Saturday 25 July 2009

Tintin dan Picaros

Judul : Tintin dan Picaros
Penulis : Herge
Penerjemah : Anastasia Mustika W
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Februari 2009
Tebal : 62 hlm

Dalam petualangan Tintin kali ini dikisahkan bahwa sahabatnya, Bianca Castafiore dan detektif kembar Dupont dan Dupon ditawan oleh Jenderal Tapioka saat mereka melakukan tur pertunjukan di San Theodoros Amerika Selatan. Mereka dimasukkan dalam penjara atas tuduhan ingin melakukan makar terhadap pemerintahan yang sah.

Mendengar hal tersebut, Kapten Handdock berencana menyelamatkan Castariofe, awalnya Tintin menolak ikut berangkat karena curiga bahwa ini adalah sebuah jebakan dari pemerintahan Jenderal Tapioka yang dalam pengumuman resminya menyebut nama Tintin dan kawan-kawannya sebagai kelompok yang berkerjasama dengan Jenderal Alcazar untuk menggulingkan pemerintahan Jenderal Tapioka.

Setelah Kapten Haddcok dan Prof. Lakmus berangkat, tak lama kemudian Tintin pun pergi menyusul ke San Theodoros. Awalnya mereka mendapat sambutan hangat dari Jenderal Tapioka, mereka disediakan rumah yang nyaman namun akhirnya mereka sadar bahwa rumah itu adalah penjara bagi mereka. Untunglah ketika mereka berkunjung ke sebuah Piramid mereka berhasil meloloskan diri ke hutan dan saat itulah Tintin dan kawan-kawannya bertemu dengan Jenderal Alcatraz yang bersama pasukan Picarosnya sedang bersembunyi dan menyusun kekuatan untuk menyerang Jenderal Tapioka.

Setelah lolos dari kejaran tentara Tapioka, Tintin dan Alcatraz berencana untuk membebaskan Castafiore dan sekaligus menggulingkan pemerintahan diktator Jenderal Tapioka. Sayangnya pasukan Picaros yang dikomandoi oleh Jenderal Alcatraz secara mental dan disiplin telah dirusak oleh minuman berarkohol yang sengaja dipasok oleh Jenderal Tapioka untuk menghancurkan pasukan Picaros.

Banyak orang beranggapan bahwa dalam Tintin dan Picaros negara San Theodoros adalah sebuah versi satire dari sebuah negara di Amerika Selatan yang berada dibawah kekuasaan militer dimana kudeta militer terjadi silih berganti . Kerapnya revolusi yang terjadi di negara tersebut membuat eksekusi massal dengan hukuman tembak setelah sebuah revolusi adalah sebuah tradisi.

Herge dengan jeli memasukkan tradisi tersebut dalam karyanya kali ini. Dan sikap Herge dalam tradisi miltier ini terwakili dengan jelas oleh sikap dan pandangan Tintin. Ketika Acazar berencana untuk menembak mati Jenderal Tapioka jika pasukannya berhasil menggulingkan pemerintan Tapioka. Tintin segera menolak rencana itu, untungnya ia memiliki posisi tawar yang baik dimana ia berjanji akan menyembuhkan kebiasaan pasukan Picaros dari mabuk-mabukan menjadi pasukan yang disiplin asal Alcazar berjanji untuk tidak menembak mati Jenderal Tapioka jika mereka berhasil menggulingkannya.

Alcazar tak punya pilihan dan menyetujuinya karena ia sendiri menyadari tak mungkin memimpin pasukannya ke San Theodoros jika pasukannya masih dalam keadaan mabuk-mabukan seperti saat ini. Tintin sendiri berani menjanjikan hal itu karena Prof. Lakmus telah menemukan pil yang dapat membuat seseorang tak lagi menyukai minuman berarkohol. Dengan demikian Tintin berhasil mendobrak tradisi militer yang telah mendarah daging di kalangan militer San Theodoros.

