Monday 29 May 2006

Sarjana koq Nanggur ?


Judul : Sarjana Koq Nanggur ?
(Rahasia Lulus Cepat dan Cepat Kerja)
Penulis : Hasan Tirta Pulung
Penerbit : Pustaka Sembada
Cetakan : I, April 2006
Tebal : 80 hlm ; 12x18 cm


Menganggur adalah hal yang paling tidak diharapkan bagi para mahasiswa yang baru saja menyelesaikan kuliahnya. Berlomba-lomba para sarjana berusaha memperoleh pekerjaan yang layak, tak jarang ada juga yang bekerja seadanya asal predikat pengangguran tak melekat pada dirinya. Yang beruntung bisa langsung bekerja sesuai dengan ilmunya, namun ada pula yang tak beruntung dan harus menganggur setelah mereka lulus dari kuliahnya. Tragisnya sarjana yang menganggur ini semakin lama semakin meningkat jumlahnya. Mengapa banyak sarjana menganggur ? Bukankah mereka telah dipersiapkan untuk menjadi ilmuwan-ilmuwan yang siap pakai untuk diterjunkan kedalam berbagai jenis pekerjaan sesuai dengan bidang mereka? Bukankah deretan iklan lowongan pekerjaan selalu dengan mudah kita temui di media-media cetak ?

Berbagai jawaban atas pertanyaan tersebut kerap menyalahkan sistem pendidikan di negeri ini yang dianggap salah dan perlu diperbaharui. Jika sistem yang salah, apa yang dapat kita lakukan ? Kita bukanlah pengambil kebijaksanaan dan sangat sulit merubah sistem pendidikan yang sudah baku. Alih-alih menyalahkan sistem yang salah tanpa bisa melakukan apapun, buku kecil ini mencoba mengajak pembacanya untuk berpikir realistis dengan cara mengubah diri sendiri tanpa harus menyalahkan sistem dan menyerah begitu saja pada keadaan yang tidak bisa kita ubah.

Buku ini terdiri dari 3 bagian besar yang terdiri dari 9 bab. Bagian pertama : Seputar Pengangguran yang terdiri dari 4 bab mengurai bagaimana pengangguran adalah hantu bagi semua orang, khususnya para sarjana. Pada bab ini penulis menyajikan angka-angka dari media massa yang menyatakan semakin tingginya tingkat pengangguran dan tak sedikit sarjana yang ikut menyumbang jumlah angka pengangguran tersebut.

Selanjutnya dibahas mengapa banyak sarjana menganggur. Penulis menguraikan beberapa penyebabnya antara lain, salah memilih jurusan, berlama-lama di kampus / mahasiswa abadi, terganjal Indeks Prestasi, dan tidak mau mencari kerja dibidang diluar disiplin keilmuannya. Di bab ini pembaca akan menyadari bahwa penyebab sarjana menganggur adalah sebenarnya berasal dari diri sendiri.

Bagian Pertama buku ini juga membahas secara tersendiri masalah PNS yang selama ini dianggap sebagai solusi agar seseorang tidak menganggur serta memiliki masa depan yang terjamin, padahal setelah dicermati mendaftar sebagai PNS yang prosedural dan tidak mudah itu bukanlah solusi terbaik untuk menghindari diri dari pengangguran.

Di Bagian Kedua : Rahasia Lulus Cepat, buku ini antara lain menyajikan beberapa tips agar lulus cepat, antara lain menyiasati salah jurusan saat kuliah, trik agar tidak berlama-lama di kampus dan trik meraih Indeks Prestasi (IP) yang "Layak Jual" dimata perusahaan yang mencari tenaga kerja. Dalam menyiasati salah jurusan, penulis mengungkapkan bahwa salah memilih jurusan bukanlah akhir dari segalanya, hal ini bisa disiasati dengan berusaha mengincar mata kuliah mana yang bisa dikembangkan dan memberi peluang pada masa depan. Selain itu bisa juga dengan mengembangkan hobi dengan mengikuti unit kegiatan mahasiswa seperti kesenian, olah raga, dll.

Dalam menyiasati agar tidak berlama-lama di kampus, penulis menyarankan agar mengambil cara yang paling umum dan mudah yaitu mengambil semester pendek. Jika tidak menyediakan fasilitas semester pendek, penulis menyarankan agar meraih nilai C minimal untuk setiap mata kuliah..

Di bagian ketiga : Seputar Lowongan Kerja yang merupakan bagian akhir dari buku ini diungkap bagaimana mencari sumber lowongan, memilih iklan lowongan pekerjaan dan bagaimana cara mengirim surat lamaran.

Secara keseluruhan buku menarik untuk disimak bagi para sarjana dan calon sarjana atau bagi para orang tua yang memiliki anak yang sedang kuliah, tips-tipsnya praktis dan berdasarkan pengalaman penulisnya sehingga sudah teruji dan mudah diterapkan. Tidak ada kalimat-kalimat yang bertele-tele dalam buku ini, semuanya tersaji dengan singkat dan padat karena tampaknya tips-tips dan uraian pemikiran penulis dalam buku ini tersaji untuk segera diterapkan oleh pembacanya.

Kritik untuk buku ini mungkin hanya pada pengemasannya, buku ini dikemas dengan sangat sederhana , cover hitam putih dan ilustrasi dan tipografi judul yang seadanya mungkin membuat buku ini tidak ‘eye catching’. Namun mungkin karena buku ini diterbitkan secara swadaya (penerbit ‘indie’) dan kesederhanaan pengemasannya dimaksudkan untuk menekan ongkos produksi buku agar terjangkau oleh kantong mahasiswa kehadiran buku ini patut diberikan apresiasi yang positif

Terlepas dari masalah cover yang tidak menarik, buku ini sangat layak dibaca oleh para maasiswa dan bukan berlebihan rasanya jika para calon sarjana sebaiknya membaca buku kecil ini karena buku ini ditulis secara khusus untuk membuka cara berpikir sekaligus memberikan cara-cara praktis agar para calon sarjana cepat lulus dan segera memperoleh pekerjaan.

