SETIA, kesetiaan adalah state of mind. Abstrak. Tak terdefinisi.
Kalaupun berusaha disusun
pengertiannya menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, artinya
berpegang teguh, patuh, taat.
Karena kita membahas konteks
hubungan, setia dihadapkan pada
komitmen, janji, kesepakatan.
Kalau kata setia ditaruh di ring
tinju, lawannya di sudut lain adalah
selingkuh. Dan sayangnya, setia
pantas dianalogikan dengan petinju
amatir kelas bulu, sementara
selingkuh diwakili Muhammad Ali.
Keadaan setia maupun selingkuh
adalah tentang dikotomi, seperti
hitam-putih, benar-salah. Tapi
sayang, setia sering di-KO-kan oleh
selingkuh di ronde pertama.
Sebenarnya, nggak perlu ada yang
namanya selingkuh tipis, selingkuh
fisik, atau selingkuh hati. Sebab,
semua selingkuh itu salah dan nggak
pernah jadi benar. Tapi, manusia kan
ahli ngeles bersertifikat mahir.
Selingkuh tipis biasanya berkadar
paling ringan. Jenisnya bisa melirik
lelaki lain, diam-diam tergila-gila
kepada lelaki lain, lalu jika pihak
yang dilirik dan digila-gilai
memberikan sinyal positif, bisa
berlanjut ke bentuk komunikasi
yang lebih intens. Jamaknya sih
karena ketertarikan fisik atau bisa
juga karena memang si pihak
terlirik punya kapasitas yang
nggak ditemui pada
pasangan resmi. Tapi,
garis batas jelas
dari selingkuh
putih itu adalah
perasaan
tertarik saja,
belum
mengarah pada
apa pun, dan
yang jauh lebih
penting adalah di
keadaan yang
belum ketahuan
Selingkuh tahap advance
terbagi dua, selingkuh fisik dan
hati. Biasanya sih yang fisik
melibatkan interaksi fisik, entah
kencan diam-diam, entah ciuman,
pelukan, bahkan sampai silaturahmi
kelamin. Nah, selingkuh hati biasanya
bisa menjadi kelanjutan dari
selingkuh fisik karena menganut asas
”ketelanjuran yang dibiasakan”. Tapi
anehnya juga, kadang selingkuh hati
dulu baru ke selingkuh fisik. Juga
paling aneh lagi, kadang selingkuh
hati saja tanpa fisik. Entah siapa yang
memulai, selingkuh fisik dilabeli lebih
ringan peringkat dosanya daripada
selingkuh hati. Mungkin karena setia,
kondisi ideal yang jadi lawan kata
selingkuh, berafiliasi dengan
komitmen dan janji yang datang dari
hati. Beberapa korban dan pelaku
yang cukup permisif malah bisa
berujar, ”Nggak papa deh selingkuh
badannya asal jangan hatinya!”
Tapi, sekali lagi, selingkuh adalah
masalah dikotomi, masalah benarsalah.
Apakah selingkuh salah?
Seratus persen. Terlepas dari alasan
pemicu dan kondisi-kondisi khusus,
selingkuh tak pernah jadi benar.
Sebab, ada janji yang telah dicederai.
Terlepas dari dikotomi itu, ada fakta
menarik soal selingkuh dan gender.
Lelaki selingkuh dipandang lebih
lumrah, lebih jamak, lebih di mengerti.
Mungkin karena lelaki
ditah biskan lemah di mata dan
kelamin, rentan tertarik dan jatuh
pada yang lain. Mungkin juga karena
secara tak langsung mereka di per boleh
kan oleh agama tertentu ber poliga
mi sehingga tercitrakan manusiawi
untuk berbagi hati. Kalau sampai
se lingkuh terjadi, tak jarang keluar
lontaran, ”Namanya juga lelaki….”
Se pertinya, ada pemahaman, ada
pem bolehan serta penghalalan oleh
kultur dan stigma sosial.
Perempuan di sisi lain, tanpa
meminta, dilekati pengharapanpengharapan
atas nilai-nilai positif.
Perempuan diharapkan lebih setia
kepada pasangan, apalagi kepada
suami. Kasak-kusuk yang lebih
”khusyuk” pasti terjadi saat pelaku
kasus selingkuh di sekitar kita
perempuan. Bandingkan saja
pengha kiman sosial untuk
perempuan yang berselingkuh,
apalagi jika berstatus ibu, dengan
lelaki walaupun dia berstatus bapak.
Secara instan, mereka dilabeli ”nggak
pantas”, ”nggak patut”, ”nggak
bermoral”. Rasakan be danya untuk
kasus gugatan perceraian karena
perselingkuhan istri, anak-anak
otomatis jatuh ke tangan ayah.
Saya bukan pendekar pembela
selingkuh. Selingkuh nggak pernah
benar dan nggak perlu dibenarbenarkan.
Tapi, saat ada stan dar
ganda dan bias gender, ada yang
salah dengan sistem sosial kita. Saat
perempuan diikat sistem dan
diharamkan selingkuh atas nama
pengorbanan untuk keutuhan
sebuah hubungan guna penyerahan
atas nama keutuhan keluarga atau
sebuah hubungan, posisinya
diletakkan sebagai objek penderita
sekaligus subjek satu-satunya
yang bertanggung jawab
pada keberlangsungan
sebuah
hubungan. Lalu,
para lelaki berdiri
di mana dalam
mengusahakan
langgengnya
sebuah
komitmen?
Peselingkuh
memang pendosa.
Tapi, kenapa
peselingkuh perempuan
lebih dipandang beberapa
derajat lebih berdosa?
Lebih nggak bernilai dan lebih
nggak punya malu? Apalagi jika,
misalnya, gara-gara per seling kuhan
nya timbul kehamilan, sementara
di sisi lain lelaki kadang
juga mendepositkan spermanya di
beberapa rahim.
Bukankah sejatinya bisikan
selingkuh itu bersifat buta gender?
Bukankah lelaki dan perempuan
sama manusiawinya untuk jatuh dan
tergoda karena kesempatan dan
kemauan? Bukankah hukum
selingkuh selalu soal it takes to to
tango? Butuh dua belah pihak yang
saling mengizinkan untuk terjadinya
pengkhianatan atas sebuah
komitmen? Apakah karena dunia,
yang sayangnya patriarkal ini,
melekatnya semua harapan baik di
bahu perempuan sebagai ibu yang
punya surga di kakinya, perempuan
diharapkan lebih mampu menjaga
diri, menjaga kelamin, dan lebihlebih
menjaga hatinya? Lebih kuat
pertahanannya terhadap bisikan
setan untuk tetap setia? Apakah
karena itu semua, selingkuh haram
buat perempuan? Ataukah
seharusnya lelaki yang merasa
diperlakukan tidak adil karena
dihalalkan selingkuh serta dianggap
lebih lemah dan tergoda? Apakah
mereka yang seharusnya menuntut
pemulihan nama baik?
Saya tak tahu jawabannya. Atau
mungkin cuma Krisdayanti.
Cut Tary bisa menjawab. (*) (JAWA POS)
Thursday 18 October 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment