Thursday 18 October 2012

Mencegah Bahasa Indonesia Punah

KALAU kita memeriksa dengan cermat,
unsur apakah yang paling kuat
mengukuhkan kesadaran keindonesiaan?
Bahasa kebangsaan. Sebagai
wujud kebanggaan ini, negara ini mempunyai
bulan bahasa, bulan Oktober.
Pernahkah tebersit di benak kita bahwa
kita acapkali abai merawatnya? Akhirakhir
ini, kita acapkali menemukan
kecenderungan orang ramai menyelipkan
bahasa Inggris di sela percakapan,
tulisan, dan ceramah. Pada masa
yang sama, kita juga turut menemukan
banyak kritik agar orang ramai tak seenaknya
menggunakan bahasa, karena
ia adalah jiwa bangsa.
Malangnya, banyak media berlombalomba
menggunakan kata-kata Inggris,
baik dalam judul atau isi berita. Padahal,
media mempunyai peran yang sangat
besar dalam memengaruhi gaya berbahasa
khalayak luas. Memang, harus
diakui bahwa bahasa Inggris telah begitu
digdaya hari ini. Bahasa yang kosa
katanya banyak dari Latin tersebut telah
membawakan dirinya tidak sekadar
alat berbicara, tetapi juga bahasa lintas
etnik, agama, dan bangsa.
Ini sebagaimana bahasa Melayu
sebelum kemerdekaan di kepulauan
Nusantara, yang sekarang menjelma
menjadi bahasa resmi tiga negara di
Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia,
dan Brunei Darussalam. Di luar fungsi
ini, ia telah menaikkan gengsi penggunanya
pada masa itu, karena sering
dikaitkan dengan kedudukannya sebagai
seorang terpelajar.
Lalu, apakah dengan kebiasaan yang
salah kaprah keinggris-inggrisan, akan
membuat pembaca bisa menguasai
bahasa tersebut? Tidak juga. Bagaimanapun,
kebanyakan warga Malaysia
dan Singapura jauh lebih mampu berbahasa
Inggris karena mereka mempraktikkannya
dalam perbualan (baca:
percakapan) keseharian. Meski demikian,
di negeri jiran, media berbahasa
kebangsaan sejauh mungkin
taat asas, misalnya Utusan, Berita Harian,
dan Sinar Harian. Sementara
pada waktu yang sama, koran berbahasa
Inggris, seperti News Strait Times,
The Star, Malay Mail, dan The Sun
dijangkau oleh kebanyakan warga,
bahkan pekerja kasar sekali pun. Dalam
sebuah kesempatan, saya melihat
seorang pekerja bengkel menekuri
koran The Star yang berbahasa Inggris
dengan tangan masih berlepotan oli.
Padahal, penggunaan bahasa Inggris
di media yang telah menyebarkan banyak
kosa kata sebenarnya bisa diganti
dengan bahasa Indonesia baku. Apa
lacur, pekerja media lebih memilih
kata-kata asing tersebut. Bahkan, untuk
memastikan kata itu adalah bukan bahasa
baku ia diterakan dalam bentuk
huruf miring. Orang ramai pun lebih
mengutamakan kata asing dibandingkan
perbendaharan kata setempat.
Mengurai kegairahan pengguna bahasa
Indonesia yang lebih nyaman
dengan bahasa Inggris di tempat tertentu,
kita pun perlu memeriksa kembali,
apakah gerangan yang menggelayuti
pikiran dan perasaan mereka tentang
bahasa? Sebagai alat untuk menyampaikan
pesan, setidaknya ia mengandaikan
teori sederhana terkait komunikasi,
rangsangan, dan tanggapan. Apabila
pengguna bahasa yang tak taat asas
ini sering muncul di media, dengan sendirinya
orang ramai akan meniru dan
membenarkan sebagai bagian dari cara
berkomunikasi yang layak.
Nah, jika keadaan seperti di atas berlarutan,
kita tak perlu menunggu 1.000
tahun untuk menghadapi perubahan
kosa kata bahasa kita sebanyak 20 persen,
seperti yang dialami bahasa Latin
(Mahsun, 2010). Bagaimanapun, kegenitan
banyak orang menyisipkan
kata, frasa, atau bahkan kalimat berbahasa
Inggris dalam sebuah percakapan
atau tulisan berbahasa Indonesia
berakibat pada pengutamaan pemilihan
serapan yang berasal dari bahasa
Inggris oleh banyak orang. Boleh jadi,
kegairahan untuk beringgris ria merupakan
pengejawantahan sikap orang
ramai terhadap bahasa sendiri yang
dipandang tidak gagah.
Sebaliknya, betapa negeri jiran berusaha
mengenalkan bahasa Melayu
ke seluruh dunia dengan penyelenggaraan
lomba pidato dalam bahasa
yang bersangkutan dengan peserta
dari banyak negara di dunia. Sementara,
kita di sini tak berbuat banyak
bagaimana mengenalkan bahasa Indonesia
di ajang antarbangsa. Hanya,
kelemahan negeri tetangga itu adalah
penggunaan bahasa lisan yang tidak
sejalan dengan bahasa baku. Hanya
A. Samad Said, penyair, menggunakan
bahasa yang sesuai dengan aturan nahu,
tata bahasa dalam bahasa Malaysia.
Kalau Anda mendengar pidato penulis
novel Salina ini, Anda mungkin
tidak bisa dengan mudah mengenalnya
sebagai warga Malaysia.
Akhirnya, kehendak untuk menjadikan
bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional,
hanya dengan menyerap begitu
saja kosa kata asing, akan mengubur
bahasa kebangsaan. Tentu saja tugas
menyelamatkan kepunahan ini tidak
hanya berada di pundak pusat bahasa
sebagai badan yang berwenang merawat
kebahasaan, tetapi kita semua dengan
berusaha taat asas dalam berwacana.
Terutama, media cetak dan elektronik
memegang peran kunci dalam memelihara
ketaatasasan dan mencegah kemalasan
untuk mencari kosa kata dalam
khazanah sendiri. Jika televisi kita sering
menyebut kata presenter (padahal tak
tertera di dalam kamus), media telah
mengubur kata penyampai yang ada
dalam khazanah kita.

*) Dosen Sains Pemikiran dan
Etika Universitas Utara Malaysia
(JAWA POS)

No comments:

Post a Comment

 
ans!!