Monday 26 June 2006

The Wild Soccer Kids - Leon, si Tendangan Kilat


Judul : The Wild Soccer Kids - Leon, si Tendangan Kilat
Penulis : Joachim Masannek
Ilustrator : Jan Brick
Penerjemah Sri Noor Verawaty
Penyunting : Maria Masniari Lubis
Penerbit : Little K
Cetakan : I, Maret 2006
Tebal : 160 hlm ; 19 cm
Harga : Rp. 23.500,-

Demam Sepak Bola World Cup 2006 bukan hanya milik orang dewasa. Anak-anak pun bisa merasakan kemeriahan pesta sepak bola yang berlangsung empat tahun sekali ini. Tak sekedar menonton bersama para orang tuanya, merekapun bermain sepak bola dengan penuh semangat. Tak perlu mencari lapangan bola, sepetak tanah kosong pun jadi. Di situlah mereka bermain layaknya pemain-pemain bola kelas dunia

Leon dan teman-temannya adalah anak-anak yang begitu tergila-gila dengan sepak bola. Mereka menamai diri kesebelasan Wild Soccer Kids. Di sini wild bukan berarti liar dalam pengertian negatif, melainkan liar dalam arti berbahaya, bersemangat sehingga tidak ada yang sanggup menahan mereka untuk bermain bola.

Kisah dalam buku yang diperuntukkan bagi anak-anak / remaja ini bermula saat musim dingin yang panjang hampir berakhir di Jeman. Di musim dingin yang bersalju, Leon dan teman-temannya praktis tak bisa bermain bola. Beberapa anak bermain bola dalam kamarnya masing-masing. Akibatnya, kecelakaan kecil terjadi di rumah Leon dan Maxi akibat bola yang mereka mainkan memecahkan benda-benda di rumah mereka. Orang tua pun marah dan melarang anak-anak mereka bermain bola

Musim dingin sudah berakhir, harusnya saat inilah Leon dan teman-temannya bermain bola di lapangan bola Bolzplatz, Leon dan beberapa temannya terhambat untuk segera menuju Bolzpatz. Leon, Marlon dan Maxi harus menerima hukuman dari orang tuanya akibat memecahkan barang-barang di rumahnya, Felix masih harus beristirahat karena terserang demam. Raban menemani gadis-gadis tetangga yang berkunjung kerumahnya.

Namun anak-anak tak menyerah begitu saja, dengan segala usaha akhirnya mereka bisa pergi menuju Bolzpatz. Sesampai di sana, ternyata Bolzplatz telah dikuasai oleh si Bengkak Michi bersama teman-temannya yang dinamai Geng Pembantai. Tentu saja hal ini membuat kecut Leon dan kawan-kawannya. Akhirnya dengan penuh keberanian Leon menantang mereka untuk bertanding sepak bola. Siapa yang menang akan menguasai Bolzlpatz selamanya. Leon meminta waktu selama dua minggu untuk berlatih.

Tawaran Leon ini awalnya ditanggapi dengan pesimis oleh teman-temannya. Bagaimana mungkin, lapangan Bolzplatz kini dikuasai Geng Pembantai. Siapa pula yang bisa melatih mereka untuk memenangkan pertandingan melawan Geng Pembantai yang secara fisik lebih unggul dibanding mereka?. Akhirnya mereka teringat akan Willi, si pemilik warung disamping lapangan Bolzplatz. Seingat mereka Willi pernah bercerita bahwa ia mantan pemain sepak bola profesional.

Willi menerima tawaran mereka dengan syarat mereka harus percaya penuh pada dirinya sebagai pelatih. Leon dan kawan-kawan menyanggupinya. Ternyata apa yang mereka bayangkan sebelumnya bahwa mereka akan dilatih secara profesional tak menjadi kenyataan. Willi melatih mereka dengan cara yang aneh, mereka harus berlatih di lapangan yang berlumpur, bola yang mereka gunakan adalah bola tenis, dan harus berlatih dengan Socke, anjing milik Leon. Awalnya tentu saja Leon dan kawan-kawan protes terhadap latihan ‘aneh’ yang diterapkan Willi, namun mereka telah berjanji untuk mempercayakan latihan mereka pada Willi dan tak ada waktu lagi untuk mencari pelatih baru

Berhasilkah Wild Soccer Kids mereka melawan Geng Pembantai ?

