Thursday 30 June 2011

The Count of Monte Cristo


No. 262
Judul : The Count of Monte Cristo
Penulis : Alexandre Dumas
Penerjemah : Nin Bakdi Soemanto
Penerbit : Penerbit Bentang
Cetakan : I, Maret 2011
Tebal : 568 hlm

The Count of Monte Cristo adalah novel klasik karya Alexandre Dumas yang bertutur tentang dendam yang harus dibayar. Ceritanya sendiri berlangsung di Prancis, Italia, dan pulau-pulau di Mediterania pada tahun 1815-1838 dengan latar belakang historis saat Raja Louis XVII memerintah dan sang Kaisar Napoleon Bonaparte diasingkan di Pulau Elba.

Novel ini menceritakan kehidupan Edmond Dantes , 19 tahun, seorang pelaut Marseiless – Prancis, kelasi kelas satu dari kapal Le Pharaon. Saat kapal Pharaon berlayar menuju Marseiless, kapten kapal jatuh sakit dan meninggal dunia, sebelum meninggal sang kapten menitipkan sebuah paket kepada Edmond untuk diberikan kepada seorang marsekal di Pulau Elba yang pada saat itu merupakan tempat pengasingan Kaisar Napoleon Bonaparte yang dibuang oleh Raja Louis XVII

Saat Edmond menyerahkan paket tersebut, ia bertemu dengan Sang Kaisar yang menitipkan sepucuk surat kepada Edmond Dantes untuk disampaikan kepada salah seorang pendukungnya di Marseiless. Setibanya di Mersailess Dantes langsung diangkat oleh Monsieur Morrell, pemilik kapal untuk menjadi kapten kapal Pharaon. Sambil menunggu proses bongkar muat kapal ia mengajukan cuti agar dapat menikah dengan Mercedes, pujaan hatinya.

Nasib baik Edmond Dantes ini ternyata tidak disukai oleh teman-temannya. Promosinya menjadi kapten kapal membuat iri hati Danglars, kepala keuangan kapal Pharaon, niatnya untuk menikahi Mercedes membangkitkan kecemburuan Fernand Mondego, sepupu Mercedes yang juga mencintainya, sedangkan rezekinya yang tak terduga membuat iri hati Caderousse, tetangganya. Ketiga orang ini lalu merencanakan rencana jahat untuk menggagalkan Edmond Dantes menjadi kapten kapal sekaligus menghalangi jalannya pernikahannya dengan Mercedes.

Fakta bahwa Edmond Dantes membawa sepucuk surat dari Sang Kaisar di pembuangannya untuk disampaikan kepada pendukungnya dijadikan senjata ampuh untuk melaksanakan niat jahat mereka. Danglars menulis surat kepada Moniseur Villefort, Jaksa Penuntut Umum di Mersailess yang menyatakan bahwa Edmond Dantes adalah mata-mata musuh Raja Louis XVII, Napoleon Bonaparte.

Singkat cerita, Edmond Dantes ditangkap, surat titipan Napoleon yang belum sempat diserahkannya itu ikut disita. Karena ternyata isi surat itu mengancam kedudukan Villefort sebagai abdi Raja Louis XVII maka surat itu dihancurkannya dan Edmond Dantes langsung dijatuhi hukuman penjara di sebuah pulau terpencil tanpa melalui proses pengadilan

Dalam gelap dan lembabnya ruang penjara bawah tanah itulah Edmond Dantes menaruh dendam terhadap teman-temanya yang telah menghianatinya, merendahkan martabatnya, dan merengut kekasihnya. Bertahun –tahun dalam penjara hampir saja membuat dirinya kehilangan harapan hingga akhirnya nasib mempertemukannya dengan Abbe Faria, seorang pastor tua yang selnya bersebelahan dengannya. Si pastor ini berhasil menggali lubang yang menembus sel Edmond Dantes sehingga mereka bisa saling bertemu dan merencanakan sebuah recana untuk keluar dari penjara terkutuk tersebut.