@h_tanzil

Monday 22 May 2006

To Kill A Mockingbird


Judul : To Kill A Mockingbird
Penulis : Harper Lee
Penerjemah : Femmy Syahrani
Penyunting : Berliani Mantili Nugrahani
Penerbit : Qanita
Cetakan : I, Maret 2006
Tebal : ix + 568 hlm

Manusia sangat mudah berprasangka terhadap sesamanya. Cap buruk yang terlanjur melekat pada pribadi atau sekelompok masyarakat akan terus mereka bawa seumur hidup mereka. Meskipun banyak hal positif yang telah mereka lakukan, namun prasangka buruk dari orang lain akan tetap membuat mereka dianggap sebagai pribadi atau kelompok yang buruk dan layak disingkirkan.

Novel klasik karya Harper Lee ini mengisahkan bagaimana prasangka umum yang buruk terhadap pribadi ataupun kelompok masyarakat tertentu tidaklah seutuhnya benar. Bahkan, dari yang dianggap buruklah justru nilai-nilai kemanusiaan dan kasih sayang sejati tumbuh.

Novel ini menceritakan penggalan kehidupan masa kanak-kanak dua kakak beradik tak beribu, Jem dan Scout. Seting ceritanya berkisar di Maycomb County, Alabama, pada tahun 1930-an. Maycomb County adalah sebuah kota kecil tempat hampir semua penduduknya saling mengenal. Di kota inilah Jem dan Scout tinggal besama ayah mereka, Atticus Finch, seorang pengacara di Maycomb County, dan seorang pembantu kulit hitam mereka, Calpurnia.

Scout, seorang anak perempuan tomboi berumur 8 tahun, adalah penutur dalam kisah ini; seluruh cerita dilihat dan diutarakan menurut sudut pandangnya. Bab-bab awal novel ini mengisahkan bagaimana Jem, Scout, dan sahabat mereka, Dill, mencoba mengusik Boo Radley, tetangga aneh mereka yang hampir tidak pernah keluar rumah. Seluruh penduduk Maycomb menganggap Boo Radley adalah sosok misterius; berbagai desas-desus buruk dan mengerikan beredar menyelimuti Boo sehingga rumah dan pekarangan Boo menjadi bagian yang paling mengerikan bagi anak-anak. Setiap kali mereka melewati pekarangan keluarga Radley, mereka harus berlari atau jalan memutar karena takut bertemu dengan Boo.

Namun bagi Dill, kemisteriusan Boo justru menjadi permainan yang mengasyikan. Dia, bersama-sama dengan Jem dan Scout, menciptakan semacam permainan untuk mengolok-olok keluarga Radley, mulai dari menciptakan drama yang mereka karang sendiri, hingga tantangan untuk mengusik Boo dengan menyentuh pintu rumah Radley, yang konon siapa pun yang berani menyentuhnya akan celaka.

Keceriaan Jem dan Scout terusik ketika ayah mereka menjadi pembela seorang pemuda kulit hitam, Tom Robbinson, yang dituduh memerkosa gadis kulit putih bernama Mayella Ewell. Bagi masyarakat Maycomb, warga kulit hitam adalah warga kelas dua yang dianggap sampah masyarakat dan selalu mendapat prasangka buruk sebagai kaum kulit berwarna yang selalu membuat masalah. Kecaman datang pada keluarga Finch dari seluruh penjuru kota. Scout dan Jem pun tak luput dari ejekan teman-temannya yang mengatakan ayah mereka adalah pecinta ‘nigger’. Tak hanya dari lingkungan sekitarnya, Atticus pun mendapat tantangan dari kakaknya sendiri, Alexandra, yang saat itu tinggal bersama mereka.

Walau mendapat banyak kecaman dan tantangan, Atticus tetap melaju. Sebagai pengacara Tom Robinson, dengan bijak Atticus menasihati Jem dan Scout bahwa mereka tak perlu merasa malu karena dirinya membela seorang pemuda kulit hitam, malahan ia menyarankan agar Jem dan Scout tetap berjalan dengan ‘menegakkan kepala" mereka dan tidak membalas dengan kekerasan jika mereka menerima cemoohan lagi.

Pengadilan kasus ini mendapat perhatian yang besar dari peduduk kota Maycomb, tak ketinggalan Jem dan Scout ikut menghadirinya. Atticus dengan piawai mengemukakan berbagai fakta, yang sebenarnya tak dapat disangkal, bahwa kliennya tidak bersalah, namun seorang negro tetaplah sampah bagi masyarakat Maycomb; prasangka buruk terhadap kaum negro tak dapat dipatahkan oleh sejumlah fakta. Dari sinilah si kecil Scout yang menyaksikan secara langsung proses pengadilan itu melihat bahwa kehidupan tak melulu hitam dan putih. Bahwa prasangka seringkali membutakan manusia sehingga keadilan tidak bisa ditegakkan dengan sempurna.

Karakter-karakter menawan diciptakan Harper Lee dalam novel ini. Tokoh Scout yang tomboi dan polos menjadi menarik karena dari sudut pandangnyalah seluruh kisah dalam novel ini dibangun. Kepolosan dan keberanian Scout bahkan mampu menyelamatkan nyawa ayahnya dari sekawanan penyerang yang ingin menggagalkan usaha Atticus menjadi pembela Tom Robinson.

