Monday 18 February 2008

Home Library



Judul : Seri Rumah Ide - Home Library
Penulis : Imelda Akmal
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 2008
Tebal : 64 hal
Harga : Rp. 29.500,-

Bagi seorang pecinta buku , buku adalah bagian dari keseharian yang tak terpisahkan, bahkan buku telah menjadi salah satu kebutuhan utama yang haru selalu ada. Seorang yang suka membaca selalu haus akan bacaan-bacaan baru, ia akan berusaha memperoleh buku-buku baru baik dari meminjam atau membeli. Karenanya tak heran jika seorang pecinta buku, koleksi buku-bukunya selalu bertambah dari waktu ke waktu.

Ketika buku-bukunya masih sedikit, ia bisa menyimpannya di atas meja atau rak buku mungilnya. Namun tanpa disadari buku-bukunya semakin bertambah dan maka semua tempat bisa dijadikan rak buku darurat seperti ditumpuk dilantai, di sandaran bahu jendela, di rak TV, diatas lemari pakaian, di dalam container plastik, dalam dus, atau bahkan menitipkan buku-bukunya ditaruh di meja belajar anaknya, dll.

Tentunya penempatan buku-buku secara sembarangan selain tidak sedap dipandang mata juga menyulitkan si pemilik buku untuk mencari buku-buku yang butuhkannya, bahkan bukan tak mungkin membuat buku-buku menjadi lekas rusak karena lembab, berdebu, dll. Nah, bagaimana agar puluhan atau bahkan ratusan buku-buku koleksi dapat tersimpan dengan rapih, terawat, mudah untuk dicari kembali, dan menjadi bagian dari estetika rumah kita? Home Library adalah jawabannya!

Buku Seri Rumah Ide – edisi Home Library yang ditulis oleh seorang penulis buku desain interior kenamaan Imelda Akmal ini mencoba memberi ide dan inspirasi agar buku-buku koleksi kita menyatu dengan tatanan rumah sehingga tampak lebih teratur, rapih, mudah diakses, dan sedap dipandang mata. Buku ini juga memberikan inspirasi menciptakan perpustakaan rumah di sudut manapun, semungil apapun ruangan yang tersedia.

Seperti buku-buku Seri Rumah Ide lainnya, tips-tips dan bahasan yang terdapat dalam buku ini ditulis dengan singkat, praktis dan mudah dimengerti dan dilengkapi lebih dari 50 buah foto berwarna yang dicetak diatas kertas glossy. Ada 17 buah bab yang dibahas di buku ini, mulai dari Perpustakaan di Rumah itu Perlu, Bagaimana Menata Buku, Rawat (buku) baik-baik!, Penerangan dan Cahaya, Perpustakaan Dini dari kotak-kotak kayu buatan sendiri, dll. Lalu ada pula bahasan plus wawancara mengenai perpustakaan pribadi Dewi “Dee” Lestari, dan perpustakaan-perpustakaan pribadi milik para dosen, desainer rumah, fotografer, dll.

Menurut Imelda Akmal, langkah pertama yang paling penting dalam membuat perpustakaan rumah adalah menentukan letak perpustakaan di rumah kita. Salah satu factor yang dpat dijadikan bahan pertimbangan adalah ketersediaan ruang. Sebaiknya memang kita dapat menyediakan ruangan khusus. Jika tidak memungkinkan, masih ada banyak alternatif seperti yang terdapat dalam buku ini, yaitu:
di salah satu sudut ruang makan, meyatu dengan ruang lain, di sepanjang koridor ruangan, di ruang tidur tamu, di sudut rumah, di loteng, dll

Selain letaknya dua hal yang harus dijadikan patokan dalam menentukan letak dan posisi perpustakaan di rumah yaitu ; sebaiknya area perpustakaan tidak terkena sinar langsung matahari karena paparan sinar matahari secara langsung pada buku-buku akan membuat buku koleksi kita cepat rusak. Cari ruangan yang kering, tidak lembab, dan memiliki sirkulasi udara yang baik. Jika memungkinkan pakailah AC agar suhu ruang terjaga sehingga kondisi bukupun terjaga kelembapannya.

