Tuesday 31 July 2012

Revolusi Di Nusa Damai

Review ini merupakan re-post review yang pernah saya buat dan saya tayangkan di blog ini.
Berhubung para Blogger Buku Indonesia (BBI) saat ini sedang menggelar posting bareng Historical Fiction, dan hingga review ini ditayangkan belum ada satupun yang memposting review His Fic yang bernuansa lokal, maka saya pilih review lama saya ini untuk ditayangkan dalam Posting Bareng Historical Fiction.


Judul : Revolusi Di Nusa Damai
Penulis : K’tut Tantri
Penerjemah : Agus Setiadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : II, Agustus 2006
Tebal : 368 hlm ; 23 cm



“Saya berusaha memaparkan cita-cita bangsa Indonesia pada seluruh rakyat di dunia – yaitu kemerdekaan, hak untuk membangun negara sendiri. Saya juga ingin menandaskan pada Belanda – dan sedikit banyak juga pada Inggris – mengenai kesalahan besar yang mereka lakukan selama ini.” (hal 242)

Kalimat itu diucapkan oleh K’tut Tantri kepada para wartawan dari dalam dan luar negeri yang mewawancarinya perihal keterlibatannya dalam menyebarluaskan kemerdekaan Indonesia melalui corong Radio Pemberontak.

K’tut Tantri adalah nama lain dari seorang wanita warga negara Amerika keturunan Inggris yang pernah tinggal lima belas tahun di Indonesia dari 1932-1947. Awalnya K’tut Tantri yang hobi melukis ini tak puas dengan pekerjaannya sebagai seorang jurnalis di Amerika Serikat. Ia memiliki jiwa petualang yang membuatnya selalu ingin berkelana ke tempat-tempat jauh sambil melukis apa yang dilihatnya. Keinginannya semakin membuncah ketika ia menonton film berjudul Bali, The Lost Paradise. Seolah menemukan jalan hidupnya ia segera menuju Bali dan memutuskan untuk menetap disana.

Takdir membawanya bertemu dengan Raja Bali yang mengangkatnya menjadi anak keempat dan memberinya nama baru ‘K’tut Tantri’. Perilaku masyarakat Bali membuat dirinya kerasanan untuk tetap tinggal disana, iapun membangun sebuah hotel di Kuta untuk membiayai hidupnya, bukan hal yang mudah karena pemerintahan kolonial Belanda tak menyukai dirinya bergaul rapat dengan penduduk setempat. Ia juga melihat bagaimana penduduk Bali harus hidup dalam kemiskinan akibat sistem kolonial yang mengabaikan kesejahteraan tanah jajahannya. Anak Agung Nura, putera Raja Bali menggerakkan hatinya untuk turut dalam kancah politik guna menentang pemerintahan Belanda.

Di zaman pendudukan Jepang, K’tut Tantri ikut dalam gerakan bawah tanah guna menumbangkan kekuasaan Jepang. Malang nasibnya karena ia ketahuan oleh Kampetai dan dipenjara selama kurang lebih dua tahun, disiksa dan dianiyaya melebihi atas-batas peri kemanusiaan.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia turut berjuang bersama-sama Bung Tomo dalam menyuarakan kemerdekaan indonesia di Radio Pemerontak –Surabaya. Kemudian bekerja untuk Kementerian Penerangan dan Pertahanan di Jogya. Tugasnya antara lain menyebarluaskan informasi keadaan Indonesia dalam bahasa Inggris dalam pidato radio, menembus blokade Belanda menuju Singapura, menyeludupkan utusan Liga Arab masuk Indonesia dan akhirnya menuju Australia guna mencari dukungan internasional.

Seluruh kisah kehidupannya diatas itulah yang ia tuangkan dalam novel dokumenternya Revolt in Paradise yang pertama kali diterbitkan oleh New York Harper, USA pada tahun 1960. Dalam bukunya ini K’tut Tantri membagi kisahnya dalam tiga bagian besar yang meliputi periode 1932-1941 (Melanglang Buana), 1942-1945 (Firdaus Yang Hilang), dan 1945-1948 (Berjuang demi Kemerdekaan).

Di bagian pertama (Melanglang Buana) pembaca akan diajak melihat keeksotisan natural penduduk Bali yang terekam dengan baik, ketika ia untuk pertama kalinya menyusuri Bali dengan mobilnya ia melihat bahwa; Di sepanjang jalan maupun di sawah, para wanita dengan polos memperagakan payudara yang sintal sementara mereka berjalan beriringan sat-satu sambil menjunjung beban yang tidak kecil ukurannya di atas kepala (hal 25)

Sedangkan kehidupan dalam puri raja anak Agung Gede Agung beserta kegiatannya juga terekam dengan menarik dalam buku ini. Tak hanya itu dalam buku inipun pembaca akan mendapat gambaran mengenai pandangan pemerintahan kolonial terhadap masyarakat Bali, hal ini terungkap dalam percakapan seorang asisten kontrolir Belanda pada K’tut Tantri menanggapi keinginan K’tut Tantri untuk tinggal bersama masyarakat Bali.


