Tuesday 31 July 2012

Revolusi Di Nusa Damai

Review ini merupakan re-post review yang pernah saya buat dan saya tayangkan di blog ini.
Berhubung para Blogger Buku Indonesia (BBI) saat ini sedang menggelar posting bareng Historical Fiction, dan hingga review ini ditayangkan belum ada satupun yang memposting review His Fic yang bernuansa lokal, maka saya pilih review lama saya ini untuk ditayangkan dalam Posting Bareng Historical Fiction.


Judul : Revolusi Di Nusa Damai
Penulis : K’tut Tantri
Penerjemah : Agus Setiadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : II, Agustus 2006
Tebal : 368 hlm ; 23 cm



“Saya berusaha memaparkan cita-cita bangsa Indonesia pada seluruh rakyat di dunia – yaitu kemerdekaan, hak untuk membangun negara sendiri. Saya juga ingin menandaskan pada Belanda – dan sedikit banyak juga pada Inggris – mengenai kesalahan besar yang mereka lakukan selama ini.” (hal 242)

Kalimat itu diucapkan oleh K’tut Tantri kepada para wartawan dari dalam dan luar negeri yang mewawancarinya perihal keterlibatannya dalam menyebarluaskan kemerdekaan Indonesia melalui corong Radio Pemberontak.

K’tut Tantri adalah nama lain dari seorang wanita warga negara Amerika keturunan Inggris yang pernah tinggal lima belas tahun di Indonesia dari 1932-1947. Awalnya K’tut Tantri yang hobi melukis ini tak puas dengan pekerjaannya sebagai seorang jurnalis di Amerika Serikat. Ia memiliki jiwa petualang yang membuatnya selalu ingin berkelana ke tempat-tempat jauh sambil melukis apa yang dilihatnya. Keinginannya semakin membuncah ketika ia menonton film berjudul Bali, The Lost Paradise. Seolah menemukan jalan hidupnya ia segera menuju Bali dan memutuskan untuk menetap disana.

Takdir membawanya bertemu dengan Raja Bali yang mengangkatnya menjadi anak keempat dan memberinya nama baru ‘K’tut Tantri’. Perilaku masyarakat Bali membuat dirinya kerasanan untuk tetap tinggal disana, iapun membangun sebuah hotel di Kuta untuk membiayai hidupnya, bukan hal yang mudah karena pemerintahan kolonial Belanda tak menyukai dirinya bergaul rapat dengan penduduk setempat. Ia juga melihat bagaimana penduduk Bali harus hidup dalam kemiskinan akibat sistem kolonial yang mengabaikan kesejahteraan tanah jajahannya. Anak Agung Nura, putera Raja Bali menggerakkan hatinya untuk turut dalam kancah politik guna menentang pemerintahan Belanda.

Di zaman pendudukan Jepang, K’tut Tantri ikut dalam gerakan bawah tanah guna menumbangkan kekuasaan Jepang. Malang nasibnya karena ia ketahuan oleh Kampetai dan dipenjara selama kurang lebih dua tahun, disiksa dan dianiyaya melebihi atas-batas peri kemanusiaan.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia turut berjuang bersama-sama Bung Tomo dalam menyuarakan kemerdekaan indonesia di Radio Pemerontak –Surabaya. Kemudian bekerja untuk Kementerian Penerangan dan Pertahanan di Jogya. Tugasnya antara lain menyebarluaskan informasi keadaan Indonesia dalam bahasa Inggris dalam pidato radio, menembus blokade Belanda menuju Singapura, menyeludupkan utusan Liga Arab masuk Indonesia dan akhirnya menuju Australia guna mencari dukungan internasional.

Seluruh kisah kehidupannya diatas itulah yang ia tuangkan dalam novel dokumenternya Revolt in Paradise yang pertama kali diterbitkan oleh New York Harper, USA pada tahun 1960. Dalam bukunya ini K’tut Tantri membagi kisahnya dalam tiga bagian besar yang meliputi periode 1932-1941 (Melanglang Buana), 1942-1945 (Firdaus Yang Hilang), dan 1945-1948 (Berjuang demi Kemerdekaan).