Untuk rak buku, Imelda menyarankan agar memilih dan menentukan sesuai dengan kebutuhan, karenanya sebelum membuat atau membeli rak buku sebaiknya kita membuat daftar jumlah buku yang kita miliki. Jika pilihannya membuat sendiri rak buku maka langkah selanjutnya adalah; ukur ruang yang ada, buat daftar jumlah koleksi buku, ukur dimensi buku rata-rata untuk menentukan tinggi dan lebar rak, jangan lupa tambahkan 2 hingga 5 cm sebagai sapce bagi jari kita kala mengambil buku, dan pisahkan buku menurut konsep penyusunan buku yang kita pakai.

Lalu bagaimana menata buku ? Buku ini membahas secara praktis mengenai penataan buku berdasarkan Klasifikasi Dewey atau DCC. Selain itu dibahas juga cara penataan berdasarkan kategori, ukuran buku, dan usia pemilik. Semuanya cara itu bisa kita terapkan sesuai dengan kebutuhan dan memudahkan kita mencari buku-buku yang kita butuhkan.

Setelah menentukan ruang, membuat rak buku, menata buku, buku ini juga mengupas cara merawat buku. Dari sudut pandang kesehatan, koleksi buku yang tidak terawat bisa menimbulkan masalah terutama buku yang terpapar debu tebal. Empat musuh utama buku yaitu debu, kelembapan , paparan langsung sinar matahari dan rayap. Untuk itu buku ini menyajikan tips-tips praktis membersihkan buku dari debu, dan rayap. Untuk mengusir debu bisa dilakukan dengan mudah dengan kemoceng, lap kering dan vacuum cleaner. Untuk menghindari rayap, usahakan agar rak buku selalu kering, semprot rak kayu dengan anti rayap, taruh kemasan anti serangga, dan gunakan AC.

Jika sirkulasi udara dalam ruang perpustakaan kurang baik, biasanya buku akan menjadi apak atau mengeluarkan bau tak sedap. Agar buku tak menjadi bau, secara berkala keluarkan koleksi buku anda dan angina-anginkan. Jangan lupa juga untuk menjemurnya dibawah sinar matahari agar buku tetap kering dan terhindar dari jamur. Satu hal yang perlu diingiat jangan terlalu lama menjemur buku dibawah sinar matahari langsung, sebab bisa merusak kertas.

Selain hal-hal diatas masih banyak hal-hal yang dikupas dalam buku ini seperti pemilihan furniture (kursi,meja) untuk perpustakaan, pencahayaan, alat-alat bantu (tangga), dll yang semuanya memberi inspirasi dan contoh langsung bagaimana sebuah perpustakaan rumah dapat terwujud dengan tatanan yang nyaman dan sedap dipandang mata.

Sayangnya, buku ini tak menampilkan contoh perpustakaan rumah yang sederhana dengan bahan-bahan yang ekonomis. Jika saja ada tentu saja buku ini akan semakin lengkap dan apa yang terdapat dalam buku ini dapat diterapkan oleh berbagai kalangan. Sayang juga buku ini tak mencantuman anggaran pembangunan pepustakaan dari contoh-contoh perpustakaan rumah yang ada dalam buku ini. Pencantuman besarnya anggaran yang dikeluarkan terntunya bermanfaat agar pembaca bisa mengira-ngira berapa besar biaya untuk membuat sebuah perpustakaan pribadi sesuai dengan yang ada di buku ini.

Terlepas dari beberapa kekurangan buku ini, kehadiran buku ini tentunya sangat bermanfaat bagi para pecinta buku dan para pengamat desain perpustakaan. Umumnya buku-buku desain populer di Indonesia membahas mengenai kamar, kamar mandi, dapur, ruang makan, dll. Sangat jarang yang membahas mengenai home library, sehingga buku ini menjadi pioneer dalam genre buku-buku desain. Salut atas usaha Imelda Akmal untuk mewujudkan buku ini. Jika kita mencermati halaman paling akhir di buku ini kita akan melihat, untuk membuat buku setebal 64 halaman ini Imelda meriset dan memfoto sebanyak 18 rumah, yang terletak di Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, hingga Melbourne. Dimana 7 diataranya berlokasi di Bandung.

Semoga kehadiran buku ini dapat memberi inspirasi bagi para pecinta buku untuk menata bukunya dengan baik. Menciptakan perpustakaan di rumah tidak hanya membuat buku kita tersimpan dengan baik dan rapi, namun juga meningkatkan keingingan membaca sehingga membaca menjadi budaya dalam keluarga. Adanya perpustakaan di rumah juga membuat kita semakin menghargai buku sekaligus mempercantik rumah dengan gaya yang elegan.

