Thursday 29 December 2011

Sampul Buku Favorit 2011

Terinspirasi oleh postingan di blog buku [Dear Readers] http://floriayasmin.blogspot.com milik Maya Floria Yasmin, saya tergerak untuk memilih sampul buku favorit menurut versi saya.
Pemilihan ini berdasarkan dari buku-buku yang
telah saya baca selama tahun 2011
ini.

Dari ke 35 buah buku yang telah saya baca selama tahun 2011 ini,
inilah tiga buah sampul buku favorit 2011 versi [Buku Yang Kubaca]
yang saya susun berdasarkan urut judul bukunya







Judul : Buku2 yg Mengubah Dunia
Penulis : Andrew Taylor
Penerbit : Erlangga
Terbitan : Agst 2011
















Judul : Letters to Sam
Penulis : Daniel Gotlieb
Penerbit : Gagas Media
Cetakan : Juli 2011


















Judul : Piramid
Penulis : Ismail Kadare
Penerbit : Margin Kiri
Cetakan : Agustus 2011












Lalu apa buku favorit versi [Buku Yang Kubaca] ? , nantikan daftarnya di minggu pertama Januari 2012 nanti. :)

@htanzil

Wednesday 28 December 2011

Raise The Red Lantern by Su Tong

No. [282]
Judul : Raise The Red Lantern - Persaingan Para Istri
Penulis : Su Tong
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penerbit : Serambi
Cetakan : I, November 2011

Novel Raise The Red Lantern adalah kisah tentang persaingan keempat istri Chen Zuoquan dalam memperebutkan perhatian tuannya. Seperti yang sudah menjadi hukum alam, rasanya tak ada seorangpun yang memiliki istri lebih dari satu dapat memperlakukan istri-istrinya dengan adil. Walau mungkin di permukaan tampak rukun-rukun saja namun entah dalam benak terdalam mereka.

Itulah yang menjadi dasar kisah dari novel ini. Dengan Teratai sebagai pusat cerita, novel ini menggambarkan dengan sangat baik bagaimana para istri-istri saling berebut perhatian dari sang suami. Ketika Teratai diambil untuk menjadi istri keempat, usianya baru berusia 19 tahun. Saat itu ia baru satu tahun kuliah ketika pabrik teh ayahnya bangkrut sehingga ia harus berhenti kuliah. Tiga hari kemudian ayahnya mati bunuh diri. Oleh ibu tirinya Teratai diberikan dua pilihan antara bekerja dan menikah, ia memilih menikah dengan orang kaya dan ibunya memilihnya untuk dinikahkan dengan Chen Zuoqian, seorang Tuan Besar kaya yang saat itu telah berusia 50 tahun dan telah memiliki 3 istri.

Kehadiran Teratai sebagai istri keempat tentu saja menimbulkan kecemburuan dari ketiga istri Tuan Chen apalagi Teratai sebagai istri termuda memang mendapat perhatian yang lebih dari Tuan Chen. Hal ini membuat ketiga istri lainnya saling bersaing, berusaha dengan segala cara untuk menjauhkan Teratai dari kasih sayang suami mereka. Dalam persaingan itu para istri beradu siasat, mulai dari cara yang halus dengan berpura-pura berbuat baik, saling fitnah, menggunakan ilmu hitam, dan bahkan berupaya segala cara dengan rela mempertaruhkan nyawa mereka. Tak hanya harus menghadapi intrik-intrik jahat yang dibuat ketiga istrinya itu, ternyata pembantu setianyapun mencoba untuk menyingkirkan Teratai dari kasih sayang Tuan Besarnya.

Walau tema kisah persaingan antar istri seperti ini merupakan hal yang sering kita baca dan lihat di film-film, namun kisah dalam novel ini sangatlah menarik dan dramatis, namun bukan dramatisasi kepediahan tiada akhir yang diketengahkan dalam novel ini melainkan bagaimana penulis meramu kisah yang biasa ini menjadi luar biasa melalui penokohan karakter Teratai dan ketiga istri-istrinya yang diramu dengan aroma kisah mistis, kejiwaan, dan kultur budaya patriakhi China yang kuat.

Kakarter Teratai sebagai pusat kisah dalam novel ini menjadi hal yang paling menarik untuk dicermati Teratai bukan digambarkan sebagai tokoh yang sempurna dengan kesabarannya menanggung derita hingga dewi fortuna menghampirinya seperti layaknya sinetron-sinetron kita. Tidak! Teratai adalah sosok yang tegar, ia tak menyerah begitu saja terhadap intrik-intrik yang dilakukan oleh ketiga istri suaminya. Ia melawan dengan caranya sendiri, ia bisa bersahabat, namun ia juga bisa bersikap keji seperti dengan sengaja melukai istri kedua saat memotong rambutnya, atau memaksa pembantunya untuk menelan kertas toilet kotor yang diduga sebagai alat untuk mengguna-gunanya.

Novel ini juga mencerminkan kegalauan para istri akan pertanyaan yang mungkin menjadi pertanyaan dari setiap istri yang dimadu yaitu, “Siapa yang paling disayang?”. Walau terlihat dengan jelas kalau Tuan Chen mempunyai perhatian yang lebih padannya, namun Teratai masih juga ragu dan sering bertanya pada suaminya siapa dari keempat istrinya yang paling disayanginya.