“Jika Anda mencoba hendak hidup seperti orang Bali, pengaruhnya akan buruk sekali terhadap pribumi dan hormat mereka terhadap orang kulit putih. Percayalah pemerintah kolonial pasti 
tidak suka. (hal 31)

Berbagai cerita menarik terungkap di bagian ini, selain pesona keindahan budaya Bali bagian ini juga mengungkap sepak terjang K’tut Tantri ketika ia berusaha untuk mewujudkan impiannya dengan mendirikan hotel di daerah Kuta Bali walau hal ini tidak mudah karena ditentang dengan keras oleh pemerintah Belanda.

Di bagian kedua (Firdaus Yang Hilang) pesona dan keindahan alam Bali tak lagi terceritakan, dimulai dengan kisah masuknya Jepang ke pulau Bali, dibagian ini pembaca akan disuguhkan dengan kisah tragis yang dialami oleh K’tut Tantri selama ia berada dalam tawanan Jepang di Surabaya. Penjara yang kotor dan siksaan yang diluar perikemanusiaan harus dialaminya karena ia dituduh sebagai mata-mata Amerika. Meringkuk dalam penjara pun bukan main menderitanya karena sepanjang hari, dari pukul enam hingga pukul sembilan malam para tawanan tidak diizinkan untuk duduk, melainkan harus berlutut, tak peduli betapa nyerinya otot-otot mereka. (hal 160). Belum lagi siksaan-siksaan keji saat interogasi dimana K’tut Tantri harus ditelanjangi, diikat, dipukul dan digantung hingga sendi-sendinya hampir putus hingga beberapa kali jatuh pingsan.

Pada bagian ketiga (Berjuang demi Kemerdekaan), kisah dalam buku ini semakin menarik dan menegangkan karena selepas dari tawanan Jepang K’tut Tantri bergabung dengan para pejuang kemerdekaan di bawah pimpinan Bung Tomo. Ia bertugas meyampaikan perkembangan yang terjadi di Indonesia dalam bahasa Inggris melalui siaran Radio Pemberontak dimana di tempat ini juga Bung Tomo mengadakan siaran dua kali setiap malam untuk membakar semangat pejuang-pejuangnya. Kesannya ketika bertemu dengan Bung Tomo terungkap sbb :


Orangnya tampan, bertubuh kecil. Umurnya saat itu paling banyak baru 26 tahun. Tindak-tanduknya menarik, selalu sederhana serta polos. Sinar matanya berkilat-kilat penuh semangat. Kemahirannya berpidato hanya bisa dikalahkan oleh Presiden Sukarno. (hal 223)

Selain dengan Bung Tomo, bagian ini mengisahkan pula pertemuan dan persahabatannya dengan tokoh-tokoh kemerdekaan Indonesia, antara lain Amir Syarifudin, dan Presiden Soekarno. Bahkan ia sempat diminta untuk membuat naskah pidato radio bahasa Inggris yang akan dibacakan oleh Presiden Soekarno. Kesan terhadap pertemuannya dengan Presiden Soekarno membuat Kut Tantri menulis dalam buku ini bahwa Presiden Soekarno adalah sosok yang pandai mengambil hati wanita, memiliki selera humor yang tinggi, rendah hati dan amat mencintai ibunya (hal 245)

Hal menarik lainnya adalah bagaimana serunya ketika K’tut Tantri berusaha membongkar usaha sebuah komplotan untuk menjatuhkan Bung Karno, atau ketika ia menerima tugas untuk berangkat menuju Australia guna mencari dukungan internasional. Selain diajak merasakan ketegangan yang dialaminya berbagai kisah-kisah menarik juga tersaji dalam bagian ini, seperti ketika ia dibuatkan paspor Indonesia dengan nomor urut 1 yang berarti merupakan paspor pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Pengalamannya bertemu dengan orang-orang Indonesia di Singapura sebelum berangkat menuju Australia juga terungkap di bagian ini. Salah satu yang menarik sekaligus ironis mungkin pengalamannya menemui kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh pedagang-pedagang asal Indonesia, hal ini membuat hatinya pedih karena sementara para koruptor asal indonesia hidup dalam kemewahan, ribuan rakyat jelata di Indonesia, yang bertempur dengan pakaian compang-camping, berjuang penuh lumpur dengan bersenjatakan golok dan bambu runcing untuk mempertahankan kemerdekaan (hal 328).