Persahabatan antara Edmond Dantes dan si pastor terjalin dengan erat, Abe Faria menjadi sahabat sekaligus guru bagi Dantes yang mengajarkan banyak hal kepadanya. Setelah belasan tahun membina persahabatan dan belum sempat mewujudkan rencananya Abe Faria akhirnya meninggal dunia karena sakit yang dideritanya. Sebelum meninggal Abbe Faria sempat memberikan sebuah peta harta karun yang terletak di Pulau Monte Cristo yang akan jadi milik Edmond Dantes jika ia keburu meninggal sebelum sempat melarikan diri. Meninggalnya sahabatnya dalam penjara itu ia gunakan untuk melarikan diri. Ia memindahkan tubuh Abe Faria ke selnya dan masuk ke dalam kantong mayat .

Setelah berhasil kabur dari penjara akhirnya ia sampai ke pulau Monte Cristo dan berbekal peta yang dimilikinya ia berhasil menemukan harta karun yang tak ternilai besarnya . Dengan harta karun itu ia segera pulang ke Mersailess dan mengubah dirinya menjadi seorang bangsawan dan menyembunyikan namanya dibalik gelar The Count of Monte Cristo (Bangsawan dari Monte Cristo) . Semenjak itulah ia merencanakan sebuah skenario balas dendam terhadap orang-orang yang telah menghancurkan dan merengut kebahagiaannya.

Dalam novel ini Alexandre Dumas mengemas kisahnya dengan sangat manarik. Skenario balas dendam yang dijalankan oleh Edmond Dantes atau Count Monte Cristo benar-benar rapih. Selepas melarikan diri dari penjara dan memiliki harta yang melimpah ia tidak langsung melakukan aksi balas dendamnya terhadap mereka yang telah menghancurkan hidupnya. Dengan sabar ia merangkai dan melaksanakan berbagai rencana balas dendamnya dengan sangat rapih dan cerdas sehingga dibutuhkan waktu sekitar 25 tahun sejak dirinya dipenjara hingga dendamnya terbalas tuntas

Seperti layaknya seorang grand master catur, semua langkah yang disusun oleh Monte Cristo benar-benar penuh perhitungan, semua aksinya dilakukan secara amat wajar sehingga tak seorangpun menduga bahwa semua ini adalah perbuatan Monte Cristo sebelum ia membeberkan semua rencana dan jati dirinya terhadap musuh-musuhnya yang saat itu sudah berada di ujung tanduk.

Tema utama dalam novel ini adalah balas dendam, keadilan, belas kasihan, dan pengampunan yang dituturkan dalam kisah petualangan yang diwakili oleh tokoh Edmond Dantes/Monte Cristo . Di sini Mote Cristo selain tokoh yang hatinya dipenuhi dendam terhadap musuh-musuhnya, ia juga digambarkan sebagai pribadi yang penyayang. Kepada mereka yang pernah menolong hidupnya Monte Cristo sangatlah baik bahkan rela mengorbankan dirinya untuk menolong siapa saja yang pernah menolongnya .

Sebenarnya saat Monte Cristo melakukan niat balas dendamnya ia masih memberikan kesempatan kepada musuh-musuhnya untuk bertobat, namun sayangnya ketamakan dan kelicikan telah membutakan mata mereka sehingga tanpa disadari mereka masuk dalam perangkap balas dendamnya

Dalam novel ini akan ada banyak tokoh-tokoh dan kisah-kisah yang pada awalnya seolah tak memiliki keterkaitan dengan inti kisahnya, namun lambat laun semua tokoh itu akan saling berhubungan baik itu melalui sebuah pertemanan ataupun skandal-skandal yang terjadi di novel ini. Sedangkan berbagai kisah dalam novel ini sebenarnya juga menyimpan sejumlah petunjuk yang akan menjadi dasar bagi peristiwa atau kejadian di bab-bab berikutnya.

Bagi sebagian pembaca banyaknya tokoh dan kisah-kisah yang seakan berdiri sendiri ini mungkin akan membuat pembacanya bingung dan agak kesulitan dalam menikmati novel ini, namun ketika perlahan-lahan semua fakta mulai terungkap barulah kita menyadari bahwa semua itu ada relevansinya. Dan inilah yang saya rasa merupakan sisi jenius Alexandre Dumas dalam merangkai kisah yang menawan ini. Rasanya tak cukup hanya membaca novel ini satu kali saja, karena mungkin saja saat kita membaca kita melewatkan sebuah petunjuk dan detail kisah mengenai bagaimana Monte Cristo merangkai skenario balas dendamnya dengan sangat rapih.