Terbaginya perhatian, perbedaan usia hingga berpengaruh pada urusan ranjang ternyata bisa menimbulkan banyak persoalan dan memicu terjadinya perselingkuhan pada pria yang berpoligami, demikian pula seperti yang terungkap dalam kisah ini dimana istri ketiga memiliki hubungan asmara dengan seorang dokter, hal ini pula yang hampir saja dilakukan oleh Teratai yang diam-diam mengagumi Feipu , anak pertama dari istri pertama yang usianya tak terlalu terpaut jauh darinya.

Soal perselingkuhan ini sepertinya telah menjadi kutukan atas keluarga Chen yang selalu dibayangi oleh tragedi bunuh diri dalam sebuah sumur tua yang sengaja digali untuk orang-orang yang ingin bunuh diri. Dan memang sumur itu digunakan sebagai tempat bunuh diri oleh para istri-istri dari generasi terdahulu yang kedapatan berselingkuh. Sumur tua atau yang juga disebut sebagai 'sumur kematian' ini pula yang menjadi aroma mistis di sekujur tubuh novel ini. Arwah penasaran para istri yang bunuh diri dalam sumur itu membuat Teratai merasa tertekan karena ia selalu merasa para arwah itu memanggil-manggilnya untuk terjun ke dalam sumur kematian itu.

Satu hal yang unik dari Novel ini adalah, penulis tampaknya tak memberikan informasi yang jelas mengenai setting waktu dimana kisah ini bergulir, hanya ada beberapa hal kecil yang mungkin bisa menjadi petunjuk yaitu masih digunakannya tandu untuk transportasi, lentera merah yang dipasang di depan kamar istri, dan telah digunakannya kertas toilet untuk membersihkan diri. Nah melalui petunjuk2 sederhana itu sepertinya penulis sengaja memberikan kebabasan bagi para pembacanya untuk menduga-duga atau menafsirkan sendiri di tahun atau abad keberapa kisah ini terjadi.

Yang juga mingkin bisa menjadi petunjuk bagi pembacanya untuk menafsirkan setting waktu di novel ini adalah pandangan tokoh-tokohnya menyangkut kedudukan dan peran wanita yang terungkap dalam novel ini. Dari percakapan antar tokohnya terungkap bahwa saat itu budaya patriakhi masih mengakar dengan kuat di China dimana ketika seorang pria semakin kaya maka dia menginginkan wanita, begitu dia menginginkannya, dia tidak akan pernah merasa cukup sehingga harus beristri banyak dimana hal ini juga menjadi simbol kemakmuran dan keberkuasaannya.

Di novel ini terungkap bahwa wanita hanyalah pemuas nafsu pria dan alat untuk melahirkan keturunan semata. Ketika seorang wanita tidak dapat dapat melahirkan anak laki-laki untuk untuk suaminya maka kesulitan dan malapetaka akan menimpanya. Bagaimana kedudukan dan peran wanita di masa itu tercermin dalam percakapan antara Teratai dengan istri ketiga dari suaminya, “Aku belum mengeri apa arti wanita, Mahluk jenis apa wanita itu? Kita sama seperti anjing, kucing, ikan mas, tikus.. kita hanya seperti sesuatu, sesuatu selain manusia” (hal 74)

Pada akhirnya novel ini memang tidak hanya membuat kita terpukau oleh drama kehidupan dari persaingan para istri saja, melainkan kita juga akan diajak menyelami sisi-sisi terdalam dari batin para istri yang dibenturkan pada kenyataan hidup yang kejam akibat poligami yang dilakukan suaminya, selain itu novel ini juga menyingkap sisi lain kehidupan masyarakat China beserta budayanya yang hingga kini masih mengakar dengan kuat.

Tentang Penulis

Su Tong (48 thn) adalah nama pena dari Tong Zhonggui, penulis kelahiran Shuzou China, dia memperoleh gelar Sarjana Satra dari Beijing Normal University. Su Tong dikenal karena gaya menulisnya yang kontroversial dan diakui sebagai salah satu penulis terdepan China saat ini selain Mo Yan, penulis Big Breast and Wide Hips.

Su Tong hingga kini telah menulis tujuh novel dan lebih dari 200 cerpen yang sebagian telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Novel Raise the Red Lantern adalah karya pertamanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Novel ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Wives and Concubines. Kemudian novel ini berganti judul menjadi Raise the Red Lantern berdasarkan judul versi filmnya yang dibuat oleh sutradara terkemuka Zhang Yimou dengan Gong Li sebagai Teratai. Film yang dirilis pada tahun 1191 ini mendapat sambutan hangat di berbagai festival film dunia. Adapun yang menjadi dasar dari penggunaan judul film dan bukunya ini adalah berdasarkan adegan pemasangan lampion merah setiap malam di depan kamar salah satu istri tuan besar Chen yang akan dikunjungi olehnya.

Karena filmnya menjadi lebih terkenal dibanding bukunya maka sejak saat itu, edisi terjemahan bahasa Inggrisnya menggunakan judul sama seperti filmnya.



Film Raise The Red Lantern (1991)





Pada 2009 Su Tong memenangkan Man Asia Literary Prize untuk novelnya The Boat to Redemption. Pada 2011 ia juga masuk dalam nominasi peraih Man Booker International. Semoga dalam waktu dekat Penerbit Serambi juga dapat menerjemahkan novel tersebut.