I do not have a Ferrary, but I do have a home library.

@h_tanzil

Tuesday 12 February 2008

Turquoise

Judul : Turquoise - Kisah Singa Perkasa dari Kohina
Penulis : Titon Rahmawan
Penerbit : Escaeva
Cetakan : 2007
Tebal : 412 hlm

Tersebutlah di sebuah negeri yang hampir seribu tahan lamanya dikenal sebagai “Negeri Allah” terdapat sebuah kota yang bernama Makaresh. Di kota yang terlahir dari berbagai macam tradisi dan ragam budaya itu hiduplah seorang gadis cantik jelita yang bernama Safira yang berasal dari golongan Zabadi yang sangat kaya raya.

Semenjak kecil Safira memiliki tiga orang sahabat lelaki yang bernama Hasyim, Qaddri, dan Husayn. Qaddri yang masih merupakan sepupu Safira adalah anak seorang kepala kampung, Hasyim anak seorang perawat kuda, sedangkan Husayn dan keluarganya telah lama bekerja sebagai pelayan di rumah keluarga Safira. Walau berbeda derajad secara sosial namun Safira tetap menganggap mereka sebagai sahabat-sahabat terbaiknya.

Seiring berlalunya waktu, Safira tumbuh menjadi seorang gadis yang penuh pesona baik karena kecantikannya maupun karena kehalusan budinya. Karenanya diam-diam Qaddri, Husayn dan Hasyim terpikat oleh keelokan budi dan kecantikan Safira. Mereka saling berlomba untuk dapat menarik perhatian Safira. Sebagai tanda persahabatan, Safira memberikan tiga buah turquoise, atau batu pirus berwarna hijau kebiru-biruan dengan gurat keemasan yang termata indah. Konon batu ini ini diyakini memiliki tuah berupa kekuatan yang bisa menuntun pemiliknya untuk memenuhi takdir hidupnya dan juga memebrikan pencerahan spiritual.

Jadi ada empat batu turqoise yang masing-masing dimiliki oleh Safira, Qaddri, Husayn dan Hasyim. Keembat batu tersebut dihubungkan dengan ukiran unik yang saling berkait dan terhubung satu sama lain dengan sebuah ikatan runcing yang terbuat dari emas berukir.

Seiriang berlalunya waktu perasaan cinta antara Husayn kepada Safira semakin membuncah, perbedaan derajad sosial tak menghalangi tumbuhnya cinta mereka. Tak hanya Husayn, Qaddri dan Hasyim pun mencintai Safira. Sementara Hasyim mundur teratur, Qaddri meminang Safira. Namun Safira yang telah menautkan hatinya pada Husayn serta merta menolak pinangan Qaddri.

Penolakan Safira ini membuat Youseff , orang tua Safira murka, apalagi ketika diketahui alasan penolakan Safira adalah karena ia mencintai Husyain. Youseff mengusir Husyain beserta keluarganya yang telah berpuluh-puluh tahun tinggal sebagai pelayannya. Namun Safira tetap menolak menikah dengan Qaddri dan Safirapun menarik diri dari dunianya hingga akhirnya kelak menjadi seorang mistikus dan kemudian menghilang tak diketahui keberadaannya

Kecewa karena terusir dan tak dapat melabuhkan cintanya pada Safira membuat Husayn mengembara sambil terus dibayang-bayangi wajah kekasihnya, hidupnya terlunta-lunta dari menjadi seorang penjaga pintu gerbang Makaresh hingga akhirnya ia bertemu dengan Hasyim yang mengajaknya bergabung dengan menjadi askari, pasukan sukarelawan penjaga keamanan kota. Husyain akhirnya menjadi seorang pahlawan perkasa yang berhasil melawan para penjahat dan penyihir bengis. Pertempuran demi pertempuran harus ia lalui. Baginya semua ini adalah sebuah upaya untuk mengobati kekecewaan dan kesunyiannya semenjak dirinya terpaksa meninggalkan Safira.

Sementara itu hilangnya Safira dimanfaatkan oleh Qaddri yang telah menjadi kepala kampung untuk mengharumkan namanya sendiri dengan menyebar berita bahwa Safira telah ditemukan telah meninggal dunia dan telah ia kuburkan dengan membangun sebuah mouseleum. Berita kematian Safira disampaikan sendiri oleh Qaddri pada Husyain. Namun dalam mimpinya Husyain bertemu dengan Safira dan menyatakan bahwa Qaddrilah yang menyebabkan kematian dirinya. Terpengaruh oleh mimpi tersebut Husyain membulatkan hatinya untuk merengut nyawa Qaddri.