Dalam buku ini Herge juga melakukan kritik sosial yang tajam, antara lain gambaran keadaan rakyat selama diperintah Jenderal Tapioka dan setelah Jenderal Alcazar merebut kekuasaan. Jika kita mencermati panel gambar di halaman 11 dan halaman 62 akan terlihat jelas bahwa siapapun yang memimpin Negara tersebut, keadaan rakyat San Theodoros yang miskin tetap tidak berubah. Hal ini menyiratkan bahwa penguasa boleh berganti namun jika pergantian rezim dimaksudkan hanya untuk meraih jabatan dan kekuasaan semata, maka rakyat tetap saja menderita.













Petualangan Tintin dan Picaros merupakan kisah petualangan Tintin terakhir yang sempat dirampungkan Herge sebelum ia wafat. Penulisan seri terakhir ini mungkin merupakan hal yang berat bagi Herge karena saat itu kesehatannya semakin memburuk. Kabarnya Herge mendapat ilham untuk menulis Tintin dan Picaros dari perjuangan Fidel Castro di Cuba.

Herge mulai mengerjakan PICAROS tahun 1973 dan selesai tiga tahun berikutnya. Seperti telah menjadi kebiasaannya untuk menggunakan referensi dari berbagai tempat di berbagai belahan dunia sebagai setting kisahnya, dalam Picaros ia terinpirasi oleh Piramid Maya suku Aztek, suku Indian Brazil Harik dan perkampungan Indian Venezuela .

@h_tanzil

Monday 13 July 2009

The Gargoyle

Judul Buku : The Gargoyle
Penulis : Andrew Davidson
Penerjemah: Ary Nilandary
Penerbit : Penerbit Kantera
ISBN: 978-979-1924-0-1-6
Cetakan : I, Juni 2009

Seorang Porn Star yang sedang berada dalam puncak kariernya mengalami kecelakaan lalu lintas, mobilnya masuk jurang dan terbakar. Untungnya, walau tepanggang bersama mobilnya dan api membakar kulit, daging, hingga menembus masuk ke tulang dan tendon, nyawanya berhasil diselamatkan.

Setelah melewati masa kritis dan koma selama dua bulan, akhirnya ia sadar. Namun ia harus menanggung akibat dari luka bakar di sekujur tubuhnya. Wajah tampan dan tubuh atletis yang merupakan modal utamanya sebagai aktor film porno hilang sudah, berganti dengan wajah yang rusak, dan tubuh yang penuh parut luka permanen yang tak mungkin bisa hilang. Selain harus kehilangan beberapa jari tangan dan kakinya, ia juga ia harus rela kehilangan penis kebanggaanya yang terbakar habis. Dokter yang menyelamatkan nyawanya tak berhasil mempertahankan kemaluannya yang telah hangus garing menyerupai sumbu terbakar.

Semuanya itu membuat harga dirinya hancur. Kariernya sebagai seorang aktor dan produser film porno tamat sudah. Karenanya saat ia melewati berbagai terapi pemulihan dan aneka operasi yang menyakitkan, diam-diam ia berencana untuk melakukan bunuh diri setelah keluar dari rumah sakit.

Ditengah dorongan untuk mengakhiri hidupnya itulah datang seorang wanita bernama Marianne Engel, seorang pematung Gargoyle (patung monster yg biasanya berfungsi sebagai talang air di bangunan-bangunan kuno) yang pada saat itu sedang dirawat di rumah sakit yang sama karena menderita schizofernia. Wanita itu mengaku telah mengenalnya sejak tujuh ratus tahun silam. Ia menghampiri pria itu dan berkata: “Kau telah terbakar lagi.”