@htanzil

Monday 26 December 2011

Perempuan Kembang Jepun




Lan Fang in Memoriam

(5 Maret 1970 - 25 Desember 2011)




Untuk mengenang karya seorang kawan yang baru saja berpulang, saya re-post kembali review salah satu novel karyanya, Perempuan Kembang Jepun

Perempuan Kembang Jepun

Judul : Perempuan Kembang Jepun
Penulis : Lan Fang
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Oktober 2006
Tebal : 288 hal ; 20 cm
Harga : Rp. 35.000,-


Kembang Jepun adalah nama sebuah kawasan di kota Surabaya. Entah didapat dari mana asal muasal istilah Kembang Jepun. Konon, di jaman Jepang kawasan ini adalah tempat berkumpulnya para serdadu Jepang untuk mencari hiburan lengkap dengan kembang-kembang (‘gadis-gadis’) yang setia menghibur serdadu-serdadu dan penguasa Jepang yang saat itu lazim disebut ‘Jepun’ sehingga kemudian daerah itu dinamakan “Kembang Jepun” yang berarti “kembangnya jepang”

Selain itu Kembang Jepun sejak jaman Belanda dan Jepang juga dikenal sebagai kawasan perdagangan yang banyak didiami oleh orang-orang China. Mereka membuka toko-toko dan restoran lengkap dengan tempat hiburan malamnya, bahkan hingga kini Kembang Jepun merupakan daerah sentra perdagangan terbesar di Surabaya dan juga dikenal sebagai China Town-nya Surabaya.

Ketenaran dan legenda kawasan ini pula setidaknya telah mengilhami para sastrawan untuk berkreasi berdasarkan legenda yang menyelimutinya. Sebut saja sastrawan senior Remy Sylado yang pada tahun 2003 menerbitkan novel berjudul “Kembang Jepun”, kini di tahun 2006 ini penulis asal Surabaya Lan Fang melahirkan sebuah novel yang memiliki judul yang hampir sama dengan novel Remy Sylado. Novel keempat Lan Fang yang kabarnya dikerjakan selama 3 tahun ini diberinya judul “Perempuan Kembang Jepun”.

Dengan latar belakang kawasan Kembang Jepun di Surabaya pada tahun 1940-an, novel ini bercerita tentang tokoh Matsumi, seorang perempuan Jepang yang berprofesi sebagai geisha. Matsumi adalah wanita cantik yang lahir dari sebuah keluarga miskin di Jepang, kemiskinannya membuat dirinya dijual oleh keluarganya sebagai geisha di distrik Gion di Kyoto

Matsumi tumbuh menjadi geisha yang berbakat. Berkat kecantikan dan kemahirannya dalam memainkan shamisen, bernyanyi, membaca puisi, menemani tamu, memijat, hingga memuaskan hasrat seks para tamunya, lambat laun ia menjadi seorang geisha yang terkenal di Kyoto. Pada saat puncak ketenarannya itulah Matsumi ditawari untuk mengikuti Shosho Kobayashi ke Indonesia. Baginya ini adalah kesempatan emas karena Shosho Kobayashi akan memegang peranan posisi penting di Indonesia selaku panglima perang tentara Jepang. Hal ini berarti Matsumi akan menjadi perempuan penting.

Karena geisha hanya ada di Jepang sedangkan jika ada perempuan Jepang yang menjadi penghibur di luar Jepang dianggap merendahkan martabat bangsanya, maka Matsumi masuk ke Indonesia dengan menyamar sebagai wanita China dengan nama Tjoa Kim Hwa.
Sesampai di Surabaya Matsumi menjadi wanita penghibur di klub hiburan milik Hanada-San yang melayani Sosoho Kobayasi dan tamu-tamu penting lainnya di kawasan Kembang Jepun

Di klub hiburan Hanada-san Matsumi beremu dengan Sujono, seorang kuli angkut kain yang bekerja di Toko Babah Oen yang kerap menantar kain di tempat Matsumi bekerja. Sujono memang sangat lihai memikat hati wanita, lambat laun Matsumi jatuh ke pelukan Sujono. Matsumi sadar bahwa Sujono telah beristri dan memiliki anak, namun ia tak kuasa menahan bujuk rayu Sujono yang piawai meluluhkan hatinya. Belum lagi Matsumi berkeyakinan jika ia tinggal bersama Sujono maka ia akan membentuk sebuah keluarga yang indah dan membuat dirinya menjadi seorang perempuan yang utuh dan melayani suami

Dari hubungan tersebut kemudian lahirkan seorang anak perempuan bernama Lestari. Namun apa yang diidam-idamkan Matsumi untuk membentuk keluarga yang indah dengan Sujono sangat jauh dari kenyataan. Lambat laun sifat buruk Sujono terungkap. Sujono yang gila sex lebih menikmati keindahan tubuh Matsumi dibanding bertanggung jawab terhap pemenuhan kebutuhan pokok keluarga yang telah dibentuknya. Walau Sujono mencintai Matsumi namun baginya Matsumi hanyalah pemuas nafsu sex-nya dan pelarian dari kehidupan rumah tangganya dengan istirnya (Sulis) yang kerap diwarnai pertengkaran.

Pekerjaan Sujono sebagai seorang kuli tentu saja tak bisa memenuhi kebutuhan dua istrinya. Matsumi terpaksa menggunakan uang tabungannya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Di sinilah konflik mulai meruncing. Ketika tabungan Matsumi habis sedangkan Sujono tetap tak berusaha untuk memenuhi kebutuhannya, akhirnya setelah Jepang kalah Matsumi lari meninggalkan Sujono. Matsumi kembali ke negaranya dengan meninggalkan anak dan suaminya.

