budaya Indonesia di era Demokrasi Terpimpin (1950-1965), tukang ganyang, pembuat onar, pemicu konflik tak berkesudahan dengan para sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu), dan telibat pembakaran buku-buku di depan Kantor USIS (Pusat Informasi Amerika)

Stigma negatif yang ditempelkan pada Lekra ini terus melekat dalam benak kita dan keterlibatan Lekra dalam pembakaran buku yang sebenarnya tak terbuktikan itu telah menjadi mitos abadi karena hal ini terus ditulis di berbagai media dan dikisahkan oleh para sastrawan-sastrawan senior penandatangan Manifestasi Kebudayaan ketika menggambarkan situasi politik dan budaya Indonesia di tahun 50-60an

Mitos tersebut seolah tak terbantahkan karena suara-suara mantan aktifis Lekra yang menyangkalnya telah dibungkam ketika penguasa orde baru ‘menjahit’ mulut para lawan-lawan politiknya. Tak hanya itu, secara sengaja sejarah dan kiprah Lekra di ranah budaya Indonesia dikerdilkan hingga yang tercatat sekedar pertarungan antara dua kubu dalam isu kesusasteraan nasional : Lekra vs Manikebu.

Lalu apa dan bagaimana sesungguhnya Lekra ? Apa saja yang telah dikerjakannya selama lembaga kebudayaan ini menguasai panggung budaya Indonesia selama lima belas tahun (1950-1965)?. Tak banyak yang mengetahuinya karena tak satu bukupun yang secara komprehensif pernah menulis tentang Lekra hingga akhirnya terbitlah buku bertajuk “Lekra Tak Membakar Buku” karya Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri.

Buku ini bisa dikatakan buku yang paling komprhensif mengenai Lekra yang disusun secara sistematis dalam sepuluh bab plus daftar singkatan /akronim, lampiran, dan indeks. Dimulai dari bab Mukadimah yang mencatat situasi menjelang Kongres I Lekra (1959) ketika seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia harus segaris dengan Manifestasi Politik (Manipol)-nya Soekarno. Demikian pula dengan sikap berkebudayaan yang arahnya sudah jelas : “Seni untuk Rakyat” dan “politik adalah panglima kebudayaan”. Dalam Konggres-nya inilah Lekra mencoba merumuskan berbagai aksi nyata di lapangan kebudayaan yang memihak Rakyat, anti imperialis, dan anti feodal!

Masih dalam bab yang sama, diungkapkan pula kelahiran dan peran Lekra secara umum sebelum dibahas secara detail di bab-bab berikutnya. Satu hal yang menarik adalah terungkapnya bahwa Lekra bukanlah salah satu organ PKI seperti yang selama ini banyak diasumsikan orang. Hal ini tampak saat diselenggarakannya Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) yang sepenuhnya dilakukan oleh PKI. Memang dalam kenyatannya banyak seniman-seniman Lekra ikut terlibat , namun kapasitas mereka sebagai seniman “progresif revolusioner” dan bukan sebagai Lekra secara institusi. Jika Lekra memang organ resmi PKI tentu saja konferensi ini akan dilaksanakan oleh Lekra sebagai lembaga kebudayaan yang paling siap dan kompeten untuk menyelenggarakannya, atau setidaknya nama Lekra akan selalu disebut-sebut. Pada kenyataannya hingga resolusi KSSR diumumkan, Lekra tak pernah disebutkan sebagai bagian dari PKI.

Karena itulah buku ini menyebutkan secara gamblang bahwa : “ Lekra tak pernah menjadi underbow PKI. Lekra adalah organisasi merdeka yang tak masuk dalam kendali komando PKI…Walau tak bisa dipungkiri bahwa banyak pekerja budaya komunis yang menjadi anggota Lekra di pucuk-pucuk pimpinannya. “ (hal 61).

“Menyebut Lekra bersih sama sekali dari pengaruh PKI adalah kesalahan fatal, tetapi menyebutnya menginduk kepada PKI juga keliru. Lebih tepat hubungan itu adalah hubungan kekeluargaan ideologi..(hal 63)

Selain itu terungkap pula bahwa Pramoedya Ananta Toer bukanlah komunis. Hal ini terungkap ketika PKI hendak melakukan “pemerahan total” pada Lekra melalui konggres KSSR . “..bahkan Nyoto yang pendiri Lekra pun menolak “pemerahan total“ Lekra dengan pertimbangan hengkangnya tenaga-tenaga potensial Lekra yang non-Komunis seperti Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan sebagainya.” (hal 62)

Setelah bab Mukadimah, buku ini membahas mengenai Riwayat Harian Rakjat yang merupakan terompet PKI dan Koran politik nasional terbesar pada masanya, dan tempat dimana sastrawan-sastrawan Lekra mengisi secara penuh lembar-lembar kebudayaannya yang merupakan sumber utama dari lahirnya buku ini.

Kemudian mulailah buku ini membahas semua kerja Lekra dan pemikiran-pemikiran seniman Lekra diberbagai bidang kebudayaan yang dibagi secara bab per bab mulai dari sastra, film, seni rupa, seni pertunjukan, seni tari, musik, dan buku. Dari berbagai bahasan dalam buku ini akan terlihat bahwa para Lekra sangat militan dalam melaksanakan kerja budaya yang segaris dengan prinsip Manipol yang menentang kebudayaan imperialis dan sepenuhnya memihak sekaligus memberdayakan kebudayaan Rakyat. Di tangan Lekra beberapa seni dan kebudayaan rakyat yang telah terkurung dalam kebudayaan feodal ( wayang, tari-tarian keraton, dll) yang tadinya hanya dipentaskan di kalangan dan tempat-tempat tertentu, kini dikembalikan pada rakyat sehingga semua rakyat bisa menikmati dan mengembangkannya.

Lekra juga membabat habis semua bacaan-bacaan, film, musik yang tidak sesuai dengan garis kebijakan Manipol termasuk karya-karya sastrawan Manikebu. Sebagai gantinya, Lekra menumbuh kembangkan bacaan, film, dan musik yang sesuai dengan jiwa revolusioner. Dalam berbagai simposium kebudayaannya Lekra mencatat dan menginventarisir semua kesenian-kesenian rakyat dan mengurus hak ciptanya. Kalau saja apa yang dikerjakan Lekra tak terkubur oleh sebuah prahara politik di tahun 65 mungkin kini tak ada ceritanya kalau kesenian reog ponorogo, dan beberapa lagu daerah diklaim sebagai milik budaya negara tetangga kita.

Dalam bidang musik, selain mengecam musik ngak-ngik-ngok yang dianggap tidak sesuai dengan kepribadian nasional, Lekra juga sangat prihatin terhadap perilaku anak-anak kecil yang menyanyikan lagu-lagu dewasa yang liriknya cengeng dan cinta-cintaan. Karenanya Lekra membahasnya secara khusus dalam Konferensi Lembaga Musik Indonesia (LMI/Lekra). Kondisi ini tampaknya tak jauh berbeda dengan keadaan sekarang dimana anak-anak tak memiliki lagu-lagu yang sesuai dengan usia mereka sehingga tak heran kalau kita mendengar anak-anak menyanyikan lagu –lagu cinta orang dewasa.

Di bidang buku, kita akan melihat bagaimana saat itu pameran-pameran buku tak sekedar ajang bisnis semata, melainkan menjadi ajang propaganda politik melalui buku-buku yang dipamerkan. Secara menarik kita akan diajak melihat siapa-siapa saja yang ikut dalam pemeran buku yang saat itu bernama “Gelanggang Buku” dan buku-buku apa saja yang dipamerkan. Hal ini mungkin bisa berguna bagi penyelenggara pameran buku di masa kini yang umumnya hanya memindahkan aktifitas toko buku ke dalam pameran.

Kemudian dibahas pula politik sebagai panglima buku, politik buku pelajaran, lembaga penerbitan buku Lekra, dan bab khusus “Lekra tak membakar buku” yang berisi fakta-fakta bahwa Lekra tak pernah membakar buku dan melarang peredaran buku-buku yang notabene adalah wewenang Kejaksaan Agung. Berdasarkan guntingan-guntingan Koran Harian Rakjat yang menjadi dasar buku ini, kedua penulis buku ini sampai pada kesimpulan bahwa “tak satupun individu yang menyebutkan bahwa Lekra secara keorganisasian maupun individu-individu ikut serta dalam pembakaran buku” (hal 476)

Masih banyak sepak terjang Lekra yang akan kita dapat di buku ini. Pada intinya buku ini memang mengupas habis kerja-kerja kreatif yang dihasilkan Lekra selama 15 tahun (1950-1965) di bidang kebudayaan sebelum lembaga ini dibekukan dan seluruh kegiatannya dihapus dari memori dan sejarah bangsa Indonesia.