Selama pria itu dirawat di rumah sakit Mariana Engel kerap mengunjunginya dan sedikit demi sedikit menceritakan kisah cinta mereka di masa lalu. Ia mengungkapkan bahwa mereka sebenarnya telah hidup dalam ikatan cinta selama ratusan tahun yang lalu. Di kehidupan masa lalunya, di abad ke 14, Mariana Engel adalah seorang biarawati yang bertugas menyalin dan menerjemahkan buku di skiptorium biara Engethal, sementara si aktor porno adalah seorang tentara bayaran. Mereka bertemu ketika si pria yang terluka dan terbakar akibat panah berapi yang menancap di tubuhnya dibawa oleh temannya ke biara Engethal untuk mendapat perawatan.

Sama seperti di kehidupan masa lalunya, Mariana Engel kini merawat si pria hingga sembuh. Seluruh biaya rumah sakit ditanggungnya dan selepas dari rumah sakit, ia mengajak si pria untuk tinggal di rumahnya. Selama mereka hidup bersama, Mariana Engel tetap menceritakan berbagai pengalaman yang mereka lalui di kehidupan masa lalunya. Ia juga menceritakan berbagai dongeng cinta yang indah, menggugah, dan penuh pengorbanan pada si pria tersebut.

Di kehidupan masa lalunya, Marianne Engel pernah hampir terengut nyawanya untuk menyelamatkan si pria. Namun di tengah sakratul maut ia diberi kesempatan untuk tetap hidup dengan sebuah syarat. Ia diberi ribuan jantung yang harus dibagikannya sampai habis, sedangkan jantung terakhirnya harus diberikan pada kekasihnya di kehidupannya kelak.

Di kehidupannya kini, Mariana Engel memberikan jantung-jantungnya pada patung-patung gargoyle yang dikerjakannya. Ratusan patung telah dikerjakannya dan kini masanya telah hampir habis, kepada siapa ia akan memberikan jantung terakhirnya?

Melalui kisah cinta mereka di masa lalu, dan lima dongeng cinta yang menggugah yang diuturkan oleh Marianne Engel, membuat si pria mendapatkan kembali semangat hidupnya. Niatnya untuk melakukan bunuh diri sirna sudah. Pengorbanan Marianne Engel baik di kehidupan masa lalunya maupun masa kini yang merawat dan menerima dirinya yang telah cacat secara apa adanya membuat si pria terseret dalam arus pusaran cinta.

Benarkah Marianne Engel dan si pria sebenarnya telah hidup selama tujuh ratus tahun? Apakah ini hanya khayalan gila Marianne yang pernah dirawat karena schizofernia-nya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mungkin timbul dalam benak pembaca selama membaca novel gemuk yang memikat ini. Tampaknya penulis sengaja tak memberikan penjelasan gamblang atas hal tersebut dan membiarkannya menjadi misteri dan memberi keleluasaan bagi pembaca untuk menafsirkannya dan mengembangkan imajinasinya sendiri.

Dengan memikat penulis mengajak pembacanya untuk berkelana melintasi waktu, berpindah-pindah dari dari abad pertengahan dan masa kini. Mengunjungi berbagai nergara seperti Jerman, Jepang, Italia, Islandia, Inggris, dan yang paling menarik adalah perjalanan menuju Neraka seperti yang digambarkan Dante Alighieri dalam Inferno.
Novel ini juga memadukan kisah cinta yang penuh pengorbanan dengan penggalan sejarah, filsafat, dan kehidupan biarawati lengkap dengan skiptoriumnya. Lalu disinggung pula mengenai sejarah reproduksi Alkitab dalam bahasa Jerman, sejarah penerbitan dan penerjemahan karya monumental Divine Comedy – Dante Alighieri.

Semua hal itu membuktikan bahwa novel ini dikerjakan dengan riset yang sangat dalam. Beberapa tokoh abad pertengahan dan beberapa peristiwa yang menyertainya memang benar-benar ada dan terjadi. Selain itu pembaca juga mendapat bonus pengetahuan mengenai luka bakar dan penanganan medisnya. Berbagai materi tersebut membuat novel ini sangat berpotensi untuk menambah wawasan pembacanya.