Jem Finch digambarkan sebagai figur seorang kakak yang beranjak dewasa dan berusaha menjadi seperti ayahnya. Sementara figur Atticus Finch digambarkan sebagai seorang ayah yang tegas, bijak, dan berpegang teguh pada kebenaran. Ketika Jem memiliki peluang untuk menjadi tersangka karena kasus terbunuhnya Bob Ewell, Atticus tanpa ragu menyatakan bahwa anaknya memiliki kemungkinan bersalah. Namun, dibalik keteguhan dan kekerasan padangannya itu Atticus adalah figur ayah yang sangat menyayangi dan melindungi anak-anaknya dan tak ragu untuk memberi belaian kasih sayang ketika mereka memerlukannya.

Tokoh-tokoh lain yang tak kurang signifikan dalam novel ini adalah Tom Robinson, seorang pemuda negro yang harus menjadi tersangka dalam kasus penganiayaan, Boo Radley tokoh misterius yang akan memberikan pelajaran kepada pembacanya mengenai buruknya sebuah prasangka, dan masih banyak lagi tokoh lain dan kisah menarik yang dialami Scout dan Jem dalam novel ini. Awalnya, pembaca mungkin akan dibingungkan dengan banyaknya tokoh dan kisah yang tersaji dalam novel ini, namun pembaca yang cermat akan segera memahami bahwa kehadiran para tokoh dan ragamnya kisah yang dialami Scout dan Jem bukanlah hal yang sia-sia dimunculkan.


Tampaknya Harper Lee sengaja menghidupkan banyak tokoh dalam novel ini untuk menggiring pembacanya menyelami berbagai karakter manusia dan mengajak pembaca memahami bagaimana Scout dan Jem menyerap nilai-nilai kehidupan dari lingkungan sekitarnya dalam proses pendewasaan mereka.

Novel yang berbicara mengenai prasangka dan kasih sayang ini kini bisa dinikmati oleh pembaca tanah air. Walau tema yang diusung sesungguhnya berat, namun karena disampaikan dengan ringan dan diceritakan dari sudut pandang seorang anak kecil, ditambah dengan terjemahan yang lancar dan baik, membuat novel ini memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi. Walau buku ini baru diterjemahkan setelah 45 tahun sejak buku aslinya diterbitkan, namun sebenarnya tak ada kata terlambat bagi publik buku tanah air untuk mengapresiasi kehadiran novel yang sarat pesan moral ini.

Novel perdana dan satu-satunya dari Harper Lee ini pertama kali ditulis pada 1960 dan langsung menjadi best seller. Pada tahun 1961, novel ini memperoleh penghargaan Pulitzer Prize. Hingga kini, novel ini terus memperoleh apresiasi yang baik dari masyarakat dunia, salah satunya lembaga Library Journal di Amerika, yang dalam poolingnya pada tahun 1999 memilih novel ini sebagai "Novel terbaik Abad ini". Predikat ini rasanya tak berlebihan, novel ini sarat dengan pesan moral namun tersaji dengan menarik sehingga pembaca tidak merasa seperti digurui, selain itu tema yang diangkat masih relevan hingga kini, khususnya bagi masyarakat Indonesia yang kini kerap berprasangka buruk terhadap kelompok-kelompok tertentu yang tak sepaham dengannya dan tak jarang diekspresikan dalam tindakan main hakim sendiri yang semena-mena dan anarkis.

@h_tanzil

Tuesday 16 May 2006

Fight Club


Judul : Fight Club
Penulis : Chuck Palahniuk
Penerjemah : Budi Warsito
Editor : Kurniasih
Penerbit : Jalasutra
Cetakan : 2006
Tebal : x + 285 hlm


Fight Club adalah novel ganjil yang memikat. Novel ini mengisahkan tentang tokoh naratornya “Aku”, seorang pemuda biasa yang sehari-harinya bekerja sebagai pengawas kelengkapan produk. Hal ini menyebabkan dirinya harus bepergian keberbagai negara melintasi zona waktu. Selain dirinya bosan dengan kejenuhan rutinitas kerjanya, dan akibat dari seringnya bepergian melintasi zona waktu, ia menderita insomnia akut. Dokternya menyarankan untuk bergabung dalam support group atau kelompok sharing untuk orang-orang yang mengalami masalah dengan kesehatannya. Maka “Aku” pun mengikuti berbagai macam supprot group mulai dari kanker testis, TBC, kanker otak, dll. Ia pun harus berbohong dengan seolah-olah menjadi salah satu penderita dari berbagai supprot group yang ia ikuti. Nama dirinya pun berganti-ganti tiap ia mengikuti supprot group yang berbeda.


Dalam sebuah penerbangan, ‘Aku’ bertemu dengan sosok Tyler Durden yang menyarankan agar tak hidup dalam kebohongan dan menganjurkan untuk mengikuti Fight Club, sebuah pertandingan tinju rahasia yang diadakan di ruang bawah tanah bar setelah tutup. Dalam Fight Club, para pria saling mengeluarkan sisi agresivitas dan kekasaran mereka. Aturannya adalah bertinju seorang demi seorang hingga babak belur hingga ada yang menyerah. Dan satu hal yang harus dipegang oleh anggota Figt Club yaitu : Jangan bicara tentang Fight Club! Menutur Tyler dengan bertarung hingga babak belur maka seluruh beban dalam hidup akan terlepas.