Kini kita patut bersyukur, karena kiprah Lekra yang telah dengan sengaja dihilangkan dari sejarah bangsa ini kembali terkuak dan dapat dibaca oleh semua orang. Ini semua berkat ‘kegilaan’ dua penulis muda yang dengan tekun menyelisik sekitar 15 ribu artikel kebudayaan di Harian Rakjat selama 1.5 tahun yang tersimpan dalam ruang terlarang untuk dibaca di sebuah perpustakaan di Jogya. Artikel-arttikel itu terpaksa mereka salin karena lembar koran yang sudah usang sebagian besar sudah tak memungkinkan lagi untuk di foto copy.

Dari ribuan artikel yang mereka baca dan salin inilah mereka dan menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku utuh yang enak dibaca, . “Kami hanya mengatur tempo dan menggilir siapa yang naik panggung duluan dan siapa yang kena giliran berikutnya. Untuk memberi suasana dan raut wajah dan suara semasa, maka kami sebanyak mungkin mengiringi kembali seluruh bahasan dengan kutipan langsung dari potongan-potongan berita braksen ejaan lama itu?” (hal 6).

Tampaknya kegilaan ide dan ketekunan kerja yang dilakukan Muhidin dan Rhoma Dwi Aria tak sia-sia. Buku yang awalnya diprediksi oleh kedua penulisnya hanya akan setebal duaratusan halaman ternyata menggelembung menjadi hampir 600 halaman karena semakin meluasnya temuan-temuan baru yang mereka temukan untuk diungkapkan. Jangan menciut melihat ketebalannya, karena walaupun tebal dan bersumber dari ribuan artikel-artikel yang berdiri sendiri namun kedua penulis berhasil merangkainya menjadi sebuah buku yang sistematis, runut, tak bertele-tele, dan enak dibaca. Lampiran-lampiran risalah rapat, hasil komunike, struktur organisasi, dan sebagainya merupakan bonus bagi mereka yang berniat meneliti lebih dalam mengenai Lekra.

Melihat lengkapnya bahasan dalam buku ini tampaknya inilah buku tentang Lekra yang paling komprehensif yang pernah diterbitkan di Indonesia semenjak Lekra berdiri hingga kini. Namun demikian ada yang mengkritik buku ini karena hanya bersumber dari guntingan-guntingan artikel lembar kebudayaan Harian Rakjat tanpa mencari sumber lain berupa wawancara terhadap pelaku sejarah yang masih hidup atau sumber-sumber kepustakaan lain.

Selain itu, ketika saya selesai menamatkan buku ini, saya bertanya-tanya mengapa judul bukunya “Lekra tak Membakar Buku”, padahal yang dibahas lebih dari sekedar jawaban atas pernyataan tersebut. Menurut saya judul tersebut mengecilkan luasnya cakupan yang dibahas dalam buku ini.

Ketika kedua hal tersebut saya tanyakan pada salah seorang penulisnya (Muhidin M Dahlan), ia mengatakan bahwa tak adanya narasumber dari para tokoh sejarah dalam menyusun buku ini sudah disadarinya sejak awal, “Itulah kelemahan sekaligus kekuatan buku ini”, ungkapnya. Wawancara terhadap tokoh-tokoh Lekra yang masih hidup dilakukan hanya sebatas konfirmasi nama, tak bisa lebih dari itu, faktor usia tampaknya menjadi kendala karena mungkin ingatan mereka sudah tak jernih lagi.

Sedangkan untuk judul, Muhiddin menjelaskan bahwa dalam proses kreatifnya ia cenderung mengambil judul bab yang paling kuat. Selain itu bab “Lekra tak Membakar Buku” adalah yang ditulis paling awal ketika buku ini dikerjakan, dan dari bab inilah maka pembahasannya menjadi semakin berkembang. “Tidak ada bab itu sebagai pemicunya , maka tidak akan ada buku Lekra.”, demikian imbuhnya.

Kritik lainnya untuk buku ini adalah hurufnya yang terlalu kecil dan beberapa kesalahan cetak sehingga mengganggu kenyamanan membaca. Untuk ukuran huruf mungkin ini salah satu cara untuk menyiasati agar buku ini tidak bertambah ‘gemuk’ yang tentunya akan mengakibatkan harganya menjadi mahal dan sulit dijangkau oleh khalayak ramai.

Terlepas dari baik buruknya buku ini, saya berani mengatakan bahwa buku ini buku merupakan karya monumental yang mendokumentasikan penggalan sejarah berkebudayaan di Indonesia. Karenanya buku ini wajib dimiliki dan dibaca oleh para pecinta sejarah, pemerhati, dan pelaku gerakan kebudayan Indonesia. Kiprah Lekra selama lima belas tahun tampil apa adanya dalam buku ini. Ada yang buruk, ada pula yang baik. Yang buruk bisa menjadi pelajaran agar hal serupa tak terulang kembali. Sedangkan apa yang baik dari kerja kreatif Lekra setidaknya dapat menjadi inspirasi dan bisa dijadikan contoh dalam mengembangkan kebudayaan kita saat ini.

Yang pasti buku ini akan membuka mata kita bahwa sejarah Lekra tak sekedar berisi polemik tak berkesudahan dengan pengusung Manifes Kebudayaan. Lekra bukan hanya diisi oleh orang-orang yang haus kuasa, tukang boikot, tukang cela, dan pembuat onar panggung kebudayaan, tapi Lekra adalah sebuah lembaga kebudayaan yang telah memberi warna dan sumbangsih yang luar biasa bagi kebudayaan Indonesia sebelum tragedi nasional menumbuk dan menghancurkan semua hasil kerja keras yang dipupuk selama 15 tahun tanpa henti itu.

Cover yang dipermasalahkan


Baru saja sehari terpajang di toko-toko buku, tiba-tiba Toko Buku Gramedia menarik seluruh buku Tilogi Lekra Tak Membakar Buku dan mengembalikan pada penerbitnya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Usut punya usut ternyata mereka khawatir dengan cover buku “Lekra Tak Membakar Buku” yang memuat gambar ‘palu arit’ yang merupakan lambang PKI. Mereka tampaknya khawatir karena pelarangan logo PKI hingga kini belum dicabut oleh pemerintah. Karenanya TB Gramedia bersikukuh tak mau memajang buku ini jika covernya belum diganti.

Sebenarnya lambang PKI pada buku ini tak terlalu kentara karena hanya berupa gambar timbul (embossed) tanpa bingkai dan warna, nyaris tak terlihat terutama dari jarak jauh. Sehingga sekilas yang terlihat hanyalah cover putih polos dengan judul buku berwarna merah di bagian bawahnya.

Sebenarnya desain cover seperti ini menggambarkan keberadaan Lekra dengan PKI. Lekra bukanlah salah satu organ PKI, tapi tokoh-tokoh Lekra adalah orang-orang yang juga tergabung dalam PKI. Jadi dibilang PKI bukan, dibilang bukan PKI juga salah.

Awalnya penerbit maupun penulisnya tetap ingin mempertahankan cover tersebut, namun tampaknya daripada buku ini tersendat peredaraannya dan di sweeping oleh pihak-pihak tertentu sehingga kesempatan masyarakat untuk membaca buku ini menjadi terhalang, akhirnya diambil jalan kompromi. Daripada membuang-buang waktu dan dana untuk mengganti cover baru, maka ditutuplah lambang palu aritnya dengan kertas putih.
Akhirnya buku monumental ini kini tersaji dengan wajah yang tambal sulam, hal yang buruk dan tak memenuhi kaidah estetika sebuah buku….

@h_tanzil

Monday 3 November 2008

The 7 Laws of Happiness

Judul : The 7 Laws of Happiness
Penulis : Arvan Pradiansyah
Editor : Budhyastuti R.H.
Penerbit : Kaifa
Cetakan : I, Sept 2008
Tebal 428 hl, ; 23.5 cm

Bisa dipastikan semua manusia menginginkan hidupnya bahagia. Namun masalahnya kebahagiaan tidak datang dengan begitu saja. Harus ada usaha untuk memperoleh kebahagiaan. Karenanya banyak cara yang dilakukan untuk memperoleh kebahagiaan, ada yang mencari bahagia dengan kesenangan atau hobi, ada pula yang mencarinya dengan mengejar kesuksesan karena diyakini bahwa kesuksesan akan membawanya pada kekayaan dan kekayaan akan membuatnya bahagia.

Namun kesenangan atau hobi hanya membuat kita bahagia saat kita melakukan aktifitas hobi kita, setelah itu kita kembali pada persoalan hidup yang menghimpit kita dan membuat kita tidak bahagia. Kesuksesan dan kekayaan tak menjamin kita hidup bahagia. Kita sering mendengar orang-orang yang berada dalam puncak kesuksesannya ternyata mengalami depresi yang begitu dalam. Lalu dimanakah dan apa yang sebenarnya membuat kita bahagia ?

Arvan Pradiansyah, penulis buku-buku motivasi You Are a Leader! (2003), Life is Beautiful (2004), dan Cherish Every Moment (2007), dalam buku terbarunya mencoba mengungkap rahasia memperoleh kebahagiaan. Berdasarkan pengalamannya dalam memberikan training-training motivasi ia meyakini bahwa untuk mencapai kebahagiaan maka yang harus kita lakukan adalah dengan cara memilih pikiran yang positif.