Penulis juga dengan piawai menghidupkan karakter kedua tokoh utama dalam novel ini dengan menarik. Baik Marianne Engel maupun si pria mendapat porsi yang sama dalam pendalaman karakter. Dengan sabar dan rinci penulis mendeskripsikan latar belakang kedua tokoh ini sejak kecil hingga kini lengkap dengan pergulatan batin yang mereka hadapi. Semuanya ini membuat pembaca memperoleh gambaran utuh mengenai tokoh dan kisah yang dibangun dalam novel ini.

Ragamnya aspek materi, cerita, serta lompatan-lompatan waktu dari masa lalu ke masa kini tentunya membuat pembaca harus sedikit lebih konsentrasi dalam membaca novel ini, belum lagi ditambah dengan selipan beberapa dongeng mengenai cinta sejati yang dituturkan oleh Mariana Engel pada si pria. Untungnya perpindahan waktu, setting, dan kisahnya tersaji dengan rapih sehingga pembaca sadar ke waktu dan kisah mana mereka sedang berada.

Kisah cinta yang dahsyat, penggalan sejarah abad pertengahan, karakter tokoh yang menarik, dan unsur medis penanganan luka baker yang terdapat dalam novel ini diramu sedemikian rupa sehingga menghadirkan kisah yang menarik dan sulit untuk dilupakan. Tak heran jika novel perdana Andrew Davidson ini langsung meraih sukses ketika pertama kali diterbitkan di tahun 2007. Selain memperoleh penghargaan sebagai Fist Fiction Award 2008, novel ini juga masuk dalam beberapa daftar best seller seperti di New York Time Best Seller, Publisher Weekly Best Seller, Canadian Best Seller, dll. Akankah novel ini menuai sukses di Indonesia?

Terjemahan yang sangat baik, cover yang menarik dan promosi yang gencar tentunya diperlukan agar novel ini juga dapat terbaca oleh para pecinta sastra dan menjadi best seller di Indonesia. Nama Andrew Davidson mungkin masih terasa asing didengar oleh para pecinta novel fiksi di Indonesia karenanya sangat disayangkan pada edisi terjemahannya tak disertakan keterangan apapun mengenai penulisnya.

Tentang Penulis

Andrew Davidson (lahir, 12 april 1969) adalah penulis kelahiran Kanada lulusan University of British Columbia jusrusan Sastra Inggris, Ia pernah tinggal di Jepang dan bekerja sebagai guru dan penulis dari English lessons for Japanese Web sites. The Gargoyle adalah novel pertamanya yang ditulis dengan melakukan riset mendalam selama tujuh tahun lamanya. Novel ini pertama kali diterbitkan di Amerika oleh penerbit Doubleday pada tahun 2007, lalu menyusul oleh Random House di Canada, Canongate di Inggris, Text di Australia, dll, Kini Davidson tinggal di Winnipeg, Manitoba, Canada.

@h_tanzil

Wednesday 1 July 2009

Coraline

Judul : Coraline

Penulis : Neil Gaiman

Adaptasi & Ilustrasi : P. Craig Rusell

Alih Bahasa : Maya Aprillisa

Penerbit : m&c!

Cetakan : I, 2009

Tebal : 185 hlm

Genre : Novel Grafis



Novel grafis Coraline merupakan adaptasi dari novel horor fantasi Neil Gaiman dengan judul yang sama, ‘Coraline’. Novelnya sendiri terbit pada tahun 2002 dan berhasil meraih beberapa penghargaan yaitu Hugo Award for Best Novella 2002, Nebula Award for Best Novella 2003, dan Bram Stoker Award for Best Work for Young Readers 2002. Karenanya tak heran jika novel ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia. Di Indonesia sendiri sendiri novel Coraline telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2004 yang lalu.