Lambat laun anggota Fight Club semakin berkembang, bahkan banyak orang-orang dalam kehidupan tokoh ‘Aku’ ternyata adalah anggota Fight Club. ‘Aku’ kembali mengalami kejenuhan, sosok Tyler yang juga berniat untuk menggulingkan peradaban, kemudian membuat proyek baru yang sebagian besar terdiri dari para anggota Fight Club, nama proyek tersebut Project Mayhem yang salah satu kegiatannya membuat sabun dari lemak manusia yang dicuri dari pembuangan limbah rumah sakit. Project Mayhem ini nantinya akan berkembang menjadi proyek yang melakukan tindakan-tindakan penghancuran gedung, toko-toko, dan tindakan-tindakan anarkis lainnya.



Alur Novel Fight Club ini tersaji secara cepat, beberapa ide-de gila tersaji secara detail sehingga membuat pembaca novel ini tersentak kaget. Misalnya pembuatan sabun dari lemak manusia, membuat bom dari jus jeruk, menghancurkan sebuah apartemen, dll, hal yang menjijikkan juga terungkap seperti bersin diatas masakan, mengencingi dan memuncratkan sprema diatas sup hangat yang siap dihidangkan dan sebagainya. Ide-ide gila yang dilakukan ‘Aku’ dan Tyler baik dalam Fight Club maupun Project Mayhem ini tampaknya adalah akibat dari kemarahan tokoh Aku dan Tyler pada kehidupan dunia yang penuh dengan kegagalan dan kebohongan. Dan juga sebagai solusi untuk mendobrak tatanan sosial yang sudah mapan yang membuat pribadi-pribadi menjadi hidup dalam kebosanan.


Novel yang ditulis oleh Chuck Palahniuk ini memang novel yang ganjil, Chuck termasuk dalam jajaran penulis Generation X, sebutan untuk generasi muda dari novel yang diusung Gouglas Coupland pada awal era 90-an. Namun Chuck menulis dengan gayanya sendiri, ia menulis apa yang disebut orang sebagai gejala edgy (sesuatu yang sebaiknya tidak untuk ditebak), memiliki gaya pemberontakan yang khas dan serba ‘ngaco’ (hlm.x).
Mungkin karena gaya menulis inilah yang membuat banyak pembaca novel ini sedikit kesulitan untuk memahaminya. Belum lagi ditambah pengalihbahasaan yang setidaknya memiliki distrosi dari karya aslinya. Suatu langkah berani dari penerbit Jalasutra untuk mengalihbahasakan novel ganjil ini.


Novel ini pertama kali beredar pada tahun 1996 dan langsung mendapat sambutan yang luar biasa. Dalam dua pekan novel ini sudah laku sebanyak 500.000 ekslempar. Bahkan karya ini diakui sebagai karya klasik underground dan salah satu novel yang paling orisinal dan provokatif di tahun 1990-an. Kesuksesan novel ini membuat Fight Club dibuat versi layar lebarnya arahan sutradara David Fincher pada tahun 1999 yang dibintangi oleh Brad Pitt dan Edward Norton. Setelah filmnya meraih sukses, Fight club segera diadaptasi ke berbagai produk pop culture seperti acara televisi, video game, musik, dll.


Walau menuai sukses dan memperoleh dua penghargaan dari Pacific Northwest Booksellers Association Award dan Oregon Book Award for Best Novel pada tahun 1997. Novel ini juga menuai kritik dari beberapa akademisi dan para pengamat kebudayaan Amerika yang antara lain mengatakan bahwa novel ini mempopulerkan budaya “self destructive” yang dianggap akan berpengaruh pada para pembacanya.


Akhirnya terlepas dari baik buruknya novel ini, yang pasti melalui novel ini pembaca akan disadarkan bahwa tatanan sosial yang mapan tidak menjamin seluruh masyarakat didalamnya akan terpuaskan. Akan muncul pribadi-pribadi yang bosan dengan kemapanan karena hidup menjadi statis, hal ini akan melahirkan sekelompok masyarkat yang mencoba mendobrak hidupnya yang terkurung dan bodoh dengan bermain-main dengan ide gila yang liar tanpa batasan dan kendali.


@h_tanzil

Saturday 6 May 2006

Berjuta-Juta dari Deli - Satoe Hikajat Loeli Contract


Judul : Berjuta-juta dari Deli
Satoe Hikajat Koeli Contract
Penulis : Emil W. Aulia
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2006
Tebal : viii + 261 hlm

Persoalan kaum buruh dan pengusaha sepertinya tak pernah berakhir. Kaum buruh selalu menuntut agar mereka memperoleh upah dan fasilitas yang layak, sementara untuk kelangsungan perusahaannya, para pengusaha berusaha membayar tenaga kerja buruh seminimal mungkin untuk menekan ongkos produksi mereka.

Jika kita menarik ke belakang ternyata sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda masalah buruh sudah menjadi persoalan, apalagi pada saat itu hampir dikatakan tidak ada lembaga-lembaga atau serikat-serikat buruh yang peduli dan memperjuangkan nasib mereka. Seperti apa nasib kaum buruh pada masa itu ? Novel ini setidaknya memberikan sebagian dari apa yang dialami para buruh Jawa ketika mereka dijadikan kuli kontrak di Deli-Sumatera Timur.

Berjuta-juta dari Deli adalah novel yang ditulis berdasarkan sebuah brosur yang ditulis oleh Johanes Van den Brand pada awal abad ke-20. Van den Brand adalah tokoh pembela kaum pribumi di masa kolonial Belanda. Namanya masih kalah populer dibanding Multatuli (Douwes Dekkker) dan Van de Venter. Namun sejarah mencatat bahwa di awal abad 20 Ven den Brand pernah menggegerkan pemerintahan Belanda melalui tulisannya yang mengungkap perlakuan tak manusiawi para pengusaha perkebunan tembakau di Deli terhadap para kuli kontraknya. Tulisan ini dikemas dalam sebuah brosur berjudul " Millioenen uit Deli (Berjuta-juta dari Deli)".