Banyak tantangan yang mereka hadapi, selain latihan yang keras dan aneh, mereka juga secara moral dihancurkan oleh Michi yang mengungkap jati diri Willi. Belum lagi kenyataan bahwa dua kawan Leon yaitu Raban dan Joscha dinilai tak layak bertanding sehingga harus mencari dua pemain baru.

Buku yang diperuntukkan bagi anak-anak / remaja ini memang sangat seru dan menarik. Joachim Masannek, penulis asal Jerman menyuguhkan alur cerita yang cepat dan membuat penasaran pembacanya. Pembaca seakan digiring masuk dalam cerita dan merasakan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh Leon dan kawan-kawan. Klimaks cerita berlangsung saat Wild Soccer Kids melawan Geng Pembantai tersaji secara seru. Ilustrasi yang menarik, yang dibuat oleh Jan Brick turut menghidupi buku ini.

Namun dibalik serunya cerita dan menariknya ilustrasi dalam buku ini terdapat nilai-nilai positif yang tentunya sangat bermanfaat bagi anak-anak yang membaca buku ini. Anak-anak diajak menyelami bagaimana mereka harus bekerja sama sebagai suatu tim, bersikap sprotif, beradu strategi, dan membangun kesetiakawanan.

Pembaca dewasa tak perlu merasa tabu membaca buku ini. Cerita dengan alur sederhana yang memikat ini bukan hanya monopoli anak-anak karena buku ini sangat menghibur dan memberikan nilai-nilai positif bagi siapapun yang membacanya.

The Wild Soccer Kids dibuat secara berseri, selain seri Leon si tendangan Kilat, juga menysul seri-seri berikutnya seperti Felix si Angin Topan, dan Vanessa si Pemberani, Ketiga buku ini telah diterjemahkan langsung dari bahasa Jerman dan diterbitkan oleh Little K. Kabarnya seri buku ini mencapai hingga 14 judul yang masing-masing judul tokoh utamanya selalu berbeda-beda sesuai dengan anggota Wild Soccer Kids

Selain menyajikan cerita yang menarik, buku ini juga menghadiahkan bonus berupa Jadwal Pertandingan Piala Dunia 2006 plus stiker The Wild Soccer Kids yang menarik.

Terbitnya buku ini menjelang demam Piala Dunia sangatlah tepa, karena menyuguhkan bacaan yang pas di saat antusiasme anak terhadap sepak bola sedang mencapai puncaknya, sehingga pesan positif dalam serial ini akan sampai pada anak-anak dalam waktu yang tepat. Kehadiran seri-seri lainnya sangat dinantikan selagi anak-anak masih antusias dengan kemeriahan Piala Dunia 2006.

@h_tanzil

Review ini dimuat di suplemen Ruang Baca ed Juni 2006
Koran Tempo 25 Juni 2006

Monday 19 June 2006

Agar Anak Anda Tertular "Virus" Membaca


Judul : Agar Anak Anda Tertular "Virus" Membaca
Penulis : Paul Jennings
Ilustrator : Andrew Welden
Penerjemah : Ary Nilandari
Kata Pengantar : Hernowo
Penerbit : MLC (Mizan Learning Center)
Cetakan : I, April 2006
Tebal : 272 hlm ; 23.5 cm

Salah satu keinginan terbesar bagi para orang tua adalah melihat anak-anaknya bisa segera membaca bahkan gemar membaca. Bisa membaca dan gemar membaca jelas berbeda. Dibutuhkan suatu usaha bagi para orang tua agar kebiasaan membaca menjadi hal yang mengasyikan bagi anak sehingga menumbuhkan rasa gemar dan cinta anak pada buku hingga dewasa nanti.

Seperti judul pada buku ini "Agar Anak Anda Tertular Virus Membaca", Paul Jennings secara praktis mengajak para orang tua untuk menularkan ‘virus’ membaca dan bagaimana sejak dini anak-anak dapat asyik, bergairah dan cinta terhadap buku. Pilihan kata ‘virus’ sebagai terjemahan ‘bug’ dalam judul terjemahan buku ini sangatlah tepat. Hernowo dalam kata pengantarnya menjelaskan, semestinya judul buku ini – mengikuti judul buku aslinya, The Reading Bug and How You Can Help Your Child to Catch It – menggunakan frasa "kutu buku", namun frasa ini bagi masyarakat Indonesia sering ditafsirkan sebagai sesuatu yang dingin, berkacamata tebal dan tidak gaul. Karena itu pilihan mengganti frasa kutu buku menjadi virus sangatlah tepat dan menarik perhatian orang tua atau para pendidik untuk membangkitkan semangat menularkan virus membaca pada anak-anaknya.