Tema pencarian cinta sangat kuat dalam novel ini. Ibu mencari anak, anak mencari ibu, suami mencari cinta istri, dan seorang geisha mencari cinta sejati. Lan Fang menyuguhkan novel ini dengan menarik. Selain tokoh Matsumi dan Sujono, novel ini mengupas juga kehidupan tokoh-tokoh lain yang masing-masing diceritakan dalam bab-bab tersendiri.

Pada tiap bab, penutur ceritanya adalah tokoh yang menjadi kupasan pada bab tersebut. Jadi novel ini memiliki bab-bab tersendiri yang mengisahkan dan mengungkap karakter-karakter Sulis, Matsumi, Tjoa Kim Hwa, Sujono, dan Lestari . Hampir seluruh tokoh digambarkan secara kelam dan memiliki pilihan-pilihan hidup yang salah dan sulit untuk dijalani.

Dengan adanya bab-bab tersendiri dari masing-masing tokoh dalam novel ini, maka semua karakter tokoh yang muncul tereksplorasi dengan baik, dan masing-masing peristiwa dilihat dari sudut pandang tokohnya masing-masing. Membacanya seperti menyusun sebuah rangkaian puzzle yang lambat laun akan memberikan gambaran utuh dari kisah dalam novel ini.

Dibalik kisah cinta yang pedih, novel ini juga mengungkap bagaimana kejinya para tentara-tentara Jepang dalam memuaskan nagsu berahi mereka. Seorang wanita penghibur bisa digilir sepuluh hingga lima belas tentara Jepang karena jumlah mereka lebih banyak dibanding wanita penghibur. Selain itu merekapun tidak dibayar, alih-alih membayar para perempuan itu diberi tempelengan dan siksaan yang diluar peri kemanusiaan.

Selain itu novel ini juga menyajikan sekilas kehidupan dan filosofis kehidupan seorang geisha. Bagi mereka yang pernah membaca Memoir of Geisha – Arthur Golden mungkin bukan hal yang asing, namun bagi yang belum pernah membacanya novel ini setidaknya bisa memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai perbedaan seorang geisha dengan wanita penghibur biasa.

Untuk memudahkan imajinasi pembacanya akan sosok Matsumi novel ini juga menyajikan beberapa buah foto yang menampilkan seorang wanita berpakaian kimono yang tak lain adalah foto diri Lan Fang, penulis novel ini.



Novel ini memang sarat dengan konflik yang pedih, pembaca akan disuguhkan berbagai rentetan peristiwa yang menyesakkan dada, semua dirangkai dengan kalimat-kalimat yang menyentuh dan indah, pilihan kalimat-kalimatnya yang puitis sangat pas dalam menggambarkan kepedihan yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Karakter-karakter tokohnya juga begitu kuat dan hidup sehingga membuat pembacanya seolah masuk dalam cerita yang ditulisnya. Pembaca akan dibuat bergelora dalam birahi, menangis, kesal, dan marah melalui karakter dan pengalaman para tokoh-tokohnya

Namun tentunya novel ini tidak dimaksudkan untuk membuat pembacanya tercekat dalam kepedihan para tokoh-tokohnya, ada berbagai makna yang bisa diambil dari novel yang menguras air mata ini. Setidaknya novel ini menyadarkan pembacanya bahwa uang dan seks bukanlah segala-galanya. Masih ada yang harus dicari dan dipertahankan yaitu cinta. Bukan sekedar cinta yang dirangkai dengan kalimat-kalimat manis dan sekedar diwujudkan dalam hubungan seks yang menggelora, melainkan cinta yang dilandasi kasih sejati yang kelak akan membangun rasa kebersamaan dan tanggung jawab dari orang yang dicintainya.

@htanzil

Thursday 22 December 2011

Air Mata Terakhir Bunda

Dalam rangka hari ibu, 22 Desember 2011, kupersembahkan review novel Air Mata Terakhir Bunda, selamat membaca, jk tertarik, baca novelnya dan dapatkan kisah cinta bunda di novel ini.

[No. 281]
Judul : Air Mata Terakhir Bunda
Penulis : Kirana Kejora
Penerbit : Hi-Fest Publishing
Cetakan : I, 2011
Tebal : 202 hlm

Doa ibu adalah segala hal bagi anak-anaknya. Ibu adalah tuhan kecil dengan ketulusan cintanya. Dia tak pernah mengharapkan balasan apa-apa dari anak-anaknya. Baginya tugasnya hanyalah memberi dan memberi. Mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, membesarkan hingga menghantarkan anaknya menjadi manusia yang berguna adalah kewajiban dari cinta yang Tuhan titipkan padanya (hal 8)

Itulah gambaraan seorang ibu dimata penulis produktif asal Surabaya, Kirana ‘Key’ Kejora. Di novelnya yang ke 9 ini Key mengisahkan bagaimana doa, ketulusan, kasih sayang, dan kegigihan seorang ibu yang dalam kemiskinannya mampu melewati getirnya hidup dengan tegar hingga anak-anaknya dapat meraih cita-cita dan impiannya.

