Friday 26 January 2007

Gelang Giok Naga

Judul : Gelang Giok Naga
Penulis : Leny Helena
Penyunting : M. Irfan Hidayatullah
Penerbit : Qanita
Cetakan : I, November 2006
Tebal : 316 hlm ; 20.5 cm
Harga : Rp. 39.500,-


Batu Giok dan Naga, adalah dua hal yang melekat dalam kehidupan orang Cina.. Batu Giok yang juga memiliki nilai tinggi layaknya permata, dipercaya sebagai menangkal bala, menyembuhkan penyakit dan juga simbol status sosial. Sedangkan Naga adalah simbol yang sangat kompleks dalam kosmologi Cina. Naga bisa bertindak sebagai pelindung sekaligus pembawa bencana. Semenjak dinasti Han (300 SM) naga dijadikan lambang kekaisaran sebagai kekuasaan yang absolut dari seorang kaisar, bahkan kaisar-kaisar Cina dipercaya sebagai keturunan langsung dari naga. Bukan itu saja secara luas masyarakat Cina juga sering menyebut diri mereka sebagai keturunan naga.

Giok dan Naga, dua hal inilah yang oleh Leny Helena disandingkan dalam sebuah kisah dimana Giok dan Naga berpadu di dalam sepasang gelang. Gelang Giok Naga dalam novel ini seperti diungkapkan oleh penulisnya, juga bisa diartikan sebagai simbol dimana gelang melambangkan dunia materialitas dimana penampilan fisik sering dijadikan parameter, khususnya bagi para wanita. Giok melambangkan bagaimana wanita dihargai layaknya permata, namun juga rapuh, bisa pecah dan hancur, namun wanita juga bisa memilih untuk berjuang dan bertahan bagaikan naga yang pada akhirnya akan disegani.

Dalam novel ini dikisahkan Kaisar Jia Shi menghadiahi selir kesayangannya - Yang Kuei Fei - sepasang gelang yang terbuat dari batu giok murni dengan hiasan naga emas didalamnya. Pada tahun 1723 Kaisar Jia Shi berencana memperluas daerah kekuasaannya hingga ke Korea. Rencana ini didukung oleh beberapa menteri dan jenderal, namun beberapa menteri lainnya menentang keinginan sang Kaisar karena mereka menganggap situasi di dalam negeri banyak yang masih harus dibenahi. Kasim Fu termasuk petinggi istana yang menentang rencana kaisar. Untuk itu ia membujuk Yang Kuei Fei untuk memata-matai dan membujuk Kaisar untuk membatalkan niatnya.

Suatu malam ketika sedang berdua dengan Yang Kuei Fei, Kaisar Jia Shi terbunuh karena seseorang telah menaruh racun dalam semangka yang dimakannya. Karena ketakutan dituduh telah membunuh Kaisar, Yang Kuei Fei melarikan diri bersama Kasim Fu. Dalam pelariannya ia tak lupa membawa perhiasan-perhiasannya termasuk sepasang Gelang Giok Naga pemberian sang Putera Langit. Tak hanya itu, dalam rahimnya ia juga membawa benih cinta antara dirinya dengan sang Kaisar !.

Gelang Giok Naga ternyata terus tersimpan dan diwariskan dari generasi ke generasi, uniknya gelang ini selalu diwariskan kepada anak perempuan. Entah pada generasi keberapa akhirnya gelang ini diberikan pada A Sui di tahun 1937 ketika ia hendak menyusul suaminya ke Batavia.

Di tahun yang sama, di Batavia A Lin, gadis cina miskin dijual oleh orang tuanya untuk dijadikan penghibur. A Lin akhirnya dijadikan seorang ‘nyai’ bagi seorang meneer Belanda bernama Cornell van der Beek.Walau awalnya hidup bahagia sebagai nyai dan memiliki anak kembar, A Lin akhirnya harus hidup sendiri setelah Cornell dan kedua anaknya kembali ke Belanda. Namun A Lin tidak meratapi nasibnya, daripada dijual kembali untuk menjadi Nyai ia memutuskan untuk menikah dengan seorang Cina hingga akhirnya memiliki anak dan menjadi pedagang yang sukses.