Jennings membedakan antara bisa membaca dan gemar membaca, ia menekankan keteladanan orang tua adalah hal yang penting dalam membuat anak gemar membaca.. Orang tua sebenarnya telah memiliki bahan utama untuk mulai menularkan ‘virus’ membaca. Orang tua mencintai anak-anaknya, dan anak-anak senang dicintai. Inilah intinya. Cinta adalah fondasi utamanya. Jika kita ingin anak-anak gemar membaca, kita harus menanamkan kecintaan terhadap buku. Guru di sekolah memang bisa mengajarkan anak membaca, namun orang tua tetaplah orang yang paling tepat untuk menumbuhkan minat membaca anak. Orang tua dapat menumbuhkan keasyikan membaca setiap harinya. Membacakan atau membaca bersama anak adalah ungkapan cinta.

Paul Jennings dalam buku ini membagikan tips-tips dan pandangan-pandangan baru agar para orang tua bisa menularkan virus membaca bagi anak-anaknya; beberapa tips yang terdapat dalam buku ini antara lain :

Membacakan buku untuk anak, menurut Jennings momen-momen ketika orang tua membacakan buku bagi anak-anak adalah salah satu hal yang paling berharga yang dapat kita lakukan bagi mereka Manfaatnya akan sangat besar karena hal ini akan menciptakan hubungan cinta antara orang tua dan anak. Ungkapan cinta ini akan membentuk asosiasi antara anak dan buku. Kata buku membangkitkan kebahagiaan. Meraba, melihat, dan mencium bau buku selamanya terkait dengan kehangatan, rasa aman, dan cinta. Anda telah menyemaikan hubungan cinta sepanjang hayat antara anak dan membaca (hlm 39)

Selain itu membacakan buku pada anak tidak hanya membangkitkan kecintaan terhadap buku, melainkan membiasakan bahasa mereka dengan bahasa buku, sehingga kelak anak-anak akan siap dengan struktur kalimat sebuah buku jika ia bisa membaca sendiri.

Hal kedua adalah menjodohkan anak dengan buku. Memang tak mudah memilih buku yang menarik untuk anak-anak, Jennings menyarankan agar orang tua kritis terhadap minat anaknya akan berbagai hal, jika suka mobil balap, belikan buku-buku mengenai mobil balap, jika senang memasak, belikan buku-buku resep. Jika senang komik, tak ada buruknya dengan komik. Fakta bahwa komik mudah dibaca merupakan kelebihan, bukan kekurangan. Selain itu fisik buku pun berpengaruh pada minat membaca anak. Jika dari covernya saja sebuah buku tampak sulit dan tidak menarik, anak-anak tidak akan mau mencoba membacanya.

Dalam hal memilih isi cerita, disrankan agar memilihkan buku-buku yang tercipta dari lubuk hati sang penulis karena desakan kebutuhan untuk menceritakan sebuah kisah. Jangan tertipu oleh bacaan-bacaan ‘pelajaran’ yang ditulis hanya untuk menjaga kosakata karena biasanya certianya menjadi kaku dan tidak menarik. Disarankan juga agar sesekali anak-anak diberi kebebasan untuk memilih bukunya sendiri. Jika ternyata buku pilihan mereka sulit, orang tualah yang akan membacakannya untuk mereka.

Salah satu bagian paling menarik dalam buku ini adalah uraian mengenai membaca makna. Jennings menyarankan agar para orang tua tak perlu memaksakan anaknya yang sudah bisa membaca untuk berusaha keras membaca kata per kata, terutama pada kata-kata yang sulit. Misalnya kata margarin pada kalimat "Anak itu mengoleskan margarin dan menaburkan gula pada sepotong roti" adalah kata yang sulit dibaca, dan anak mungkin membuat kesalahan dengan menyebutnya mentega. Sebaiknya, biarkan saja anak membaca terus, tak perlu mengoreksinya karena si anak telah membuat perkiraan yang tepat berdasarkan makna dan barangkali menggunakan huruf pertama ‘m ‘ sebagai petunjuk. Artinya anak ini membaca untuk makna.

