Monday 10 September 2012

I Love Moday

No. 295
Judul : I Love Monday, Mengubah Paradigma dalam Bekerja dan Bisnis
Penulis : Avan Pradiansyah
Penerbit : Kaifa
Cetakan : II, Juni 2012
Tebal : 299 hlm

"Seorang ibu menulis surat dalam rubrik konsultasi sebuah media. Ia bilang ia selalu merasa galau setiap Senin pagi. Tekanan darahnya meningkat, perut mual, kepala pusing, dan penglihatan berkunang-kunang. Bahkan, untuk masuk ruang kerjanya saja ia harus minta bantuan anaknya untuk mengantarkan sampai ke tempat duduknya. Di hari Senin ia bekerja dengan lambat dan hasilnya sering kurang akurat. Anehnya, setelah Senin berlalu kondisi ibu ini kembali normal."

(sumber : http://swa.co.id/column/i-love-monday )
Hal di atas mungkin saja pernah kita alami, atau kalaupun tidak separah itu minimal kita sering merasa malas menghadapi hari Senin. Setelah dua hari libur (Sabtu,Minggu) Senin menjadi hari yang sangat membosankan karena harus kembali pada rutinitas pekerjaan yang melelahkan. Karenanya tidak heran istilah I don't Like Monday menjadi begitu populer apalagi sejak Bob Geldolf & The Boomtown Rats menciptakan sekaligus menyanyikan lagu dengan judul I dont Like Monday 
Tanpa disadari lagu yang sangat populer itu membentuk stigma  kita mengenai hari Senin sebagai hari yang paling tidak kita sukai, hari yang penuh kecemasan dan  penderitaan. Kasus di atas juga seakan membuktikan sebuah laporan ilmiah yang dirilis oleh British Medical Journal  akan serangan jantung yang meningkat 20% pada hari Senin, jika demikian tentunya akan ada banyak perusahaan harus menganggung biaya yang angat besar karena banyak karyawan yang sakit di hari Senin. 
Arvan Pradiansyah, seorang motivator, Happines Inspire, dan penulis buku-buku pengembanangan diri  (Cheris Every Moment, 7 Laws of Happines, You are Not Allone dll) rupanya mencermati kasus ini yang ia namakan dengan  Monday Morning Blues. Dalam sebuah kolom di harian Swa, Arvan juga menungkapkan bahwa

"Sebuah survey di Amerika Serikat bahkan menunjukkan 1 dari 3 orang membenci hari Senin lebih dari hari apapun. Survey ini juga menunjukkan bahwa rata-rata orang mengeluh selama 34 menit di hari Senin dibandingkan dengan keluhan di hari kerja lain yang rata-rata “hanya” mencapai 22 menit."

Bagaimana dengan kita? apakah kita juga begitu membenci hari Senin? tentunya hal ini tidak seharusnya kita alami karena hari Senin harusnya jadi awal semangat untuk mengawali hari-hari kerja kita seminggu kedepan. Lalu bagaimana kita mengatasinya? jawabannya ada di buku terbaru Arvan Pradiansyah yang berjudul  I Love Monday, Mengubah Paradigma dalam Bekerja dan Bisnis

Di bab pertama Arvan memaparkan dengan gamblang mengapa kita begitu malas menghadapi hari Senin dan mengapa pekerjaan seakan menjadi begitu menyiksa kita,  tidak hanya di hari Senin saja tetapi setiap hari kita kadang mengeluh dengan pekerjaan yang menumpuk sehingga kita tidak merasa bahagia karena bekerja jadi sebuah beban hidup yang melelahkan padahal hampir sebagian besar keseharian kita dihabiskan untuk berkerja.

Bagi Arvan, penyebab ketidakbahagiaan dalam bekerja di hari Senin yang juga berdampak pada hari-hari selanjutnya bukanlah karena masalah teknis melainkan karena paradigma atau cara pandang kita yang salah dalam menyikapi pekerjaan kita. Ada tiga paradigma umum dalam bekerja, yang pertama melihat pekerjaan sebagai "job" yaitu setumpuk tugas yang harus diselesaikan. karenanya tidak aneh kalau orang sering merasa malas datang ke tempat kerja. Orang yang memiliki paradigma ini tidak bisa menikmati pekerjaannya dan tidak akan bahagia karena sedang melakukan skenario orang lain (si pemberi kerja), jadi orang ini datang ke kantor untuk menjalankan mimpi dan kemauan orang lain.

