Thursday 18 October 2012

Apakah Anda setia? Seratus persen?

SETIA, kesetiaan adalah state of mind. Abstrak. Tak terdefinisi. Kalaupun berusaha disusun pengertiannya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya berpegang teguh, patuh, taat. Karena kita membahas konteks hubungan, setia dihadapkan pada komitmen, janji, kesepakatan. Kalau kata setia ditaruh di ring tinju, lawannya di sudut lain adalah selingkuh. Dan sayangnya, setia pantas dianalogikan dengan petinju amatir kelas bulu, sementara selingkuh diwakili Muhammad Ali. Keadaan setia maupun selingkuh adalah tentang dikotomi, seperti hitam-putih, benar-salah. Tapi sayang, setia sering di-KO-kan oleh selingkuh di ronde pertama. Sebenarnya, nggak perlu ada yang namanya selingkuh tipis, selingkuh fisik, atau selingkuh hati. Sebab, semua selingkuh itu salah dan nggak pernah jadi benar. Tapi, manusia kan ahli ngeles bersertifikat mahir. Selingkuh tipis biasanya berkadar paling ringan. Jenisnya bisa melirik lelaki lain, diam-diam tergila-gila kepada lelaki lain, lalu jika pihak yang dilirik dan digila-gilai memberikan sinyal positif, bisa berlanjut ke bentuk komunikasi yang lebih intens. Jamaknya sih karena ketertarikan fisik atau bisa juga karena memang si pihak terlirik punya kapasitas yang nggak ditemui pada pasangan resmi. Tapi, garis batas jelas dari selingkuh putih itu adalah perasaan tertarik saja, belum mengarah pada apa pun, dan yang jauh lebih penting adalah di keadaan yang belum ketahuan Selingkuh tahap advance terbagi dua, selingkuh fisik dan hati. Biasanya sih yang fisik melibatkan interaksi fisik, entah kencan diam-diam, entah ciuman, pelukan, bahkan sampai silaturahmi kelamin. Nah, selingkuh hati biasanya bisa menjadi kelanjutan dari selingkuh fisik karena menganut asas ”ketelanjuran yang dibiasakan”. Tapi anehnya juga, kadang selingkuh hati dulu baru ke selingkuh fisik. Juga paling aneh lagi, kadang selingkuh hati saja tanpa fisik. Entah siapa yang memulai, selingkuh fisik dilabeli lebih ringan peringkat dosanya daripada selingkuh hati. Mungkin karena setia, kondisi ideal yang jadi lawan kata selingkuh, berafiliasi dengan komitmen dan janji yang datang dari hati. Beberapa korban dan pelaku yang cukup permisif malah bisa berujar, ”Nggak papa deh selingkuh badannya asal jangan hatinya!” Tapi, sekali lagi, selingkuh adalah masalah dikotomi, masalah benarsalah. Apakah selingkuh salah? Seratus persen. Terlepas dari alasan pemicu dan kondisi-kondisi khusus, selingkuh tak pernah jadi benar. Sebab, ada janji yang telah dicederai. Terlepas dari dikotomi itu, ada fakta menarik soal selingkuh dan gender. Lelaki selingkuh dipandang lebih lumrah, lebih jamak, lebih di mengerti. Mungkin karena lelaki ditah biskan lemah di mata dan kelamin, rentan tertarik dan jatuh pada yang lain. Mungkin juga karena secara tak langsung mereka di per boleh kan oleh agama tertentu ber poliga mi sehingga tercitrakan manusiawi untuk berbagi hati. Kalau sampai se lingkuh terjadi, tak jarang keluar lontaran, ”Namanya juga lelaki….” Se pertinya, ada pemahaman, ada pem bolehan serta penghalalan oleh kultur dan stigma sosial. Perempuan di sisi lain, tanpa meminta, dilekati pengharapanpengharapan atas nilai-nilai positif. Perempuan diharapkan lebih setia kepada pasangan, apalagi kepada suami. Kasak-kusuk yang lebih ”khusyuk” pasti terjadi saat pelaku kasus selingkuh di sekitar kita perempuan. Bandingkan saja pengha kiman sosial untuk perempuan yang berselingkuh, apalagi jika berstatus ibu, dengan lelaki walaupun dia berstatus bapak. Secara instan, mereka dilabeli ”nggak pantas”, ”nggak patut”, ”nggak bermoral”. Rasakan be danya untuk kasus gugatan perceraian karena perselingkuhan istri, anak-anak otomatis jatuh ke tangan ayah. Saya bukan pendekar pembela selingkuh. Selingkuh nggak pernah benar dan nggak perlu dibenarbenarkan. Tapi, saat ada stan dar ganda dan bias gender, ada yang salah dengan sistem sosial kita. Saat perempuan diikat sistem dan diharamkan selingkuh atas nama pengorbanan untuk keutuhan sebuah hubungan guna penyerahan atas nama keutuhan keluarga atau sebuah hubungan, posisinya diletakkan sebagai objek penderita sekaligus subjek satu-satunya yang bertanggung jawab pada keberlangsungan sebuah hubungan. Lalu, para lelaki berdiri di mana dalam mengusahakan langgengnya sebuah komitmen? Peselingkuh memang pendosa. Tapi, kenapa peselingkuh perempuan lebih dipandang beberapa derajat lebih berdosa? Lebih nggak bernilai dan lebih nggak punya malu? Apalagi jika, misalnya, gara-gara per seling kuhan nya timbul kehamilan, sementara di sisi lain lelaki kadang juga mendepositkan spermanya di beberapa rahim. Bukankah sejatinya bisikan selingkuh itu bersifat buta gender? Bukankah lelaki dan perempuan sama manusiawinya untuk jatuh dan tergoda karena kesempatan dan kemauan? Bukankah hukum selingkuh selalu soal it takes to to tango? Butuh dua belah pihak yang saling mengizinkan untuk terjadinya pengkhianatan atas sebuah komitmen? Apakah karena dunia, yang sayangnya patriarkal ini, melekatnya semua harapan baik di bahu perempuan sebagai ibu yang punya surga di kakinya, perempuan diharapkan lebih mampu menjaga diri, menjaga kelamin, dan lebihlebih menjaga hatinya? Lebih kuat pertahanannya terhadap bisikan setan untuk tetap setia? Apakah karena itu semua, selingkuh haram buat perempuan? Ataukah seharusnya lelaki yang merasa diperlakukan tidak adil karena dihalalkan selingkuh serta dianggap lebih lemah dan tergoda? Apakah mereka yang seharusnya menuntut pemulihan nama baik? Saya tak tahu jawabannya. Atau mungkin cuma Krisdayanti. Cut Tary bisa menjawab. (*) (JAWA POS)

No comments:

Post a Comment

 
ans!!