Di bagian pertama (Melanglang Buana) pembaca akan diajak melihat keeksotisan natural penduduk Bali yang terekam dengan baik, ketika ia untuk pertama kalinya menyusuri Bali dengan mobilnya ia melihat bahwa; Di sepanjang jalan maupun di sawah, para wanita dengan polos memperagakan payudara yang sintal sementara mereka berjalan beriringan sat-satu sambil menjunjung beban yang tidak kecil ukurannya di atas kepala (hal 25)

Sedangkan kehidupan dalam puri raja anak Agung Gede Agung beserta kegiatannya juga terekam dengan menarik dalam buku ini. Tak hanya itu dalam buku inipun pembaca akan mendapat gambaran mengenai pandangan pemerintahan kolonial terhadap masyarakat Bali, hal ini terungkap dalam percakapan seorang asisten kontrolir Belanda pada K’tut Tantri menanggapi keinginan K’tut Tantri untuk tinggal bersama masyarakat Bali.


“Jika Anda mencoba hendak hidup seperti orang Bali, pengaruhnya akan buruk sekali terhadap pribumi dan hormat mereka terhadap orang kulit putih. Percayalah pemerintah kolonial pasti 
tidak suka. (hal 31)

Berbagai cerita menarik terungkap di bagian ini, selain pesona keindahan budaya Bali bagian ini juga mengungkap sepak terjang K’tut Tantri ketika ia berusaha untuk mewujudkan impiannya dengan mendirikan hotel di daerah Kuta Bali walau hal ini tidak mudah karena ditentang dengan keras oleh pemerintah Belanda.

Di bagian kedua (Firdaus Yang Hilang) pesona dan keindahan alam Bali tak lagi terceritakan, dimulai dengan kisah masuknya Jepang ke pulau Bali, dibagian ini pembaca akan disuguhkan dengan kisah tragis yang dialami oleh K’tut Tantri selama ia berada dalam tawanan Jepang di Surabaya. Penjara yang kotor dan siksaan yang diluar perikemanusiaan harus dialaminya karena ia dituduh sebagai mata-mata Amerika. Meringkuk dalam penjara pun bukan main menderitanya karena sepanjang hari, dari pukul enam hingga pukul sembilan malam para tawanan tidak diizinkan untuk duduk, melainkan harus berlutut, tak peduli betapa nyerinya otot-otot mereka. (hal 160). Belum lagi siksaan-siksaan keji saat interogasi dimana K’tut Tantri harus ditelanjangi, diikat, dipukul dan digantung hingga sendi-sendinya hampir putus hingga beberapa kali jatuh pingsan.

Pada bagian ketiga (Berjuang demi Kemerdekaan), kisah dalam buku ini semakin menarik dan menegangkan karena selepas dari tawanan Jepang K’tut Tantri bergabung dengan para pejuang kemerdekaan di bawah pimpinan Bung Tomo. Ia bertugas meyampaikan perkembangan yang terjadi di Indonesia dalam bahasa Inggris melalui siaran Radio Pemberontak dimana di tempat ini juga Bung Tomo mengadakan siaran dua kali setiap malam untuk membakar semangat pejuang-pejuangnya. Kesannya ketika bertemu dengan Bung Tomo terungkap sbb :


Orangnya tampan, bertubuh kecil. Umurnya saat itu paling banyak baru 26 tahun. Tindak-tanduknya menarik, selalu sederhana serta polos. Sinar matanya berkilat-kilat penuh semangat. Kemahirannya berpidato hanya bisa dikalahkan oleh Presiden Sukarno. (hal 223)

Selain dengan Bung Tomo, bagian ini mengisahkan pula pertemuan dan persahabatannya dengan tokoh-tokoh kemerdekaan Indonesia, antara lain Amir Syarifudin, dan Presiden Soekarno. Bahkan ia sempat diminta untuk membuat naskah pidato radio bahasa Inggris yang akan dibacakan oleh Presiden Soekarno. Kesan terhadap pertemuannya dengan Presiden Soekarno membuat Kut Tantri menulis dalam buku ini bahwa Presiden Soekarno adalah sosok yang pandai mengambil hati wanita, memiliki selera humor yang tinggi, rendah hati dan amat mencintai ibunya (hal 245)

Hal menarik lainnya adalah bagaimana serunya ketika K’tut Tantri berusaha membongkar usaha sebuah komplotan untuk menjatuhkan Bung Karno, atau ketika ia menerima tugas untuk berangkat menuju Australia guna mencari dukungan internasional. Selain diajak merasakan ketegangan yang dialaminya berbagai kisah-kisah menarik juga tersaji dalam bagian ini, seperti ketika ia dibuatkan paspor Indonesia dengan nomor urut 1 yang berarti merupakan paspor pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Pengalamannya bertemu dengan orang-orang Indonesia di Singapura sebelum berangkat menuju Australia juga terungkap di bagian ini. Salah satu yang menarik sekaligus ironis mungkin pengalamannya menemui kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh pedagang-pedagang asal Indonesia, hal ini membuat hatinya pedih karena sementara para koruptor asal indonesia hidup dalam kemewahan, ribuan rakyat jelata di Indonesia, yang bertempur dengan pakaian compang-camping, berjuang penuh lumpur dengan bersenjatakan golok dan bambu runcing untuk mempertahankan kemerdekaan (hal 328).