Jadi kesimpulannya bagi para pecinta sastra klasik sepertinya novel ini tak boleh dilewatkan begitu saja karena ini adalah sebuah novel klasik yang dibaca luas di seluruh dunia, heroik dan penuh intrik yang dituturkan dengan begitu sempurna oleh seorang maestro dunia! Selain itu novel ini juga memberi makna yang positif bagi pembacanya bahwa apapun yang kita tuai suatu saat kita akan kita petik hasilnya, kebaikan akan berbuahkan kebaikan, sedangkan jika kita menuai kejahatan maka akan berbuahkan malapetaka bagi diri kita.

Satu-satunya kritik untuk novel ini adalah ukuran font-nya yang bagi saya terlalu kecil, hal ini mungkin langkah yang harus diambil penerbit agar jumlah halamannya tidak terlalu tebal. Sebagai perbandingan edisi Penguin Classic novel ini tebalnya hampir dua kali edisi terjemahan ini yaitu, 1276 halaman!

Sejarah Penerbitan

Novel The Count of Monte Cristo ini dianggap sebagai karya terpopuler Dumas setelah The Tree Musketeers. Kabarnya Dumas mendapatkan ide untuk novel ini dari suatu kisah yang ia temuakan dalam buku yang dikompilasi oleh Jecquest Peuchet, petugas arsip polisi Prancis. Cerita tersebut tentang Piere Picaud yang tinggal di Nimes pada 1807. Picaud telah bertunangan dan akan menikah dengan seorang perempuan kaya, tapi tiga orang temannya cemburu dan membuat tuduhan palsu bahwa Picaud adalah mata-mata Inggris sehingga ia dipenjara selama tujuh tahun

Selama masa penahanannya, teman setahanannya yang sekarat memberikan peta harta karun tersembunyi di Milan. Setelah Picaud dibebaskan ia kembali ke Paris dan melaksanakan misi balas dendamnya terhadap teman-teman yang telah memfitnahnya.

Dalam melahirkan karya-karyanya, Dumas juga selalu berkolaborasi dengan para asistennya. Sepanjang kariernya Dumas telah menulis sekitar 250 buku dengan dibantu oleh 73 asisten dan para kolaboratornya. Salah satu yang terkenal adalah Auguste Maquet, seorang guru sejarah. Dalam The Count of Monte Cristo Maquetlah yang membuat garis besar alur dan draftnya, sedangkan Dumas menambahkan detail dan dialognya.

The Count of Monte Cristo pertama kali dimuat di harian Journal des Debats dalam 18 bagian dari tanggal 28 Agustus 1844 sampai 28 Agustus 1846. Versi lengkap novel dalam bahasa Prancis dipublikasikan sepanjang abad ke 19. Sedangkan versi bahasa Inggrisnya terbit pada tahun 1846.

Novel ini kemudian menjadi novel klasik yang terus dibaca hingga kini, sedikitnya novel ini telah diterjemahkan ke dalam 100 bahasa, dan telah tujuh kali dibuat film baik itu layar lebar maupun serial TV, selain itu telah berkali-kali juga dibuat naskah dramanya.





Monte Cristo, terbitan Pustaka Jaya 1980, 790 hlm






Di Indonesia sendiri novel ini pernah diterjemahkan oleh sastrawan angkatan Balai Pustaka Nur St. Iskandar dengan judul Graaf de Monte Cristo (4 jilid) pada tahun 1925. Di tahun 2000, Balai Pustaka mencetak ulang lagi novel ini dengan judul yang sama dalam 6 jilid buku.

Selain Balai Pustaka, novel ini juga pernah diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1980 dengan judul Monte Cristo dalam satu buku sekaligus. Dan kini seiring maraknya penerbitan kembali sastra-sastra klasik dunia, salah satu karya terkenal Alexandre Dumas ini kini diterbitkan kembali oleh Penerbit Serambi yang dialihbahasakan oleh penerjemah senior Nin Bakdi Soemanto

@htanzil

Thursday 9 June 2011

Kuantar ke Gerbang - Ramadhan K.H

No. 261
Judul : Kuantar ke Gerbang, kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno
Penulis : Ramadhan K.H.
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : I, Maret 2011
Tebal : 431 hlm

"Ini tentang pengalamanku dengannya, dengan seseorang yang mementingkan segi membangkitkan semangat dan solidaritas bangsa untuk mencapai apa yang dicita-citakannya, apa yang sebenarnya kita cita-citakan bersama, yakni kemerdekaan bagi bangsa kita. Dibalik itu, ia pun adalah seorang yang sangat penuh romantika. Aku mengikutinya, melayaninya, mengemongnya, berusaha keras menyenangkannya , meluluhkan keinginan-keinginannya,.

