Tuesday 23 June 2009

Para Penggila Buku : Seratus Catatan di Balik Buku

Judul : Para Penngila Buku - Seratus Catatan di Balik Buku
Penulis : Diana AV.Sasa & Muhidin M. Dahlan
Penerbit : i: boekoe (indonesia Buku)
Cetakan : 2009
Tebal : Hardcover, 667 hlm ; 24 cm

Sadarkah kita jika buku ternyata tak sekedar berbicara tentang apa yang terkandung di dalamnya. Dunia buku ternyata begitu luas dan kaya, bagaikan sebuah mata air yang tak pernah kering, kisah-kisah dibalik dunia buku selalu mengalir, memberikan kesegaran, dan memberi inspirasi baru bagi mereka yang selalu haus akan buku dalam hidup mereka. Namun kisah-kisah dibalik dunia buku itu harus dicari, ditelisik, diwartakan, agar semua penggila buku tahu bahwa dunia yang mereka geluti setiap harinya itu ternyata memiliki banyak kisah yang menarik dan tak terduga.

Muhidin M Dahlan dan Diana AV Sasa, adalah sedikit diantara para penggila buku yang mau berjerih lelah mencari kisah-kisah luar biasa dibalik buku. Muhidin yang kerap disapa Gus Muh adalah novelis, essais, kerani i:boekoe (Indonsia buku) yang hingga kini telah memiliki 3000-an buku di kamarnya. Sedangkan Diana AV Sasa adalah, aktivis buku yang juga kerap menulis essai tentang dunia buku di Koran Jawa Pos. Duo penggila buku inilah yang akhirnya memproklamirkan kegilaannya akan buku dengan membuat 100 catatan di balik buku dan membukukannya ke dalam sebuah buku dengan cover bersampul tebal yang kokoh dan menarik.

Selama kurang lebih tujuh bulan, dengan modal beberapa catatan yang sudah pernah mereka buat baik untuk konsumsi dunia cyber maupun media cetak, akhirnya mereka berhasil mengumpulkan dan menulis 98 catatan tentang dunia buku, dan 2 catatan tentang profil mereka masing-masing. Ke 100 catatan itu dibaginya dalam delapan bagian besar yaitu : Kisah Buku, Klub Buku, Musuh Buku, Guru Buku, Revolusi Buku, Film Buku, Rumah Buku, dan Tokoh Buku.

Dari delapan bagian besar tersebut kita akan mengetahui bagaimana ternyata sejarah perbudakan Indonesia itu berawal dari skandal buku, lalu bagaimana di zaman demokrasi terpimpin politik menjadi panglima buku sehingga pameran-pameran buku di zaman itu dijadikan arena adu ideologi baik melalui buku-buku yang dipamerkan maupun melalui poster-poster yang terdapat di stand-stand yang tersedia. Kebalikan dari itu kita juga akan diajak mencermati bagaimana di tahun 2000 an tema syahwat begitu dominan dan menjadi salah satu pentas menarik dalam perbukuan di Indonesia.

Kecintaan seseorang akan membaca juga membuat para pembaca buku berusaha mencari komunitas-komunitas buku, maka lahirlah Klub-Klub Buku. Di kota Zurich, Switzerland, ada Klub Baca James Joyce yang setiap pekannya dengan tekun membaca dan mendiskusikan novel bantal ‘Ullyses’ kalimat perkalimat, selama 3 tahun!. Jika kita terkagum-kagum dengan kebesaran koleksi perpusatakaan Harvard, maka buku ini mengajak kita berkenalan dengan George Parker Winship, pendiri klub buku Harvard Fine Arts 5e. Ia mengajarkan bagaimana memiliki dan menghasilkan buku-buku bagus. Melatih kepekaan selera anggotanya untuk membeli buku dari sisi kelangkaan dan keindahannnya, menjadikan koleksi buku sebagai sebuah aktivitas berkelas sehingga akhirnya anggota klub ini dapat dengan cemerlang memahami latar belakang sejarah dan kondisi zaman ketika sebuah buku diterbitkan.

Di bagian Musuh Buku kita akan diajak melihat bagaimana kekuatan api dan tiran bahu membahu untuk menghancurkan buku yang tidak disukai oleh rezim tertentu dari zaman ke zaman, yang paling tua adalah perpustakaan Alexandria yang hancur lebur dimakan api pada 640 SM. Ada banyak versi kisah yang menyatakan siapa sebenarnya pembakar perpustakaan ini dan hingga kini masih diperdebatkan. Terlepas dari siapa pelakunya, peristiwa pembakaran Perpustakaan Alexandria adalah sebuah peristiwa penghilangan bukti sejarah terbesar yang pernah ada. Pembakaran buku oleh rezim tertentu tampaknya telah menjadi budaya bagi orang-orang yang ingin melanggengkan tirani. Mereka menganggap buku sebagai sebuah ancaman.