Pada tahun 2008, Coraline diadaptasi menjadi novel grafis oleh P. Craig Rusell, pemenang Harvey and Eisner Awards yang merupakan penghargaan bergengsi di dunia komik. Coraline adalah kolaborasi kelimanya bersama Neil Gaiman. Seolah tak ingin dilupakan orang, kisah Coraline terus bergaung hingga kini, terbukti dengan diadaptasinya kisah ini kedalam stop-motion animation yang disutradarai oleh Henry Selick (sutradara The Nightmare Before Christmas) dan telah dirilis pada Febuari 2009 yang lalu.



Walau filmnya tidak diputar di bioskop-bioskop tanah air, penggemar karya-karya Neil Gaiman di Indonesia tetap terhibur dengan diterjemahkannya novel grafis Coraline kedalam bahasa Indonesia dengan kualitas cetak yang sangat baik serta dicetak di atas kertas mengkilap sehingga semua keindahan ilustrasi Craig Rusell tersaji secara sempurna.



Dikisahkan Coraline adalah anak tunggal dari sebuah keluarga yang baru saja pindah ke sebuah rumah tua yang besar. Saking besarnya, rumah itu dibagi menjadi beberapa flat. Coraline dan keluarganya menepati salah satu flat, sementara flat lainnya dihuni oleh dua mantan artis yang telah tua, yaitu Miss Forcible dan Miss Spink, sedangkan flat lainnya ditempati oleh Mister Bobo, seorang pelatih sirkus tikus.



Walau Coraline merupakan anak tunggal namun tak berarti ia mendapat perhatian yang penuh dari kedua orang tuanya. Ibu dan ayahnya terlalu sibuk dengan pekerjaanya masing-masing sehingga Coraline selalu merasa kesepian. Untuk mengusir rasa sepinya Coraline menyusuri seluruh ruangan yang ada di flatnya. Ketika memasuki ruang perjamuan yang hanya digunakan untuk acara-acara penting ia menemukan sebuah pintu yang terkunci. Ternyata saat dibuka, yang ada di balik pintu terkunci itu hanyalah tembok bata. Dahulu sebelum rumah itu dibagi menjadi beberapa flat, pintu itu tembus ke flat sebelah yang hingga kini masih dibiarkan kosong. Karenanya akses menuju flat sebelah ditutup dengan tembok batu-bata.



Beberapa hari kemudian, saat kedua orang tuanya tak ada di rumah, Coraline tergerak untuk membuka kembali pintu yang telah tertutup tembok itu. Anehnya ketika ia membuka pintu itu, tembok batu bata itu lenyap dan berubah menjadi sebuah koridor gelap. Rasa penasarannya membuat Coraline menyusuri koridor gelap itu dan sampailah ia ke sebuah ruangan yang persis sama dengan flatnya. Di situ juga ada ayah dan ibunya, hanya saja jari-jari tangan ibunya tampak lebih panjang dan mata mereka terbuat dari kancing hitam.



Caroline seolah masuk dalam dunia baru yang paralel dengan dunia nyata, hanya saja dunia di balik pintu ini ia melihat banyak keanehan seperti hewan yang bisa berbicara, Mrs Spink dan Foccible yang tampak terlihat lebih muda, buku gambar yang bisa bergerak, makanannya yang lebih enak, dll. Selain itu kedua orang tuanya ‘yang lain’ tampak lebih perhatian dibandingkan orang tua aslinya.



Awalnya memang semua terasa menakjubkan dan lebih menarik daripada dunianya sendiri. Namun Coraline menjadi curiga ketika kedua orang tua ‘yang lain’ terus membujuknya untuk tinggal dan menjadi anak mereka di sana, syaratnya Coraline harus mau dijahit matanya dengan kancing hitam seperti mereka. Coraline menolak dan ia bergegas kembali ke dunianya.



Namun setelah ia kembali ternyata orang tuanya lenyap. Yang ia temui hanyalah bayangan kedua orang tuanya dibalik cermin lemari yang seolah meminta pertolongan padanya. Saat itulah Coraline yakin bahwa kedua orang tuanya diculik oleh ayah ibunya ‘yang lain’, terperangkap dalam dunia di balik pintu flatnya. Karenanya Coraline kembali memasuki dunia di balik pintu untuk mengembalikan kedua orang tuanya ke dunia nyata.