Kisah K’tut Tantri dalam buku ini berakhir ketika ia kembali ke New York, Amerika Serikat, ia berada di negaranya sendiri, namun hatinya merasa hampa dan rindu pada Indonesia yang merupakan tanah air keduanya. Kerinduan dan rasa cintanya pada Indonesia inilah yang menggerakkan dirinya untuk membuat memoar yang kemudian diterbitkan dengan berjudul Revolt in Paradise (1965). Tak disangka buku ini mendapat respon yang baik dari pembacanya baik di negaranya maupun di dunia internasional, sedikitnya buku ini telah diterjemahkan lebih dari 15 bahasa dunia.

Di tahun 60-an, K’ut Tantri mengunjungi Indonesia dan diterima oleh para pejabat pemerintahan termasuk oleh Presiden RI Soekarno. Di tahun 1965 buku Revolt in Paradise untuk pertama kalinya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan diterbitkan oleh Penerbit Gunung Agung dengan judul Revolusi di Nusa Damai. Rupanya cetakan pertama buku ini mendapat sambutan yang baik, terbukti hanya dalam waktu 6 bulan.buku ini dicetak ulang. Tahun 1982 hak cipta buku ini diambil alih oleh Gramedia dan dicetak dalam dua versi bahasa (Inggris dan Indonesia). Dan kini buku tersebut kembali dicetak ulang dengan kemasan baru dengan cover yang menggambarkan wanita kulit putih yang menggenakan pakaian tadisional Bali.







Buku yang kembali diterbitkan ulang oleh Gramedia ini memang sudah seharusnya hadir dan dibaca oleh masyarakat Indonesia mengingat nama K’tut Tantri kini telah dilupakan orang. Yang agak disayangkan adalah tidak adanya foto K’tut Tantri dalam buku ini. Tentunya karena buku ini bukan sekedar kisah fiksi dan K’tut Tantri bisa dikatakan sebagai salah satu pelaku sejarah di masa-masa revolusi kemerdekaan Indonesia, pemuatan foto K’tut Tantri tentunya akan memberi bobot sejarah yang lebih dalam pada buku ini. Tentunya bukan hal yang sulit untuk memperoleh foto diri K’tut Tantri, apalagi jika kita melihat cetakan tahun 1965, di buku tersebut disajikan beberapa buah foto K’tut Tanri termasuk ketika ia diterima oleh Presiden Soekarno di tahun 60-an.




Sejumlah kesalahan ketik ditemui dalam buku ini. Tidak terlalu mengganggu namun menimbulkan kejanggalan karena biasanya buku-buku terbitan Gramedia ‘bersih’ dari kesalahan-kesalahan ketik.

Namun sekali lagi usaha penerbit untuk menerbitkan ulang buku ini patut dihargai setinggi-tingginya. Setidaknya, kini nama K’tut Tantri, salah seorang Indonesianis yang terlupakan, yang telah banyak berjasa dalam menyuarakan kemerdekaan indonesia bisa kembali dikenang oleh rakyat Indonesia yang pernah diperjuangkannya.

K’tut Tantri, yang juga dikenal dengan julukan ‘Soerabaja Sue’ meninggal dunia di usianya yang ke 89 di Sydney Australia pada tahun 1997. Kecintaannya pada Indonesia dibawanya hingga mati. Peti matinya ditutup bendera Merah Putih berhias warna khas Bali. Jasadnya dikremasi di Bali dan abunya ditebar disana.

Mungkin saja orang Indonesia akan melupakan diriku apabila negara itu sudah benar-benar merdeka. Kenapa tidak? Aku kan hanya ombak kecil di tengah alun banjir semangat kemerdekaan. (K’tut Tantri, hal 355)



(K'tut Tantri saat diwawancarai oleh sejumlah media)

@htanzil

Thursday 26 July 2012

BEASISWA DATA PRINT 2012


                  

Partisipasi DataPrint dalam memajukan dunia pendidikan Indonesia tidak henti-hentinya. Di tahun 2009, DataPrint pernah mengadakan program DataPrint Academy yang memberikan kesempatan kepada 30 orang pelajar SMA dari seluruh Indonesia untuk mengikuti workshop selama lima hari di bidang kreatifitas dan entrepreneurship. Kemudian di tahun 2011, sebanyak 700 orang pelajar dan mahasiswa telah menerima beasiswa pendidikan dengan total ratusan juta rupiah. Para penerima beasiswa berasal dari Pekanbaru, Bandung, Jakarta, Ponorogo, Kendari, Martapura, Dumai, Malang, dan lain-lain.
Tahun ini, DataPrint kembali membuka program beasiswa bagi 700 orang pelajar dan mahasiswa. Program beasiswa dibagi dalam dua periode. Tidak ada sistem kuota berdasarkan daerah dan atau sekolah/perguruan tinggi. Hal ini bertujuan agar beasiswa dapat diterima secara merata bagi seluruh pengguna DataPrint.  Beasiswa terbagi dalam tiga nominal yaitu Rp 250 ribu, Rp 500 ribu dan Rp 1 juta. Dana beasiswa akan diberikan satu kali bagi peserta yang lolos penilaian. Aspek penilaian berdasarkan dari essay, prestasi dan keaktifan peserta.