Jika orang tua memintanya berhenti, mengoreksinya, memintanya untuk mengulanginya dan melafalkannya dengan tepat mungkin saja si anak menjadi frustasi dan merusak suasana keasyikan membaca. Membiarkan anak menggunakan konteks untuk memperkirakan makna dalam hal ini lebih berguna daripada membunyikan huruf-huruf. Kata mentega adalah tebakan yang masuk akal. Orang tua mengoreksinya jika tebakan katanya diluar konteks bacaannya dan terasa tidak masuk akal.

Masih banyak hal-hal menarik dalam buku ini, Jennings tidak hanya memberikan teknik-teknik membaca pada anak-anak, namun ia juga menekankan pentingnya orang tua agar bisa menularkan rasa cinta, rasa asyik, dan menciptakan sikap kerajingan membaca, karena teknik membaca saja tidak bisa menularkan rasa cinta membaca pada anak-anak. Selain itu pendekatan-pendekatan baru juga akan kita temui dalam buku ini sehingga para orang tua akan diajak untuk memilih dan merancang pendekatan-pendekatan apa yang yang akan dilakukannya untuk membangkitkan minat baca pada anak-anaknya sejak dini.

Pada bab 12, buku ini juga menyertakan daftar buku-buku yang disarankan oleh Jennings. Selain judul-judul dan sedikit sinopsisnya, Jennings juga mengkategorikan buku-buku tersebut berdasarkan tingkat usia sehingga memudahkan pembaca memilihkan buku-buku untuk anaknya. Namun sayangnya minimnya buku-buku anak di Indonesia yang cocok dengan kriteria Jennings baik itu terjemahan maupun karya lokal membuat banyak judul-judul buku tersebut sulit kita temui di toko-toko buku.

Rasanya buku karya Paul Jennings ini akan lebih cocok diadaptasi (bukan diterjemahkan) oleh penulis lokal sehingga contoh-contoh bukunya dapat dengan mudah dicari oleh pembacanya dan kasus-kasus membaca yang diutarakan Jennings dapat disesuaikan dengan kondisi keluarga dan kebiasaan membaca di Indonesia.

Namun usaha untuk menerjemahkan buku ini kedalam bahasa indonesia patut dihargai setinggi-tingginya karena buku yang ditulis dengan bahasa yang jernih dan berhasil diterjemahannnya dengan baik dan disertai gambar-gambar yang jenaka tentunya akan membangkitkan kepedulian setiap orang (terutama orang tua dan guru) untuk membuat anak-anak terjangkit virus membaca sehingga menjadi ‘tegila-gila" membaca dan menumbuhkan generasi baru manusia Indonesia yang tidak hanya bisa membaca namun gemar membaca.

@h_tanzil

Monday 12 June 2006

Epigram


Judul : Epigram
Penulis : Jamal
Editor : Indah S. Pratidina
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 384 hlm ; 20cm


Jamal penulis yang berbahaya!
M. Fadjroel Rachman, Kolumnis, presenter TV, mantan aktivis
Endorsment dari Fadjroel Rachman di sampul novel ini pasti akan membuat calon pembaca novel ini penasaran. Seberapa berbahayakah kandungan novel Epigram ini sehingga Jamal dijuluki penulis yang berbahaya ?

Dari ketiga novel sebelumnya (Louisiana-Luoisiana, 2003, Rakaustarina ,2004, Fetussaga,2005) tak terlihat indikasi bahwa Jamal adalah penulis yang berbahaya. Louisiana-Louisiana dan Rakkaustarina berbicara mengenai kisah cinta yang dibumbui oleh setting luar negeri dan konflik-konflik batin akibat benturan budaya pada kehidupan tokoh-tokohnya, Fetussaga menceritakan kisah jabang bayi yang mampu merasakan dan berkomunikasi dengan ‘alam lain’. Tak ada yang berbahaya, ketiga-tiganya menghibur sambil memberi wawasan pada pembacanya dalam hal kultur budaya lokal (Fetussaga) hingga lansdkap negara-negara Eropa (Louisiana-louisiana & Rakkaustarina), tak ketinggalan Jamal juga selalu memasukkan unsu-unsur seni, desain dan filosofi kehidupan dalam dialog-dialog para tokohnya.

Apakah novel keempatnya ini berbeda dengan ketiga novelnya terdahulu?

