Sunday 13 January 2008

Janda dari Jirah

Judul : Janda dari Jirah
Penulis : Cok Sawitri
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Juni 2007
Tebal : 187 hlm

Sebetulnya buku ini telah telah terbit sekitar 6 bulan yang lalu (Juni 2007), namun baru sekarang saya berkesempatan membacanya. Entah terlupakan, entah karena tidak tertarik membaca judulnya, atau sedang sibuk membaca buku-buku lain, yang pasti novel karya Cok Sawitri ini luput dari pengamatan saya.

Janda dari Jirah menarik perhatian saya ketika novel ini masuk dalam nominasi Khatulistiwa Award (KLA) 2007, karenanya novel dan nama Cok Sawitri kembali dibicarakan orang. Selain itu saat digelarnya Ubud Writers & Readers Festival yang lalu nama Cok Sawitri adalah salah satu penulis Indonesia yang menjadi primadona di perhelatan para penulis se Asia Tenggara itu.

Karena itulah, walau terlambat akhirnya saya membaca juga Janda dari Jirah karya penulis bali yang juga aktif berkiprah di dunia teater ini. Ternyata novel ini merupakan versi lain dari legenda Calon Arang yang selama ini kisahnya masih terus dikisahkan baik dari mulut kemulut, pementasan teater, dan ditulis dalam buku-buku fiksi dan non fiksi. Di ranah fiksi setidaknya sudah 2 penulis menuliskan legenda ini. Yang pertama adalah Pramoedya Ananta Toer dalam “Dongeng Calon Arang” (1954) dan Femmy Syaharani dalam “Galau Putri Calon Arang” (Gramedia, 2005). Sedangkan di ranah non fiksi Toety Heraty menulis sebuah buku kajian feminisme berdasarkan legenda Calon Arang yang diberinya judul Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki. (YOI,…)

Dari dua buku fiksi diatas Calon Arang dilukiskan sebagai perempuan penyihir yang kejam dan mendatangkan bala ke penduduk Daha/Kediri karena putrinya, Ratna Menggali tak juga mendapat jodoh. Lalu seperti apa sosok Calon Arang versi Cok Sawitri ?

Dalam novel ini kita tak akan menemukan nama Calon Arang, Cok, menggantinya dengan sebutan Rangda ing Jirah (Janda dari Jirah). Berbeda dengan Calon Arang yang selama ini diseskprikian dengan wanita penyihir yang jahat, keji dan licik, dalam novel ini Calon Arang / Rangda ing Jirah dideskripiskan sebagai pendeta wanita yang taat mengikuti jalan Buddha. Tutur katanya lembut dan sopan, namun dibalik kelembutannya terpancar kewibawaan yang tiada tara yang membuat semua pengikutnya taat pada ajaran-ajarannya. Ia juga piawai dalam mengatur desanya sehingga desa-desa yang berada dibawah asuhannya menjadi desa yang makmur dan sentosa dengan panen yang melimpah ruah.

Rangda in Jirah tinggal dan memimpin sebuah wilayah yang dinamakan Kabikuan dimana tanah-tanah di Kabikuan ini sejak dahulu kala merupakan persembahan raja-raja kepada para pendeta Buddha. Dalam tata krama Kabikuan ditetapkan bahwa tanah-tanah di wilayah Kabikuan tidak boleh dilewati oleh Raja dan para pengikutnya jika untuk tujuan berperang dan membunuh, sekalipun dengan alasan membela negara.

Dikisahkan di tahun 940 Saka, kerajaan Medang yang saat itu sedang melangsungkan pernikahan antara Putri Raja Dharmawangsa Tguh dari Wangsa Isana dengan Pangeran Airlangga, yang merupakan putra Raja Udayana dari Bali secara tiba-tiba diporak porandakan oleh kerajaan Wura-Wuri yang masih merupakan kerabat wangsa Isana, penguasa kerajaan Medang. Penyerangan itu menyebabkan tewasnya raja Dharmawangsa Tguh dan putrinya sedangkan Airlangga sendiri bersama beberapa pengawalnya berhasil meloloskan diri.

Untungnya Airlangga beserta Narotama, penasehat utamanya berhasil merebut kembali ibu kota Medang dan mengganti nama kerajaannya menjadi Kadiri dengan ibukotanya Daha. Airlangga berhasil menjadi raja dan membangun kerajaannya dengan baik. Namun masih ada duri dibalik kesuksesannya itu. Beberapa kerabat dari Wangsa Isana diam-diam merasa tidak puas dengan naik tahtanya Airlangga. Bagi mereka Airlangga sebagai mantu dari Raja Dharmawangsa yang telah pralaya dianggap tidak berhak atas tahta kerajaan karena bukan keturunan langsung dari Wangsa Isana. Yang berhak atas tahta kerajaan adalah Pangeran Samarawijaya yang masih kecil, namun hilang entah kemana ketika Medang diserbu oleh Wura-Wuri.