Novel yang diadaptasi dari kisah nyata ini menceritakan perjalanan hidup seorang anak bernama Delta yang dibesarkan oleh seorang ibu yang begitu mencintainya. Sriyani, ibu dari Delta dan Iqbal adalah seorang single parent yang harus berjuang membesarkan kedua anak laki-lakinya. Suaminya meninggalkannya begitu saja dan menikah kembali dengan wanita lain sementara hubungannya dengan Sriyani dibiarkannya menggantung tanpa status yang jelas.

Sementara suaminya hidup berkecukupan dengan wanita lain, Sriyani tertatih-tatih membesarkan kedua anak lelakinya. Walau hidup dalam kekurangan Sriyani pantang meminta bantuan dari suaminya yang meninggalkannya. Untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan membiayai sekolah kedua anaknya ia menjadi buruh cuci setrika sambil berjualan lontong kupang, makanan khas kota lumpur Sidoarjo yang ia jajakan sendiri dengan sepeda tuanya.

Walau hidup dalam kemiskinan namun Sriyani mendidik Delta dan Iqbal untuk tidak meratapi kemiskinan mereka. Ia tidak ingin melihat anaknya sedih dalam kemiskinan, dalam setiap kesempatan ia selalu menekankan pada kedua anaknya bahwa kemiskinan bukanlah petaka yang harus diratapi, tetapi harus dihadapi dengan bekerja dan bekerja.

Berbagai kesulitan hidup menerpa kehidupan mereka namun bagi Sriyani kemiskinan bukan halangan untuk membahagiakan anak-anaknya. Baginya dia selalu berusahan memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya dengan sederhana dan apa adanya. Dari ketegaran, kekuatan doa, dan cinta seorang ibu yang dahsyat inilah Delta tumbuh dan bersekolah hingga ke jenjang perguruan tinggi. Ketika gelar kesarjanaannya diraihnya, keinginannya terbesarnya adalah mempersembahkan gelarnya pada ibunya yang begitu mencintainya tanpa pamrih.

Di novel setebal 204 halaman ini pembaca akan diajak menyusuri kehidupan Delta dan ibunya. Kisah-kisah yang dihadirkan dalam setiap babnya merupakan mozaik kehidupan keluarga ini yang harus bergelut dengan kemiskinan untuk bertahan hidup. Dan ketika seluruh bab dalam novel ini selesai kita baca maka akan terbentuklah sebuah lukisan indah akan betapa agungnya ketulusan cinta seorang ibu pada anak-anaknya.

Walau menceritakan sebuah keluarga miskin namun novel yang juga mengambil setting terjadinya bencana lumpur Lapindo ini bukan novel yang cengeng, walau berjudul Air Mata Terakhir Bunda tidak ada kisah tangisan dalam novel ini karena seperti yang diungkapkan Delta tentang ibunya dalam novel ini

"Ibu tidak pernah menangis di depan kami, kalaupun ingin menangis, ibu hanya menggigit bibirnya kuat-kuat hingga berdarah, agar tangisnya tak terdengar oleh kami, anak-anak yang selalu dikuatkan dengan kata-kata...

jangan pernah menjual kesedihan dan tangismu hanya untuk masa depan, karena masa depan adalah rancangan, kehidupan adalah sekarang, hadapi!

Novel ini bukan novel yang bertangis-tangisan tetapi novel ini sanggup membuat haru pembacanya melalui dialog-dialog antar tokohnya. Selain itu novel ini juga menyampaikan pesan kehidupan tentang ketegaran sebuah keluarga yang tidak menyerah pada keadaannya dan ketulusan cinta dan pengorbanan seorang ibu yang tentunya akan menginspirasi kita semua.

Diluar kisah Delta dan ibunya, novel ini juga memberikan beberapa hal yang menambah wawasan pembacanya yaitu uraian kronologis mengenai penyebab terjadinya tragedi lumpur lapindo, kearifan lokal dari legenda misteri Candi Pari (candi purba di Siring-Porong), sejarah komedi putar pertama di dunia, hingga lontong kupang yang merupakan makanan khas kota lumpur Sidoarjo.

Sebagai sebuah novel yang mengangkat kisah perjuangan dan pengorbanan seorang ibu saya rasa novel ini berhasil mengungkapkan gambaran betapa dahsyatnya kekuatan doa dan cinta sejati seorang ibu pada anak-anaknya, hanya saja yang agak disayangkan novel ini saya rasa kurang memberi gambaran yang dramatis tentang tragedi lumpur Lapindo yang merupakan bagian dari setting kisah di novel ini.

Dampak tragedi lumpur Lapindo memang terungkap dalam novel ini, namun yang diangkat adalah orang-orang diluar tokoh utamanya, lalu bagaimana dengan dampaknya bagi keluarga Sriyani? Rasanya tragedi ini seolah tak terlalu menyentuh kehidupan Sriyani dan keluarganya. Seperinya akan lebih dramatis jika tragedi ini menyentuh langsung kehidupan keluarga Sriyani sehingga tokoh Sriyani dan keluarganya dapat mewakili bagaimana menderitanya rakyat kecil akibat bencana yang saat ini masih terus berlangsung namun ironisnya sudah sudah mulai dilupakan orang.

Terlepas dari hal diatas novel ini tampaknya cukup berhasil menarik minat pembacanya, promo novel yang dilakukan secara gencar di berbagai kota dan sosial media berbuahkan hasil yang menggembirakan. Setelah 3 minggu beredar di toko-toko buku sebanyak 5000 ekslempar, novel ini dikabarkan siap untuk dicetak ulang. Sebuah pencapaian yang luar biasa untuk novel yang diterbitkan secara indie ini. Kabar terakhir, novel ini juga telah dipesan oleh sebuah BUMN untuk mendukung program yang berkaitan dengan keluarga.