Jadi, kunci memperoleh kebahagiaan sebenarnya ada dalam pikiran kita dan sangat tergantung ada pikiran yang kita pilih. Apabila kita memilih pikiran negatif, seluruh diri ktia menjadi negatif. Sebaliknya, jika memilih pikiran positif, kita akan senantiasa dienuhi oleh rasa bahagia. Karenanya kita harus menguasai pikiran kita, melatih, dan mengisi pikiran kita dengan hal-hal positif.

Bagaimana cara melatih dan menguasai pikiran kita ? Dalam buku ini Arvan memberikan suatu rumusan rahasia yang sistematis yang disebutnya sebagai The 7 Laws of Happines. Ketujuh rahasianya tersebut dibagi dalam tiga kelompok besar. Tiga rahasia pertama berkaitan dengan diri kita sendiri, yaitu Patience (Sabar), Gratefulness (Syukur), dan Simplicity (Sederhana). Tiga rahasia berikutnya berkaitan dengan hubungan kita dengan orang lain, yaitu Love (Kasih), G(Memberi), dan Forgiving (Memaafkan). Satu rahasia terakhir berkaitan dengan Tuhan, yaitu Surender (Pasrah).

Sekilas rumusan yang dipaparkan Arvan memang mirip dengan karya terkenal Stephen R. Covey, The 7 Habits for Highly Effective People. Seperti yang diakui oleh Arvan dalam buku ini, rumusannya sedikit banyak terinspirasi oleh buku terkenal Covey tersebut, namun jika ditelaah lebih dalam, terdapat perbedaan antara 7 Habits dengan The 7 Laws. Bahkan dapat dikatakan bahwa The 7 Laws dapat dilihat sebagai kelanjutan perjalanan kemanusiaan kita yang telah diawali oleh The 7 Habits.

Jadi The 7 Laws of Hapiness adalah pelatihan pikiran yang sistematis dan sebuah metode untuk menumbuhkan kebagiaan dengan cara memilih pikiran positif dan memfokuskan perhaitan pada pikiran positif tersebut. The 7 Laws melatih kita untuk menyaring dan memilih pikiran-pikiran positif dan melatih kita untuk membuang pikiran-pikiran negatif yang masuk ke kepala kita dan menggantinya dengan pikiran-pikiran yang sehat dan bergizi.

Salah satu cara mengisi pikiran kita dengan hal yang positif yaitu dengan cara menghindari bacaan dan tontonan yang berdampak negatif. Arvan tampaknya sangat prihatin dan geram dengan gempuran media masa baik media cetak, maupun televisi umumnya memberi kontribusi negatif pada pikiran kita. Secara terang-terangan dia memberi contoh salah satu acara TV yang merusak pikiran kita. Arvan mengkritik acara Empat Mata yang dipandu Tukul Arwana. Bahkan ia secara terang-terangan mengatakan bahwa acara tersebut sebenarnya hanyalah berisi sampah karena selalu menertawakan orang lain dan sering menggunakan kata-kata kasar seperti “bukan manusia”, “seperti monyet”, “keturunan iblis”, dan sebagainya. Bagi Arvan acara seperti ini akan semakin menghilangkan rasa kasih (rahasia ke 4 dalam The 7 Laws) dalam diri kita karena tanpa disadari, kata-kata negative Tukul akan meresap dalam pikiran kita jika kita terus menonton acara tersebut.

Berbeda dengan buku-buku Arvan sebelumnya yang merupakan kumpulan tulisannya di berbagai media. Maka bukunya kali ini merupakan hasil pemikirannya yang utuh dan sistematis. Apa yang dikemukakannya disajikan dengan sederhana dan mudah diingiat karena ketujuh rahasia bahagia itu diilustrasikan dalam bentuk bangunan sebuah rumah. Dalam paparannya Arvan tak hanya memberikan teori-teori yang mengawang-awang, melainkan diungkapkan dengan gaya yang bersahaja, mudah dipahami dan menggugah kesadaran pembacanya akan apa yang mungkin selama ini terlupakan.

Banyak contoh-contoh yang sederhana namun memberi banyak pelajaran berharga. Umumnya apa yang diungkapkannya dalam buku ini kita semua sudah mengetahuinya, namun dengan membaca buku ini seolah kita dibangunkan dari tidur panjang kita dan disadarkan akan berbagai pikiran negatif yang mungkin secara tidak kita sadari terus kita pelihara dalam pikiran kita sehingga membuat kita tidak bahagia.

Bagi saya hal yang paling menarik dalam The 7 Laws adalah bagaimana Arvan mentutup rahasia memperoleh kebahagiaan dengan prinsip Surender (Pasrah). Dengan gamblang Arvan mengungkapkan bahwa setelah melalui enam rahasia untuk mencapai kebahagiaan, kebahagiaan belum akan tercapai sebelum kita menjalankan rahasia yang ketujuh, yaitu Surender (Pasrah). Pasrah adalah kunci dari semua perjalanan kita , sebuah kata pamungkas bahwa di atas segala usaha dan kemampuan kita ada satu kekuatan yang berada di atas segala kekuatan dimana kita bergantung sepenuhnya pada kekuatan tersebut, yaitu Tuhan Yang Mahakuasa. Inilah yang mungkin membedakan Arvan dengan penganut aliran-aliran positif thinking lainnya yang terkadang hanya menonjolkan kekuatan manusia untuk memilih pikiran yang positif untuk memperoleh kebahagiaan.

Buku ini juga dikemas dengan menarik, mulai dari pilihan font yang nyaman untuk dibaca, ilustrasi yang menarik, layout halaman dalam yang dinamis, membuat buku ini memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi. Selain itu, karena buku ini mengajak pembacanya untuk memperoleh kebahagiaan , tampaknya buku ini sangat pantas untuk dijadikan sebagai kado bagi sahabat, rekan kerja, dan orang-orang yang kita kasihi. Buku ini juga tampaknya tak cukup dibaca hanya satu kali saja. Seperti yang diungkap Arvan bahwa ketujuh rahasia hidup bahagia ini harus sering dipraktekkan dan dilatih secara berulang-ulang. Seiring berjalannya waktu, mungkin kita mulai kendor dalam mengelola pikiran kita, kita mulai merasa tak bahagia kembali, mungkin saat itulah buku ini perlu dibaca ulang kembali.



@h_tanzil

Friday 17 October 2008

Indonesia Merdeka Karena Amerika ?

Judul : Indonesia Merdeka Karena Amerika ?
(Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia, 1920-1949)
Penulis : Frances Gouda & Thijs Brocades Zaalberg
Penerjemah : Zia Anshor
Editor : Anton Kurnia
Penerbit : PT Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Agustus 2008
Tebal : 487 hlm

Judul buku ini sangat provokatif, beberapa kawan yang melihat buku ini ketika saya sedang membacanya umumnya akan berkomentar, “Ah, masa sih ?”, “Apa iya?”. Ketika saya menemukan buku inipun secara spontan saya berkomentar sama dan menjadi penasaran untuk membacanya. Apalagi ketika melihat nama penulisnya yang tak asing bagi saya, Frances Gouda, guru besar sejarah di jurusan Ilmu Politik Universitas Amsterdam - Belanda yang banyak menulis buku tentang sejarah Indonesia. Salah satu buku menariknya “Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942” telah diterjemahkan oleh Serambi pada beberapa tahun yang lalu.

Bagi kalangan awam, perjuangan memperoleh pengakuan kemerdekaan Indonesia merupakan murni buah perjuangan para pahlawan baik melalui perjuangan fisik maupun melalui jalur diplomatik. Namun disebagian kalangan lain terdapat sebuah mitos tak terhapus bahwa setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, pemerintah Amerika segera menyatakan dukungan politiknya terhadap Republik Indonesia yang baru berdiri. Hal ini malah dinyatakan oleh Presiden Bill Clinton dalam ucapan selamatnya pada saat peringatan 50 tahun Indonesia Merdeka (1995) . Mitos ini terus dipercaya di Belanda, dimana banyak orang Belanda masih berpikir bahwa bantuan Amerika Serikat terhadap kemerdekaan Indonesia pada 1945-1946 sangatlah besar dan Indonesia takkan mampu merdeka tanpa peran Amerika.

Bagaimana faktanya? Untuk itulah buku hasil buah pemikiran dan analisis Frances Gouda & Thijs Brocades Zaalberg yang dalam bahasa Inggrisnya berjudul American Vision of the Netherlands East Indies/Indonesia: US Foreign Policy and Indonesian Nationalism, 1920-1949 ini mencoba mengkritisi pendapat umum yang telah menjadi mitos tersebut.
Secara terstruktur Gouda membagi bukunya ini kedalam 9 bab yang dimulai dari tinjauan umum dan berlanjut dengan pembahasan sejarah yang makin khusus. Kedua bab pertama dipusatkan pada tahun-tahun 1945-1949. Bab pertama menyajikan pandangan umum atas kebijakan luar negeri AS sehubungan dengan Republik Indonesia dan sekutunya Belanda setelah berakhirnya Perang Dunia II, sementara bab kedua, menelaah cara-cara dan usaha kaum nasionalis Indonesia dan politikus Belanda merebut simpati Amerika untuk tujuan masing-masing.