Niat Coraline untuk membebaskan kedua orang tuanya segera diketahui oleh ibunya yang lain, karenanya mahluk itu menghukum Coraline dengan menyekapnya ke dalam sebuah lemari. Di situ Coraline bertemu dengan hantu 3 anak kecil dari masa lalu yang telah lama jiwanya disekap dalam lemari tersebut.



Setelah dibebaskan, Coraline membuat kesepakatan dengan ibunya yang lain bahwa jika ia berhasil menemukan kedua orang tuanya dan membebaskan jiwa tiga anak kecil yang tersekap, maka ibunya yang lain harus membebaskan kedua orang tua aslinya dan membawanya pulang ke tampat asalnya . Sebaliknya jika gagal, Coraline bersedia tinggal selamanya bersama ibunya yang lain di dunia di balik pintu flatnya, termasuk mengganti matanya dengan mata kancing.



Tantangan ini diterima oleh ibunya yang lain dan mulailah petualangan Caroline yang menegangkan untuk membebaskan jiwa ketiga anak yang telah lama mati, menemukan kedua orang tuanya, dan bersama-sama mereka kembali kepada kehidupan normalnya.



Kisah yang ditulis oleh Neil Gaiman ini tentu saja mengingatkan kita pada dunia Narnia (C.S Lewis) dimana terdapat dunia lain di balik sebuah pintu. Namun jika dunia Narnia merupakan dunia baru yang berbeda dengan dunia nyata, dunia dibalik pintu rumah Coraline adalah dunia yang sama persis dengan dunia nyata termasuk manusianya, hanya saja wujud mereka tampak lebih mengerikan dibanding aslinya.



Kisah yang ditulis Neil Gaiman dan ilustrasi yang dibuat Craig Russell memang menghadirkan sebuah kisah petualangan dengan nuansa yang suram . Walau sebagian besar panel-panel gambar dalam buku ini dihiasi ilustrasi yang indah dan didominasi sapuan warna-warna yang cerah namun ada banyak ilustrasi yang berpotensi untuk mencekam pembacanya seperti bayangan di cermin, wajah menakutkan, hantu, gambaran mimpi kelam, sumur tua, sepenggal tangan, dll. Untungnya tak ada darah dalam novel ini, karenanya kengerian yang ditampilkan oleh Gaiman dan Russel dalam buku ini masih dapat diterima sebagai bacaan remaja yang menghibur sekaligus mendidik.



Dibalik kisahnya yang suram dan mencekam memang ada pesan moral yang sangat baik bagi para remaja yang terkandung dalam kisah Coraline. Rasa tidak puas terhadap keluarga sendiri yang dialami oleh Coraline tentunya hal yang umum dirasakan oleh para remaja. Sama seperti yang diinginkan Caroline, kitapun selalu mendambakan bahwa semua hal yang kita inginkan bisa terlaksana, kita ingin hidup bebas sekehendak kita, tanpa larangan, tanpa batasan.



Dari peristiwa yang dialami Coraline, akhirnya ia sendiri menyadari bahwa kemudahan untuk memperoleh semua hal yang diinginkannya ternyata tak juga mengasyikan. Ketika ibunya yang lain membujuk Coraline untuk tinggal bersamanya dan dijanjikan akan mengabulkan semua keinginannya, ternyata Coraline yang telah menyadari kekeliruannya serta merta menolaknya.



Kau betul tidak paham, ya? Aku tidak mau semuanya terkabul. Tak ada yang mau begitu. Apa asyiknya kalau aku punya semua yang kuinginkan? Semudah itu, dan itu semua tidak berarti apa-apa. Sesudah itu apa ya?” (hal 133).



@h_tanzil













 
ans!!