Berbeda dengan A Lin, kehidupan A Siu di Batavia tak berlangsung mulus, setelah kematian suaminya, A Siu hidup menderita dengan ketujuh anak-anaknya. Untuk menyambung hidupnya A Siu menggadaikan gelang giok naga pemberian ibunya pada salah seorang wanita Cina kaya di batavia. Dan wanita itu adalah A Lin.

Secara tak terduga anak A Lin dan A Siu berteman hingga akhirnya putra A Lin menghamili putri A Siu sehingga akhirnya mereka harus menikah. Dari pernikahan ini lahirlah Swanlin yang namanya diambil dari kedua nama neneknya (A lin dan A Siu). A Lin dan A Siu kini terikat dalam ikatan keluarga. Namun mereka tidak pernah akur, karenanya A Siu tak pernah menanyakan keberadaan gelang giok naga yang pernah digadaikannya pada A Lin yang hingga kini belum pernah ditebusnya. Demikian pula dengan A Lin, ia tak pernah sedikitpun menyinggung soal gelang itu pada A Siu. A Siu hanya berpesan pada cucunya – Swanlin agar memberitahu padanya jika ia melihat nenek A Lin kedapatan memakai gelang giok naga.

Cerita terus melompat maju hingga Swanlin dewasa dan bergaul dekat dengan teman-teman diluar etnisnya. Ia juga membantu mencari keberadaan kedua anak A Lin dari buah cinta neneknya di masa lalu dengan Cornell. Selain itu Swanlin dan kedua neneknya juga melewati saat-saat genting dalam dunia politik dimana Indonesia mengalami pergolakan reformasi dan etnis tionghoa menjadi sasaran amuk massa yang tak terkendali.

Kisah Gelang Giok Naga pada awalnya merupakan cerita bersambung yang diikutsertakan dalam Sayembara Mengarang Cerber Femina 2004. Cerber yang awalnya berjudul Gelang Giok ini berhasil memenangkan sayembara tersebut. Seperti diutarakan oleh penulisnya, novel Gelang Giok Naga merupakan pengembangan cerita dari versi cerbernya.

Tampaknya ada banyak hal yang ingin disampaikan oleh penulisnya dalam novel ini. Novel ini bisa dikatakan novel yang sarat dengan muatan historis-sosiologis. Di halaman-halaman awal pembaca akan disuguhkan cerita mengenai legenda Naga, lalu beralih ke keadaan kekaisaran Cina dimasa Dinasit Ching di abad 18. Kehidupan kaisar dan intrik politiknya, kehidupan selir-selirnya, hingga proses pengebirian pria yang hendak dijadikan kasim untuk menjaga harem istana terungkap di bab-bab awal novel ini.

Sesuai dengan panjangnya bentangan waktu dalam novel ini (1723-2001) aspek-aspek kultural masyarakat tionghoa dari masa kemasa dalam novel inipun ikut terungkap. Setelah pembaca diajak memahami situasi Cina di abad ke 18, maka ketika cerita bergerak di tahun 30-an kita akan diajak menyimak bagaimana kondisi sosial masyarakat etnis Tionghoa di Batavia di dimasa itu. Salah satunya mengenai Nyai. Ternyata yang bisa dijadikan ‘nyai’ bagi para meneer Belanda bukan hanya wanita pribumi saja. Gadis-gadis Cina yang kurang beruntung harus rela dijual sebagai ‘Nyai’.

Selain itu novel ini juga memotret perilaku dan gaya hidup etnis Tionghoa dari masa kemasa. Karena novel ini ditulis juga oleh seorang etnis tionghoa maka apa yang selama in dirasakan dan dialami oleh seorang Tionghoa sebagai warga minoritas terungkap dengan jelas, hal ini terwakili oleh apa yang dialami dan menjadi pemikiran tokoh Swanlin, mulai dari ejekan sebagai Cina celeng, ketakutan kesulitan mencari pekerjaan jika masih memakai nama cina, korban penjarahan jika ada kerusuhan hingga anggapan umum bahwa etnis tionghoa adalah pencuri rezeki kaum pribumi, dll. Namun dengan bijak penulis juga melakukan otokritik terhadap etnis Tionghoa antara lain sifat ekslusif dan sulit berbaur dengan lingkungannya.