Dalam Epigram, Jamal berutur mengenai tokoh dua orang mahasiswa demonstran Kris dan Nara yang dibebaskan teman-temannya dari tahanan militer. Kris ke Eropa dan Nara ke Amerika. Cerita dimulai dari lokasi Kris bekerja pada tahun 2003, di rig raksasa tempat pengeboran gas dan minyak Troll West milik Norsk Hydro di LautNorwegia. Secara tak terduga atasan Kris adalah seorang eksil asal Indonesia yang pada 1965 sedang menyelesaikan kuliahnya di Uni Soviet, gonjang-ganjing politik di tahun itu membuat dirinya tak bisa pulang dan menjadi seorang eksil di Eropa.
Ketika Kris menerima email dari sahabatnya Adun yang akan pergi berlibur ke Eropa dan meminta bertemu dengan Kris di Belanda. Ingatan Kris terlempar ke masa lalu. Cerita lalu kilas balik ke tahun 1989 pada saat menjelang demo menentang kehadiran seorang menteri mantan jenderal ke kampusnya. Kris yang dikenal sebagai demonstran sebetulnya sudah tak berminat terjun langsung ke lapangan karena ia merasa sudah terlalu tua dan baru saja menyelesaikan sidang sarjananya dan tinggal menunggu wisuda. Kehadiran Kris di lapangan hanya sebagai penggembira saja.

Demonstrasi menentang kehadiran menteri itu semakin memanas, aparat melesat masuk kedalam kampus. Kris tak bisa mengelak dari hajaran aparat. Untunglah Kris tak sampai ditangkap. Esoknya timbul desas-desus bahwa aparat akan melakukan penangkapan terhadap penggerak demo itu. Nama Kris yang sudah dikenal sebagai demonstran termasuk dalam daftar mahasiswa yang akan diciduk. Benar saja, Kris, Nara dan beberapa teman lainnya diculik oleh aparat dan dimasukkan kedalam penjara militer.

Di dalam penjara Kris dan Nara diinterogasi secara kontiniu, walau Kris mengelak bahwa dirinya bukan koordinator demo, aparat yang memeriksanya tak mempercayainya. Siksaan fisik dan mental harus dihadapi Kris dan Nara selama dalam tahanan. Hal ini nantinya akan mengakibatkan kepribadian Kris menjadi terpecah walau belum dalam tingkat yang mengkhawatirkan.

Kawan-kawan Kris tak tinggal diam, berkat seorang kawan yang memiliki hubungan langsung dengan petinggi militer Kris dan Nara berhasil dibebaskan melalui sebuah operasi rahasia. Agar Kris dan Nara tak tertangkap lagi mereka diterbangkan ke luar negeri. Nara ke Amerika, Kris ke Eropa. Awalnya mereka tak rela melarikan diri ke luar negeri sementara kawan-kawan lainnya masih dalam penjara, namun mereka tak bisa mengelak dan keduanya hidup sebagai pelarian di negara asing.

Keberuntungan berpihak pada Kris dan Nara. Karena perkenalannya dengan seseorang di pesawat yang bersimpati padanya Nara melanjutkan kuliah di Greensboro, Amerika serikat. Pada saat liburan di Boston Nara bertemu dengan Mira, putri seorang jenderal, sepupu temannya yang nantinya akan menguak misteri bagaimana mereka bisa dibebaskan dari penjara militer.

Sementara Kris yang mendarat di Amsterdam ditampung oleh mahasiswa Indonesia di sana, lalu oleh dubes RI di Belanda yang bersimpati padanya. Rencana kuliah diBelanda batal, seorang kawannya yang sedang kuliah di Bremen-Jerman mengajaknya untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Bremen. Kris menerima ajakan kawannya itu hingga akhirnya Kris lulus master dengan gemilang dan bekerja di perusahaan gas Norsk Hydro di sebuah rig rakaksa di kawasan ladang gas dan minyak lepas pantai kawasan Troll West di Laut Utara Norwegia. Walau Kris sukses dalam kariernya namun ia terlunta diantara rasa bersalah dan prestasi gemilangnya. Ia senantiasa dihadapkan pada pilihan pelik; terus mengusung idealisme atau melupakan masa lalu dan kembali ke tanah air.

Di luar masalah idealisme Kris dan Nara juga sama-sama mengalami konflik lain yang memusingkan keduanya, cinta. Nara bertemu dengan Maria, anak seorang jenderal yang ternyata menunggunya sejak kedatangannya ke Amerika. Di acara Expo di Sevilla – Spanyol disaat Kris bekerja sebagai staf pengamanan stand Indonesia, Kris secara tak terduga bertemu dengan Sasti temannya satu almamater di Indonesia. Ketika cinta tumbuh diantara mereka Kris diperhadapkan pada dilema apakah ia harus ikut pulang dengan Sasti setelah Expo selesai atau meneruskan hidupnya di Eropa.