               Beasiswa yang dibagikan diharapkan dapat meringankan biaya pendidikan sekaligus mendorong penerima beasiswa untuk lebih berprestasi. Jadi, segera DAFTAR SEGERA !!!   

Wednesday 25 July 2012

Wishful Wednesday 1

Biasanya aku gak pernah ikut2 an meme yang diadakan teman-teman blogger buku, tapi kali ini aku pingin ikutan! :). Wishful Wednesday, adalah weekly meme yang digagas oleh Blog buku Book To Share Kali ini ada yang menarik dari Wishful Wednesday-nya karena dibarengi dengan giveaway! nah  inilah yang membuat aku tergerak ikutan, siapa tahu beruntung, atau siapa tau Astrid, pengelola blog Book To Share tergerak memberikan giveawanya untukku tanpa diundi... wkwkwk. Mimpi kali yeee... :)

Baiklah, ini adalah buku yang jadi incaranku.

THE ALEXANDRIA LINK 
by Steve Berry


Kenapa aku memilih novel ini? tentu saja karena ada aroma buku  yang menyengat di novel karya Steve Berry ini, apalagi menyangkut Perpustakaan Alexandria, perpustakaan terlengkap dan terbesar di dunia yang didirikan di Mesir pada abad 3 SM. Sayangnya perpustakaan ini  namun hancur lebur karena perang di abad ke-5 Masehi.

Lalu novel ini bercerita tentang apa dan apa kaitannya dengan Perpustakaan Alexandria?

Berikut Sinopsinya :

Cotton Malone mengundurkan diri dari dunia penuh risiko agen lapangan elit Departemen Luar Negeri Amerika dan membuka toko buku-buku langka. Namun kehidupannya yang tenang terguncang ketika ia menerima email tanpa identitas pengirim yang mengancam akan membunuh putranya. Mantan istrinya yang ketakutan memberitahu bahwa ancaman itu nyata: Putranya yang beranjak remaja telah diculik. Ketika toko buku Malone di Kopenhagen dibakar hingga rata dengan tanah, jelas bahwa mereka yang bertanggung jawab terhadap kejadian itu tidak akan berhenti hingga mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan: Perpustakaan Alexandria yang hilang.

Berbagai pendapat––sejarah, filsafat, literatur, sains, dan agama––memberikan data yang sama bahwa Perpustakaan Alexandria pernah ada di dunia. Tapi 1.500 tahun yang lalu, perpustakaan itu musnah menjadi kabut misteri dan legenda––sejak saat itu, keluasan ilmu dan pengetahuan yang bisa diperoleh dari perpustakaan tersebut diperebutkan oleh para ilmuwan, pemburu harta karun, dan mereka yang percaya rahasia tersembunyi perpustakaan itu memegang kunci menuju kekuasaan terbesar.

Kini kartel pengusaha kaya kelas internasional, yang berkomplot untuk mengubah alur sejarah, sangat ingin menerobos kesucian perpustakaan––dan hanya Malone yang memiliki informasi yang mereka kejar. Sebuah dokumen tua yang sangat penting, yang berpotensi tidak hanya dapat mengubah takdir di Timur Tengah, tapi juga dapat mengguncangkan pondasi dasar tiga agama terbesar di dunia.

Nah, menarik kan? sekarang tinggal berharap dan berdoa semoga aku bisa mendapatkan buku itu.. :) 

Pingin ikutan program ini juga? silahkan simak aturan mainnya di bawah ini :

1. Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)

2. Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku itu masuk dalam wishlist kalian ya!

3. Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
 
Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)

@htanzil

SIAPAKAH SUAMI ITU???

Suami adalah tulang punggung keluarga, seumpama pilot bagi pesawat terbang, nakhoda bagi kapal laut, masinis bagi kereta api, sopir bagi angkutan kota, atau sais bagi sebuah delman. Demikianlah suami adalah seorang pemimpin bagi keluarganya. Sebagai seorang pemimpin harus berpikir bagaimana nih mengatur bahtera rumah tangga ini mampu berkelok-kelok dalam mengarungi badai gelombang agar bisa mendarat bersama semua awak kapal lain untuk menepi di pantai harapan, suatu tempat di akhirat nanti, yaitu surga.

Karenanya seorang suami harus tahu ilmu bagaimana mengarungi badai, ombak, relung, dan pusaran air, supaya selamat tiba di pantai harapan. Tidak ada salahnya ketika akan menikah kita merenung sejenak, "Saya ini sudah punya kemampuan atau belum untuk menyelamatkan anak dan istri dalam mengarungi bahtera kehidupan sehingga bisa kembali ke pantai pulang nanti?!".