Sadar akan kuatnya posisi Amerika Serikat dalam hubungan internasional paska Perang Dunia II. Para tokoh-tokoh politik Indonesia mencoba segala usaha untuk menarik simpati Amerika agar mendukung kemerdekaan Indonesia. Salah satu usaha yang dilakukan adalah mengutus beberapa perwakilan Republik Indonesia ke AS. Salah seorang diantaranya adalah Sudarpo Sostrosatomo, pemuda berumur dua puluhan berpendidikan tinggi yang pada 1949 ditugaskan untuk menjadi atase Pers di New York. Dengan cerdas Sudarpo membandingkan revolusi kemerdekaan Indonesia dengan revolusi Amerika melalui makalahnya yang berjudul “It’s 1776 in Indonesia” dan menyebarkannya kepada para wartawan, pejabat publik Amerika, dan perwakilan internasional di PBB. Perbandingan yang terlalu dipaksakan, namun makalah tersebut cukup menarik perhatian pejabat publik Amerika yang memang selalu mengagung-agungkan deklarasi kemerdekaan Amerika pada tahun 1776.

Sedangkan di dalam negeri, para pemuda nasionalis melakukan aksi coret-coret di spanduk dan tembok-tembok kota dalam bahasa Inggris, mereka tak asal corat-coret, melainkan mengutip kalimat-kalimat pidato tokoh kemerdekaan Amerika seperti Jefferson, Linchlon, dll. Mereka berharap coret-coretan tersebut bisa menarik simpati pasukan AS di Indonesia.

Tak hanya itu, pemerintah Indonesia juga menerbitkan seri perangko bergambar arsitek utama Republik Indonesia yang disandingkan dengan para tokoh kemerdekaan Amerika, antara lain perangko bergambar George Washington berada dibelakang gambar Soekarno, Hatta bersanding dengan Abraham Lincoln, dan Sjahrir yang bersanding dengan Thomas Jefferson.

Walau segala usaha dilakukan untuk merebut simpati Amerika terhadap kemerdekaan Indonesia namun hingga akhir 1948 Amerika belum juga menyatakan dukungannya secara terbuka terhadap kemerdekaan Indonesia.
Bab ketiga buku ini memusatkan perhatian pada masa 1938-1945, dimana pada masa tersebut, penilaian AS atas pemerintahan kolonial Belanda mencapai keseimbangan. Selain itu kenyataan agresi Jepang di Asia membuat para pembuat kebijakan AS mengakui nilai strategis dan ekonomis Indonesia.

Bab keempat dan kelima memeriksa atmosfer sosial, budaya, politik, serta tindakan pemerintahan di Indonesia dan Amerika Serikat paska Perang Dunia II. Saat itu perang dingin mulai mempengaruhi perspektif para pembuat kebijakan di Washington dan Den Hag, sementara para pejabat Republik Indonesia mencoba mencari jalan tengah antara perseteruan blok barat dan Soviet yang mulai tumbuh.

Di Bab keenam, buku ini menganalisis peran pasukan SEAC (South East Asia Comand, Komando Asia Tenggara) di bawah pimpinan Louis Mountbatten di Jawa dan Sumatera pada 1945-1946, juga kertelibatan Partai Buruh Australia dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal ini berbarengan dengan dimulainya perundingan-perundingan diplomatis yang berlarut-larut antara Indonesia dan Belanda yang berbuahkan perjanjian Linggarjati yang rapuh pada Maret 1947. Beberapa bulan kemudian Belanda melanggar kesepakatan Lingarjati dan melakukan agersi militer. Kejadian ini memicu munculnya resolusi Dewan Keamanan PBB, sehingga menandai permulaan keterlibatan resmi AS dalam Komite Jasa Baik (Good Offices Commite, GOC) untuk menyelesaikan konflik Belanda – Indonesia. Hal ini kemudian dianjutkan dalam bab ketujuh yang memusatkan bahasan pada upaya-upaya Komisi Jasa Baik (GOC) yang dimotori AS yang berujung pada perjanjian Renvillle yang menguntungkan pihak Belanda.

Dari bahasan di ketujuh bab pada buku ini akan terlihat secara jelas bahwa AS sendiri masih gamang dan belum menentukan sikap yang jelas terhadap dukungannya kepada kemerdekaan Indonesia, hal ini berbeda dengan pendapat umum masyarakat AS melalui partai buruhnya yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Keraguan pihak AS semakin bertambah dengan kekhawatiran Indonesia yang akan menjadi negara komunis karena beberapa tokoh-tokoh revolusioner Indonesia seperti Amir Syarifudin, Muso, dll merupakan tokoh berhaluan kiri.

Pada akhirnya bab kedelapan dan kesembilan Gouda menganalisis pergolakan di Indonesia pada 1948 yang berpuncak pada pemberontakan PKI di Madium 1948. Pada tahun 1947, kabinet Amir Syarifudin mengikutsertakan partai-partai beraliran kiri, dan membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet yang telah mengakui kemerdekaan Indonesia secara de jure. Tentu kiprah Amir Sjarifudin membuat Amerika khawatir Indonesia akan menjadi negara yang ke kiri-kirian. Untunglah di akhir Januari 1948 setelah Amir Syarifudin berhenti dari jabatan Perdana Menteri, kabinet Hatta yang menggantikannya tidak mengikutsertakan wakil-wakil partai kiri dalam pemeritahan koalisi barunya.

Seiring waktu, lambat laun terbukti bahwa pemerintahan Hatta ‘positif anti komunis’, hal ini diperkuat dengan keberhasilan Hatta menumpas habis pemberontakan PKI pada September 1948. Melalui peristiwa ini Amerika akhirnya menaruh kepercayaan pada pemerintah Indonesia. Dan mulailah kebijakan Departemen Luar Negeri Amerika condong kepada Indonesia dibanding Belanda.

Keberpihakan Amerika pada Indonesia semakin nyata ketika tiba-tiba Belanda melakukan agresi militernya yang kedua sehingga dengan mantap pemerintahan AS yang dipimpin oleh presiden Truman mengubah sikapnya dari pro-Belanda menjadi pro-Indonesia.
Secara umum buku ini menarik untuk disimak karena pembaca diberikan berbagai fakta gamblang mengenai perubahan kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia dan pengaruhnya dalam percaturan politik internasional dimasa revolusi kemerdekaan Indonesia. Tampaknya kedua penulis buku ini mempersiapkan buku ini dengan riset yang mendalam. Mereka menyelisik sumber-sumber primer berupa arsip-arsip diplomatik Amerika, Indoneisa, Belanda, Australia, hingga arsip-arsip PBB. Hal ini tercermin dalam gamblangnya bahasan yang diungkap dan ratusan daftar sumber arsip dan pustaka yang berderet-deret hingga membutuhkan 11 halaman penuh untuk disajikan dalam buku ini.

Karenanya Gouda dan Zaalberg dengan yakin menyimpulkan analisisnya bahwa tekanan AS terhadap Belanda tak menyebabkan kemerdekaan Indonesia karena di tahun 1945-1947 sikap pemerintah AS masih pro-Belanda. Pendiri Republik Indonesia – terutama Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, dan Soekarno – berhasil mengamankan kemerdekaan Indonesia melalui kecakapan politik mereka yang luar biasa dalam menghadapi berbagai tantangan pelik. Namun harus diakui peran dan intervensi Amerika Serikat dalam persoalan Indonesia pada 1948-1949 memiliki pengaruh besar, tidak hanya mempercepat proses dekolonisasi Belanda, tapi juga mencegah Indonesia dan Belanda terlibat peperangan yang berkepanjangan yang tentunya akan menelan banyak korban.

Tema yang diangkat dalam buku ini memang bukan bahasan yang ringan, namun karena ditulis dengan lancar serta dilengkapi referensi langka dan detail personal sejumlah tokoh sejarah yang menarik, saya pribadi tak dibuat bosan dan menemui kesulitan dalam memahami buku ini. Tak banyak buku literatur sejarah yang saya baca hingga tamat, dan buku ini adalah salah satunya.

Bersyukur kini buku ini telah diterjemahkan dengan baik oleh penerbit Serambi sehingga buku yang wajib dimiliki oleh para pemerhati sejarah Indonesia ini akan memberi pembaca Inodnesia wawasan baru atas peran Amerika Serikat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada masa 1945-1949.

Salut juga untuk pencantuman judul versi Indonesianya yang sangat provokatif dengan menambahkan kalimat tanya - yang tidak tercantum di buku aslinya - “Indonesia Merdeka Karena Amerika?” yang tentunya memancing minat pembaca Indonesia untuk menemukan jawabannya di buku ini. Penerbit Serambi juga dengan cerdas mengganti cover asli buku ini yang menampilkan foto perangko Sjahrir dengan foto perangko Soekarno yang bersanding dengan George Washington. Hal yang tepat karena kini masyarakat Indonesia lebih mengenal Soekarno dibanding Sjahrir.