Kisah diatas dalam novel Turquise karya Titon Rahmawan ini diceritakan oleh seorang pendongeng di kota Makarseh. Diawali dengan kisah ketika Husayn sedang bertarung dengan sekawanan serigala buas di gunung bersalju lalu cerita mundur kebelakang ketika Safira, Husayn, Hasyim dan Qaddri masih anak-anak dan bagaimana persahabatan antara keempat anak ini diikat oleh sebuah batu Turquoise.

Membaca novel romansa heroik dengan setting di Arab/ Timur Tengah yang tersaji dengan kalimat-kalimat yang puitis namun mudah dipahami ini memang bagaikan membaca kisah roman ala seribu satu malam. Tema yang diangkatpun sebenarnya sangat klasik dan umum, yaitu kisah cinta tak sampai karena perbedaan derajat sosial. Namun hal ini menjadi menarik karena kisahnya disajikan dengan setting sebuah negeri fiktif yang mengarahkan pembacanya menuju dunia Arab/Timur Tengah di abad lampau yang eksotis dimana pahlawan-pahlawan gagah perkasa masih mengunakan pedang dalam membela kebenaran.

Walau kisah Turquise adalah kisah fiktif, Titon Rahmawan tampaknya melakukan riset yang serius dalam penggarapan novelnya ini. Titon melakukan riset untuk setting novelnya ini pada kota Marrakesh di Maroko, di mana segala hal yang berkaitan dengan keberadaan kota tersebut secara riil ia adaptasikan ke dalam novelnya ini, antara lain lapangan atau alun-alun di tengah kota, masjid dengan menaranya yang fenomenal, benteng yang mengelilingi kota, danau buatan, air terjun, gunung berpuncak salju, gurun pasir dll, semuanya itu secara riil benar-benar ada dan mencerminkan keberadaan kota Marrakesh di Maroko.

Bagi yang menyenangi adegan silat, tampaknya novel inipun menyajikan cukup banyak deskripsi pertempuran antara Husayin dan musuh-musuhnya. Bak penulis kisah-kisah silat, adegan pertempuran ini dideskripsikan dengan lincah dan seru sehingga pembaca ikut merasakan bagaimana tegangnya Husayin berhadapan dengan musuh-musuhnya.

Walau Husayn diposisikan sebagai tokoh hero namun penulis tak terjebak untuk menyajikan sosok Husayn sebagai pahlawan tiada bercela, ia pun ternyata tak luput dari kesalahan sehingga membuat tokoh utama novel ini lebih manusiawi dan membumi. Sayangnya deskripsi perasaan cinta antara Husayn dan Safira yang berurai air mata menurut saya terasa begitu berlebihan sehingga merusak keheroan sang Singa dari Kohina dan kemegahan dari kisah ini secara keseluruhan.

Gaya bertutur yang puitis, drama cinta yang kuat, setting yang eksotis, karakter tokoh2nya yang manusiawi, dan serunya kisah-kisah heroik, membuat novel ini bagaikan kisah seribu satu malam yang menarik dan tak membosankan. Hingga lembar terakhir novel ini, pembaca masih terus menduga-duga dimanakah sebenarnya Safira, bagaimana akhir hidup Husayn, dan siapa sesungguhnya jati diri pendongeng yang menceritakan kisah Safira dan Husayn ini. Hal ini tampaknya yang akan menjadi benang merah di sekuel berikutnya. Rencananya kisah sang Singa dari Kohina ini memang akan menjadi sebuah trilogi. Dan kini novel keduanya - masih sedang digarap oleh penulisnya. Diperkirakan pertengahan tahun ini rampung.

Dalam emailnya kepada saya Titon Rahmawan mengungkapkan bahwa novel Turquise ini terwujud karena rasa keprihatinan atas peperangan yang tidak berketentuan di Irak, dan perseteruan tak ada habisnya antara orang-orang Israel dan Palestina. "Turquoise" adalah simbol yang mewakili itu semua, perbedaan etnis, perbedaan agama, konflik horisontal antara suku atau antar kelas, antara rakyat kebanyakan yang diwakili Husayn dan Hasyim melawan penguasa yang cenderung korup yang diwakili oleh Qadrii dan dewan Zannath.