Membaca erat kaitannya dengan menulis buku, para pembaca akut biasanya memiliki keinginan untuk menulis buku sehingga namanya tertoreh di cover depan buku karyanya. Karenanya buku ini membahas beberapa buku yang berhubungan dengan proses membaca dan menulis , mulai dari karya klasik Arswendo, “Mengarang Itu Gampang” hingga buku-buku terbaru seperti Quantum Reading, Quantum Writing, Speed Reading, Chicken Soup for The Writer Soul, dan lain-lain yang semuanya mengetengahkan bagaiman membaca dan menulis adalah dua hal yang saling bersisian dan bisa dipelajari lewat berbagai buku sehingga siapapun bisa melakukannya.

Di bagian Revolusi Buku muncul beberapa tulisan menarik, antara lain bahasan bahwa di era cyber ini buku telah mengalami revolusi, kehadirannya tak hanya berupa teks yang dicetak diatas kertas, namun telah berevolusi menjadi serba elektrik, sehingga lahirlah audio book dan e-paper. Tak hanya bentuk buku yang berevolusi jalur-jalur pendistribusian buku pun ikut berubah, ada toko buku onlen, perpustakaan onlen, Print on Demand, dan lainnya. Jika buku berevolusi, penulis resensipun ikut berrevolusi, mereka kini tak hanya berlomba menulis agar dimuat di media cetak, kini para peresensi memiliki lahan baru untuk membagikan apa yang telah mereka baca secara jujur dan apa adanya, merekalah yang disebut dengan Bloger Buku.

Ternyata kisah dalam sebuah buku tak hanya dapat dibaca, banyak film-film yang menjadikan buku sebagai latar cerita. Buku ini mencatat dan memberikan resensi 7 buah film yang merupakan adaptasi dari sebuah buku, mulai dari Fahrenheti 451, Il Postino, Finding Forester, Quills hingga film Indonesia, Gie. Selain film buku penulis juga menyertakan 18 catatan mengenai Rumah Buku, yaitu perpustakaan. Berbagai kisah kelam tentang kondisi perpustakaan di Indonesia akan terungkap termasuk nasib perpustakaan di kampung halaman SBY yang dikenal sebagai presiden yang gemar sekali membaca.

Sebagai penutup buku ini mencatat pula tentang para penggila buku buku baik dari mancanegara maupun tokoh buku Indonesia. Bukan hanya tokoh-tokoh besar di dunia buku seperti Antonio Magliabechi yang hidup dan mati demi buku, atau konributor kamus Oxford, William Chester Minor yang ternyata seorang gila, namun ada juga kisah Blumberg, si bandit buku, dimana ia berhasil mencuri 23.600 buku dari 268 perpustakaan di 45 negara bagian, 2 propinsi di Kanada dan Colombia. Jika dinilai dengan uang, maka hal tersebut setara dengan $20 juta ! Lalu ada juga kisah Frank J. Hogan yang uangnya ludes karena terus membeli sejumlah buku. Karena hasratnya untuk membeli buku tak pernah reda ia rela berhutang ke bank demi memperoleh buku.

Sedangkan untuk penggila buku tanah air, kita akan diajak berkenalan dengan Bung Hatta, Harry Kunto, Oie Hiem whie, Taufik Rahzen, Kiswanti, Dauzan Farouk, Pramoedya AT, Omi Intan Naomi yang begitu mencintai dan mengerti akan arti sebuah buku dalam hidupnya. Mereka berdiam di balik buku itu menyimpan banayak rahasia besar akan cita-cita kebesaran sebuah bangsa.

Selain semua hal diatas, diantara rimbunan catatan dalam buku ini satu hal yang menarik bagi saya adalah munculnya ide-ide gila dari penulisnya untuk memajukan dunia buku tanah air, misalnya ide Kantor Pos sebagai jalur distribusi buku, TV Buku, Kapal Buku, dll. Tentunya hal ini bukan sekedar angan-angan karena penulis juga menyertakan argumennya bahwa semua itu sangat mungkin dilakukan.
D
emikianlah apa yang terdapat dalam buku ini, saking banyaknya catatan yang terdapat dalam buku ini, tampaknya bukan pada tempatnya saya untuk membahasnya satu persatu secara detail. Namun walau kedua penulisnya telah merawi 100 catatan mengenai dunia buku, masih saja ada yang luput dari pengamatan mereka misalnya tentang dunia resensi buku, majalah buku, dan buku-buku yang dilarang. Jika semua hal tersebut muncul akan semakin lengkaplah isi dari buku ini. Beberapa kesalahan data dan kesalahan cetak juga terdapat dalam buku ini, hal tersebut semakin meyakinkan saya bahwa buku-buku terbitan i:boekoe memang lemah dalam hal editing. Semoga ke depan hal ini bisa lebih dicermati.

Akhir kata dengan membaca buku yang ditulis dengan kalimat-kalimat yang renyah dan enak dibaca oleh dua orang penggila buku ini kita akan diajak melihat semua pernak-pernik dalam dunia buku, wawasan kita akan terbuka bahwa dunia di balik buku itu begitu luas dan kaya, buku menyimpan berbagai kisah menarik yang tak habis-habisnya untuk diceritakan.

Selain itu jika kita mencermatinya lebih dalam lagi ternyata apa yang terdapat dalam buku ini juga menyimpan catatan penting tentang dunia perbukuan tanah air sehingga buku ini sangat layak dikoleksi dan dimiliki oleh para praktisi dan pemerhati dunia buku Indonesia.