Namun sayangnya buku terjemahannya ini diciderai oleh beberapa kesalahan cetak. Selain kesalahan huruf, terdapat juga kesalahan penulisan angka tahun. Kesalahan yang fatal bagi sebuah buku bertema sejarah. Semoga hal ini bisa menjadi perhatian bagi proofreader penerbit Serambi agar lebih teliti lagi dan tidak terulang pada buku-buku lain.

@h_tanzil

Monday 22 September 2008

Laskar Pelangi : The Phenomenon

Judul : Laskar Pelangi - The Phenomenon
Penulis : Asrori S. Karni
Penerbit : Hikmah
Cetakan : I, September 2008
Tebal : 263 hlm

Laskar Pelangi memang fenomenal. Kisah memoar Ikal dan kawan-kawannya mengejar mimpi ternyata diapresiasi dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Selain fenomenal dari segi penjualannya yang telah mendekati angka 1 juta esklempar, ternyata tetralogi ini tak hanya manjadi buku yang menghibur secara sastrawi namun juga mampu menginspirasi jutaan pembacanya.

Sejauh mana tetralogi laskar pelangi menginspirasi pembacanya? Jawabannya dapat kita peroleh di buku Laskar Pelangi : The Phenomenon yang ditulis oleh Asrori S. Karni, jurnalis peraih Mochtar Lubis Award 2008. Naluri jurnalistiknya yang terasah dan ketekunannya dalam menyelisik pengaruh buku Laksar pelangi terhadap pembacanya membuat Asrori berkesimpulan bahwa ledakan inspirasi tetralogi laskar pelangi telah menghasilkan multi level marketing spririt. Spirit pantang menyerah yang bergulir dari mulut kemulut. Karenanya menurut penturan Asrori, buku ini memotret efek berantai dari ledakan isnpirasi itu

Di buku ini, Asrori secata menarik menampilkan kisah-kisah nyata di berbagai bidang dan di berbagai daerah tentang spirit baru yang tumbuh karena efek fenomena Laskar Pelangi. Di lembar pertama buku ini, Asrori mengisahkan ketika sembilan mobil yang ditumpangi para pengusaha Tionghoa Jakarta yang berasal Belitong melaju beriringan memasuki Desa Gantung, Belitong Timur, tempat dulu Ikal dan kawan-kawan bersekolah. Mereka terpanggil untuk menengok kampung halaman mereka setelah membaca Laskar Pelangi sekaligus membawa bingkisan senilai Rp. 20 juta untuk diserahkan pada Lintang

Lalu ada kisah Maisaroh, seorang guru honorer di SDN I Pamijahan Cirebon. Ketika melihat tayangan laskar pelangi di Metro TV ia langsung tergerak untuk mencari novelnya. Ia mengirim email ke website Kick Andy minta dikirimi buku itu. Namun karena tak ada jawaban ia pun membelinya. Karena tak cukup uang ia menjual kebayanya untuk memperoleh novel itu.

Setelah memperoleh bukunya Maisaroh segera membaca habis bukunya. Dan sejak itu bukunya tak pernah menetap lagi dirumahnya, dipinjam bergantian antar teman. Maisaroh juga menyerap ilmu dan semangat Bu Muslimah dalam mendidik anak-anak laskar pelangi, maka jadilah Maisaroh seperti Bu Mus yang dekat dengan anak-anak didiknya dan menjadi guru favorit karena gaya mengajarnya yang menarik dan membangkitkan semangat.

Lalu ada pula seorang wanita yang menjadikan tanda tangan Andrea Hirata sebagai mahar pernikahannya. Seorang gadis di Pontianak juga terkena imbas daya tarik sosok ibu Muslimah dan daya juang Lintang menembus belantara Belitong untuk bersekolah. Dengan alasan untuk riset skripsinya ia seorang diri menembus pedalaman Belitong untuk menemui Bu Muslimah. Perjalanannya sendiri penuh warna dan tantangan sehingga perlu satu bab tersendiri untuk mengisahkan perjalanan gadis Pontianak ini.

Novel Laskar pelangi juga mampu menggerakkan Bupati Sumbawa, Jamaluddin Malik untuk berusaha mendatangkan Andrea Hirata untuk membakar semangat dan merangsang kreativitas ratusan siswa SMP- SMU di daerahnya. Untuk itu melalui dana APBD dan sumbangan dari para orang tua murid, pemda setempat rela mengeluarkan uang 50 juta untuk honor Andrea diluar biaya akomodasi dan transprotasi. Dan ini mungkin rekor honor tertinggi bagi pembicara sastra di Indonesia.

Selain kisah-kisah unik dan mengharukan dari para pembaca laskar pelangi yang terinspirasi oleh novel tersebut, buku ini juga mencatat bagaimana proses kreatif Andrea Hirata dalam membuat laskar pelangi.

Ternyata sebelum menulis novelnya Andrea beberapa kali datang ke Belitong untuk riset novelnya sekaligus menyegarkan memori masa kecilnya. Bahkan menurut penuturan Kucai (Husaini Rasyid), ketika di Belitong Andrea beberapa kali melakukan aksi ‘gila’ seperti pergi ke kuburan untuk merasakan ketakutan akan hantu, pergi ke desa Gantung dengan motor yang hanya diisi bensin setengahnya, dll. Hal itu dilakukannya untuk lebih menjiwai isi tulisannya kelak. Karenanya tak heran laskar pelangi menjadi demikian deskriptif dan hidup dimata pembacanya.

Masih banyak hal menarik lainnya dibahas dalam buku ini, misalnya kisah bagaimana awalnya naskah laskar pelangi tidak dipedulikan bahkan hampir dibuang oleh penerbitnya ke tong sampah, lalu kiat Andrea untuk membuat tulisan yang memikat, soal honor, royatli, dan lain-lain.

Yang menarik, buku ini juga membahas mengenai tema pendidikan yang juga merupakan tema utama dari novel Laskar Pelangi. Asrori membahas bahwa apa yang dilakukan Bu Muslimah di tahun 70-an adalah apa yang kini dinamakan sebagai konsep pendidikan inklusi dan multiple intelegence. Hal yang mengagetkan karena konsep ini baru dideklarasikan sebagai komitmen internasional pada tahun 1990-an. Di Indonesia sendiri konsep ini baru dirancang di tahun 2000-an tapi Bu Muslimah telah menerapkannya dalam bentuk yang alami, original, dan sederhana sejak tahun 1970-an.

Buku yang dikemas dengan menarik dan atraktif serta dilengkapi dengan foto-foto yang berkaitan dengan novel laskar pelangi termasuk foto-foto saat syuting film laskar pelangi ini memang buku yang menarik dan memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi.

Asrori tampaknya piawai dalam menemukan dan menggali informasi mengenai korban-korban yang terkena sindrom laskar pelangi dan menyajikannnya dalam tulisan jurnalistik yang enak dibaca, informatif, memberi inspirasi, dan mampu melibatkan emosi pembacanya sehingga pembacanya betah melahap buku ini hingga tuntas dalam sekali baca. Sayangnya Asrori agak berpanjang-panjang di bab “Melayu Pemalas: Mitos atau Realitas”, dimana penulis secara panjang lebar membahas ceramah Muhtar Lubis mengenai karakteristik manusia Indonesia. Bagi saya bagian ini terasa terlalu melebar dari tema utama buku ini dan merupakan bagian yang paling membosankan di buku ini.

Akhir kata kehadiran buku ini turut memperkaya khazanah perbukuan kita. Jika dicermati tampaknya di tanah air masih jarang buku yang membahas isi dari sebuah buku. Memang buku ini bukan buku yang mengulas laskar pelangi secara sastrawi, namun setidaknya buku ini semakin mengukuhkan kekuatan dari sebuah buku, bagaimana sebuah buku dapat menginspirasi pembacanya dalam banyak hal. Dan juga seperti yang diharapkan penulisnya, semoga buku ini dapat menggerakkan simpul-simpul inspirasi baru dan menjadi mata rantai baru dari jejaring semangat yang telah ditebar oleh tetralogi Laskar Pelangi.

@h_tanzil

Monday 15 September 2008

Di Negeri Penjajah

Judul : Di Negeri Penjajah (Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950)
Penulis : Harry A. Poeze
Penerjemah : Hazil Tanzil & Koesalah Soebagyo Toer
Penerbit : KPG
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : X + 412 hlm ; 19.5 x 28 cm

Saat ini saya sedang membaca 2 buah buku sejarah, yang pertama buku terbitan Serambi “Indonesia Merdeka karena Amerika?” karya Francis Gouda dan satu lagi terbitan KPG , Di Negeri Penjajah karya Harry A. Poeze. Dua-duanya merupakan karya sejarahwan Belanda yang banyak menulis tentang Indonesia.