Karena menikah bukan hanya masalah mampu cari uang, walau ini juga penting, tapi bukan salah satu yang terpenting. Suami bekerja keras membanting tulang memeras keringat, tapi ternyata tidak shalat, sungguh sangat merugi. Ingatlah karena kalau sekedar cari uang, harap tahu saja bahwa garong juga tujuannya cuma cari uang, lalu apa bedanya dengan garong?!

Hanya beda cara saja, tapi kalau cita-citanya sama, apa bedanya?
Buat kita cari nafkah itu termasuk dalam proses mengendalikan bahtera. Tiada lain supaya makanan yang jadi keringat statusnya halal, supaya baju yang dipakai statusnya halal, atau agar kalau beli buku juga dari rijki yang statusnya halal. Hati-hatilah, walaupun di kantong terlihat banyak uang, tetap harus pintar-pintar mengendalikan penggunaannya, jangan sampai asal main comot. Seperti halnya ketika mancing ikan di tengah lautan, walaupun nampak banyak ikan, tetap harus hati-hati, siapa tahu yang nyangkut dipancing ikan hiu yang justru bisa mengunyah kita, atau nampak manis gemulai tapi ternyata ikan duyung.

Ketika ijab kabul, seorang suami harusnya bertekad, "Saya harus mampu memimpin rumah tangga ini mengarungi episode hidup yang sebentar di dunia agar seluruh anggota awak kapal dan penumpang bisa selamat sampai tujuan akhir, yaitu surga". Bahkan jikalau dalam kapal ikut penumpang lain, misalkan ada pembantu, ponakan, atau yang lainnya, maka sebagai pemimpin tugasnya sama juga, yaitu harus membawa mereka ke tujuan akhir yang sama, yaitu surga.

Allah Azza wa Jalla mengingatkan kita dalam sabdanya, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…" (Q.S. At Tahriim [66]:6).

Wednesday 18 July 2012

Pemberian Sang Magi by O. Henry

 

Posting review cerpen ini merupakan partisipasi saya atas event menarik Shorty July - Baca Bareng Cerpen Klasik yang diadakan oleh blog Baca Klasik dan disponsori oleh Penerbit Serambi.

Selamat Menyimak ! 

Pemberian Sang Magi 
Oleh : O. Henry
Penerjemah : Maggie Tiojakin
Fiksi Lotus Vol.1 halaman 25-37

Dahsyatnya kekuatan cinta membuat seseorang rela kehilangan sesuatu yang berharga bagi dirinya untuk dipersembahkan bagi seseorang yang ia cintai. Demikian juga yang dilakukan oleh sepasang suami istri Mr & Mrs James Dillingham Young, tokoh rekaan O, Henry (1862-1910)   sastrawan Amerika dalam sebuah cerita pendeknya yang berjudul "Pemberian Sang Magi".  "Sang Magi" disini adalah orang Majus yang memberikan hadiah istimewa bagi bayi Yesus di Betleham.

Dikisahkan Della, istri dari James Dillingham Young berniat untuk memberikan sebuah hadiah natal untuk suaminya tercinta. Malangnya Della hanya memiliki uang sebesar $ 1,87. Apa yang dapat ia berikan dengan uang yang sedikit itu?

Satu dolar dan delapan puluh tujuh sen. Cuma itu. Bahkan, enam puluh sen dari jumlah itu terdiri dari uang receh bernilai satu sen-an, hasil simpanannya selama ini—yang didapatnya dengan cara mendesak tukang sayur, tukang daging dan penjaga toko kelontong agar sudi menjual dagangan mereka kepadanya dengan harga termurah. Proses tawar-menawar itu tidak jarang membuatnya malu, hingga pipinya memerah, sebagaimana semua orang pasti merasakan hal yang sama jika mereka ada di posisinya. (hal 25)

Akhirnya setelah berpikir cukup lama diselingi derai air mata karena sedih tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli kado untuk suaminya Della memutuskan untuk menjual rambut kebanggannya yang panjang. Perlu diketahui hanya ada dua hal di dunia ini yang sangat berarti bagi pasangan Mr. dan Mrs. James Dillingham Young: pertama, jam saku yang terbuat dari emas yang merupakan warisan turun temurun dari keluarga James; kedua rambut panjang Della.

Della tau kalau rantai jam tangan suaminya sudah usang dan ia ingin suaminya bisa berbangga hati saat mengeluarkan jam saku warisan orang tuaya di depan siapa saja. Untuk itulah ia merelakan rambut panjang kebanggaannya untuk dijual agar ia dapat membeli rantai jam saku untuk suaminya tercinta.