Buku yang dikemas dengan kokoh, bersampul tebal, desain cover yang menarik dan dicetak secara terbatas dengan system POD (Print on Demand) ini memang membuat buku ini menjadi relatif mahal. Perlu dua lembar uang bergambar Soekarno-Hatta agar bisa memiliki buku ini. Mengapa demikian mahal ? Tentunya penerbit memiliki alasan sendiri dalam hal ini. Yang pasti penjualan buku-buku terbitan I; boekoe (Indonesia Buku) rencananya akan disumbangkan untuk pembangunan sejumlah taman bacaan. Salah satu yang sudah terealisasi adalah tama bacaan di Pacitan yang akan dibuka pada bulan Juli nanti.

@h_tanzil

Tuesday 16 June 2009

The Missing Rose

Judul : Mawar yang Hilang
Judul Asli : The Missing Rose
Penulis : Serdar Ozkan
Penerjemah : Rosemary Kesauli
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Mei, 2009
Tebal : 221 hlm

Coba bayangkan, bagaimana jika tiba-tiba kita diberitahu oleh orang tua kita bahwa sesungguhnya kita memiliki saudara kembar yang saat ini keberadaannya tidak kita ketahui. Tentunya kita akan kaget setengah mati dan berusaha untuk bertemu dengan saudara kembar kita.

Hal inilah yang dialami oleh Diana, wanita muda mahasiswa hukum tingkat akhir yang cerdas dan cantik. Ia tinggal di kota Metropolitan, San Francisco bersama ibunya. Dalam hal materi ia tak pernah kekurangan, baginya popularitas adalah segalanya, karenanya ia melakukan segala cara agar ia memperoleh banyak teman, mendapat pujian, dan populer di lingkungan kampusnya.

Namun dibalik kesuksesan yang diraihnya, ada satu hal yang harus ia korbankan, yaitu cita-citanya untuk menjadi penulis. Menurut anggapan orang-orang di sekitarnya menjadi seorang pengacara tentunya lebih cepat terkenal dan popular dibanding menjadi seorang penulis. Hal inilah yang membuat dirinya menekan keinginannya. Kebutuhannya untuk mendapat popularitas dan pujian dari teman-temannya lebih diutamakan. Ia harus memenuhi keinginan teman-temannya agar bisa diterima diantara mereka, lambat laun ia merasa tak nyaman karena tak mampu menjadi dirinya sendiri.

Suatu saat ketika ibunya meninggal karena sakit, Diana membaca sebuah surat yang ditulis oleh ibunya untuk dirinya. Melalui surat itu barulah diketahui bahwa sebenarnya ia memiliki saudara kembar yang bernama Mary yang tinggal bersama ayahnya semenjak kedua orang tuanya bercerai ketika Diana masih berusia satu tahun. Dalam surat tersebut ibunya menulis bahwa Mary kini sedang dalam bahaya dan meminta Diana untuk menemukan dan menyelamatkannya.

Tak ada petunjuk apapun dalam mencari Mary selain surat-surat Mary yang ditujukan pada ibunya. Itupun bukan hal yang mudah karena semua surat yang dikirimkan Mary pada ibunya selalu tak menyertakan alamat si pengirim. Dalam surat-suratnya Mary hanya menceritakan kerinduannya untuk bertemu dengan ibunya dan perjalanannya ke sebuah taman mawar di Istanbul di mana dia belajar berbicara dengan mawar. Berbicara dengan mawar ? Apakah Mary sudah gila? Hal itulah yang membuat Diana khawatir, apalagi dalam sebuah suratnya terungkap keinginan Mary untuk melakukan bunuh diri.

Kekhawatirannya akan keselamatan saudara kembarnya, dan pesan terakhir dari ibunya membuat Diana bertekad mencari saudara kembarnya. Berbekal surat itu, Diana mencoba menapaktilasi perjalanan Mary hingga ke Istanbul, tempat Mary belajar berbicara dengan mawar. Perjalanannya ini kelak akan membawanya pada sebuah penemuan tak terduga yang juga akan membawanya pada penemuan jati dirinya yang selama ini hilang karena selalu melakukan apa yang diinginkan orang lain demi mengejar popularitasnya.

Perjalanan Diana mencari saudara kembarnya di atas adalah kisah yang terdapat dalam novel The Missing Rose karya penulis Turki, Serdar Ozkan. Walau merupakan novel perdananya, novel ini langsung menjadi novel best seller dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia.

The Missing Rose mendapat apresiasi yang baik dari pembacanya karena novel ini memang indah, menyentuh, dan menggugah kesadaran pembacanya akan pencarian jati diri. Jika kita membaca novel ini, kita akan melihat bahwa gaya berututur Ozkan hampir mirip dengan penulis novel inspiratif asal Brazil, Paulo Coelho.

Tak banyak tokoh yang muncul dalam novel ini, sehingga pembaca seolah diajak untuk lebih fokus pada kisah pencarian Diana untuk menemukan saudara kembarnya. Bagian yang paling menarik tentu saja ketika Diana sampai di Istanbul, dimana akhirnya ia menemukan Zeynep Hanim, wanita pemilik taman mawar yang pernah mengajari Mary berbicara pada mawar.