Mampukah pembaca menangkap apa yang menjadi misi penulisnya ? Tentunya masing-masing pembaca memiliki persepsi dan tafsir yang beragam atas novel ini. Yang pasti kehadiran novel ini dengan ‘warna dan rasa’ yang lain dibanding dengan novel-novel lokal lainnya akan memperkaya khazanah sastra kita. Kurnia Efendy dalam endorsmentnya menyetarakan novel ini dengan karya Tariq Ali. Mungkin terlalu dini untuk menyebutkan demikian, namun jika Titon memiliki stamina menulis yang kuat dan mampu mewujudkan triloginya ini dengan lebih baik dibanding novel pertamanya ini, bukan tak mungkin kita kelak akan memiliki penulis yang memang setara dengan Tariq Ali.

@h_tanzil

Friday 1 February 2008

A Thousand Splendid Suns

Judul : A Thousand Splendid Suns
Penulis : Khaled Hosseini
Penerjemah : Berliani M. Nugrahani
Penerbit : Qanita
Cetakan : I, November 2007
Tebal : 510 hlm

Di ranah perbukuan internasional sebelum tahun 2003, tak seorangpun mengenal Khaled Hosseini, pria kelahiran Afghanistan lulusan San Diego School of Medicine yang sempat membuka praktik selama 10 tahun sebagai seorang dokter di Amerika. Namun di pertengahan tahun 2003 namanya tiba-tiba menjadi buah bibir dimana-mana. Bukan karena kepiawaiannya menangani masalah medis, melainkan karena kemahirannya merangkai cerita yang dirawinya menjadi sebuah novel yang diberinya judul “The Kite Runner “ (2001).

Novel perdananya yang berlatar belakang persabatan dua bocah Afghanistan disela-sela berkecamuknya perang saudara di Afghanistan meraup sukses luar biasa dan menjadi buku terlaris sepanjang 2005. The Kite Runner bertengger selama lebih dari 2 thn di daftar New York Times bestseller. Terjual lebih dari 8 juta kopi di seluruh dunia dan telah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa. Filmnya sendiri telah dibuat oleh Paramount Picture, dan kabarnya akan diputar di bioskop-bioskop Indonesia pada Februari 2007.

Kesuksesan TKR mengantar Khaled Hosseini menjadi duta besar keliling UNHCR yang salah satu tugasnya mengunjungi para pengungsi di sejumlah negara yang sedang berada dalam konflik termasuk Afghanistan. Di tanah kelahirannya ini ia sempat mewawancarai sejumlah wanita Afghan yang kelak akan mengilhaminya untuk membuat novel keduanya yang diberinya judul A Thousand Splendid Suns

Novel ini mengambil setting di Afganistan antara tahun 1964 hingga tahun 2003. Tokoh utamanya adalah dua orang perempuan bernama Mariam dan Laila. Keduanya berasal dari latar belakang yang berbeda, usia yang berbeda, dan memiliki sifat yang bertolak belakang, namun sebuah peristiwa akhirnya mempertemukan mereka dan membuat keduanya harus menjalani berbagai kepedihan hidup ditengah situasi perang yang memporak porandakan kota dimana mereka tinggal.

Bab-bab pertama pertama novel ini mengisahkan kisah Mariam, seorang harami (anak haram) hasil hubungan gelap Jalil dan Nana, antara majikan dan pembantunya. Karenanya Nana disingkirkan oleh keluarga Jalil dan tinggal di sebuah desa terpencil bersama Mariam. Sedangkan Jalil hidup bersama ketiga istri sahnya di Herat. Walau Jalil tak pernah mengakui Mariam sebagai anaknya secara sah, namun seminggu sekali Jalil tetap mengunjunginya.

Saat Mariam akan berulang tahun yang ke 15, ia meminta agar ayahnya mengajaknya menonton film Pinokio di bioskop milik ayahnya di Herat. Jalil menjanjikannya. Namun malangnya saat yang dinanti-nantikannya berbuah kekecewaan, ayahnya tak datang untuk menjemputnya. Mariam nekad pergi sendiri menuju Herat untuk menemui ayahnya. Kenekatan Mariam harus dibayar mahal, sepulang menemui ayahnya, Mariam menemukan ibunya tewas gantung diri.