Paradigma kedua, adalah melihat pekerjaan sebagai carrer, orang yang berpandangan seperti ini memainkan 'peran sutradara' dalam pekerjaannya, ia memiliki rencana besar dan sedang menjalankan  mimpi, cita-cita, dan kemauannya sendiri untuk menata masa depannya dalam bekerja. Biasanya orang seperti ini terlihat lebih bersemangat dalam bekerja. Paradigma kedua ini  memang menghasilkan kesuksesan, tetapi sayangnya bukan kebahagiaan.

Paradigma ketiga, yang sesungguhnya merupakan inti dari dari buku ini adalah melihat pekerjaan sebagai calling (panggilan). Orang yang melihat bekerja sebagai 'panggilan' tidak lagi sedang menjalankan skenarionya sendiri dalam bekerja, melainkan menjalankan skenario Tuhan

"Disini, kita menyadari bahwa kita sesungguhnya adalah utusan Tuhan yang dikirimkan-Nya ke dunia ini karena sebuah maksud tertentu. Maksud itu sesungguhnya merupakan misi hidup dan alasan kita dilahirkan ke dunia ini." (hal 8-9)

Dengan memaknai pekerjaan sebagai sebuah panggilan maka Arvan menyimpulkan bahwa kita diutus ke dunia ini karena ada rencana dan misi Tuhan dalam dunia ini dan tugas kita adalah menemukan maksud Tuhan itu untuk mewujudkannya dalam pekerjaan kita.

"Misi hidup kita di dunia, yaitu membantu orang lain, membuat orang lain sukses, dan bahagia. Upaya kita untuk meneruskan cinta Tuhan dengan cara melayani sesama manusia." (hal 87)

Dari ketiga paradigma di atas Arvan menyimpulkan bahwa paradigma ketigalah yang  membuat kita merasa bahagia dalam bekerja sehingga tak ada akan lagi  istilah I don't Like Monday karena setiap pekerjaan yang kita lakukan adalah sebuah  panggilan Tuhan bagi kita yang diwujudkan dalam bekerja untuk melayani orang lain. Selama kita melayani orang lain, tidak ada pekerjaan yang tidak berguna dan membosankan. Semua pekerjaan menjadi mulia dan penting karena kita bekerja untuk memenuhi panggilan Tuhan dengan melayani orang lain untuk mencapai God Satisfaction

Karena sumber kebahagiaan adalah memaknai pekerjaan sebagai sebuah 'panggilan' maka dengan gamblang Arvan juga mengatakan bahwa uang bukanlah sumber kebahagiaan, buku ini memuat dua bab tersendiri mengenai uang dan pekerjaan yaitu "Berhentilah Mencari Uang" dan "Sekali Kagi Berhentilah Berpikir tentang Uang".

Di dua bab ini Arvan mengatakan bahwa karena hakikat bekerja adalah memenuhi panggilan Tuhan dengan melayani orang lain maka fokus utama kita dalam bekerja hendaknya berpindah dari fokus pada diri sendiri (yaitu mencari uang) ke fokus pada orang lain (yaitu untuk melayani). Lantas bagaimana dengan uang?  bukankah kita membutuhkan uang? Arvan dengan tegas mengatakan bahwa

"Ketika tidak memikirkan uang, uang akan datang kehadapan Anda dengan sendirinya." (hlm 89)

Dalam hal ini Arvan mendasarinya dengan mengatakan bahwa mementingkan dan melayani orang lain adalah rahasia bisnis terpenting sepanjang masa. Bisnis yang memeningkan diri sendiri akan hancur, dengan demikian jika kita mementingkan orang yang kita layani dalam bekerja atau berbisnis maka dengan sendirinya orang yang kita layani akan puas. Apa yang terjadi jika mereka puas terhadap pelayanan kita? inilah yang dimaksud dengan uang akan datang ke hadapan anda dengan sendirinya.

Di bab-bab selanjutnya buku ini mengurai satu persatu dari ketiga paradigma diatas dengan contoh-contoh praktis sehingga kita benar-benar bisa menilai diri kita sendiri bagaimana selama ini kita memandang pekerjaan yang kita lakukan. Setelah membahas ketiga paradigma dalam bekerja, buku ini menjabarkan makna 'calling' dalam bekerja dalam berbagai cara sehingga kita akan menemukan kebahagiaan dalam bekerja seperti bekerja = beribadah, perlukah berdoa sebelum bekerja?, menemukan makna pekerjaan agar pekerjaan kita tidak membosankan, hingga warisan positif yang harus kita tinggalkan ketika suatu saat nanti kita harus pindah tempat kerja.