Akhir kata, semoga dengan semakin banyaknya orang yang membaca novel ini, kegigihan, ketabahan, kesabaran , dan doa seorang ibu dapat mengguhak kesadaran pembacanya untuk selalu menghargai peran seorang ibu sebagai pribadi istimewa yang dipercayakan oleh Tuhan untuk melahirkan dan membesarkan generasi penerus pewaris bumi ciptaanNya.

@htanzil

Monday 19 December 2011

Tiga Manula Jalan-jalan ke Singapura

[No. 280]
Judul : Tiga Manula Jalan-Jalan ke Singapura
Penulis : Benny Rachmadi
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : Desember 2011
Tebal : 90 hlm

Apa jadinya jika tiga orang manula jalan-jalan ke Singapura, padahal 2 dari ketiga kakek-kakek itu sama sekali belum pernah sekalipun ke luar negeri?. Tentunya ada banyak hal lucu yang akan terjadi apalagi kalau yang mengisahkannya adalah komikus terkenal Benny Rachmadi yang komik-komiknya selalu diburu oleh para penggemarnya. Dalam komik terbarunya ini seperti biasa Benny Rachmadi mengangkat peristiwa-peristiwa keseharian yang sederhana menjadi sebuah kisah yang lucu dan menghibur.

Kali ini tokohnya adalah tiga orang manula yang berusia 70-an tahun dengan latar belakang etnis yang berbeda-beda. Ketiganya bersahabat dan sama-sama suka usil, iseng, dan nakal. Mereka adalah :



Mbah Waluyo (76 tahun), bertongkat, kumis lebat, agak lambat berpikir,dan menganut kejawen,







Engkong Sanip (72 thn) ), punya kontrakan, perut cembung, dagu melengkung, ngomong ceplas-ceplos dan suka usil/jahil.






Om Liem (68 thn) pengusaha musiman, sok tau, perut buncit, mata sipit, celana nanggung, dan lemak menggantung di pinggangnya.




Di komik ini dikisahkan Om Liem mentrakhir kedua sahabatnya untuk jalan-jalan ke Singapura! Suatu pengalaman baru bagi Kakek Sanip dan kakek Waluyo karena mereka belum pernah sekalipun keluar negeri. Bisa dibayangkan bagaimana kelucuan demi kelucuan terjadi, mulai dari dalam pesawat dimana kakek Waluyo yang pusing tiba-tiba mengeluarkan minyak angin PPO yang membuat seluruh pesawat mabok karena bau minyak angin yang menyengat itu hingga saat berkemas untuk pulang dimana kakek Sanip yang berniat ingin membawa pulang bantal hotel.

Dari lembar pertama hingga lembar akhir kita akan disugihkan peristiwa demi peristiwa yang lucu dari dari perilaku ketiga manula itu, hal ini membuat pembacanya harus membacanya dalam kamar tertutup sebelum ditegur orang karena tertawa cekikikan sendiri. Ya di buku ini kita akan dibuat tertawa terpingkal-pingkal melihat pengalaman ketiga manula ini, namun jangan salah sebenarnya kita bukan sedang menertawakan ketiga manula itu saja karena sebenarnya kita sedang menertawakan diri kita sendiri. Mengapa?, karena tak jarang apa yang dilakukan oleh ketiga manula itu sebenarnya juga selalu kita lakukan.

Komik ini juga sebenarnya menertawakan perilaku manusia Indonesia yang dikenal gemar sekali berbelanja ke Singapura. Benny Rachmadi seperti biasa dengan menyentil kesana kesini, mulai dari kebiasaan khas orang kaya Indonesia ketika berbelanja hingga kelakuan politikus yang ‘kabur’ ke Singapura untuk mencari perlindungan dari jerat hukum.

Tidak hanya itu, melalui komik ini Benny Rachmadi juga menggambarkan kondisi sosial masyarkarat Singapura yang terdiri dari berbagai etnis yang dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Ingris khas Singapura yang disebut Singlish (Singaporean English).

Dalam hal penggunaan gadget Benny Rachmadi juga mengungkap bagaimana di Indonesia orang-orang begitu bangga dengan Blackberry-nya dan ketika sampai disana harus merasa minder karena di Singapuraorang-orang sudah beralih ke ipad, tablet, dan iphone.

Soal kedisiplinan penduduk Singapura juga tercermin dalam komik ini, dengan lucu Benny Rachmadi menggambarkan bagaimana sulitnya Mbah Waluyo mencari tempat untuk merokok, ketika akhirnya ia menemukan tempat di sebuah khusus untuk area merokok dan mulai menyalakan rokoknya, semua perokok di tempat itu berhamburan karena Mbah Waluyo merokok dengan rokok 'klembak menjan' (rokok menyan).

Ada banyak hal menarik yang bisa kita dapat dari novel ini, selain kondisi sosial masyarakat Singapura, komik ini juga mengungkap tentang sistem transportasi, perilaku berlalu lintas, kebersihan, gambaran kawasan kota, dan sebagainya. Soal makanan juga tak luput dari pengamatan, mulai dari makanan khas berbagai etnis yang ada di sana hingga jajajan di pinggir jalan.