Dalam Epigram banyak hal-hal menarik yang akan pembaca temui dalam novel ini. Novel ini sarat dengan kritik terhadap pemerintahan Orde Baru yang secara de facto dikuasai oleh militer. Dialog-dialog antar tokohnya secara jelas dan gamblang mengkritisi peran militer dimasa Orde Baru yang menguasai hampir seluruh lini pemerintahan mulai dari Presiden, menteri hingga gubernur hampir semua dijabat oleh pensiunan militer yang tentunya masih memiliki hubungan dengan petinggi militer yang masih aktif. Pembaca akan diajak berpikir secara kritis bahwa Indonesia, sebuah negara Republik tak ubahnya sebuah negara diktator yang diperintah militer.

Pembaca yang mengalami masa-masa mahasiswa di akhir 80-an tentunya akan segera mengetahui bahwa kisah demo mahasiswa yang menentang kehadiran seorang menteri yang pensiunan jenderal ke kampus UTT (Universitas Tralala Trilili) adalah kejadian yang pernah terjadi di sebuah Universitas Negeri di Bandung. Peristiwa penculikan aktivis dan kehidupan pelarian politik ke luar negeri adalah realita yang terjadi di negeri ini. Realita inilah yang diangkat oleh Jamal kedalam novelnya ini. Pembaca diajak menerobos batas fiksi dan non fiksi carut marutnya kehidupan politik dunia mahasiswa di bawah rezim Orde Baru. Uniknya sisi kelam bangsa ini tidak dituturkan dalam nuansa yang gelap, di tangan Jamal dunia aktivis politik mahasiswa yang kaku dan paranoid ini menjadi lentur, menghibur dan manusiawi lengkap dengan kisah cinta romantis para tokoh-tokohnya yang selalu merasa sepi, gundah, dan ragu.

Selain menyuguhkan kritik tajam terhadap militerisme di masa orde baru,. Novel ini juga mengungkap kehidupan dan konflik batin para pelarian politik yang dalam novel ini diwakili Kris dan Pak Agus, atasan Kris seorang pelarian yang tak bisa pulang dan harus menjadi warga negara Jerman, melalui novel ini juga pembaca diajak melintasi bola dunia mulai dari Bandung, Boston, Amsterdam, Expo di Sevilla Spanyol, Bremen hingga Laut Utara Norwegia. Tak ketinggalan, seperti di novel-novelnya terdahulu secara cerdas Jamal menyusupkan hal-hal seni, desain, museum, suasana Expo di Seville hingga filosofi kehidupan yang dituturkan secara ringan sehingga mencerahkan pembacanya dalam hal politik, seni, desain, dll.

Sayangnya kehidupan sosial Kris dan para pekerja rig hanya mendapat porsi yang kecil dibanding setting lainnya di novel ini. Jika saja hal ini digali lebih dalam oleh Jamal pastilah novel ini akan semakin menarik karena kehidupan para pekerja di RigTroll yang terasing pastilah bukan hal yang mudah. Padalah cover novel ini secara jelas menyajikan pemandangan di sebuah rig di laut lepas. Tentunya pembaca yang melihat novelnya akan berasumsi bahwa novel ini akan menyajikan kehidupan para tokohnya di sebuah rig lengkap dengan landskap sebuah rig dan tantangan yang dialami para pekerjanya

Selain itu kisah Kris ketika dalam penjara militer tampaknya kurang didramatisir oleh penulisnya, padahal ketika dalam penjara inilah Kris mengalami terpecahnya kerpibadiannya menjadi dua. Beberapa interogasi yang dilakukan oleh aparat terhadap Kris terkesan biasa-biasa saja dan siksaan fisik yang dialaminyapun tak terungkap dengan dramatis, padahal jika kita mendengar pengakuan dari para mantan aktivis yang pernah diculik aparat, pengalaman mereka sangat dramatis dan memilukan.