Setelah ibunya meninggal, Mariam diasuh oleh ayahnya. Namun bukan kebahagiaan yg ditemuinya. Ketiga istri Jalil tak menerima kehadiran Mariam. Ia dianggap aib bagi keluarganya, karenanya mereka mendesak Jalil untuk segera menikahkan Mariam dengan Rasheed, seorang duda tua pengusaha sepatu di Kabul. Inilah taktik bagi ketiga istri Jalil untuk menghapuskan jejak skandal memalukan suami mereka. Membuang Mariam ke Kabul yang berjarak enam ratus limapuluh kilometer dari Herat dengan menikahkannya.

Mariam akhirnya menikah dengan Rasheed. Awalnya tak ada yang meresahkan dalam pernikahan mereka kecauli sikap Rahseed yang over protektif terhadap Mariam. Karena Rasheed pernah kehilangan anak laki-laki dari pernikahannya terdahulu, ia berharap memiliki anak laki-laki dari Mariam. Sayangnya harapan Rasheed sirna karena berkali-kali Mariam mengalami keguguran. Sikap Rasheed menjadi berubah, selalu murung dan lekas marah. Kehidupan pernikahan mereka menjadi tak bahagia. Kesalahan sekecil apapun yang dibuat Mariam membuat Rasheed tak segan-segan memukul, menampar, atau menendang Mariam.

Lalu ada pula tokoh Laila, seorang gadis berusia sembilan tahun yang cerdas yang dilahirkan dari keluarga yang sadar akan pentingnya pendidikan. Laila tinggal bersama ayah dan ibunya di Kabul, dua orang kakak laki-lakinya gugur ketika berjuang bersama Mujahidin melawan Soviet. Hal ini menyebabkan ibunya menderita kepedihan yang amat dalam sehingga ibunya menutup diri dan nyaris gila. Laila juga bersahabat dengan seorang pria yang bernama Tarig yang seiring dengan bertambahnya usia mereka, mereka saling jatuh cinta.

Ketika Laila berusia lima belas tahun sebuah tragedi memisahkan Laila dari keluarganya dan kekasihnya Tariq. Laila kemudian diasuh oleh Rasheed dan Mariam yang rumahnya tak jauh dengan rumah Laila. Tanpa memerhatikan perasaan Mariam, Rasheed akhirnya menikahi Laila dan mulailah babak baru dalam kehidupan Mariam dan Laila. Awalnya Mariam selaku istri yang dimadu membenci Laila, apalagi Rasheed semakin merendahkan posisi Mariam dengan mengharuskan Mariam untuk melayani segala keperluan Laila.

Namun lambat laun kebencian Mariam pada Laila luntur ketika akhirnya keduanya mendapat perlakuan yang kasar dari Rasheed. Kekerasan dalam rumah tangga mewarnai kehidupan mereka. Mariam dan Laila harus mengalami penderitaan yang berlipat, selain mengalami penindasan dari suaminya sendiri, mereka juga harus bertahan mengahadapi situasi diluar yang tidak menguntungkan bagi para wanita. Kesamaan nasib yang mereka alami ini akhirnya melahirkan sebuah persahabatan yang membuat mereka memiliki kekuatan untuk mengarungi kerasnya hidup hingga seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dinding menampakkan cahayanya.

Persahabatan antara Mariam dan Laila dan bagaimana mereka berjuang untuk mempertahankan hidup mereka inilah yang menjadi inti cerita dari novel kedua Khaled Hossaeini ini. Sebenarnya kisah yang diangkat oleh Hosseini ini adalah kisah melodrama yang umum. Kisah keluarga berpoligami dimana terdapat kecemburuan dan kekerasan dalam rumah tangga layaknya sinetron-sinetron TV.

Namun dari sebuah tema melodramatik yang umum, dengan piawai Kahled Hosseini berhasil mengemas kisahnya dengan gambaran latar belakang situasi politik dan realitas sosial Afghanistan sejak Soviet masih berkuasa hingga jatuhnya Taliban. Latar inilah yang membuat novel ini memiliki daya tarik tersendiri dan istimewa. Jika saja tanpa deskripsi latar realitas Afghanistan bisa dipastikan novel ini hanyalah sekedar kisah drama dengan pergolakan emosi yang menyentuh hati pembacanya (walau tak sekuat The Kite Runner).

Dibanding dengan novel pertamanya, latar belakang kehidupan sosial dan politik di novel ini tampak lebih detail dan kronologis. Khaled merinci tahun dan pihak-pihak yang bertikai pada saat itu. Ia juga menyelipkan nama-nama riil tokoh politik dan pejuang-pejuang baik dari pihak Najibullah, Mujahidin, dan Taliban. Dengan demikian pembaca awam dapat memahami berbagai pergantian pemerintahan di Afghanistan secara kronologis.