Kisah K’tut Tantri dalam buku ini berakhir ketika ia kembali ke New York, Amerika Serikat, ia berada di negaranya sendiri, namun hatinya merasa hampa dan rindu pada Indonesia yang merupakan tanah air keduanya. Kerinduan dan rasa cintanya pada Indonesia inilah yang menggerakkan dirinya untuk membuat memoar yang kemudian diterbitkan dengan berjudul Revolt in Paradise (1965). Tak disangka buku ini mendapat respon yang baik dari pembacanya baik di negaranya maupun di dunia internasional, sedikitnya buku ini telah diterjemahkan lebih dari 15 bahasa dunia.

Di tahun 60-an, K’ut Tantri mengunjungi Indonesia dan diterima oleh para pejabat pemerintahan termasuk oleh Presiden RI Soekarno. Di tahun 1965 buku Revolt in Paradise untuk pertama kalinya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan diterbitkan oleh Penerbit Gunung Agung dengan judul Revolusi di Nusa Damai. Rupanya cetakan pertama buku ini mendapat sambutan yang baik, terbukti hanya dalam waktu 6 bulan.buku ini dicetak ulang. Tahun 1982 hak cipta buku ini diambil alih oleh Gramedia dan dicetak dalam dua versi bahasa (Inggris dan Indonesia). Dan kini buku tersebut kembali dicetak ulang dengan kemasan baru dengan cover yang menggambarkan wanita kulit putih yang menggenakan pakaian tadisional Bali.







Buku yang kembali diterbitkan ulang oleh Gramedia ini memang sudah seharusnya hadir dan dibaca oleh masyarakat Indonesia mengingat nama K’tut Tantri kini telah dilupakan orang. Yang agak disayangkan adalah tidak adanya foto K’tut Tantri dalam buku ini. Tentunya karena buku ini bukan sekedar kisah fiksi dan K’tut Tantri bisa dikatakan sebagai salah satu pelaku sejarah di masa-masa revolusi kemerdekaan Indonesia, pemuatan foto K’tut Tantri tentunya akan memberi bobot sejarah yang lebih dalam pada buku ini. Tentunya bukan hal yang sulit untuk memperoleh foto diri K’tut Tantri, apalagi jika kita melihat cetakan tahun 1965, di buku tersebut disajikan beberapa buah foto K’tut Tanri termasuk ketika ia diterima oleh Presiden Soekarno di tahun 60-an.




Sejumlah kesalahan ketik ditemui dalam buku ini. Tidak terlalu mengganggu namun menimbulkan kejanggalan karena biasanya buku-buku terbitan Gramedia ‘bersih’ dari kesalahan-kesalahan ketik.

Namun sekali lagi usaha penerbit untuk menerbitkan ulang buku ini patut dihargai setinggi-tingginya. Setidaknya, kini nama K’tut Tantri, salah seorang Indonesianis yang terlupakan, yang telah banyak berjasa dalam menyuarakan kemerdekaan indonesia bisa kembali dikenang oleh rakyat Indonesia yang pernah diperjuangkannya.

K’tut Tantri, yang juga dikenal dengan julukan ‘Soerabaja Sue’ meninggal dunia di usianya yang ke 89 di Sydney Australia pada tahun 1997. Kecintaannya pada Indonesia dibawanya hingga mati. Peti matinya ditutup bendera Merah Putih berhias warna khas Bali. Jasadnya dikremasi di Bali dan abunya ditebar disana.

Mungkin saja orang Indonesia akan melupakan diriku apabila negara itu sudah benar-benar merdeka. Kenapa tidak? Aku kan hanya ombak kecil di tengah alun banjir semangat kemerdekaan. (K’tut Tantri, hal 355)



(K'tut Tantri saat diwawancarai oleh sejumlah media)

@htanzil

No comments:

Post a Comment

 
ans!!