Saat ini saya hanya akan mengulas sedikit mengenai buku di Negeri Penjajah – Harry A. Poeze sejauh yang telah saya baca, yaitu hingga bab III , walau saya baru membaca seperempatnya saja, saya benar-benar puas dan banyak memperoleh hal-hal baru.

Sesuai dengan judulnya, buku karya Poeze ini membahas mengenai orang-orang Indonesia yang bermukim di negeri penjajah (Belanda) dalam kurun waktu hampir 350 tahun (1600-1949). Untuk itu Poeze membaginya secara kronologis waktu kedalam 7 bab :

1600-1898 : Utusan, Budak, Seorang PElukis, dan Beberapa Siswa
1898-1913 : Sejumlah Tokoh dan Rombongan
1913-1920 : Emansipasi dalam Kerjasama
1920-1930 : Nasionalisme dalam Isolasi
1930-1940 : Ke Arah Kerjasama yang Sadar
1940-1945 : ISolasi dan Solidaritas
1945-1949 : Berangsur Menjauh

Semua bab tersebut terangkum dalam buku setebal 412 halaman dengan ukuran buku besar 19,5 cm x 28 cm dimana tiap halamannya tersaji dalam dua kolom. Bisa dibayangkan setebal apa buku ini jika dicetak dalam ukuran buku biasa, mungkin bisa mencapai 1000 halaman lebih. Untungnya walau bukunya besar dan tebal, buku ini dicetak diatas kertas yang ringan, sehingga bisa dibaca lama tanpa takut tangan terasa pegal.

Dalam buku ini akan terekam profil, suka duka, dan pengalaman serta sepak terjang orang-orang Indonesia yang pernah merantau di Negeri Belanda dari 1600-1949. Uniknya tak hanya para elit kaum bangsawan terekam dalam buku ini, bahkan para seniman biasa hingga para babu tak luput dari penelitian Poeze untuk disajikan dalam buku ini.

Poeze menulis sepak terjang para tokoh-tokoh Indonesia dengan kalimat-kalimat yang enak dibaca dan mudah dipahami, selain itu agar pembaca data merasakan suasana periode yang dibahas dan memudahkan gambaran pembacanya, buku ini memuat lebih dari 150 bh foto, gambar-gambar, sajak-sajak, berita surat kabar atau majalah, teks pidato, kop majalah atau suratkabar, kartu undangan, kartu ucapan, hingga bon makanan.

Karenanya tak berlebihan kalau saya katakan bahwa buku ini merupakan buku yang sangat menarik yang wajib dimiliki oleh para pengamat dan pecinta sejarah Indonesia, karena bagaimanapun juga sebagian besar orang-orang yang disinggung dalam buku ini adalah para tokoh pembuat sejarah atau setidaknya yang memiliki persinggungan yang erat dengan sejarah Indonesia.

Pada bab awal buku ini akan terungkap bahwa kunjungan resmi pertama penduduk Nusantara dilakukan oleh utusan Sultan Aceh yang terdiri dari tiga orang, yaitu dutabesar Abdul Zamat, laksamana raja Seri Mohamat, dan kemenekannya Meras San. Mereka menumpang kapal Zeelandia dan Langhe Barcke diiringi lima orang pembantu, seorang juru bahasa, dan sejumlah pedagang Arab. Perutusan itu tiba di Zeeland – Belanda pada akhir Juli 1602.

Orang-orang Aceh itu disambut dengan penuh kehormatan oleh Pangeran Maurits. Dan peristiwa ini diabadikan dalam sebuah lukisan karya Mari ten Kate. Setelah tinggal di Belanda selama lima belas bulan dengan biaya dari VOC dan mengunjungi berbagai kota di Belanda, pada tahun 1603 merekapun pulang ke tanah air.

Sayangnya dutabesar Aceh, Abdul Zamat meninggal di usianya yang ke 71 di Middelburg pada tahun 1602. Uniknya, pemakamannya dilakukaan dengan mengikuti syariat Islam di Gereja Sint Pieters, sebuah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya dimana seorang muslim disemayamkan dan dimakamkan di sebuah gereja. Sebagai tanda peringatan, VOC juga mendirikan monumen untuk menghormati sang duta besar dari seberang lautan ini.

Berawal dari keddaatangan utusan raja, lalu kedatangan para anak-anak Ambon ketika VOC berhasil merebut Ambon, dan beberapa budak yang diperkejakan di Belanda, akhirnya muncul pula orang Indonesia yang pergi ke Belanda untuk menimba ilmu. Raden Saleh adalah salah seroang Indonesia pertama yang mendapat pendidikan modern di Belanda. Pada 1829 ia berlayar ke Negeri Belanda sebagai klerk Inspektur Keuangan De Linge. Setelah namanya tersohor sebagai pelukis Istana di Belanda dan tinggal di belna selama 22 tahun , ia pulang ke Jawa pada 1851.

Setelah Raden Saleh, berangsur-angsur datang juga orang Indonesia ke Belanda untuk belajar atau keperluan lain. Sebut saja Raden Mas Ismangoen Danoe Winoto yang merupakan orang Indonesia pertama yang menikmati pendidikan tinggi di Negeri belanda. Setelah lulus HBS ia diterima di Lembaga Bahasa, Sejarah, dan Antropologi Hindia-Belanda di Delft.

Ketika Politik Etis diberlakukan, maka hal ini semakin terbuka kesempatan orang-orang Indoensia untuk berangkat ke negeri Belanda untuk menimba ilmu. Sosrokartono (kakak kandung RA Kartini) adalah orang pertama dalam dalam rombngan orang Indoensia yang datang ke negeri belanda untuk belajar. Di Belanda Sosrotokartono dikenal sebagai orang Jawa yang tekemuka. Pada 1899 ia berbicara di depan konggres Ilmu Bahasa dan Sastra Belanda ke XXV, dan mendapat sambutan yang sangat meriah. Dan pidato tersebut tercatat merupakan penampilan terbuka pertama orang Indonesia di Eropa.

Selama di Belanda ia juga kerap menulis surat untuk adiknya RA Kartini, sayangnya surat-surat mereka tak ditemukan lagi hingga kini. Di Leiden Sosrokartono merupakan mahasiswa yang cemerlang dan dalam beberapa waktu saja ia telah menguasai duapuluh bahasa Timur dan Barat. Kelak ia memang merampungkan pendidikannya tapi tidak sampai mencapai promosi seperti yang direncanakannya.

Selama 29 tahun Sosrokartono hidup di negeri Belanda, diakhir petualangannya di Belanda ia dikabarkan terjerat hutang. Setelah meletusnya Perang Dunia pertama ia menjadi koresponden New York Herald (Tribune), dan ia merupakan satu-satunya wartawan perang yang berasal dari Indonesia. Setelah Perang, ia bekerja sebagai penerjemah di Wina, Den Haag, dan di PBB - Jenewa. Baru pada 1925 ia kembali ke Indonesia dan memperoleh nama besar sebagai filsuf mistis Jawa.

(bersambung)

@h_tanzil

Saturday 30 August 2008

Zaman Edan, Indonesia diambang Kehancuran

Judul : Zaman Edan, Indonesia Diambang Kehancuran
Penulis : Richard Lyyod Parry
Penerjemah : Yuliani Lupito
Penyunting : Anton Kurnia
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Mei 2008
Tebal : 451 hlm

“Buku ini membahas tentang kekerasan dan tentang rasa takut” (hal 25)

Demikian yang diungkapkan oleh Richard Lyyod Parry, jurnalis Times – London dalam kata pengantarnya di buku ini. Apa yang dikatakannya memang tak mengada-ngada. Buku yang ditulis berdasarkan hasil reportasenya ketika bertugas di Indonesia pada 1997-2001 memang secara umum memaparkan kekerasan yang pernah terjadi di beberapa bagian di wilayah Indonesia pada kurun waktu tersebut.

Dalam buku yang diberinya judul “In The Time of Madness, Indonesia on the Edge of Chaos” (2005) dan diterjemahkan oleh Penerbit Serambi menjadi “Zaman Edan, Indonesia Diambang Kehancuran” (2008), Richard Llyod Parry menyuguhkan tiga buah peristiwa mencekam yang dialaminya ketika sedang bertugas di Kalimantan (1997–1999), kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, dan kejahatan kemanusiaan di Timor Timur (1998–1999)?

Dimulai dengan bab Musibah yang Mendekati Aib : Kalimantan (1997-1999). Parry menyuguhkan kisahnya saat masuk ke daerah konflik perang antar etnik Dayak dengan suku Madura di pedalaman Kalimantan. Bagi yang tak tahan dengan kisah-kisah berdarah, bersiap-siaplah untuk mual ketika membaca bab ini.

Seperti halnya pemicu-pemicu kerusuhan di berbagai tempat di Indonesia, pemicu perang tersebut sebenarnya hanyalah hal yang sepele. Saat digelar panggung dangdut di Sanggauledo, Kalimantan (perbatasan dengan Sarawak Malaysia), dua orang gadis Dayak diganggu oleh pemuda Madura. Perkelahianpun pecah dan seorang pemuda Dayak, putra kepala desa setempat tertikam.