Daerah kekuasaan Airlangga berbatasan langsung dengan wilayah Kabikuan dimana Rangda ing Jirah dan putrinya Ratna Manggali tinggal. Dia disegani oleh rakyat jelata dan raja-raja. Karenanya siapapun raja yang memerintah tak seorang pun yang berani mengusik tanah-tanah di wilayah Kabikuan Jirah. Di Kabikuan ini pula Rangda ing Jirah melatih murid-muridnya agar taat pada ajaran Budha sehingga para murid-muridnya dikenal karena perilakunya yang terpuji dan ilmu kanuragan yang tinggi.

Kehidupan di Kabikuan Jirah lebih makmur dibandingkan daerah lain di sekitarnya. Selain itu tata krama kabikuan melarang penduduknya berpihak kemanapun apabila terjadi perselisihan dan melarang daerahnya dilewati oleh prajurit dari pihak manapun untuk berperang.

Airlangga sadar akan keistimewaan Kabikuan, karenanya ia ikut menghormati tata krama Kabikuan, apalagi setelah tersiar kabar bahwa raja putri Wura-Wuri sering menghadap Rangda ing Jirah untuk menjadi murid utamanya. Bahkan tersiar pula kabar bahwa Wura-Wuri menyerahkan dua belas desa kepada pendeta Rangda in Jirah untuk digembleng dalam tata karma Budha. Melihat keadaan itu Airlangga pun mengutus mengutus Narotama untuk menjalin persahabatan dengan Kabikuan Jirah.

Setelah memerintah selama 10 tahun, ketentraman Airlangga terusik ketika kerajaan Wura-Wuri tiba-tiba menyerbu kembali istana kerajaan Kadiri. Airlangga menjadi naik pitam dan merencanakan penyerbuan balasan. Namun ia menghadapi masalah pelik karena untuk menyerang Wura-Wuri, tentara-tentaranya harus melewati tanah Kabikuan yang menurut tata krama Kabikuan menolak untuk dilalui prajurit yang hendak berperang.

Ketika Airlangga mencoba mengutus Narotama untuk berunding dengan Rangda ing Jirah agar pasukannya diijinkan melewati tanah kabikuan, beberapa perwira Kadiri yang tak sabaran menerobos salah satu dusun di wilayah kabikuan hingga menimbulkan pertumpahan darah. Tata Krama Kabikuan dilanggar, bagaimana sikap Rangda Ing Jirah dan Airlangga menghadapi persoalan ini ? Kerumitan bagi Airlangga bertambah ketika tiba-tiba muncul Pangeran Samarawijaya, pewaris tahta kerajaan yang sah Wangsa Isana disaat Airlangga hendak menobatkan putrinya sebagai Putri Mahkota kerajaan Kadiri.

Novel perdana karya Cok Sawitri ini menarik untuk disimak. Selain mendekontruksi tokoh Calon Arang dari yang selama ini dikenal sebagai penyihir jahat menjadi tokoh pendeta wanita yang bijak , novel ini ditulis dengan kalimat-kalimat yang puitis. Mungkin bisa disebut sebagai prosa liris. Dengan demikian pembaca akan dibuai kedalam kalimat-kalimat indah yang melambungkan imaji pembacanya ke wilayah Kadiri berabad-abad lampau.

Namun cara penyajian seperti ini juga bisa menimbulkan jarak bagi para pembaca umum. Bagi yang tak terbiasa membaca kalimat-kalimat puitis, novel ini membutuhkan kecermatan yang lebih tinggi untuk memahami rangkaian kalimat indah yang tertera di setiap paragrafnya

Melalui novel ini pula pembaca akan diajak memasuki alam surealis dan fantasi dimana para murid Kabikuan dapat melesat terbang berkat ilmu kanuragannya, pepohonan dan binatang bisa saling bercakap-cakap dengan manusia, dll. Karena semua itu ditulis dengan kalimat puitis maka pembaca merasa tak sedang diobodohi melainkan semakin larut dalam keeksotisan deskripsi tanah Jawa dimasa lampau.

Kisah dalam novel ini sebenarnya lebih banyak diceritakan dari sudut pandang Narotama, penasehat Airlangga. Sehingga sepak terjang Airlangga dalam mendirikan, melakukan ekspansi dan mempertahankan kerajaannya merupakan porsi terbesar dalam novel setebal 184 halaman ini. Sedangkan porsi Rangda ing Jirah, walau tak mendominasi alur kisah di novel ini, Cok Sawitri dengan cerdas tetap membuat pembacanya dibayangi oleh kewibawaan, kebijaksanaan dan kemistisan dari Janda ing Jirah yang menyelimuti novel ini dari halaman awal hingga lembar terakhirnya.