Namun dibalik kelebihan dan kekurangannya novel ini tampaknya akan mengajak pembacanya melihat realita secara gamblang politik yang pernah terjadi di negeri ini, bahkan beberapa hal mungkin masih terjadi. Itulah mengapa Fadjroel Rachman mengatakan bahwa Jamal adalah penulis yang berbahaya. Batas antara fakta dan fiksi menjadi kabur. Kritikan-kritikan terhadap militerisme dan kehidupan politik Indonesia disajikan secara tajam, suatu hal yang rasanya tak mungkin diungkapkan selama masa orde baru. Walau rezim sudah berganti dan era kebebasan diusung tinggi. Mungkin saja masih ada beberapa pihak yang akan merasa tersinggung dengan kritik sosial dan politik yang muncul di novel ini.

Jamal memang penulis yang berbahaya!

@h_tanzil



Monday 5 June 2006

Dimsum Terakhir


Judul : Dimsum Terakhir
Penulis : Clara Ng
Editor : Hetih Rusli
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 361 hlm

Dimsum adalah makanan khas Cina, banyak sudah restoran-restoran Chinese food meyuguhkan Dimsum dalam daftar menunya. Dimsum adalah istilah dari bahasa Kanton dan artinya adalah "makanan kecil". Biasanya dimsum dimakan sebagai sarapan dan dihidangkan dalam keranjang /besek bulat yang terbuat dari bambu yang disusun secara bertingkat-tingkat. Isinya sendiri beragam, biasanya terdiri atas daging ayam, ceker, bakpao, siomay, sayuran, dll yang kesemuanya dimasak dengan cara dikukus.

Sebenarnya Dimsum tak ada kaitannya dengan Imlek/Tahun Baru Cina, namun bagi keluarga Nung Atasana tradisi membuat dan menikmati dimsum adalah tradisi keluarga yang kerap dilakukan saat fajar menjelang untuk menyambut datangnya Tahun Baru Imlek. Nung Atasana dan istrinya Anastasia adalah keluarga Tionghoa yang memiliki empat anak kembar: Siska, Indah, Rosi dan Novera. Setelah Anastasia meninggal Nung harus membesarkan keempat putri kembarnya ini. Uniknya keempat putrinya ini walau kembar secara fisik, mereka memiliki empat kepribadian dan jalan hidup yang berbeda-beda. Siska, wanita karier metropolis yang tinggal di Singapura. Indah seorang penulis yang sangat peduli akan keluarganya terutama ketika ayahnya terkena stroke. Rosi, wanita tomboi yang selalu ingin menjadi laki-laki, pemilik kebun bunga di Puncak. Dan Novera yang tinggal di Yogya sebagai guru TK yang merupakan sosok rapuh yang mencoba mengatasi kegalauan hatinya dengan bercita-cita menjadi biarawati.

Hanya Indah yang tinggal bersama Nung di Jakarta, hingga akhirnya ketika Nung terkena stroke Indah berinisiatif memanggil ketiga saudara kembarnya untuk bersama-sama merawat ayahnya. Awalnya mereka enggan meninggalkan kehidupan mereka, ego mereka yang tinggi dan kesibukan mereka membuat mereka harus berpikir dua kali untuk pulang ke Jakarta. Untunglah Indah berhasil membujuk ketiga saudaranya kembali ke Jakarta untuk menemani ayah mereka yang mungkin kesempatan ini merupakan kesempatan terakhir bagi mereka untuk bisa berkumpul bersama ayah mereka.

Dalam sakitnya Nung berpesan pada keempat anaknya agar menikah sebelum ia meninggal. Tentu saja hal ini bukan hal yang mudah karena mereka ternyata menyimpan suatu rahasia dan masalah yang rumit dalam kisah percintaan mereka. Siska yang lama tinggal di luar negeri memiliki petualangan cinta yang serbabebas dan tak percaya akan ikatan formal pernikahan, Novera yang harus hidup tanpa rahim tentu saja merasa tak memiliki harapan untuk memiliki suami, Indah memiliki affair dengan seorang pastor sedangkan Rosi takkan sanggup jika harus menikah dengan seorang pria.

Di sela-sela kesibukan mereka merawat ayahnya dan konflik-konflik yang terjadi di antara mereka, keempat saudara kembar ini masih mengingat tradisi keluarga mereka yang sekian lama tak pernah mereka lakukan. Walau ayah mereka masih berada di rumah sakit, mereka bahu-membahu membuat dimsum saat fajar tahun baru Imlek menjelang. Akankah ini merupakan dimsum terakhir bagi mereka? Berhasilkah mereka memenuhi permintaan ayah mereka untuk segera menikah?