Betapa gembiranya Diana ketika diketahui bahwa kedatangannya ke Istanbul sangat tepat, karena Zaynep Hanim mengatakan bahwa ia telah menerima kabar dari Mary yang juga berencana mengunjungi taman mawar pada saat itu. Sambil menunggu kedatangan saudara kembarnya Diana pun melakukan hal yang sama yang pernah dilakukan Mary, ia belajar mendengar dan berbicara pada mawar.

Di bagian inilah pembaca akan dibawa pada dialog-dialog filosofis yang penuh dengan makna. Dengan dibimbing oleh Zeynep Hanim, Diana mencoba belajar dari mawar. Ia disadarkan bahwa apa yang dilakukannya untuk mengejar popularitas dan mendapat sanjungan dari orang lain membuat dirinya tidak bahagia karena tidak menjadi dirinya sendiri .

Diana kini mengerti bahwa menjadi dirinya sendiri adalah hal yang paling istimewa dan membahagiakan dalam hidup setiap orang. Sayangnya selama ini ia tidak memahami hal itu. Untuk meraih kebahagiaan ia selalu membutuhkan hal lain seperti perhatian, pujian, atau apa saja yang bisa membuat dirinya istimewa. Selama ini ia tidak bisa hidup jika tidak ada yang mengaguminya sehingga ia menjadi Diana dalam pandangan ‘yang lain’, sampai-sampai ia menekan impian terbesarnya untuk menjadi penulis agar cepat meraih popularitas dan disukai lingkungannya.

Demikian akhirnya kisah yang Diana dalam dalam novel ini memang pada akhirnya akan menggugah kesadaran kita, tanpa kita sadari mungkin perjalanan hidup dan cita-cita kita bukan lagi berdasarkan apa yang kita inginkan, melainkan apa yang dikatakan orang lain.

Adalah sesuatu yang normal dan manusiawi jika kita berharap untuk dikagumi dan diterima oleh orang-orang di sekeliling kita, namun janganlah hal itu menjadi obsesi yang membabi buta sehingga kita menjadi begitu khawatir kalau perilaku dan cita-cita kita membuat kita dijauhi oleh orang lain. Akibatnya kita menjalani kehidupan yang dipilih orang lain untuk kita, bukan kita yang memilih jalan hidup kita sendiri melainkan orang lain. Apakah ini normal?

Marilah kita mendengar apa kata mawar tentang dirinya :

Menjadi mawar berarti ‘merdeka’. Artinya keberadaanku tidak tergantung pujian Yang Lain dan aku juga tidak akan punah kalau mereka tidak menyukaiku. Jangan salah tangkap; aku juga menyukai orang banyak. Aku ingin mereka mengunjungiku dan menghirup wangiku. Tapi aku hanya menginginkan hal itu sayapa aku bisa membagikan keharumanku. (hal 167)

Tentang Penulis :

Serdar Ozkan

Serdar Ozkan adalah penulis muda asal Turki (34 thn) yang pernah mengenyam pendidikan di Marketing and Psychology at Lehigh University in Pennyslvania, Amerika Serikat. Setelah menyelesaikan studinya di Amerika ia pulang ke Turki dan melanjutkan studinya di Psychology at Istanbul's Bosphorous University.

Sejak Tahun 2002, ia memutuskan untuk menjadi seorang penulis, novel pertamanya The Missing Rose (2006) langsung menuai sukses dan mendapat apresiasi dari pembaca di berbagai negara. Novel tersebut kini telah diterjemahkan lebih dari 25 bahasa dunia. Dengan demikian Serdar Ozkan merupakan tiga novelis Turki dalam sejarah liturearut Turki yang karyanya paling banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia setelah Orhan Pamuk dan Yasar Kemal.

Beberapa pengamat berpendapat bahwa The Missing Rose adalah novel indah yang menyentuh dan mengispirasi pembacanya, dan merupakan kombinasi dari mistisme Sang Alkemis nya Paulo Coelho, novel liris Jonathan Livingston Seagull, dan keajaiban The Little Prince.

@h_tanzil

Wednesday 10 June 2009

Tanah Tabu

Judul : Tanah Tabu

Penulis : Anindita S. Thayf

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : Mei 2009

Tebal : 240 hlm



Tanah Tabu adalah novel karya penulis muda Anindita S Thyaf dimana novelnya ini merupakan satu-satunya pemenang lomba Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2008.

Awalnya mungkin ia tak menduga kalau novel yang tercipta tanpa disengaja ini dapat memenangkan lomba menulis Novel DKJ 2008. Menurut pengakuannya ide untuk menulis Tanah Tabu datang ketika ia hendak melakukan riset untuk menulis buku non fiksi anak tentang keindahan alam Papua. Alih-alih menemukan berbagai keindahan tanah Papua, ia malah banyak menemukan berbagai ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi di sana. Jiwanya terpanggil untuk menyuarakan ketidakadilan yang ia temui dalam risetnya. Atas dasar itulah maka Anindita berganti haluan dari menulis buku non fiksi tentang keindahan Papua ke sebuah novel yang sarat dengan kritik sosial dengan setting Papua.