Sama seperti Della, James pun memiliki keinginan untuk memberikan kado natal istimewa untuk istrinya. Tahu kalau Della sangat bangga dan mencintai rambut panjangnya, James memberikan satu set sisir untuk keperluan penataan rambut panjang Dela. Untuk itu James rela menjual jam saku kesayangannya untuk dibelikan kado natal untuk istrinya

Nah, bisa dibayangkan bagaimana terkejutnya mereka berdua ketika mengetahui apa yang diberikan oleh pasangannya masing-masing.

Cerpen ini sangat menarik karena walau kisahnya sederhana namun O Henry dengan piawai merangkai kisah dengan baik. Dari awal hingga akhir pembaca akan diajak ikut merasakan keprihatinan, pergulatan batin, keharuan, serta cinta dan pengorbanan yang dilakukan oleh pasangan keluarga Dillingham ini. Selain itu pembaca juga akan dibuat penasaran bagaimana ending dari kisah ini apalagi ketika akhirnya diketahui kalau fungsi masing-masing kado natal dari mereka itu ternyata tak lagi bermanfaat secara fungsional.

Bagi saya cerpen ini merupakan cerpen yang menggugah dan membangun kesadaran akan cinta dan pengorbanan bagi seorang yang dicintainya.

Tentang Penulis

O Henry adalah nama pena dari William Sydney Porter. Lahir di North Carolina pada tahun 1962, ia mulai menggunakan nama penanya saat mendekam di penjara di pertengahan 1890an. Ia dikenal sebagai penulis yang produktif, seluruhnya ada 381 cerita pendek yang ditulisnya. Dikenal pandai menggambarkan kesedihan dan kegembiraan orang biasa, cerita ditulisnya dengan kata-kata yang cerdas, penuh permainan kata-kata, penokohan yang mendalam, dan akhir cerita yang tidak terduga.

Cerpen "The Gift of the Magi" karya O Henry diterbitkan pertama kali pada tahun 1900


@htanzil



Wednesday 11 July 2012

Menyusuri Lorong-Lorong Dunia jilid 3

[No.293]
Judul : Menyusuri Lorong-Lorong Dunia jilid 3
Penulis : Sigit Susanto
Penerbit : Insist Press
Cetakan : I, April 2012
Tebal : 307 hlm

"Tujuanku utamaku menulis catatan perjalanan ini ialah ingin berbagi sebanyak-banyaknya kepada kawan-kawan di Indonesia. Aku mencoba menggambarkan berbagai corak perbedaan di dunia, baik etnik, budaya, agama, ideologi"

Demikian ungkap Sigit Susanto ketika saya menanyakan apa alasannya menulis setiap perjalanannya menyusuri lorong-lorong dunia selama ini. Apa yang dikatakannya telah terbukti, dengan tekun penulis mencatat semua yang ia temui ketika menyambangi 36 negara di dunia. Ketekunan dan semangat berbaginya itu telah membuahkan 3 jilid buku yang bisa dikatakan sangat tebal untuk sebuah buku catatan perjalanan. Jika digabung seluruhnya menjadi 1.157 halaman! ( Jilid 1 = 373 hlm, jilid 2 = 477 hlm, jilid 3 = 307 hlm ).

Mengapa bisa demikian tebal? Ketiga buku tersebut memang tidak seperti kisah-kisah catatan perjalanan yang pada umumnya hanya mencatat keindahan obyek-obyek wisata dan pengalaman unik si penulis semata namun penulis juga menyuguhkan catatan tentang etnik, budaya, agama, politik, idelogi, sastra, dan sebagainya. Yang menarik, untuk mendapatkan data dari apa yang akan ditulisnya itu tak jarang penulis juga masuk ke pasar-pasar tradisional untuk menangkap realita kehidupan masyarakat yang sesungguhnya dari negara-negara yang dikunjunginya.

Di buku ke-3 nya ini penulis mencatat perjalanannya ke 11 negara di 3 benua berdasarkan kronologis waktu perjalanannya pada tahun 2002 hingga 2010 mulai dari Kenya, India, Turki, Yordania, Skandinavia, Polandia, Mesir, Italia, Hongkong, Kamboja, dan Yunani.

Ada banyak hal yang menarik yang terungkap dalam seluruh catatan perjalanan yang terkisahkan dalam buku ini, salah satu yang akan saya kemukakan di bukunya yang  ke-3 ini adalah kepedulian penulis terhadap para buruh migran yang bekerja di berbagai negara yang dikunjunginya. Di buku ini terlihat bagaimana penulis selalu menyempatkan diri untuk mewawancarai setiap orang Indonesia yang bekerja di negara asing yang dkunjunginya.