Novel yang dituturkan oleh tiga orang wanita (A Lin, A Sui dan Swanlin) ini juga menyinggung semangat eksistensi keperempuanan yang cukup kental. Ketiga tokoh wanita dalam novel ini mencerminkan para wanita yang ulet dan tidak menyerah pada nasib atau hanya bergantung pada lelaki. A Lin digambarkan sebagai wanita tegar dan pandai, baik ketika ia menjadi Nyai maupun ketika tuannya meninggalkannya. Sosok A Lin sebagai Nyai yang cerdas dan mau belajar banyak hal, akan mengingatkan kita pada tokoh rekaan Pramoedya AT - Nyai Ontosoroh dalam buku Bumi Manusia. A Sui juga digambarkan sebagai wanita yang berhasil mengatasi kesulitan hidup ketika ditinggal mati suaminya untuk menghidupi ketujuh anaknya. Swanlin mewakili wanita masa kini digambarkan sebagai tokoh wanita yang cerdas, melawan tradisi harus menikah dengan laki-laki sesukunya, ikut mendaki gunung sebagai satu-satunya peserta wanita, dan turut memainkan peran dalam perjuangan reformasi.

Selain tercermin dalam ketiga tokohnya, semangat perlawanan eksistensi keperempuanan juga tampak pada keberadaan gelang giok naga yang selalu diwariskan pada anak perempuan, hal yang tak lazim karena masyarakat cina yang patrilineal lebih mengutamakan anak pria terlebih dalam meneruskan simbol keluarga.

Rentang waktu yang panjang (1723-2001) yang menjadi setting kisah ini merupakan salah satu keunikan novel ini. Novel ini dibagi dalam 16 bab berdasarkan tahun. Sayang lompatan tahunnya tak konisiten. Kadang lompatan tahunnya begitu rapat, kadang melompat jauh 10 tahun bahkan hingga ratusan tahun (1724-1935).

Lompatan cerita yang terlalu jauh dalam novel ini menyebabkan adanya bagian-bagian yang tak terceritakan yang sebetulnya akan lebih menarik bila bisa diungkapkan. Selain itu kisah Gelang Giok Naga dalam novel ini seolah tenggelam dalam cerita ketiga tokoh wanitanya. Akan lebih menarik jika diungkap bagaimana serunya dan dramatisnya gelang ini berpindah dari generasi ke generasi. Dalam novel ini kita hanya mendapat cerita bahwa gelang ini berpindah dari tangan kaisar ke selirnya, lalu ke tangan orangtua A Siu dan diwariskan pada A Siu, digadaikan kepada A Lin dan akhirnya diberikan pada Swanlin. Kisah perpindahannya sendiri tampaknya tak terlalu didramatisir oleh penulisnya sehingga keberadaan gelang giok naga ini seolah hanya sekedar benang merah tipis yang mengikat keseluruhan cerita.

Sebenarnya materi cerita dan ragamnya tema yang diangkat oleh penulis, berpotensi besar untuk menjadikan novel ini sebagai novel yang monumental yang membahas sejarah panjang masyarakat etnis tionghoa di Indonesia lengkap dengan uraian historis sosiologiosnya. Andai saja penerbit atau penyuntingnya lebih sabar untuk tidak menerbitkan dulu novel ini dan memberikan kesempatan pada penulisnya untuk memberikan sentuhan dramatis pada perjalanan gelang giok naga dan memperdalam ekplorasi cerita, tokoh-tokohnya dan memperdalam muatan budayanya, bukan tak mungkin novel ini akan menjadi semakin menarik dan menjadi novel yang terus dibaca orang terutama bagi mereka yang ingin memahami bagaimana kehidupan kaum minoritas etnis Tionghoa yang telah memiliki sejarah panjang dan membentuk budayanya sendiri di bumi Indonesia.

Namun terlepas dari kekurangan di atas. Leny Helena, seorang warga negara indonesia yang kini tinggal di Houston USA telah berhasil mengangkat nilai-nilai kultural leluhurnya dalam tema lokal dengan balutan cerita menarik dengan plot yang enak diikuti dan enak dibaca. Ragamnya tema yang terungkap dalam novel ini (gender, intrik politik dan kekuasaan di zaman Dinasti Ching, kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia, konflik identitas, reformasi 1998 dan kisah cinta lintas etnis) tentunya menjadikan karya ini tidak sekedar menjadi hiburan semata. Nilai-nilai informasi yang bertaburan didalamnya otomatis akan memperkaya pembacanya dalam banyak hal.


@h_tanzil

No comments:

Post a Comment

 
ans!!