Namun, pada suatu saat, setelah aku mengantarkannya sampai di gerbang apa yang jadii cita-citanya, berpisahlah kami, karena aku berpegang pada sesuatu yang berbenturan dengan keinginannya. Ia pun melanjutkan perjuangannya seperti yang tetap aku doakan. Aku tidak pernah berhenti mendoakannya"

(Inggit Ganarsih, Kuantar ke Gerbang hlm 2)

Dibanding istri-istri Soekarno, Inggit Ganarsih termasuk istri yang kurang dikenal. Masyarakat umumnya lebih mengenal Fatmawati, atau Dewi Soekarno dibanding Inggit Ganarsih. Tak banyak memang yang menulis tentang Inggit Ganarsih, dalam buku teks sejarah-sejarah resmi namanya ditulis selewat saja. Karenanya kita patut bersyukur karena penggalan kehidupan Inggit Ganarsih ketika masih bersama Bung Karno sempat dituliskan oleh Ramadhan KH dalam novel “Kuantar ke Gerbang” (Kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno)

Dalam novel ini kita akan mendapatkan kisah kehidupan seorang wanita Sunda yang menjadi pendamping Bung Karno saat ia menimba ilmu di ITB Bandung sambil merintis jalannya di bidang politik, masa-masa sulit ketika Bung Karno dipenjara dan diasingkan, hingga kepindahannya ke jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta beberapa bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh bung Karno.

Dalam hal menjalin kehidupan rumah tangga, walau usia Inggit lebih tua 13 tahun ketika menikah dengan Bung Karno namun Inggit mampu menjadi seorang pendamping yang sepadan bagi Bung Karno. Perbedaan usia yang mencolok ini malah menjadi keuntungan bagi Bung Karno karena baginya Inggit bukan hanya sekedar kekasih dan istri, namun sekaligus ibu yang mengemong dan membimbingnya.

Inggit adalah wanita sederhana, ia tak bisa membaca dan menulis, namun dalam kesederhanaan dan keterbatasannya itulah Inggit mampu membuat Soekarno muda bertumbuh menjadi seorang pejuang yang tangguh. Ketika bersama Inggitlah Bung Karno merintis jalan politiknya, di Bandung ia mendirikan Partai Nasional Indonesia dan menjadi singa podium yang berjuang untuk kemerdekan Indonesia. Di masa ini Inggit memang tidak menjadi partnernya yang bisa diajak berdiskusi masalah pergerakan namun dengan ketulusan cintanya Inggit memberikan kasih sayang dan dorongan moril baginya, sesuatu yang tidak bisa diperoleh Bung Karno di arena gelanggang politiknya.

Jika Bung Karno diibaratkan nyala api, maka Inggit Ganarsih adalah kayu bakarnya. Inggit menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan, Inggit menghibur ketika Soekarno kesepian atau membutuhkan dorongan darinya.

“Setiap kelelahan, ia memerlukan hati yang lembut, tetapi sekaligus memerlukan dorongan lagi yang besar yang mencambuknya, membesarkan hatinya. Istirahat, dielus, dipuaskan, diberi semangat lagi, dipuji dan didorong lagi”

"Waktu sampai rumah aku harus menyediakan minuman asam untuk mengembalikan suara Kusno (Bung Karno) yang sudah parau itu. Aku seduh air jeruk atau asam kawak. Aku sendiri yang harus menidurkan kesayanganku yang besar ini, singa panggung ini. Tak ubahnya ia dengan anak kecil yang ingin dimanja" (hal 99)

Ketika akhirnya Bung Karno ditangkap dan dipenjara di Banceuy Bandung, Inggit tetap setia, Ia rajin mengunjungi dan mengirim makanan untuk suaminya di penjara. Untuk mendapatkan uang ia membuat bedak, manjadi agen sabun cuci, membuat dan menjual rokok hingga menjahit pakaian dan kutang.

Kegigihan Inggit untuk menafkahi keluarganya saat bung Karno dalam penjara, membuat Bung Karno sedih karena telah melalaikan tugasnya sebagai kepala rumah tangga, ketika hal itu disampaikan pada istrinya, Inggit memberinya semangat.