Peristiwa tersebut bagaikan menyulut api dalam sekam, ketegangan diantara kedua ras yang telah terbangun selama bertahun-tahun menyebabkan peristiwa sepele ini berubah menjadi sangat serius dan memicu serangan-serangan balas dendam yang berujung pada peperangan antar etnik.

Berdasarkan adat dan tradisi Suku Dayak saat berperang, mereka memanggil roh peperangan Kamang Tairu untuk menghadapi orang Madura. Imbalannya Kamang Tairu perlu diberi makan dengan darah, karenanya orang Dayak memenggal kepala orang Madura, membawa kepala-kepala itu sebagai trofi, kemudian membelah bagian punggung mayat-mayat itu untuk mengambil jantung yang akan mereka makan selagi masih segar.

Dengan mata kepala sendiri sendiri, Parry melihat bagaimana mayat-mayat berserakan tanpa kepala dengan lubang menganga di punggungnya. Puluhan kepala-kepala terpenggal dipajang diatas drum, dan disisi lain sekelompok orang sedang membakar sate daging manusia untuk dimakan, bahkan dirinyapun tak luput dari ajakan orang-orang Dayak untuk ikut memakan sate manusia!

Apa yang mendasari orang-orang Dayak untuk berbuat demikian keji? Dalam penutup bab ini, Perry mengutip pendapat seorang guru Dayak atas apa yang telah mereka lakukan terhadap mereka yang melanggar adat Dayak.

“Di mata orang Dayak,” ujar seorang guru Dayak, “Ketika orang tidak menghormati adat kami, mereka menjadi musuh, dan kami tidak memandang musuh kami sebagai manusia lagi. Mereka menjadi binatang di mata kami. Dan orang Dayak memakan binatang.” (hal 129)

Di bab berikutnya, Perry menuturkan kisahnya ketika ia meliput suasana pemilu 1997 situasi ketika terjadi demonstrasi di kampus Trisakti, kerusuhan massal di Jakarta 1998, dan peristiwa lengsernya Soeharto. Selain itu di bagian ini ia juga menungkapkan mengenai sosok Soeharto, dikatakan bahwa masa kecil Soeharto sangat menderita dan tidak bahagia. Setelah kelahirannya, ibunya menghilang. Beberapa hari kemudian dia ditemukan di dalam ruangan gelap sebuah rumah kosong dalam keadaan mirip kesurupan. Sejak itu ia dititipkan secara bergilir diantara paman, bibi, dan sahabat keluarganya. Tiga kali ia diculik oleh salah satu orang tuanya dan pindah rumah sembilan kali sebelum menamatkan sekolahnya.

Lalu disinggung pula soal gaya hidup Soeharto, rumahnya di jalan Cendana termasuk kategori rumah yang sederhana dan biasa yang mungkin jika tak diberitahu orang tak akan menyangka kalau itu adalah rumah seorang presiden. Rumahnya dipenuhi bukan oleh harta benda melainkan cindera mata dan hiasan murahan. Bahkan mantan menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja mengungkapkan bahwa “Banyak artefak tak bermakna di seputar rumah itu, warna-warninya tidak selaras, ukurannya tidak sepadan-rasanya seperti memasuki toko souvenir.” (hal 175)

Sedangkan di Bagian ketiga buku ini, yang merupakan bagian yang paling panjang dan palin mengugngkap sisi emosional Parry atasketakutan yang dialaminya adalah mengenai Timor Timur. Di bagian ini Parry mengisahkan petualangannya menembus belantara Timor untuk bergabung dengan Falintil, tentara gerilyawan pendukung kemerdekaan.

Melalui investigasinya dengan orang-orang yang ditemuinya, akan terungkap berbagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara-tenara Indonesia ketika memburu para gerilyawan.

“Tak terhitung jumlah penududuk desa Timor yang dibakar, dibom, ditembak atau dibiarkan kelaparan hingga mati.” : Pada waktu lain, sekitar seratus orang, banyak diantara mereka perempuan, anak-anak, dan lanjut usia, yang berlindung di sebuah gua selama pengeboman dari udara, terkubur hidup-hidup ketika sebuah bom berkekuatan besar diledakkan di luar dan menutup mulut gua sepenuhnya. Setelah dua minggu, erangan mereka tidak lagi terdengar.” ( hal 288)

Kisah petualangan Perry di bagian ini terus berlanjut hingga rakyat Timor Timur melakukan referedum untuk menentukan masa depan meraka dan bagaimana situasi Timor Timur paska referendum yang begitu mencekam karena kelompok milisi indonesia tampaknya tak rela jika mereka dikalahkan begitu saja lewat jejak pendapat yang hasilnya mengecewakan mereka. Selain itu terungkap pula situasi ketika dirinya dan beberapa wartawan asing berlindung dalam markas PBB di Timor Timur untuk menunggu evakuasi.

Dari ketiga bab yang terangkum dalam buku ini, tampaknya hanya bab : Cahaya Terang Jawa : 1998 yang tak banyak mengungkap hal-hal yang baru bagi pembacanya, seperti kita tahu peristiwa 98 telah banyak diulas baik dibuku-buku memoar para tokoh politik maupun media-media cetak lainnya. Namun bab ini masih menarik dicermati pada bagian mengenai kehidupan Soeharto yang digambarkan sebagai Raja Jawa atau “Paku Bumi”.

Bagian yang mengungkap berbagai fakta baru dan mengejutkan adalah bab Musibah yang mendekati Aib: Kalimantan 1997-1999, dan Kandang Hiu : Timor Timur 1998-1999. Bagi masyarakat awam, kedua peristiwa ini mungkin tak banyak diketahui. Berita-berita mengenai kerusuhan di Kalimantan hanya beredar dari mulut kemulut dan hanya terungkap sekilas di media-media cetak. Sedangkan berita mengenai situasi di Timor Timur yang begitu mencekam sebelum dan setelah jejak pendapat hanya kita peroleh dari sumber resmi koran-koran nasional yang tentunya bersikap hati-hati dalam mengungkap fakta yang ada.

Karenanya buku ini tampaknya bisa membuka wawasan kita dalam melihat ketiga perstiwa kerusuhan dari sudut pandang dan kacamata seorang jurnalis asing yang dikenal piawai dalam menulis situasi di daerah-daerah konflik di dunia. Walau demikian, tentunya unsur-unsur subyektif penulisnya tak lepas dari apa yang ditulisnya, terlebih dalam tulisannya mengenai Timor Timur yang tampak condong ke pro kemerdekaan Timor. Karenanya kitapun tetap harus bersikap kritis terhadap apa yang ditulisnya dan membandingkannya dengan buku-buku lain yang membahas mengenai kejadian tersebut.

Dalam buku ini, tampaknya Parry melakukan sedikit kesalahan data, antara lain ketika menyebutkan partai politik peserta pemilu 1997 di halaman 34, dimana partai banteng merah (PDI) nomor urutnya tertukar dengan Beringin Kuning (Golkar). Entah mengapa kesalahan ini dibiarkan saja oleh penerjemahnya, jika di buku aslinya memang dibiarkan demikian mungkin ada baiknya penerjemah memberikan catatan kaki mengenai kesalahan ini.

Sedangkan untuk cover buku terjemahannya, tampaknya penerbit Serambi tak melakukan banyak perubahan, sesuai edisi aslinya, buku ini didominasi oleh warna merah gelap dengan ilustrasi wayang. Namun Serambi mengganti tokoh wayangnya, jika edisi aslinya menampilkan tokoh wayang Arjuna, maka di edisi terjemahannya yang tampak adalah tokoh wayang Batara Kala si pembawa petaka. Dalam hal ini tampaknya cover edisi terjemahannya lebih sesuai dengan tema buku ini.

Akhir kata, membaca buku Zaman Edan ini memang menarik, berbagai fakta mengejutkan yang mengiringi kekerasan dan kekacauan terjalin dengan kalimat-kalimat yang lentur, lincah, renyah dan dan enak dibaca. Inilah jurnalisme sastrawi yang sesungguhnya. Hasil reportase Parry tidak sekedar mengungkapkan fakta, tempat, dan waktu, namun juga menghadirkan emosi dan dsekripsi-deskrpisi mendetail sehingga membaca buku ini seolah membaca novel horor yang diangkat dari sebuah kisah nyata.

Semuanya ini tersaji dengan begitu hidup sehingga pembacanya seolah-olah berada bersama dengan Parry berpetualang ke daerah-daerah konflik.

Buku ini telah melaporkan peristiwa kerusuhan di tiga tempat, Jakarta, Kalimantan, dan Timor Timur dengan begitu menarik. Masih ada Ambon, Papua, dan Aceh, dll yang mungkin suatu saat perlu ditulis seperti buku ini. Semoga para jurnalis Indonesia bisa mengikuti jejak Richard Lyyod Parry, melaporkan apa yang dilihat dan dialaminya di daerah-daerah konflik di Indonesia dalam balutan jurnalisme sastrawi secara obyektif dan enak dibaca tanpa harus dibatasi oleh jumlah karakter atau sensor oleh dewan redaksi dimana biasa mereka mempublikasikan tulisan-tulisannya.