Lalu apa pembelaan novel ini terhadap citra Calon Arang yang selama ini dikenal sebagai tokoh penyihir yang jahat? Melalui tokoh Ratna Menggali yang memiliki kemampuan untuk melihat masa depan ia meramalkan, “Mereka akan menuduh Ibu sebagai penganut ilmu hitam..”. “ Selama ratusan tahun, Ibu akan digelapkan, namun itu bagi yang tak memahami…” (hal 38). Dalam novel inipun disinggung bahwa kelak Airlangga memerintahkan agar para penyair tidak menulis apa yang sebenarnya terjadi di Kadiri dan kejaidan-kejadian di tanah Kabikuan. Bahkan Cok mengklaim bahwa novel ini merupakan kitab kecil yang selama ini tidak terungkap. dalam “Kelak, orang akan mengenangnya jauh dari kebenanaran…dan hanya dalam kitab kecil ini, apa yang tidak boleh dituliskan yang terkubur beratus-ratus tahun lampau, kembali dikisahkan”


Inilah alasan yang tersirat dalam novel ini mengapa sosok Calon Arang dan kisah yang melatarinya berbeda seratus delapanpuluh derajad dengan apa yang ditulis dalam novel ini.

Dalam novel ini tampak jelas Cok Sawitri juga sepertinya berupaya agar pembaca keluar dari bayang-bayang ingatan akan Calon Arang yang selama ini digambarkan sebagai perempuan yang seram. Dalam tafsir Cok, tak ada dendam karena Ratna Menggali tidak ada yang melamar, bahkan porsi kisah Ratna Menggali tersaji secara singkat saja. Tak ada teluh yang menebar penyakit pada rakyat Kediri. Yang ditawarkan Janda dari Jirah adalah rasa cinta kasih yang membawa kedamaian


Lalu apa dasar Cok Sawitri melakukan dekontruksi terhadap tokoh Calon Arang? Menurut wawancaranya dengan koran Tempo, Cok mengungkap bahwa “Rangda ing Jirah ini menjadi mitos yang dipelihara turun-temurun. Siapa dia sebenarnya, apakah sedemikian gelap padahal dia menurunkan banyak keturunan yang sangat menentukan dari Singosari sampai Majapahit, bahkan sampai Bali. Artinya Rangda ing Jirah bukan mitos. Dia ibu Ratna Manggali: ibu, nenek buyut para mpu. Bagaimana mungkin seorang yang sakti dan memiliki kewibawaan seorang btari bisa digambarkan sebagai tukang sihir dan harus dibunuh?”

Apa yang diungkap oleh Cok memang bukan sekedar pendapat tanpa dasar. Kabarnya untuk merawi novel ini ia telah melakukan riset yang mendalam selama empat belas tahun. Banyak naskah yang terdapat dalam lontar-lontar kuno dan prasasti bersejarah dicermati Cok untuk novelnya ini. Bahkan ia melengkapi risetnya hingga ke Negeri Belanda yang terkenal memiliki literaur-literatur lengkap mengenai Indonesia dimasa lampau.

Tampaknya Cok cukup ambisius mengerjakan novelnya ini. Kabarnya novel inipun sebenarnya hanyalah bagian kecil dari sebuah karya yang lebih besar yang sedang dikerjakannya. Apakah Cok sedang merevisi sebuah sejarah yang selama ini telah dikenal oleh masyarakat ? Novel ini memang menimbulkan kontroversi, dalam berbagai kesempatan Cok harus meladeni berbagai pertanyaan, menjelaskan latar belakang "keyakinannya" itu, bahkan meladeni gugatan banyak orang yang menuduh bahwa penelitiannya tidak sahih.

Terlepas dari segala kontroversi yang ada, novel ini sangat layak dibaca sebagai alternatif dalam membaca sejarah yang disastrakan. Cok telah menyajikan peristiwa sejarah dari sisi yang berbeda. Bukan tak mungkin hal ini akan membuat para pemerhati sejarah dan budaya kembali melakukan riset untuk mencari kebenarannya atas riset yang dilakukan Cok hingga akhirnya kebenaran sejarah sejati akan terungkap.

Namun jangan lupa, Janda dari Jirah adalah sebuah karya fiksi. Sementara kebenaran sejarah masih terus diteliti, marilah kita sebagai pembaca menikmati novel ini sebagai sebuah karya sastra yang mengungkap cinta, gejolak, nafsu kekuasaan, intrik politik, hubungan antarmanusia dan hubungan manusia dengan alam dalam bahasa yang sastra puitis.

@h_tanzil

No comments:

Post a Comment

 
ans!!