Berdasarkan riset pustaka yang dilakukannya selama 2 tahun, ia dengan teliti mencoba mengenali sumber permasalahan rakyat Papua. Ia susun dan olah semua data yang ia peroleh menjadi sebuah cerita tentang perjalanan hidup sebuah keluarga . Ia hidupkan tokoh-tokohnya dengan karakter-karakter yang menarik, dan jadilah sebuah novel. Tanah Tabu dipilih menjadi nama novelnya karena ia beranggapan bahwa setiap tanah yang merupakan warisan leluhur pastilah ditabukan oleh turunannya yang berbakti. Ditabukan dalam arti dipergunakan sesuai manfaat dan kebutuhan, serta dijaga kelestariannya.

Novel ini mengisahkan kehidupan tiga generasi perempuan Papua yaitu: Mabel, Mace, dan Leksi. Mereka semua adalah satu keluarga penduduk asli Papua dari suku Dani, pewaris kekayaan alam Papua yang kaya namun ironisnya mereka hidup miskin dan menderita akibat terjarahnya tanah mereka oleh para pendatang yang dengan rakus mengeruk kekayaan alam Papua.

Walau ada beberapa tokoh utama dalam novel ini, kisah kehidupan Mabel merupakan kisah yang dominan dalam novel ini. Sewaktu masih kecil hingga beranjak dewasa Mabel diasuh oleh keluarga Belanda dan tinggal di Wamena, otomatis ia dibesarkan dan dididik dalam tradisi masyarakat barat. Namun ketika keluarga angkatnya harus pulang ke negeri asalnya, Mabel kemudian mengalami masa-masa kelam dalam hidupnya, dua kali pernikahannya mengalami kegagalan , ia juga pernah diculik dan mengalami siksaan hebat karena tuduhan bersekongkol dengan para pengacau keamanan. Semua pengalamannya inilah yang membuat Mabel kini menjelma menjadi sosok yang mandiri, tegar, pemberani, cerdas, dan memiliki wawasan dan cara berpikir yang modern dibanding para wanita Papua

Dalam kesehariannya Mabel menjual sayur di pasar dan tinggal bersama Mace selaku menantunya dan Leksi, cucunya yang masih berusia 7 tahun yang hingga usianya kini belum pernah bertemu dengan ayah kandungnya yang meninggalkan Mace sebelum Leksi lahir. Lalu ada pula tokoh Pum sahabat setia Mabel, dan Kwe yang setia menemani dan menjaga Leksi kemanapun Leksi pergi. Selain itu ada pula tokoh-tokoh tambahan lain seperti keluarga Mama Helda dan anaknya Yosi yang saban hari harus menghadapi kemarahan ayahnya yang pemabuk.

Melalui novel ini terlihat dengan jelas bahwa penulis ingin mengungkap berbagai ketimpangan yang terjadi di tanah Papua. Novel ini dengan gamblang menyuarakan berbagai kenyataan pahit yang dialami penduduk Papua, terlebih ketika orang-orang asing mulai berdatangan ke kampung mereka. Mereka memang datang membawa perubahan dan modernisasi, namun dua hal itu ternyata tak dirasakan manfaaatnya bagi kehidupan penduduk asli Papua. Di tengah tempat yang justru terus menerus dipoles menjadi semakin modern dan indah, masyarakat Papua justru tetap menderita, miskin, terkena penyakit, dan bencana, salah satunya dikarenakan sungai yang tercemar akibat limbah dari pabrik tambang emas yang berdiri megah ditengah-tengah mereka.

“Perusahaan di ujung jalan itu hanya setia pada emas kita. Tidak peduli apakah tanah air, dan orang-orang kita jadi rusak karenanya, yang penting semua emas punya mereka. Mereka jadi kaya, kita ditinggal miskin. Miskan di tanah sendiri!” (hal 134)

“..kau mungkin tidak akan percaya kalau kubilang hutan ini sekarang tidak lagi menghasilkan sagu, sedangkan sungainya dipenuhi kotoran perusahaan itu. “ (hal 135)

Selain membongkar berbagai ketimpangan sosial yang terjadi di Papua, novel ini juga berbicara mengenai budaya patriakhi suku Dani yang amat merugikan bagi kaum perempuan. Lelaki adalah penguasa, sedangkan para wanita Papua dianggap sebagai mahluk yang lemah sehingga patut dilindungi dari serangan musuh, tetapi tidak dari penindasan keluarga sendiri. Hal ini terlihat jelas pada semua tokoh wanita dalam novel ini. Mabel, Mace, dan Mama Helda, mengalami nasib yang sama, mereka mengalami penderitaan fisik dan mental akibat perlakuan para suaminya tanpa bisa melawan. Hanya Mabel yang berhasil lepas dari belenggu nasibnya, dan ia yakin bahwa akar permasalahannya adalah karena jerat kebodohan yang menimpa perempuan Papua sehingga mereka terbelenggu oleh takdirnya yang hidup hanya untuk keluarga, suami, kebun, dan babi.