Sekilas tentang Penulis

Richard Lyood Parry adalah koresponden luar negeri yang kini bekerja untuk The Times London. Jurnalis yang tahun ini berusia 39 tahun kini bermukim di Tokyo. Tahun 1995 Parry menjadi koresponden harian Inggris, The Independent. Barulah pada 2002 ia pindah ke harian Times. Sepanjang karirnya ia telah berutugas di lebih dari 24 negara termasuk di daerah-daerah konflik seperti Irak, Kosovo, Afghanistan, Vietnam, dll. dan menulis pula untuk Granta, the London Review of Books, dan the New York Times Magazine.

Oleh beberapa kalangan Buku In The Time of Madness dipuji sebagai buku laporan perjalanan ke jantung kegelapan, dan menampilkan gaya bertutur (storytelling) ala Conrad, Orwell, dan Ryszard Kapuscinski. Tak heran jika buku ini masuk dalam nominasi a Dolman Best Travel Book Award 2006, penghargaan untuk buku-buku kisah perjalanan.

@h_tanzil

Saturday 16 August 2008

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels

Dalam rangka memperingati 200 tahun pembangunan jalan Anyer-Panarukan (1808-2008) yang dikomandoi oleh Daendels, sekaligus dalam rangka memperingati hari kemerdekaan, 17 Agustus 2008, maka izinkan saya mempostingkan ulang buku karya Pramoedya AT - Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.

Semoga dengan membaca buku ini kita akan menghargai para pahlawan pembuat jalan Raya Pos sepanjang 1000 kilometer yang masih bisa kita lalui hingga kini

@ h_tanzil

Judul : Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Cetakan : I, Oktober 2005
Tebal : 145 hal
ISBN : 979-97312-8-3


Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, membentang 1000 km sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Dibangun dibawah perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu : Herman Willem Daendels (1762-1818). Ketika baru saja menginjakkan kakinya di Pulau Jawa Daendels berangan untuk membangun jalur transportasi sepanjang pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.

Angan-angan Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. Yang gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. Gubernur Jendral Daendels memang menakutkan. Ia kejam, tak kenal ampun. Degan tangan besinya jalan itu diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808). Suatu prestasi yang luar biasa pada zamannya. Karena itulah nama Daendels dan Jalan Raya Pos dikenal dan mendunia hingga kini.

Walau Jalan Raya Pos dikenal dan selalu diajarkan di bangku-bangku sekolah namun bisa dikatkan tak ada buku yang secara khusus mengungkap sejarah pembuatan dan sisi-sisi kelam dibalik pembuatan Jalan Raya Pos. Buku terbaru karya Pramoedya Ananta Toer(Pram) ini bisa dikatakan dapat mengisi kekosongan literatur Jalan Raya Pos dalam khazanah buku-buku berlatar belakang sejarah dewasa ini. Walau buku ini bukan merupakan buku sejarah resmi, namun buku yang ditulis Pram dimasa tuanya ini (1995) dapat dijadikan sebuah buku yang mengungkap dan memberi kesaksian tentang peristiwa kemanusiaan yang mengerikan dibalik pembangunan Jalan Raya Pos.

Buku ini ditulis dengan mengalir, tanpa pembagian bab. Pada halaman-halaman awal Pram mengurai awal ketertarikannya pada Jalan Raya Pos yang memakan banyak korban jiwa para pekerja paksa yang ia golongkan sebagai genosida, pembunuhan besar-besaran ia juga menyinggung beberapa genosida yang awalnya dilakukan oleh Jan Pietersz Coen (1621) di Bandaneira, Daendels dengan Jalan Raya Posnya (1808), Cuulturstelsel alias tanam paksa, genosida pada jaman Jepang di Kalimantan, genocida oleh Westerling (1947) hingga genosida terbesar dalam sejarah bangsa Indoenesia di awal-awal pemerintahan Orde Baru.

Di halaman-halaman selanjutnya setelah mengurai sejarah tercetusnya ide pembuatan Jalan Raya Pos di benak Daendels Pram membagi bukunya ini berdasarkan kota-kota yang dilewati dan berada disepanjang Jalan Raya Pos. Pram mencatat dan mengurai 39 kota yang berada dalam jalur Jalan Raya Pos, baik kota-kota besar seperti Batavia,Bandung, Semarang, Surabaya, maupun kota-kota kecil yang namanya jarang terdengar bagi masyarakat umum seperti Juwana, Porong, Bagil dan lain-lain.

Secara rinci Pram mengungkap sejarah terbentuknya kota-kota tersebut, dampak sosial saat dibangunnya Jalan Raya Pos, hingga keadaan kota-kota tersebut pada masa kini. Dengan sendirinya masa-masa kelam ketika Jalan Raya Pos dikerjakan akan terungkap di buku ini. Ketika Jalan Raya Pos sampai di kota Sumedang dimana pembangunan jalan harus melalui daerah yang sangat berat ditembus, di daerah Ciherang Sumedang, yang kini dikenal dengan nama Cadas Pangeran. Para pekerja paksa harus memetak pegunungan dengan peralatan sederhana, seperti kampak, dan lain-lain. Dengan medan yang demikian beratnya inilah untuk pertama kalinya ada angka jumlah korban yang jatuh, 5000 orang!

Ketika pembangunan jalan sampai di daerah Semarang, Daendels mencoba menghubungkan Semarang dengan Demak. Kembali medan yang sulit menghadang. Bukan hanya karena tanahnya tertutup oleh rawa-rawa pantai, juga karena sebagian daripadanya adalah laut pedalaman atau teluk-teluk dangkal. Untuk itu kerja pengerukan rawa menjadi hal utama. Walau angka-angka korban di daerah ini tidak pernah dilaporkan, mudah diduga betapa banyaknya kerja paksa yang kelelahan dan lapar itu menjadi makanan empuk malaria yang ganas (hal 94). Sumber Inggris melaporkan seluruh korban yang tewas akibat pembangunan Jalan raya Pos sebanyak 12.000 orang!. Itu yang tercatat, diyakini jumlah korban lebih dari itu. Tak pernah ada komisi resmi yang menyelidiki.

Selain mengungkap sisi-sisi kelam dibalik pembangunan Jalan Raya Pos, Pram juga senantiasa menyelipkan penggalan kenangan-kenangan masa muda dirinya pada kota-kota disepanjang Jalan Raya Pos yang pernah ia singgahi. Ada kenangan yang pahit, mengesankan, dan lucu yang pernah dialaminya di berbagai kota yang ditulisnya di buku ini. Sebut saja pengalaman lucu ketika Pram muda yang sedang dalam tugas ketentaraannya bertugas di daerah Cirebon, dalam kegelapan malam secara tak disengaja ia pernah buang hajat disebuh tungku dapur yang disangkanya kakus, padahal tungku itu masih berisi sisa singkong rebus untuk rangsum para laskar rakyat.(hal 79)..O la la….!

Buku ini diutup dengan bab "Dan Siapa Daendels" yang ditulis oleh Koesalah Soebagyo Toer. Dalam bab ini diuraikan biografi singkat Daendels. Selain itu bagian daftar pustaka yang menyajikan sumber-sumber pustaka yang digunakan Pram untuk menyusun buku ini mencakup buku-buku yang terbit dipertengahan abad ke 19 hingga akhir abad ke 20. Tak heran jika membaca karya ini pembaca akan mendapatkan hal-hal yang detail mengenai sejarah kota yang dilalui oleh Jalan Raya Pos.

Yang patut disayangan pada buku ini adalah tidak adanya peta yang secara jelas menggambarkan rute-rute Jalan Raya Pos. Buku ini hanya menyijikan reproduksi dari peta kuno yang diambil dari Rijks Museum Amsterdam (hal 129). Peta yang tak mnggambarkan Pulau Jawa secara utuh dan huruf yang tak terlihat pada peta tersebut tentu saja menyulitkan pembaca untuk memperoleh gambaran akan sebuah jalan yang dibuat Daendels sepanjang Anyer hingga Panarukan ini.

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels diselesaikan oleh Pramoedya pada tahun 1995, entah apa yang membuat buku ini harus menuggu 10 tahun untuk diterbitkan, tak ada penjelasan dari penerbit mengenai mengapa baru sekarang buku ini diterbitkan, padahal beberapa tahun setelah karya ini diselesaikan era reformasi memungkinkan diterbitkannya karya-karya Pram secara bebas. Namun walau bisa ditakan terlambat diterbitkan, buku ini masih sangat relevan untuk dibaca oleh siapa saja karena buku ini merupakan sebuah buku kesaksian tentang peristiwa genosida kemanusiaan paling mengerikan dibalik pembangunan sebuah jalan sepanjang 1000 km yang dibangun beraspalkan darah dan air mata manusia-manusia pribumi yang dipaksa untuk membangunnya.

@h_tanzil
 
ans!!