Di buku ini pula secara khusus penulis menulis 3 bab tentang kehidupan buruh migran di dua negara yang berbeda, satu bab tentang Orang-Orang Kontainer di Swiss dan tentang 130 ribu Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hongkong yang ditulis dalam dua bab, Mengintip BMI di Hongkong, dan Hongkong Perlu Gunter Wallraf

Di bab yang berjudul "Orang-orang Kontainer" kita akan melihat bagaimana  kerasnya kehidupan 34 buruh asal Indonesia yang harus tinggal di bekas kontainer di tengah udara yang dingin menusuk tulang di Switzerland dengan gaji kurang dari Rp. 2 juta/bulan.  Dari gaji sebear itu, Rp.1 juta diberikan untuk istri atau keluarga mereka di Mojokerto, para buruh sendiri  hanya menerima uang saku sebesar Rp. 180 rb/bulan. Kemana sisanya? sisa gaji disimpan perusahaan untuk diberikan pada mereka jika pekerjaan selesai. Bisa dibayangkan bagaimana mereka harus bertahan dengan rp. 180 rb/ bulan di Eropa. Bandingkan juga dengan gaji buruh pabrik di Swiss yang memiliki gaji sekitar Rp. 34 jt/bulan !

Lain di Switzerland, lain pula keadaan buruh migran di Hongkong. Kehidupan para BMI di Hongkong jauh lebih baik, walau hanya sebagai pembantu rumah tangga hak-hak mereka  diatur oleh Undang-Undang. Mereka memiliki waktu libur sehingga seperti yang sering kita dengar di hari Minggu para BMI tumpah ruah memenuhi lapangan Victoria Park untuk berlibur dan bertemu dengan rekan-rekan sekampungya.

Selain tentang suasana di Victoria Park, penulis juga menceritakan pengalamannya berkunjung ke Perpustakaan Hongkong Central Library  yang berada di samping kanan Victoria Park.

Perpustakaan itu super mewah. Gedungnya tingkat 10. Khusus tingkat 5 menyediakan koran dan majalah berbahasa Indonesia. Di sela-sela rerimbunan manusia, ada beberapa orang kita sedang membaca majalah Gatra, Tempo, dan Bisnis Indonesia. ... Di sini pembantu rumah tangga ikut meluruk. Mereka haus informasi, ingin menimba ilmu, menyadap berita. Terutama yang berasal dari tanah air. Apalagi fasilitas intenet gratis tersedia pada setiap lantai.



Kami masuk lift di gedung tingkat 4 atau 5. Luar biasa di ruangan segi empat itu penuh manusia, semuanya perempuan dari Indonesia.... hampir semua monitor di atasnya menggantungkan webcam. Rata-rata mereka sedang chating dengan orang lain. Mungkin dengan pacarnya, saudaranya, kawannya, di tanah air.  (hlm 224-225)

Selain itu  dikemukakan juga dampak meluapnya buruh migran wanita Indonesia di Hongkong, antara lain   menumbuhkan gejala lesbian diantara para BMI. Penulis mencatat bahwa sekitar tahun 2002 gejala lesbian menyebar di kalangan BMI, mereka membuat kelompok yang solid, bahkan sudah ada yang berani terus terang menikah secara resmi sambil berpesta pora.

Lalu bagaimana dengan gaji para BMI di Hongkong?

Gaji para anggota BMI perbulannya rata-rata 3580 HK$ (sekitar 4 juta rupiah lebih). Gaji sebesar itu tidak dinikmati oleh BMI selama 7 bulan pertama karena harus dibayarkan ke pihak agen di Hongkong yang bekerja sama dengan PT di Indonesia yang memberangkatkan mereka.
Tak jarang agen dan PT banyak yang nakal. Bahkan agen di Hongkong sering mengancam, jika selama masa 7 bulan pertama tidak bekerja dengan baik, kemudian dikembalikan ke agen lagi. Pihak agen mengancam akan mengirim sebagai pekerja di rumah bordil sebagai pelacur. 
Tak sedikit BMI yang tidak mendapatkan gaji sesuai standard umum. Besarnya bervariasi antara 1800 HK$ sampai 2000 HK$ . Adapun kontrak kerja dengan majikan rata-rata selama 2 tahun. 


(hal 236)


Selain di Switzerland dan Hongkong yang ditulis secara khusus, di buku ini juga dikisahkan sedikit tentang seorang BMI  di Mesir yang ditemui penulis. Walau mereka telah bekerja 12 tahun sebagai pembantu rumah tangga namun mereka hanya digaji sebesar 150 EGP (sekitar Rp.300.000/bulan). Gaji yang lebih kecil dibanding jika mereka bekerja dengan profesi yang sama di tanah air.