“Sejak dulu hingga sekarang nasib perempuan tidak berubah. Mereka terlalu bodoh untuk melawan, dan terlalu takut untuk bersuara. Ya, jadilah seperti itu. Tertindas di bawah kaki suaminya sendiri. Seumur hidup menjadi budak, hingga kematian memisahkan mereka”. (hal 170)

Melalui tokoh Mabel-lah suara perempuan Papua yang sebelumnya hanya berbisik dan nyaris membisu kini menjadi lantang terdengar. Mabel dengan berani melawan takdir perempuan sukunya dan menggugat berbagai ketimpangan yang terjadi di kampungnya. Mabel yakin bahwa satu hal yang dapat merubah takdir mereka adalah melalui perjuangan melawan kebodohan. Keyakinannya ini ditularkannya pada Mace selaku menantunya, karenanya betapapun sulitnya kehidupan mereka, Mabel dan Mace bahu membahu mencari uang agar Leksi bisa terus sekolah agar terlepas dari belenggu kebodohan yang menimpa para wanita Papua.

Usaha Mabel berjuang melawan kebodohan kaumnya dan menggugat ketidakadilan yang dialami sukunya tak berhenti hanya untuk keluarganya saja. Ia lebarkan medan perjuangannya ke lingkungan sekitarnya. Sayangnya langkahnya terhenti juga ketika akhirnya Mabel tertangkap dan dibelenggu oleh pihak-pihak yang tak menyukai sepak terjangnya.

Walau sarat dengan pesan kriktik sosial, dan memiliki tema yang kompleks namun novel ini tak terkesan seperti menggurui atau mengkotbahi pembacanya. Anindita melebur berbagai pesan sosial yang hendak disampaikannya itu ke dalam kisah kehidupan para tokohnya sehingga berbagai pesan moral yang hendak disampaikan penulis dengan halus menyelusup ke dalam alam bawah sadar pembacanya. Cara bertuturnya juga sangat baik sehingga novel ini enak dibaca dan memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi, selain itu penulis juga menyertakan beberapa kalimat inspiratif yang menggugah kesadaran pembacanya akan banyak hal.

Selain ceritanya yang menarik, novel ini juga dituturkan dengan cara yang unik. Kisah Mabel dan beberapa tokoh lain dalam novel ini dituturkan oleh beberapa narrator secara bergantian menurut sudut pandangnya masing-masing . Uniknya tak hanya manusia yang menjadi narrator, melainkan seekor babi dan anjingpun tak ketinggalan untuk ikut menjadi naratornya. Hal ini tentu mengingatkan kita pada novel My Name is Red karya Orhan Pamuk dimana seekor anjing menjadi naratornya.

Namun dalam hal ini, apa yang dilakukan Anindita lebih berani daripada Pamuk, karena dalam novel ini porsi binatang sebagai narrator lebih dominan dan lebih berperan dibanding My Name is Red-nya Pamuk. Yang juga menarik dan yang membedakannya dengan Pamuk adalah kemampuan penulisnya yang dengan rapi menyamarkan jati diri kedua binatang itu sehingga sebagian pembaca akan tersentak kaget ketika mengetahui bahwa beberapa narrator dalam novel ini adalah seekor binatang.

Kisah yang menarik, gaya berutur yang, unik, memikat, kompleksnya tema yang diangkat (social, politik, feminisme, kapitalisme, militerisme,dll) dengan seting di provinsi paling ujung Indonesia yang jarang ditulis oleh penulis-penulis lokal kita tampaknya ‘mencuri’ perhatian para juri novel DKJ sehingga menobatkan novel ini menjadi juaranya.

Sayangnya dalam novel ini penulis tampaknya terlalu memberikan persepsi negatif terhadap kaum pria suku Dani. Tak ada tokoh pria baik dalam novel ini kecuali ayah angkat Mabel itupun karena ayah angkatnya seorang Belanda. Semua pria Papua digambarkan dengan begitu buruk, suka memukul, pemabuk, tak menghargai wanita, licik, bahkan seorang anak laki-laki (Karel), teman Leksi pun digambarkan sebagai anak yang sombong. Apakah memang semua pria Papua demikian?.

Novel ini juga kurang mengeksplorasi budaya Papua, padahal ada banyak hal sisi budaya lokal yang bisa diangkat, misalnya tarian perang suku Dani atau pesta babi yang menjadi bagian dari kehidupan mereka. Jika saja muatan budaya lokal ini bisa dimasukkan menjadi sebuah unsur cerita dalam kisah Mabel, tentunya novel ini akan semakin lengkap sehingga pembaca tak hanya mengetahui berbagai ketimpangan yang terjadi di Papua melainkan mendapat bonus tambahan berupa budaya lokal yang unik dan tentunya sarat dengan makna kearifan lokal.