Ide cerita dalam novel ini mungkin sederhana dan tak istimewa, namun Clara Ng membuat tema yang biasa menjadi menarik untuk disimak. Karakter masing-masing tokoh dikupas dengan jelas, berkumpulnya empat karakter yang masing-masing memiliki kehidupan yang berbeda, menyimpan rahasia yang berbeda dan memiliki ego yang tinggi membuat konflik-konflik antara keempat saudara kembar ini tersaji dengan menarik. Mau tak mau mereka harus mengorbankan kepentingan dan egonya agar bisa bersama-sama menemani dan merawat ayah mereka. Uniknya konflik-konflik yang terjadi selama mereka bersatu kembali tak membuat mereka terpecah, lambat laun masing-masing membuka diri dan kembali mendekatkan diri mereka satu sama lain menjadi satu keluarga yang utuh sesuai dengan tradisi Tionghoa yang memegang teguh keutuhan keluarga.

Selain kisah kehidupan keempat saudara kembar dalam merawat ayahnya dan berusaha memenuhi keinginan terakhir ayahnya, pembaca juga diajak untuk menyelami kembali masa-masa kecil mereka ketika mereka masih tinggal dalam suatu rumah lengkap dengan kehadiran ibu mereka. Secara piawai penulis memasukkan kisah masa lalu para tokoh dalam novel ini secara tepat sehingga pembaca tidak akan dibuat bingung ketika cerita harus bergerak mundur untuk menyelami masa lalu tokoh-tokohnya. Selain itu peristiwa masa lalu yang dicetak oleh penerbitnya dengan huruf italic juga sangat membantu pembaca dalam kenyamanan proses membacanya.

Di novel ini selain disuguhkan konflik-konflik dalam keluarga Nung Atasana, pembaca juga akan diperkaya dalam berbagai hal mengenai budaya Tionghoa yang telah mengakar kuat di Indonesia. Ragamnya tradisi seperti Imlek, Ce It, Cap Go Meh, Ceng Beng, hingga prosesi kedukaan dan pemakaman terungkap dalam porsi yang pas sehingga tidak mengganggu alur cerita. Selain itu novel ini juga mengungkap kehidupan etnis Tionghoa lengkap dengan persoalan-persoalan sosialnya. Walau tak banyak mengungkap hal ini, namun cukup untuk menyadarkan pembacanya bahwa ada berbagai hal yang harus diperbaiki dalam kehidupan bermasyarakat kita.

Satu hal yang agak mengganjal dalam novel ini terdapat di awal-awal cerita, Indah yang berbohong pada Siska bahwa ayahnya telah meninggal terasa agak berlebihan, bukankah dalam tradisi etnis Tionghoa hormat pada orang tua merupakan hal yang terpenting dalam keluarga, apa pun alasannya berbohong soal kematian orang tua adalah hal yang tabu. Selain itu kisah ini banyak mengeksplorasi perbedaan antara keempat saudara kembar, padahal saudara kembar biasanya memiliki kesatuan hati karena mereka berasal dari sel telur yang sama. Soal kesatuan/ kedekatan hati antar keempat saudara kembar ini ini yang rupanya tak banyak disorot oleh penulisnya, padahal hal ini pun akan menarik jika diekplorasi lebih jauh sehingga tidak hanya perbedaan-perbedaannya saja yang ditonjolkan

Namun terlepas dari hal yang mengganjal diatas, novel ini sangatlah menarik. Tutur kalimatnya lugas memikat, karakter tokoh-tokohnya dibuat secara manusiawi dan tidak mengada-ada sehingga terasa sangat dekat dengan keseharian pembacanya. Seperti layaknya dimsum yang tersaji dengan berbagai jenis makanan, demikian pula dengan novel ini. Novel ini tersaji dengan racikan aneka hidangan yang mengenyangkan pembacanya (konflik keluarga, pandangan hidup, tradisi, potret sosial etnis Tionghoa, dll). Seperti endorsement Alberthiene Endah pada novel ini, "Clara dengan manis meracik seluruh elemen dalam novel ini menjadi sebuah hidangan cerita yang memabukkan. Ia membumbui sesuatu yang simpel dengan cara yang tidak biasa."

Seperti Dimsum, itulah gambaran novel ini. Review ini tak dapat menggambarkan betapa nikmatnya mengudap aneka jenis makanan dalam Dimsum Terakhir. Silakan pembaca menikmatinya sendiri selagi masih hangat keluar dari kukusan pembuatnya.

@h_tanzil
 
ans!!