Monday 31 July 2006

Snow Flower


Judul : Snow Flower
Penulis : Lisa See
Penerjemah : A. Rahartati Bambang Haryo
Penerbit : Qanita
Cetakan : I, Juni 2006
Tebal : x + 556 hlm
Harga : Rp. 66.000,-

Seorang wanita tua jatuh pingsan di sebuah stasiun daerah pedesaan Cina. Polisi menggeledah barang-barang miliknya untuk menemukan selembar kertas berisi kode rahasia. Wanita itu ditahan dan dicurigai sebagai mata-mata musuh. Tetapi, para cendekiawan yang mengurai tulisan itu mendapati bahwa kode tersebut adalah nu shu—tulisan rahasia kaum wanita yang tidak boleh disentuh dan dilihat oleh kaum lelaki. Tulisan ini digunakan oleh para wanita di derah terpencil di selatan Provinsi Hunan, dan diyakini berkembang seribu tahun yang lalu.

Saat menulis tentang nu shu bagi The Los Angeles Times, penulis Amerika berdarah Cina, Lisa See, yang dikenal di Indonesia lewat novel Liu Hulan: Jaring-jaring Bunga (Qanita,2006) tertarik untuk melakukan riset yang lebih mendalam. Tak puas dengan sejumlah buku dan dokumen yang dibacanya, Lisa See bahkan melakukan perjalanan ke daerah pedalaman Cina untuk menyibak rahasia keberadaan nu shu dan budaya yang melatarbelakanginya.

Pencarian itu menjadi sumber kreatifitasnya dalam menulis novel keempatnya, Snow Flower and The Secret Fan (2005) yang kini diterjemahkan dengan baik oleh penerbit Qanita dengan judul Snow Flower.

Kisah ini ditulis dengan gaya memoar seorang wanita berusia 80 tahun yang bernama Lily, yang menceritakan pengalaman hidupnya bersama Bunga Salju sebagai laotong, alias "kembaran sehati"nya. Lily memulai kisahnya pada 1828, ketika dia berusia 5 tahun dan tinggal di desa Puwei, di Baratdaya Cina. Kebebasan masa kecilnya tiba-tiba terampas ketika dia harus menjalani pengikatan kaki, sebuah tradisi menyakitkan yang harus dilalui oleh para wanita Cina agar memperoleh status yang terhormat.

Kaki Lily kecil mungil diikat sedemikian rupa, sehingga pertumbuhannya terhambat dan tulang-tulang telapak serta jari kaki remuk dan akhirnya membentuk profil bunga lili emas. Kaki yang berbentuk Bunga Lili Emas adalah simbol kehormatan wanita Cina, karena wanita yang kakinya tidak diikat atau berkaki lebar adalah wantia ‘rendahan’ yang hanya pantas dijadikan pelayan atau ‘menantu kecil’ yang tak berharga.

Tersebutlah seorang mak comblang bernama Madam Wang, yang berkunjung dan menawarkan suatu perjodohan bagi Lily. Bukan perjodohan untuk memperoleh seorang suami, melainkan perjodohan ‘laotong’ atau ‘kembaran sehati’, perjodohan yang dilakukan antar sesama jenis untuk memperoleh sahabat sejati yang tidak akan terpisahkan bahkan oleh perkawinan sekali pun. Lily mendapatkan Bunga Salju sebagai kembaran sehatinya.

Komunikasi pertama yang dilakukan oleh Lily dan Bunga Salju sebagai sepasang laotong adalah melalui sebuah kipas yang berisi tulisan nu shu. Kipas inilah yang kelak menjadi semacam jurnal kehidupan mereka.

Dari berbagai kesamaaan yang dimiliki sepasang laotong ini, perbedaan mereka terletak pada status sosial. Lily berasal dari keluarga petani sederhana, sementara Bunga Salju berasal dari keluarga terpendang dan terpelajar. Tetapi, perbedaan ini justru membuat mereka saling melengkapi. Dari Bunga Salju, Lily belajar tentang kaligrafi, menulis nu shu, berperilaku sebagai orang terhormat, dll. Sedangkan dari Lily, Bunga Salju belajar banyak hal mengenai kegiatan rumah tangga seperti mengepel, membuat teh, memetik sayuran, menyediakan hidangan bagi keluarga, dll. Mereka pun selalu berkomunikasi melalui sebuah kipas sutera bertuliskan nu shu. Anehnya, walau Bunga Salju kerap berkunjung ke rumah Lily, tak sekali pun Lily diberi kesempatan untuk berkunjung ke rumah Bunga Salju.

Ketika Bunga Salju dan Lily telah berusia 11 tahun dan kaki mereka telah membentuk bunga lili yang indah, mereka pun masing-masing dijodohkan. Lily dijodohkan dengan anak kepala desa Tongkou yang memiliki reputasi sebagai keluarga terpelajar sekaligus dihormati oleh masyarakatnya, sedangkan Bunga Salju dijodohkan dengan anak seorang tukang jagal. Sungguh aneh dan ironis!

Empat tahun kemudian Lily menikah. Hari keempat setelah pernikahan, pengantin wanita diperbolehkan mengunjungi desa kelahirannya. Namun, alih-alih kembali menemui orang tuanya, Lily mengunjungi Bunga Salju. Ini adalah kunjungan pertamanya setelah bertahun-tahun mereka menjadi sepasang laotong. Melalui kunjungan inilah akhirnya terungkap siapa sebenarnya Bunga Salju, dan mengapa selama ini Lily tidak diberi kesempatan untuk mengunjungi rumahnya.