Namun terlepas dari kelebihan dan kekurangan novel ini, apapun yang telah ditulis oleh Anindita dalam karyanya kali ini semakin membuktikan, bahwa karya sastra tak hanya memberikan hiburan sastrawi kepada pembacanya. Namun, sastra juga dapat menjadi alat kontrol yang dapat menyelusup di celah-celah yang memungkinkan dirinya dapat menyampaikan pemberontakan terhadap berbagai ketimpangan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

Selain itu seperti yang pernah dikatakan oleh alm. Pramoedya Ananta Toer, “Pengarang itu korps avant garde, bukan penghibur... tugasnya melawan kejahatan dalam tulisan-tulisannya!”. Dan Anindita dalam novelnya kali ini telah menunaikan tugasnya, bukan hanya sebagai penghibur melainkan sebagai penulis yang melawan diskriminasi dan kejahatan terhadap keadilan dan kemanusiaan.

@h_tanzil





Tuesday 2 June 2009

Lelaki Tua dan Laut

Judul : Lelaki Tua dan Laut

Penulis : Ernest Hemingway

Penerjemah : Yuni Krsitianingsih P

Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta

Cetakan : I, Mei 2009

Tebal : 145 hal



Santiago, seorang lelaki tua penangkap ikan di arus teluk Meksiko sudah delapan puluh empat hari melaut namun sialnya selama itu ia tidak berhasil menangkap seekor ikanpun. Awalnya ia ditemani oleh seorang anak laki-laki bernama Manolin. Tetapi setelah empat puluh hari berlalu tanpa seekorpun ikan yang berhasil ditangkap, orang tua anak laki-laki itupun menyuruhnya untuk ikut pada perahu lain.



Walau tak ada yang menemaninya, lelaki tua itu tetap pergi melaut seorang diri, ia percaya bahwa di hari ke delapan puluh lima ia akan mendapatkan keberuntungan. Setelah dengan sabar menunggu, akhirnya keberuntungan itu memang datang, umpannya dimakan juga oleh seekor ikan marlin yang besar. Namun ikan itu tak menyerah begitu saja, alih-alih terseret oleh kail, ikan itu menyeret perahu yang ditumpangi lelaki tua sambil berputar-putar di sekeliling perahunya. Tak ada kata menyerah dalam kamus hidupnya, dengan sisa-sisa kekuatan yang dimilikinya dan kesabaran yang luar biasa ia menunggu ikan itu menyerah, naik ke permukaan sehingga ia dapat membunuhnya.



Kesabaran dan keuletannya harus dibayar dengan tangannya yang terluka dan kram karena harus terus menerus memegang tali pancing dan menahannya dengan punggungnya. Setelah berhari-hari menunggu akhirnya ikan itu menyerah dan menyembul ke permukaan , seketika itu juga ditengah kelelahannya lelaki tua itu berhasil mengait ikan besar itu ke pinggir perahu dan membunuhnya dengan besi tajam. Saking besarnya ikan tangkapannya yang panjangnya melebihi melebihi perahunya, lelaki tua itu membiarkan ikan itu tetap berada di air dengan mengikatkannya di sekitar perahunya sambil berlayar menuju pantai.



Sayangnya eforia keberhasilan si lelaki tua setelah berhasil menangkap ikan marlin besar hanyalah sesaat. Tak lama kemudian ikan itu menjadi incaran hiu-hiu yang terus berdatangan untuk menggerogotinya. Kini si lelaki tua kembali harus berjuang untuk membunuh dan mengusir ikan-ikan hiu itu guna menyelamatkan ikan tangkapannya yang telah ia peroleh dengan susah payah dan belum tentu semua orang yang seusianya dapat melakukannya.

Kisah diatas adalah sebuah novella terkenal karya penulis Amerika, Ernest Hemingway yang diberi judul The Old Man and The Sea. Karya ini telah menjadi salah satu karya klasik yang akan terus dibaca dan dimaknai karena pesan yang hendak disampaikannya adalah pesan yang universal yang tak akan hilang tergerus oleh perubahan zaman. The Old Man an the Sea adalah kisah mengenai persahaban dan pelajaran kehidupan yang dramatik dan inpirasional, kisah lelaki tua yang bersahaja yang mengajarkan kita akan kesabaharan, kekuatan hati, serta semangat yang tak pernah menyerah oleh keadaan.

Nilai persahabatan dalam novella ini terdiskripsi antara tokoh si lelaki tua dan ‘murid’ nya, seorang anak lelaki yang bernama Manolin. Walau kisah antara lelaki tua dan Manolin hanya muncul di awal dan di akhir kisah, namun aroma persahabatan akan terasa begitu lekat antara keduanya. Walau Manolin dilarang oleh kedua orang tuanya untuk berlayar karena reputasi Santiago yang buruk dalam hal menangkap ikan, Manolin tak lantas meniggalkan dan meremehkannya. Ia tetap melayani ‘guru’nya dan menyediakan semua keperluannya sebelum dan setelah si lelaki tua berlayar seorang diri.

Keteguhan dan semangat yang pantang menyerah dalam diri Santiago tergambar dengan jelas dalam novella ini. Sekalipun telah 84 hari berlayar dan tak mendapat seekorpun ikan sehingga dijuluki ‘salao’ yang artinya tersial dari yang sial, Santiago tak menyerah atau putus asa. Ia yakin bahwa masih ada keberuntungan yang akan ia peroleh di hari ke 85. Keyakinannya itu diwujudkan dengan berlayar seorang diri, padahal untuk ukuran lelaki setua dia pergi melaut sendiri tanpa ditemani seseorang yang lebih muda dan kuat adalah hal yang sangat berbahaya.