Van den Brand adalah seorang advokat yang tinggal di Medan dan melihat secara langsung derita kuli-kuli kontrak di perkebunan tembakau di Deli. Berdasakan apa yang dilihatnya dan didukung oleh data-data tertulis yang ia kumpulkan dari berbagai media yang terbit dimasa itu, Van Den Brand dengan penuh keberanian menentang sengit penale sanciate (aturan hukum bagi kuli-kuli yang bekerja di perkebunan) yang dibuat oleh pemerintahan kolonial Belanda di wilayah tersebut. Ia melihat bahwa aturan ini hanya menguntungkan pemilik-pemilik perkebunan secara sepihak dan menyengsarakan kuli-kuli kontrak yangmenyebabkan mereka kehilangan kebebasan dan harkat manusianya selama menjadi kuli kontrak.

Brosur Millioenen uit Deli setebal 71 halaman diterbitkan pada tahun 1902 di Belanda. Brosur yang memprotes diberlakukannya penale sanciate dan juga mengurai derita dan skandal perbudakan yang dialami ribuan kuli kontrak asal Jawa yang berkerja di perkebunan tembakau milik swasta Belanda di Deli – Sumatera Timur ini tentu saja menggegerkan kedamaian negeri Belanda. Brosur ini mendapat perhatian dari Majelis Rendah Belanda (Tweede Kamer) yang langsung membahasnya dalam sidang-sidangnya. Pihak oposisi menjadikan isu kekerasan yang dialami kuli untuk menekan pemerintah. Hubungan Belanda dengan negara-negara tetangganya juga terganggu, beberapa negara mengecam kekerasan yang terjadi di Deli dan mengancam akan memutuskan hubungan dengan Belanda jika isi dari brosur itu benar adanya.

Perjuangan Van den Brand tidaklah mulus, pihak-pihak yang merasa kedudukannya terancam akibat terungkapnya kebobrokan di Deli tidak tinggal diam. Tuan-tuan perkebunan di medan dan pejabat-pejabat Belanda bersatu mengucilkan dirinya. Mereka menuding Van den Brand menyebar fitnah, tidak patriotik, hanya mencari popularitas dan melawan pemerintahan Belanda. Meski demikian Van den Bran tetap pada pendiriannya, ia kembali menulis brosur: Nogs Een : Millioenen uit Deli (Sekali Lagi : Berjuta-juta dari Deli : 1903). Di brosur keduanya ini Van den Brand menyerang balik pihak-pihak yang menentangnya. Akhirnya kegigihannya membuahkan hasil, pemerintah kolonial melahirkan sejumlah perubahan yang walau mungkin tak seusai dengan yang diharapkannya, namun setidaknya suara kaum kuli kontrak yang selama ini tak terdengar menjadi menggaung dimana-mana. Karena jasa-jasanya surat kabar "Harian Batak" yang terbit di Tapanuli menyebut Van den Brand sebagai "Bapak Kuli Kontrak". Sayangnya nama Van den Brand tampaknya terlupakan oleh masyarakat Indonesia bahkan namanya bisa dikatakan tidak tercatat dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah.

Perjuangan Van den Brand yang terlupakan ini rupanya menggugah jurnalis kelahiran Kubang Putih, Bukittinggi, Sumatera Barat , Emil W. Aulia, untuk menuliskan sebuah novel berdasarkan brosur De Millioenen uit Deli. Walau dikemas dalam bentuk novel yang tentu saja tak terlepas dari kebebasan imajinasi penulisnya, novel ini layak dijadikan sumber rujukan untuk mengetahui nasib kaum kuli kontrak di awal abad 20 yang sarat dengan derita.

Bisa dikatakan novel ini adalah gambaran yang lebih detail dari apa yang dituangkan oleh Ven den Brand dalam brosurnya. Novel setebal 259 halaman ini dibagi kedalam 26 bab plus prolog dan epilog. Pembagian bab-babnya dibuat secara sistematis sehingga pembaca akan diajak menelusuri jejak pengalaman kelam para kuli kontrak mulai dari bujuk rayu makelar pencari kerja, derita kuli kontrak dalam kesehariannya, kehidupan para pengelola perkebunan hingga perjuangan Van den Brand dalam memperbaiki nasib kuli kontrak.

Para kuli kontrak yang bersal dari Jawa umumnya terbujuk oleh mulut manis makelar pencari kerja yang dengan mahir mempengaruhi penduduk desa agar mau dijadikan kuli kontrak. Mereka diming-imingi hal yang menarik bahwa di Deli mereka akan menemukan , pohon yang berdaun uang, ronggeng, wayang kulit, dll. Para penduduk desa yang miskin tentu saja tertarik untuk dijadikan kuli kontrak. "Deli mengganggu tidur malam mereka…Tak sabar mereka ingin melihat langsung, merasakan, meraba, merengkuh semua pesona negeri ajaib itu. Uang yang berlimpah, wayang kulit…arak…emas…perempuan-perempuan ronggeng…Ah, apa yang lebih penting dari semua ini?…hlm 10. Ironisnya apa yang dijanjikan dan mereka impikan itu tak menjadi kenyataan, mereka malah menemui berbagai penderitaan di Deli.