Dari semua yang terungkap dalam komik ini termasuk kelucuan-kelucuan ketiga manula yang dikisahkan dalam komik ini maka komik ini bukan sekedar menghibur melainkan bisa menjadi sebuah buku tentang Singapura termasuk panduan wisata ringan bagi mereka yang ingin pergi ke Singapura.

Oya, ternyata di dalam komik ini kita juga diberi poster Tiga Manula besar yang menarik dan lucu yang diambil dari satu panel gambar di buku ini.

Demikian review untuk komik Tiga Manula ini, saya tidak akan berpanjang-panjang, silahkan menikmati komik ini.Singkatnya selain menghibur dan membuat kita cekikikan sendiri kita akan mendapat banyak yang bermanfaat hal dari perjalanan ketiga Manula usil ini. Jika ingin tertawa sambil menambah wawasan kita, bacalah buku ini.



@htanzil

Monday 12 December 2011

menggenggam dunia

No. 279
Judul : Menggenggam Dunia
Penulis : Gol A Gong
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : Oktober 2011
Tebal : 208 hlm

Pada tanggal 25 November 2011 ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) memberikan Anugerah Ikapi 2011 untuk kategori Penggerak Budaya Literasi kepada Heri Hendrayana Haris alias Gol A Gong. Gol A Gong adalah penulis produktif yang dikenal karena novel berseri remaja Balada Si Roy yang pertama kali diterbitkan oleh Gramedia di tahun 80an. Ia juga dikenal sebagai pendiri dan pengelola komunitas literasi Rumah Dunia di Serang , Banten, dan kini menjabat sebagai Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM), sebuah gerakan literasi lokal untuk meningkatan dan pengembangan budaya baca di Indonesia .

Siapa Gol A Gong? Gol A Gong tumbuh besar dalam lingkungan keluarga sederhana yang mengerti akan arti pentingnya buku bagi abak-anaknya, karenanya tak heran jika membaca buku dan menonton film menjadi hobi Gol A Gong sejak kecil. Ketika masih berusia 11 tahun ketika ia bermain bersama teman-temannya ia naik ke atas pohon kelapa, bersaing naik setinggi mungkin dan melompat. Siapa yang paling tinggi melompat, dialah pemenangnya. Ketika gilirannya ia terpeleset, jatuh dari ketinggian 3 meter sehingga lengan kirinya patah.

Penanganan yang salah dari seorang dukun pijat membuahkan malapetaka, tangan kirinya harus diamputasi sebatas sikut . Untungnya kehilangan tangan kirinya tak membuat Gol A Gong menjadi anak cacat yang minder, saat masih dirawat di rumah sakit ayahnya memberinya berbagai bacaan menarik . Hari-harinya diisi dengan membaca dan membaca sehingga imajinasinya melanglang buana, dengan membaca ia merasa menemukan dunia lain yang tidak semua orang bisa alami.

Buku-buku yang dibacanya, film-film yang ditontonnya, dan pengalaman hidupnya membuat otak kanannya dipenuhi oleh imajinasi. Ide-ide dan imajinasi yang bertumpuk dalam benaknya ia tumpahkan semua ide dan imajinasinya dengan menulis fiksi. Pada tahun 1987 berbekal mesin ketik kreditan Gol A Gong mulai menulis kisah Balada si Roy hanya dengan satu tangannya. Seluruh kisahnya diambilnya dari kisah keluarganya, tokoh utamanya Roy Boy ia daur ulang dari kisah heroik Irlandia, Rob Roy.Kisah Balada si Roy awalnya dimuat di majalah Hai, lalu kemudian diterbitkan oleh Gramedia, menjadi best seller dan menjadi awal dari kariernya sebagai penulis novel yang produktif.

Selain dikenal sebagai penulis, Gol A Gong juga dikenal sebagai atlet bulu tangkis berlengan satu yang handal, prestasinya terbaiknya adalah menyabet tiga medali emas di FESPIC Games (Far East and South Pasific Games for the Disabled) pada tahun 1988.

Gol A gong juga seorang backpacker, terilhami oleh novel 80 Hari Keliling Dunia – Jules Verne, di usianya yang ke 23 ia telah berhasil mengelilingi Nusantara dan Asia. Setiap negara yang ia lewati ia tulis dalam catatan perjalanannya dan lewat jasa Pos ia mengirim catatan perjalanannya ke majalah Anita Cemerlang di Jakarta, dimuat secara berseri hingga akhirnya diterbitkan menjadi sebuah buku.

Setelah sukses dengan Balada si Roy dan menulis catatan perjalanan, kreatifitasnya mengalir deras, puluhan novel dihasilkannya hingga akhirnya juga ia menjadi salah satu tim kreatif dan penulis skenario di RCTI. Namun Gol A Gong tak berhenti sampai disitu saja. Sadar akan pentingnya manfaat membaca dan kecintaanya pada kota Serang tempat dimana ia dibesarkan, Gol A gong yang saat itu telah menikah dan tinggal di Jakarta bertekad kembali ke Serang dan bersama istrinya mendirikan Rumah Dunia, sebuah pusat belajar jusrnalistik, sastra, rupa, dan lakon bagi anak-anak, pelajar, dan mahasiswa Serang di halaman belakang rumah mereka.