Pembaca juga diajak melihat bagaimana gambaran penderitaan rakyat Afghanistan akibat peperangan yang terus berkecamuk, roket-roket berjatuhan di kota Kabul, penduduk sipil meregang nyawa dengan tubuh yang tercerai berai, gerak kaum perempuan dibatasi dimana Taliban mewajibkan semua wanita untuk tinggal di dalam rumah sepanjang waktu, tidak boleh bersekolah dan tidak boleh bekerja. Sedangkan laki-laki diwajibkan memelihara janggut, memakai serban, dll.

Tak hanya pembatasan gerak terhadap wanita, apresiasi seni dan kebudayaanpun diharamkan. Dilarang menyanyi, dilarang menari, para musisi dipenjara. Karya-karya seni yang dianggap bertentangan dengan Islam dihancurkan, bahkan Taliban tak segan-segan meluluh lantakkan patung Budha raksaksa di Bamiyan yang merupakan situs sejarah terbesar Afganistan yang berusia dua ribu tahun. Berbagai gambaran situasi Afghan itulah yang turut membangun kisah Mariam dan Laila menjadi semakin kuat, menyentuh sekaligus berwawasan karena menyajikan potret kehidupan masyarakat Afghanistan secara utuh.

Tema yang diangkat di novel ini pun tampaknya lebih dekat dengan kondisi di Indonesia dimana masalah poligami dan kekerasan dalam rumah tangga juga masih menjadi problema dalam kehidupan perempuan di Indonesia. Karenanya bukan tak mungkin novel yang hingga kini masih bertengger dalam bestseller versi the New York Times ini di Indonesia akan lebih laris dibanding The Kite Runner.

Hanya berselang 7 bulan semenjak dirilisnya novel aslinya, terjemahan novel ini kini telah beredar di toko-toko buku. Penerbit Qanita masih mempercayakan novel kedua Khaled ini diterjemahkan oleh penerjemah yang sama dengan novel pertamanya, yaitu Berliani M. Nugrahani. Langkah yang tepat karena setidaknya penerjemah telah memiliki modal dan pengalaman dalam menerjemahkan karya Khaled yang penuh dengan kalimat-kalimat indah dan menyentuh.

Bagi penerjemah sendiri menurut pengakuannya ia tak menemui kesulitan yang berarti dalam menerjemahkan novel ini. Dalam blognya ia mengungkap, bahwa menerjemahkan novel ini adalah sebuah petualangan yang sangat berkesan baginya. Ia menambahkan bahwa menerjemahkan novel ini adalah salah satu mimpi yang jadi kenyataan buat semua penerjemah. Dengan antusiasme yang besar dari penerjemahnya tak heran jika novel diterjemahkan dengan sangat baik sehingga pembaca tidak akan menemui kesulitan untuk menikmati novel ini.

Sebuah review atas novel ini yang dimuat di koran Sindo ( 20/1/2008) yang ditulis Denny Ardiansyah mengungkap bahwa penerjemah novel ini abai dalam menerjemahkan kosa kata dalam bahasa Afghanistan. Namun saya rasa hal ini tidaklah tepat, memang novel ini menyertakan puluhan kosa kata Afghanistan namun pada kalimat berikutnya apa yang dimaksud dalam kata-kata asing tersebut selalu dijabarkan. Jadi walau tanpa terjemahan dan tanpa glosarry, pembaca pasti akan memahami makna kalimat tersebut. Dan lagi ketika saya mencek ke naskah aslinya yang ditulis Khaled dalam bahasa inggris, Khaled pun tak menerjemahkan secara langsung kosa kata Afghan tersebut kedalam bahasa Inggris.

Akhirnya novel ini memang sangat layak untuk diapresiasi. Apa yang disajikan oleh Khaled pada novel ini membawa kita pada makna sebuah persahabatan dan pengorbanan cinta, kesabaran tanpa batas, penderitaan kaum perempuan karena kekerasan dalam rumah tangga dan kungkungan rezim otoriter, semangat hidup di tengah pudarnya harapan, dan ironi pahit sebuah peperangan yang selalu digagas atas nama keadilan namun selalu berbuah penderitaaan bagi warga sipil.

@h_tanzil
 
ans!!