Sifat-sifat heroisme Santiago dan semangat yang tak pernah menyerah terlihat jelas ketika Hemingway mengisahkan dengan detail bagaimana si lelaki tua harus berjuang seorang diri untuk menaklukkan ikan tangkapannya dan juga usaha luar biasanya ketika ia menghalau hiu-hiu yang hendak menggerogoti ikan tangkapannya.

Kisah Santiago, si lelaki tua ini memang sangat-sangat menarik. Hemingway tampaknya berhasil menggambarkan kisah perjuangan si lelaki tua dengan begitu hidup, detail dan dramatis. Pegalaman Hemingway yang juga gemar memancing di laut dan ketrampilan menulisnya yang terasah saat menjadi jurnalis tampaknya turut memberi andil dalam menghidupkan karyanya ini dengan memberikan gambaran secara detail saat si lelaki tua berjuang untuk menaklukkan tangkapannya.

Karya ini juga muncul di saat yang tepat dimana ketika itu masyarakat dunia khususnya Amerika tengah dilanda pesimisme, kegetiran, putus asa, dan ketakutan sebagai akibat dari Perang Dunia II, karenanya kisah Santiago yang hadir dalam sosok yang optimis dan pantang menyerah terhadap tantangan dan keadaan yang dihadapinya ini menginspirasi pembacanya untuk bangkit dari kegetiran dan keputusasaan.

Hal itulah yang turut membeli andil kesuksesan novella ini yang dalamw aktu singkat segera merebut hati pembacanya. Ketika kisah ini pertama kali muncul dalam majalah Life edisi I September 1952, hanya dalam dua hari saja 5.3 juta ekslempar majalah ini ludes terjual. Pada 8 Setember 1952 novella ini diterbitkan dalam bentuk buku oleh pernerbit Charles Scribner’s Sons. Dan karya ini merupakan karya fiksi terakhir yang dihasilkan Hemingway dan diterbitkan sewaktu ia masih hidup.

The Old Man and The Sea memang merupakan mahakarya dari Hemingway yang paling banyak mendapat apresiasi positif dari pembacanya di berbagai Negara, hal ini terbukti dengan diterjemahkannya karya ini ke dalam berbagai bahasa dunia. Berbagai penghargaan telah diraih novella ini, antara lain sebagai pemenang Pulitzer Prize tahun 1953 untuk kategori fiksi. Pada tahun yang sama karya ini juga memperoleh Award of Merit Medal for Novel dari American Academy of Letters. Dan puncaknya adalah karya ini juga yang mengantar Ernest Hemingway untuk memperoleh perhargaan Nobel Sastra 1954 untuk keahlian luar biasanya pada seni narasi, yang terakhir didemonstrasikan dalam The Old Man and The Sea, dan untuk pengaruh yang telah dihasilkannya atas gaya kontemporer.

Di Indonesia karya ini telah tiga kali diterjemahkan, pertama kali oleh sastrawan senior Sapardi Djoko Damano yang bukunya diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1973. Pada April 2008 penerbit asal Surabaya Selasar Publishing menerbitkan terjemahan The Old Man and The Sea. Kemudian pada Mei 2009 ini karya ini kembali diterjemahkan dan diterbitkan oleh Penerbit Serambi. Bagaimana mungkin copyright untuk novel yang belum habis masa right-nya ini bisa diterbitkan oleh tiga penerbit yang berbeda ?

Berdasarkan informasi yang saya tanyakan langsung pada Penerbit Serambi, dengan tegas Serambi menyatakan bahwa right untuk terjemahan novella ini saat ini dipegang oleh Serambi karena hak right yang sebelumnya diperoleh Pustaka Jaya telah lama habis dan tidak diperpanjang lagi. Lalu bagaimana dengan Selasar Publishing yang akhir-akhir ini rajin menerbitkan karya-karya Hemingway? Silahkan pembaca menyimpulkannya sendiri.

Lalu bagaimana kualitas terjemahan dari ketiga penerbit di atas? Karena saya baru membaca terjemahan Sapardi DD (Pustaka Jaya) dan Yuni Kristianingsih (Serambi) saya rasa kedua-duanya sama baiknya, hanya saja karena ada perbedaan waktu terjemahan lebih dari 30 tahun, maka terjemahan Yuni tampak lebih segar karena menggunakan frasa-frasa yang umum digunakan saat ini.

Satu hal yang menarik di edisi Serambi adalah tampilan covernya yang menggunakan karikatur yang menarik dan lebih berwarna dibanding dua penerbit terdahulu (Pustaka Jaya dan Selasar). Selain itu di edisi Serambi juga menyajikan beberapa buah foto Hemingway dalam berbagai pose yang menarik, antara lain ketika ia bersalaman dengan pemimpin Cuba yang juga sahabatnya, Fidel Castro, dan pose saat ia bersanding dengan ikan marlin tangkapannya.

@h_tanzil

 
ans!!