Seluruh proses mulai dari keberangkatan, situasi di kapal dan kedatangan para kuli kontrak itu di perkebunan terekam dengan jelas di novel ini. Sesampai di pelabuhan mereka segera diharuskan membubuhkan cap jempol mereka pada secarik kertas yang isinya tidak mereka mengerti karena toh mereka tidak bisa membaca. Seketika itu mereka dihadapkan pada kenyataan yang pedih, mereka bertemu dengan sosok-sosok asing yang menggenggam kehidupan mereka. Jiwa dan raga para kuli-kuli kontrak itu telah ikut tergadai!.

Di perkebunan derita para kuli kontrak semakin menjadi, kehidupan mereka diatur oleh bunyi suara kentongan. Kentongan bangun pagi, istirahat siang, tidur malam, dll. Novel ini secara memikat mengungkap apa yang terjadi selama waktu-waktu terebut. Di sela-sela kerja dan istirahat para kuli kontrak, kerap terjadi tindak kekerasan yang tak manusiawi baik dari para mandor maupun Tuan Besar perkebunan. Setiap kuli yang melakukan kesalahan akan mendapat pukulan, tendangan, cambukan. Tak peduli kuli pria ataupun wanita, semua mendapat hukuman keji. Seorang kuli wanita yang tak mau diajak ‘main’ oleh Tuan Asisten Perkebunan harus mendapat siksaan disalib seperti Kristus. Dijemur dalam keadaan telanjang selama berhari-hari dari matahari terbit hingga terbenam. Tidak hanya itu saja "Opas-opas pribumi itu mencambuki pinggulnya dengan tali sanggurdi. Tentu, perempuan itu meruang-raung kesakitan. Belum puas, opas-opas itu kemudian menggosok kemaluannya dengan lada yang ditumbuk halus. Raung perempuan itu semakin menjadi-jadi." (hlm 73).

Selain mengungkap derita para kuli kontrak, novel ini juga mengungkap praktek pelacuran, perjudian, dan madat yang terjadi di perkebunan. Setiap akhir bulan setelah masa gajian para kuli dibiarkan terpikat ke dalam perjudian, masuk dalam bilik-bilik pelacuran dan rumah candu agar mereka menghabiskan upah mereka hingga harus meminjam uang kepada mandor perkebunan dengan bunga yang mencekik. Dengan begitu para kuli akan terbelit oleh hutang yang tak terbayarkan sehingga mau tidak mau mereka harus terus memperpanjang kontrak kerja mereka. Jika mereka kabur, para penduduk asli siap menangkap mereka untuk memperoleh imbalan yang besar dari pengelola perkebunan. Para kuli yang kabur diburu bak binatang buruan, ketika tertangkap mereka akan diikat dan dibawa ke perkebunan dengan tangan dan kaki diikat pada sebilah kayu layaknya seekor babi hutan.

Upah yang diterima para kuli wanita lebih kecil dibanding kuli pria. Secara teoritis upah yang diterimanya tak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Hal inilah yang membuat praktek pelacuran mau tak mau harus mereka jalani. Yang mungkin agak beruntung adalah mereka yang memiliki wajah yang cantik dan terpilih oleh Tuan Besar untuk menjadi Nyai. Dengan menjadi Nyai mereka bisa merasakan kehidupan yang mewah, namun masa depan merekapun tak pasti karena begitu ketahuan hamil, maka merekapun akan terusir dari hadapan Tuan Besar.

Setelah diajak melihat derita para kuli kontrak, pembaca akan diajak melihat bagaimana kehidupan kaum para Tuan Kebun. Mereka bak raja kecil, hidup dalam pesta pora dan hidup yang mewah. Ketika mereka sedang beristirahat di beranda istana kecilnya dan lewatlah sekelompok kuli, maka "serentak mereka menurunkan badan-berjongkok dan kepala menekuk. Dengan lutut hampir menyentuh dada, pelan-pelan mereka menyeret langkah. Semua berlangsung dalam kepasrahan yang utuh…."(hlm 207). Setelah mereka melewati sang Tuan Besar barulah para kuli itu berdiri kembali dan menegakkan punggung mereka.

Para Tuan Besar pengelola perkebunan memang dididik untuk menjadi raja kecil yang otoriter, mereka tak harus mengetahui seluk beluk menanam dan merawat tembakau. Hal terpenting bagi mereka adalah : Bagaimana membuat kuli-kuli itu tunduk! Karena bagi mereka bahasa yang dimengeri oleh para kuli adalah bentakan dan makian. "Yang diperlukan bukan kata-kata menjelaskan, melainkan memerintah. Lengkap dengan bentakan dan makian. Hanya bahasa macam itu yang mereka mengerti"…(hlm. 155)

Setelah menyelami derita para kuli kontrak barulah di bab-bab terakhir pembaca akan diajak mengikuti sepak terjang Van den Brand dalam memperjuangkan misinya untuk mengungkap derita kaum kuli kontrak dan menegaskan bahwa kebijakan Poenale Sanciete tidak boleh dipertahankan karena aturan itu melegalkan terjadinya perbudakan dan membuat tindakan-tindakan tidak manusiawi menimpa para kuli kontrak.

Di bagian ini akan terungkap bagaimanaVan den Brand yang banyak mendapat tantangan dari pengelola perkebunan dan pejabat kolonial Belanda tak menyerah begitu saja, namun terus berjuang untuk kepentingan kaum kuli kontrak yang sebenarnya tak ada sangkut paut dengan kehidupannya.