Tetapi, bukan kebenaran jati diri Bunga Salju yang mengubah janji setia mereka sebagai sepasang laotong. Persahabata mereka tak tergoyahkan, hingga akhirnya tibalah sebuah nu shu dari Bunga Salju. Isi pesan tersebut membuat hati Lily terluka dan persahabatan mereka sebagai sepasang kembaran sehati seketika hancur. Kekecewaan dan perasaan dikhianati oleh laotongnya membuat Lily menutup hatinya terhadap Bunga Salju.
Bertahun lamanya mereka tak lagi saling bertemu atau bertukar kabar hingga akhirnya sebuah tragedi mengungkap kebenaran yang selama ini tertutup oleh perasaan benci.

Novel keempat Lisa See ini menyuguhkan cerita yang dramatis dan berpotensi membuat emosi pembacanya tersentuh karena novel ini banyak mengungkap kepedihan dari kehidupan para tokohnya, namun bukan berarti novel ini menjadi novel yang cengeng karena melalui para tokohnya pula akan tercermin ketegaran mereka dalam menghadapi penderitan baik dari kukungan tradisi maupun dari berbagai peristiwa pahit yang harus mereka lalui.

Selain menyajikan cerita yang menyentuh dan plot yang enak diikuti, Snow Flower juga sarat dengan budaya Cina pada abad ke-19, khususnya mengenai kehidupan kaum wanitanya, yang ditampilkan melalui penggambaran tradisi pengikatan kaki, nu shu, upacara perjodohan hingga pernikahan, serta kehidupan keseharian para wanita Cina dalam menjalani siklus hidupnya mulai kecil hingga masa tuanya. Pembagian novel ini pun terbagi dalam siklus kehidupan wanita Cina, seperti Hari-hari Anak Gadis, Hari-hari Jepit Rambut, Hari-hari Beras dan Garam, dan Hari-hari Duduk dalam Keheningan.

Salah satu hal yang paling menarik dalam novel ini adalah penggambaran mendetail tradisi pengikatan kaki. "Hanya melalui rasa sakit kaudapatkan kecantikan. Hanya melalui penderitiaan kaudapatkan kedamaian", demikian makna filosofis dari tradisi ini. Mungilnya kaki seorang wanita, kelak akan ditunjukkan sebagai bukti kepada calon mertua dan ipar tentang kekuatan dalam pengendalian diri, serta kemampuan untuk menahan penderitaan dalam persalinan.

Sikap dan pandangan hidup masyarakat Cina abad ke-19 terhadap kaum wanita pun tergambar dengan jelas dalam novel ini. Wanita Cina hidup dalam kukungan tradisi. Setelah menjalani pengikatan kaki, hidup mereka dihabiskan di ruang atas dan dapur yang terpisah dari kaum lelaki. Di sana, mereka harus belajar berbagai ketrampilan seperti membordir, membuat sepatu, juga menyiapkan mahar perkawinan mereka. Setelah menikah, mereka harus hidup melayani suami, mertua hingga ipar-iparnya. Tugas terberat mereka adalah melahirkan anak laki-laki sebagai penerus keluarga suami. Jika tidak berhasil, mereka akan disisihkan dan dapat digantikan posisinya sewaktu-waktu. Hal tersebut terjadi karena dalam budaya Cina saat itu, melahirkan anak laki-laki adalah fondasi bagi harga diri wanita sekaligus mahkota kemuliaan bagi seorang wanita.

Masih banyak tradisi-tradisi dan kultur masyarakat Cina abad 19 yang akan terungkap dalam novel ini. Walau sarat dengan paparan budaya Cina yang eksotis, novel ini tidaklah membosankan. Secara piawai, Lisa See meramu unsur-unsur tersebut menjadi sebuah cerita dan paparan budaya terjalin dengan cantik. Hasilnya adalah sebuah novel yang indah dan menyentuh. Beberapa pujian atas novel ini menyatakan bahwa novel inilah karya terbaik dari Lisa See. Tak heran jika novel ini bertengger dalam jajaran daftar New York Time Bestseller sepanjang tahun 2005 hingga kini.

Lisa See, penulis Amerika keturunan Cina yang relatif masih muda ini rupanya berhasil mencari dan mengangkat "akar" budaya leluhurnya. Riset dan perjalanannya hingga ke daerah-daerah terpencil di Cina tidaklah sia-sia. Sebuah novel yang tampaknya akan terus dikenang dan menjadi sebuah karya klasik ini adalah buah dari usahanya mencari dan mengangkat budaya leluhurnya yang mungkin sudah terlupakan, tergerus oleh putaran waktu dan hanya dapat ditemui dalam literatur-literatur budaya yang mungkin tak terbaca oleh generasi masa kini. Kini, Lisa See meyuguhkannya dalam balutan fiksi yang menawan hingga dapat terbaca oleh masyarakat luas, bukan sekadar untuk menampilkan eksotisme budaya Cina masa lampau melainkan supaya pembacanya memahami dan mengambil nilai-nilai kehidupan dari budaya masa lampau dari suatu bangsa yang dikenal telah memiliki sejarah yang sangat panjang.

@h_tanzil

No comments:

Post a Comment

 
ans!!