Gol A Gong di depan Rumah Dunia





Salah satu alasan yang mendorongnya untuk mendirikan Rumah Dunia di Serang, Banten adalah stigma yang melekat pada Banten sebagai kota yang serba gelap dimana ilmu hitam, debus, pellet, dan para jawaranya yang lebih mengedepankan otot ketimbang otak. Gol A gong ingin merubah cita negatif Banten, membuat para jawaranya bukan hanya mengandalkan otot melainkan jawara yang bersenjatakan pena.

Jejak kehidupan Gol a Gong di atas terurai secara rinci dalam buku autobiografinya Menggenggam Dunia. Di buku ini kita akan membaca bagaimana perjuangan Gol A Gong menggapai mimpinya untuk menggenggam dunia dan mendirikan Rumah Dunia untuk menyebarkan virus cinta buku pada generasi berikutnya

Selain kisah kehidupan Gol a Gong, buku ini juga mengisahkan sepak terjang dan perkembangan Rumah Dunia beserta relawannya dari yang semula hanya menempati garasi rumahnya hingga kini telah terbentuk sebuah kompleks Rumah Dunia sebesar 1000 m2 di halaman belakang rumahnya. Yang pada awalnya hanya diikuti oleh beberapa anak-anak kampung di sekitar rumahnya hingga kini menjadi pusat belajar bagi pelajar dan mahasiswa di kota Serang dan sekitarnya. Semuanya itu ia bangun selangkah demi selangkah dari royalty novel-novelnya dan honorariumnya sebagai penulis skenario.

Kecintaan Gol a Gong akan kota kelahirannya dan keberaniannya dalam mengkritik kondisi Banten di masa kini juga tercermin dalam buku ini, dengan gamblang ia menulis bagaimana pemerintah daerah Banten tidak mementingkan perkembangan literasi di Banten, alih-alih membangun perpustakaan pemerintah daerah Banten lebih mengutamakan pembangunan mall-mall. Praktek KKN sang gubernur pun disinggung-singgungnya secara berani, bukan untuk mengolok-ngolok namun semata karena kecintaaan Gol a Gong utuk memajukan kota kelahirannya dan menumbuhkan budaya literasi di kotanya.

Singkatnya bagi pegiat dunia literasi buku ini wajib dibaca, sayangnya ada dua hal yang mungkin bisa menjadi masukan atas buku ini. Pertama, buku ini tidak menyertakan sebuah fotopun, padahal ada berbagai kisah dan momen yang sangat baik jika diberi beberapa foto, misalnya perkembangan rumah Dunia dari awal hingga kini. Andai buku ini dilengkapi dengan foto-foto tentunya buku ini akan semakin menarik dan lebih inspiratif lagi.

Kedua, buku ini juga tidak mengungkap asal nama pena Gol A Gong, sebagai sebuah nama pena, nama tersebut sangat unik sehingga bukan tak mungkin banyak orang yang ingin mengetahui asal usul nama pena itu. Satu hal lagi yang membuat saya penasaran adalah soal penulisan nama, dulu nama pena penulisnya selalu ditulis dalam dua suku kata yaitu Gola Gong. Di buku ini nama itu ditulis menjadi 3 suku kata Gol A Gong. Pastinya ada maksud dibalik nama pena dan perubahan cara penulisannya itu. Sayangnya penulis tidak memberi penjelasan apapun mengenai hal tersebut di bukunya ini.

Terlepas dari itu buku yang ditulis secara menarik dan meninggalkan banyak jejak yang penuh inspirasi bagi pembacanya ini, melalui autobiografinya ini Gol A Gong menyadarkan kita bagaimana dahsyatnya pengaruh buku yang membentuk kehidupannya sehingga akhirnya ia bisa menemukan jalan hidupnya.

Dengan buku dunia menjadi begitu luas dan terbuka bagi dirinya. Dari buku yang ia baca ia lahirkan kata-kata yang ia rangkai menjadi buku. Dari buku-bukunya inilah ia memperoleh royalty untuk membangun Rumah Dunia yang mendidik anak-anak hingga mahasiswa untuk mencintai dunia literer sehingga jebolan rumah dunia mampu seperti dirinya, menggenggam dunia dan membawa perubahan lewat kekuatan kata-kata.

Sejarah Penerbitan

Embrio dari buku ini adalah tulisan-tulisan berseri Gol A Gong yang diberi judul “Menggenggam Dunia: Bukuku , Hatiku” yang diposting di milis Rumah Dunia. Pada akhir tahun 2004, tulisan tersebut ddimuat secara berseri di majalah perbukuan Matabaca episode pertamanya muncul dirubrik Cermin di Matabaca edisi September 2004.

Setelah pemuatan di Matabaca selesai, pada tahun 2006 tulisan tersebut diterbitkan oleh penerbit Dar! Mizan dengan judul Menggenggam Dunia: Bukuku Hatiku. Setelah lima tahun bergulir, penerbit mengembalikan hak ciptanya kepada penulisnya.






Menggenggam Dunia, Bukuku Hatiku

DAR! Mizan, 2006




Karena ada banyak permintaan dari pembaca untuk menerbitkan ulang buku tersebut, akhirnya buku ini diterbitkan ulang oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan beberapa bab tambahan dan update data. Oleh KPG buku ini menjadi bagian dari Seri Rumah Dunia.


Selain buku ini KPG juga telah menerbitkan buku Relawan Dunia yang berisi 17 cerita relawan tentang peran Rumah Dunia bagi mereka.





@htanzil


Situs Rumah Dunia http://www.rumahdunia.net/

 
ans!!