Walau sebagian besar novel ini berisi kisah-kisah yang memilukan dan banyak mengungkap kekerasan yang dialami kaum kuli kontrak, novel ini dikemas dalam kalimat-kalimat yang indah, ketepatan penulis dalam memilih kalimat yang memukau untuk mengungkap derita para kuli kontrak membuat novel ini menjadi seimbang karena muatan kekerasan dalam novel ini diimbangi dengan untaian kalimat-kalimat yang indah.

Nama tokoh-tokoh Belanda yang muncul dalam novel ini bukanlah fiktif, mereka pernah pernah hidup dan menjadi pelaku sejarah. Selain itu kutipan-kutipan dari berbagai literatur di awal abad ke-20 membuat aroma sejarah novel ini sangat terasa sekaligus menyatakan bahwa novel ini bukanlah kisah fiksi semata, namun dikerjakan berdasarkan penggalan peristiwa sesungguhnya yang diperoleh dari riset literatur yang serius.

Beberapa ilustrasi yang memuat iklan/selebaran tenaga kerja di awal abad 20 juga turut menghiasi novel ini. Sayangnya novel ini tak menyertakan foto para kuli kontrak, scan cover atau beberapa halaman asli dari brosur De Millioenen uit Deli yang dijadikan sumber buku ini. Walau bukan buku teks sejarah namun pemuatan repro beberapa halaman brosur dan foto-foto tentunya bukan hal yang tabu dan tentunya akan menambah bobot sejarah dari novel ini.

Akhirnya usaha Emil W. Aulia dalam menulis novel ini patut dihargai setinggi-tingginya baik oleh kalangan sejarahwan maupun oleh kalangan pembaca umum karena berhasil mengungkap perjuangan seorang tokoh kemanusiaan asal Belanda "Bapak Kuli Kontrak" yang selama ini namanya terlupakan dan terkubur dalam buku-buku sejarah Indonesia.

@h_tanzil

Thursday 4 May 2006

OBITUARI


OBITUARI

oleh : Amarzan Loebis

Pramoedya, Jejak Langkah ituPujangga itu wafat pada usia 81 tahun. Meninggalkan 50-an buku yangditerjemahkan ke lebih dari 41 bahasa.-------

JAKARTA tak menentu, Sabtu malam itu. Hujan turun sebercak-sebercak,gerimis di sini, lebat di sana. Dari telepon seluler ke teleponseluler bersimpang-siur pesan kisruh: "Pramoedya Ananta Toerberpulang.. Maaf, Pram masih segar-bugar.. Kritis, memang, bernapaspakai oksigen, tapi malah minta rokok.." Akhirnya, pada....,Pramoedya, "pujangga" itu, berangkat menghadap Khaliknya.

Sampai saat wafatnya, Pram, pengarang sekitar 50 buku yang sudahditerjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa, seperti memilih tidakmenempuh "cara biasa". Beberapa hari sebelumnya ayah sembilan anak dankakek 16 cucu itu terjatuh di rumahnya yang jembar di Desa WaringinJaya, Bojong Gede, Bogor, sekitar 50 kilometer dari Jakarta arah keselatan. Ia dilarikan ke Rumah Sakit St. Carolus di Jakarta Pusat.

Tapi, siapa pun di antara orang dekatnya pasti tahu: Pram tak pernahsuka pada rumah sakit. "Saya sudah lelah dirawat di rumah sakit,"katanya, dua tahun lalu. Ketika itu, selain gangguan jantung dandiabetes, ia mulai mengalami masalah ginjal. Pram lebih percaya pada"pengobatan" yang ditekuninya dengan cara sendiri: menyantap bawangputih tak putus-putusnya.

Dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, anak sulung darisembilan bersaudara ini seperti memang ditakdirkan untuk menjadipengarang. Dari ayahnya, Moh. Toer, seorang guru-nasionalis, Pram diperkenalkan dengan dunia pustaka. Sejak usia delapan tahun ia sudah biasa membaca koran dalam bahasa Belanda, Melayu, dan Jawa. "Orang tua saya mempunyai perpustakaan yang cukup besar untuk ukuran kota kecil,"kata Pram sekali waktu.

Menurut pengakuannya, Pramoedya sudah menulis sejak di bangku SD BoediOetomo di Blora. Tapi, cerita pendeknya yang pertama, Kemana, barutersiar melalui majalah Pantjaraja, pada 1947. Pada tahun yang sama pula terbit novelnya, Krandji-Bekasi Djatuh. Dari judul ini mudah ditebak: Pram terlibat dalam perang kemerdekaan. Ia bertugas sebagai perwira perhubungan di Divisi Siliwangi.

Pram kemudian ditahan Belanda, 1947-1949. Ia mendekam di penjara BukitDuri, Jakarta, dan pernah menghuni Pulau Onrust di Kepulauan Seribu.Pada masa inilah ia menulis kumpulan cerita pendek Pertjikan Revolusidan novel Perburuan--yang kelak memenangi Hadiah Balai Pustaka. Keluardari penjara, Pram menulis Mereka Jang Dilumpuhkan, Tjerita dari Blora(memenangi Hadiah Badan Musjawarah Kebudajaan Nasional 1952-1953), dan Bukan Pasar Malam.

Sejak itu Pramoedya Ananta Toer tercatat di antara sastrawan gardadepan negeri ini. Pada 1953, atas undangan Lembaga Kerja SamaKebudayaan Indonesia-Belanda, Sticusa, ia bermukim di Negeri Belanda bersama istrinya, Maemunah Thamrin. Tapi, tahun-tahun yang menyusul kemudian merupakan masa gemuruh tak kunjung teduh dalam kehidupan Pram.