Buku ini ditulis dengan sangat menarik dalam kalimat-kalimat sederhana yang tidak terkesan menggurui. Contoh-contoh praktis dilengkapi dengan bagan-bagan sederhana  membuat buku ini mudah dipahami oleh siapa saja sehingga dapat menginspirasi sekaligus mengubah paradigma pembacanya dalam hal bekerja. Lay out yang dinamis dan jumlah halaman per-babnya yang tidak terlalu panjang membuat buku setebal 299 halaman dengan 35 bab ini memiliki tingkat keterbacaan yang sangat tinggi.

Yang mungkin  agak disayangkan adalah penulis tampaknya hanya melihat dari sudut pandang si pekerjanya saja, sedangkan dari sudut si pemberi kerja atau lingkungan kerja tidak dibahas ataupun kalau ada hanya sekilas saja, misalnya bagaimana menciptakan lingkungan kerja yang baik yang akan akhirnya membuat para pekerja akan merasa nyaman dan bahagia dalam bekerja yang tentu saja sedikit banyak juga bergantung pada lingkungan atau atmosfer yang diciptakan oleh si pemberi kerja. Jika saja penulis juga memberikan masukan atau tips bagaimana membuat karyawan merasa bahagia di tempat kerja dengan didukung oleh suasana kerja yang memadai tentunya buku ini akan lebih sempurna.

Terlepas dari hal di atas dengan membaca buku ini kita semua akan melihat pekerjaan kita dengan paradigma baru sehingga walau pekerjaan kita tampak begitu sederhana  kita akan melihat bahwa apa yang kita kerjakan adalah sesuatu yang mulia dan begitu berharga karena kita sedang menjalankan sebuah tugas dari Tuhan. Dengan demikian kita akan lebih bersemangat setiap hari untuk berangkat ke kantor dan bekerja dengan penuh rasa syukur dan cinta.

Ada banyak hal yang menarik di buku ini yang tidak mungkin bisa terungkap di review ini. Satu hal yang pasti jika kita sedang jenuh dengan pekerjaan kita yang monoton, atau kehilangan makna akan apa yang sedang kita kerjakan, bacalah buku ini! dan temukan kembali kegairahan dan paradigma baru dalam bekerja dan bisnis.

@htanzil

NB:
- Posting review ini merupakan #postingbareng dengan teman2 Blogger Buku Indonesia

- Ketika saya mengerjakan review ini di hari Senin, renungan pagi saya juga berbicara ttg hal yang senafas dengan buku ini. Berikut saya copy paste-kan artikel renungan pagi yang saya baca.
Moga manfaat!


Efesus 6:5-9
Jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah. —Efesus 6:6
Di akhir dekade 1660-an, Sir Christopher Wren ditugaskan untuk merancang ulang gereja Katedral St. Paulus di London. Menurut cerita, suatu hari Wren mengunjungi lokasi pembangunan gereja megah tersebut dan ia tidak dikenali oleh para pekerja di sana. Sambil berkeliling, Wren bertanya kepada beberapa pekerja tentang apa yang sedang mereka lakukan. Salah seorang pekerja menjawab, “Saya sedang memotong sebongkah batu.” Pekerja kedua menjawab, “Saya bekerja demi upah.” Namun pekerja ketiga memiliki pandangan berbeda: “Saya sedang menolong Christopher Wren membangun gedung katedral yang megah untuk kemuliaan Allah.” Sungguh suatu sikap dan motivasi yang sangat berbeda!

Alasan kita mengerjakan apa yang kita kerjakan adalah hal yang sangat penting, terutama menyangkut pekerjaan dan karir kita. Oleh karena itu, Paulus menantang jemaat di Efesus untuk melakukan pekerjaan mereka, “jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah, dan yang dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia” (Ef. 6:6-7).


Apabila kita melakukan pekerjaan hanya untuk mendapatkan gaji atau menyenangkan atasan, kita akan kehilangan motivasi yang tertinggi, yakni melakukan yang terbaik sebagai bukti dari pengabdian kita kepada Allah. Jadi, apa alasan kita bekerja? Sama seperti pekerja yang menjawab pertanyaan Wren, kita bekerja “untuk kemuliaan Allah.” —WEC
Jangan hanya selalu ingin
Mengerjakan pekerjaan lain,
Tetapi dengan syukur kerjakanlah
Tugas yang padamu Tuhan berikan. —NN.
Siapa pun yang menggaji Anda, sesungguhnya Anda bekerja untuk Allah.

***

No comments:

Post a Comment

 
ans!!