 Selain soal buruh migran tentunya masih banyak hal-hal menarik dari buku ini yang  bisa memperluas wawasan pembacanya. Yang menjadi ciri khas dan menjadi pembeda buku ini dengan buku-buku catatan perjalanan lainnya adalah soal materi sastra. Di setiap negara yang dikunjunginya selalu ada kisah tentang buku, sastra dan sastrawan sehingga kita dapat berkenalan dengan sastra dan sastrawan dari negara yang dikunjungi  penulis.

Sayangnya di buku ke-3 nya ini tidak ada sastrawan yang ditulis secara khusus seperti di buku pertama yang membahas Franz Kafka dan James Joyce di buku keduanya. Padahal ketika penulis menulis tentang kunjungannya di Mesir nama Nawal El Sadawi disebut-sebut, tentunya buku ini akan lebih 'berisi' seandainya penulis memberikan 'bonus' berupa tulisan tentang sastrawan dunia asal Mesir yang buku-bukunya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia itu,

Yang juga disayangkan adalah foto hitam putih dan peta negara dalam buku ini. Untuk foto suasana, bangunan, dan orang masih terlihat cukup jelas, yang parah adalah foto peta di setiap babnya. Karena foto peta itu terlalu kecil dan buram maka kehadiran peta di tiap bab buku ini menjadi mubazir karena tidak mungkin terbaca. Sebetulnya hal ini bisa disiasati dengan mengganti halaman berisi foto dengan kertas yang lebih baik seperti yang dilakukan di buku kedua dimana setiap foto dicetak berwarna diatas kertas art paper, sehingga bisa terlihat dengan jelas.

Terlepas dari hal di atas, buku ini sangat menarik untuk dibaca bagi siapa saja yang ingin mendapat gambaran negara-negara di dunia lengkap dengan budaya, politik, dan sastra. Detailnya penulis menggambarkan dan menangkap realita yang ditemuinya selama perjalanannya membuat ada banyak kejutan yang akan kita temui dalam buku ini, misalnya Suku Masai di Kenya yang minum darah sapi dicampur susu, patung dewa di Mesir untuk perempuan hamil .yang harus dilihat sambil tersenyum supaya terkabul bisa hamil, hingga pop-mie buatan Indomie di pasar tradisional Yordania.

@htanzil


Review :
Menyusuri Lorong-Lorong Dunia jilid 1
Menyusuri Lorong-Lorong Dunia jilid 2

Tuesday 10 July 2012

Picture of Wisdom

[No. 292]
Judul : Picture of Wisdom
Penulis : Stefan Marzuki
Penerbit : Create Space
Tebal : 24 hlm

Kita mungkin sering mendengar orang mengatkan "A picture worth 1000 words". Ya, Itulah kekuatan sebuah gambar/foto. Sebuah gambar bisa memberi banyak makna tergantung sudut pandang masing-masing yang melihatnya. Begitupun yang tedapat dalam e-book ini. Buku ini adalah buku pengembangan diri (Self Help), namun tidak seperti buku-buku pegnembangan diri pada umumnya yang berisi teks berupa teori dan langkah-langkah praktis yang harus dilakukan oleh pembacanya, buku ini hanya berisi  gambar. Bukan komik, karena di buku ini sama sekali tidak ada balon percakapan. Semua isi buku ini adalah gambar.

Buku ini berisi 21 gambar-gambar yang menghibur sekaligus bermanfaat untuk dimaknai dan direnungkan oleh mereka yang melihatnya. Semua gambar-gambar menariknya dibuat secara detail dan full colour. Satu tema dibuat satu halaman gambar, kecuali ada satu gambar yang membutuhkan dua halaman buku. Ada yang membuat kita tersenyum, berpikir, namun ada juga yang membuat kening kita berkerut karena mencoba mencari tau apa maksud dari gambar-gambar tersebut.

Buku ini tentunya selain bermanfaat untuk diri sendiri tampaknya cocok juga dijadikan kado yang bermanfaat untuk rekan atau sahabat kita . Selain bagi pembaca awam, buku ini juga sepertinya bermanfaat untuk para motivator atau trainer pengembangan diri yang bisa diapakai untuk mengajar di kelas-kelas training mereka.

Yang mungkin menjadi kekurangan dalam buku ini adalah tidak adanya judul di tiap-tiap gambar kecuali di bagian daftar isi. Tentunya akan lebih baik jika di setiap panel gambar disertakan juga judul gambarnya untuk menuntun pembaca mengetahui mana gambar tunggal dan mana gambar yang bersambung ke halaman berikutnya.

Buku ini hingga review ini dibuat belum diterbitkan di Indonesia namun sudah bisa diperoleh di Amazon.com dan Blurb.com. Untuk versi e-booknya, buku ini bisa diperoleh di situs Picture of Wisdom .Kabarnya buku ini juga akan terbit di Indonesia dalam versi cetaknya.


Berikut ini dua gambar yang ada dalam buku "Picture of Wisdom"





@htanzil
 
ans!!