Lewat Kongres Nasional I Lembaga Kebudayaan Rakyat di Solo, JawaTengah, pada 1959, Pramoedya Ananta Toer mengumumkan pergabungannyadengan Lekra. Pram kemudian mengasuh ruangan kebudayaan Lentera di harian Bintang Timur, Jakarta, yang berhadap-hadapan dengan parapenanda tangan Manifes Kebudayaan.

Gempa politik 1965 membawa akibat panjang pada kehidupan Pram dan keluarganya. Rumahnya dirampas, perpustakaannya dijarah dan dibakar,dia sendiri kemudian ditangkap, dan pada 1969 dibuang ke Pulau Buru,Maluku. Di sinilah ia sekali lagi membuktikan: ia memang dilahirkan untuk menjadi pengarang.

Di atas kertas-kertas bekas yang dijilid serupa buku tulis, ia mulai mengarang tanpa rujukan, tanpa kepustakaan, hanya mengandalkaningatan. Ia juga menyusun semacam komik tentang masuknya agama Hindu Hinayana ke Tanah Jawa, Oroh Sanagara namanya. Entah ke mana gerangannaskah ini terselip.

Buku-buku tulisan tangan itu beredar dari unit ke unit, dibaca bersamadi bawah lampu minyak setelah kerja panjang yang melelahkan. Banyak sekali tahanan, orang-orang muda dari pedalaman Jawa, yang barumengenal nama Pramoedya Ananta Toer justru di Pulau Buru.

Setelah kedatangan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan danKetertiban, Jenderal Sumitro, ke Pulau Buru, pada 1973, Pramoedyadipindahkan dari Unit III ke Markas Komando, dan diberi mesin tikuntuk menulis. Ketika itulah ia mulai menyusun bagian awal tetraloginya yang kelak termasyhur, Bumi Manusia.

Setelah dibebaskan, Desember 1979, Pram tak lagi terbendung. Bersamapenerbit Hasta Mitra, Pram menerbitkan berjudul-judul buku, kendatiseluruhnya dibredel pemerintahan Soeharto. Setelah reformasi, tak adalagi hambatan penerbitan bukunya, dan Pramoedya kemudian menerimasejumlah penghargaan internasional. Berkali-kali namanya disebut sebagai calon penerima Hadiah Nobel kesusastraan. Tapi, ternyata,"jejak langkah" sang pujangga sampai di situ.

Amarzan Loebis
(Sumber: Tempo, 1 Mei 2006)

Monday 1 May 2006

Sang Maestro telah pergi



Minggu, 30 April 2006, sebuah pesan SMS dari Bung Daniel Mahendra menyentakku pagi itu :

Telah meniggal dunia Bpk Pramoedya Ananta Toer (Bung Pram)
jam 09.15 di jln.Multi Karya 2/26 Utan Kayu Jak-tim.
Tolong disebarluaskan

From : DM-HP
9:24 30/4/06

Segera aku hubungi Bung Daniel untuk konfirmasi mengingat kemarin malamnya banyak sekali sms yang memberitakan kalau Pram sudah menginggal semalam.
Ketika aku mendapat konfirmasi aku langsung terhenyak.....teringat bagaimana aku mulai mengenal Pram dari karya-karyanya....

Aku mulai membaca karya-karya Pram dari karyanya yang berjudul "Hoakiau di Indonesia".
Saat itu tahun 1998 reformasi baru saja bergulir, dan setahuku karya Pak Pram yang pertama kali diterbitkan ulang setelah reformasi adalah "Hoakiau Di Indonesia"

Setelah aku menamatkan HdI aku langsung penasaran dan mencari buku-buku Pram lainnya, bukan hal yang mudah karena buku-buku Pram belum diterbitkan ulang.
Barulah setelah berbulan-bulan mencarinya, akhirnya aku mendapatkannya di TB Utan Kayu - Jakarta, aku membeli Bumi Manusia terbitan tahun 80-an!

Segera kulahap habis, bukannya terpuaskan aku malah semakin dahaga akan karya-karya lainnya. Mulailah pemburuanku......satu persatu aku kumpulkan, untunglah semakin kemari buku-buku Pram mulai diterbitkan ulang dan akupun pasti membeli dan membacanya.
Saat ini sudah sekitar 40 buah karya2 PAk Pram menghias lemari bukuku, semuanya sudah kubaca habis!

Apa yang kudapat dari membaca buku2 Pram ?
Yang pasti setelah membaca buku2 Pram aku jadi semakin mengenal sejarah bangsaku. Selain itu keberanian kaum lemah yang sering diungkap dalam karya-karya Pram membuatku jadi berani menentang ketidakadilan yang terjadi di sekitarku, aku makin peka dan makin berani menentang ketidakadilan!
Itulah yang diajarkan Pram melalui buku-bukunya.

Buku-buku Pram juga mengantarku untuk bertemu dengannya secara langsung. Dua kali aku bertemu dengannya, yang terakhir sekitar bulan Sepetember 2005, aku dan member milis membacapramoedya mengunjungi rumahnya di Bojong - Bogor, bersilaturahmi dengan keluarganya yang hangat, menengok perpustakaannya yang luar biasa.....dan yang pasti bercakap-cakap langsung dengan sang Maestro.

Dari pecakapannya dengan kami saat itu, terlihat Pram tetap konsisten dengan sikap dan pandangan hidupnya, tubuhnya yang uzur tak mempengaruhi cara berpikirnya dan keteguhan hatinya melawan ketidakadilan. Rupanya itulah untuk terakhir kalinya aku bercakap-cakap dengannya secara langsung.

Kini Sang Maestro itu telah tiada, namun karya-karyanya tetap hidup dan akan terus dibaca orang....

Selamat jalan Pak Pram...


@h_tanzil
 
ans!!