Tidak, Kasep, jangan berpikir begitu. Mengapa mesti berkecil hati. Di rumah segala berjalan beres….Tegakkan dirimu, Kus, tegakkan! Teruskan perjuanganmu! Jangan luntur karena cobaan semacam ini!” (hal 159)

Saat Bung Karno sedang menyusun naskah pembelaannya Inggit membantu mencari dan mengirim data serta dokumen untuk referensi suaminya menyusun pembelaan (pledoi). Inggit dengan berani menyelundupkan data dan dokumen yang diperlukan Bung Karno ke Penjara Banceuy. Agar tak ketahuan sipir penjara ia menyembunyikan naskah tersebut dibalik kebayanya.Jerih payah Inggit ini membuat Bung Karno berhasil menyusun pembelaannya yang sangat terkenal, Indonesia Menggugat, yang dibacakan di Landraad Bandung, 18 Agustus 1930.

Dengan cerdas Inggit juga memberikan kode-kode rahasia tentang situasi diluar penjara baik melalui telur yang dibawanya atau melalui Al Quran yang telah diberi kode rahasia kepada suaminya, dengan demikian walau setiap kunjungan selalu diawasi oleh sipir penjara, bung Karno tetap dapat mengetahui baik buruknya situasi perjuangan saat itu.

Pengorbanan dan kesetiaan cinta Inggit tidak hanya terlihat ketika Soekarno di Penjara. Masa-masa pembuangan di Ended an Bengkulu menjadi saksi bagi ketabahan dan kesetiaannya pada Bung Karno . Sebetulnya Inggit adalah manusia bebas yang memiliki hak untuk tidak ikut bersama suaminya dalam pembuangan, namun cinta dan kesetiaannya pada Bung Karno membuatnya bertekad menyertai suaminya dalam suka dan duka

“..apakah artinya aku sebagai istrinya kalau suami dibuang dan aku tidak ikut dengannya?...aku sudah tahu, meskirpun tidak dikatakan berapa lama kami harus hidup dalam pembuangan, aku sudah harus siap untuk hidup disana sampai ajal” (hal 267)

Niatnya untuk mendampingi suaminya selama di pengasingan benar-benar diwujudkannya , di masa-masa sulit inilah Inggit menjadi peredam dan tempat berteduh bagi jiwa Bung Karno yang kesepian dan tertekan karena perjuangannya untuk memerdekakan bangsanya harus terhenti entah sampai kapan.

“Aku lalu mengajaknya keluar dari kesepian. Aku harus pandai mencumbunya supaya ia bebas dari dari tekanan –tekanan yang menimpa batinnya.” (hal 300)

Malangnya usaha Inggit untuk menghibur dan mendampingi Bung Karno selama di pengasingan ternyata tak cukup bagi Bung Karno. Soekarno yang saat itu berada di usia yang sedang bergelora tak kuasa meilhat kecantikan Fatmawati, anak angkatnya sendiri yang diasuhnya bersama Inggit di Bengkulu. Bung Karno akhirnya meminta izin pada Inggit untuk diizinkan menikah dengan Fatmawati dengan alasan ingin memiliki keturunan. Satu-satunya yang tak bisa diberikan Inggit pada suaminya. Bung Karno tak berniat menceraikan Inggit, ia hanya meminta restu Inggit untuk menikah lagi dan status Inggit menjadi istri pertamanya.

Dengan tegas Inggit menolak untuk dimadu, ia memilih bercerai daripada harus dimadu.

“Aku orang Banjaran dari keluarga yang pantangannya adalah dimadu dalam keadaan bagaimanapun…Sudah aku jelaskan, kalau mau mengambil dia, ceraikanlah aku! Aku pantang dimadu!” (hal 405)

Ditengah kegalauan hatinya ini Inggit tetap melayani Bung Karno dengan cintanya. Ketika sekutu kalah perang dan Jepang memasuki Sumatera Inggit dan Bung Karno harus menghadapi tantangan baru. Walau mereka diizinkan meninggalkan Bengkulu dan diperintahkan untuk menuju Jakarta, mereka harus melakukan perjalanan darat menuju Padang melalui hutan belantara agar terhindar dari pasukan Jepang .

Akhirnya selepas dari pembuangan di Bengkulu, pada tahun 1942 Bung Karno dan Inggit resmi bercerai di Jakarta. Perceraiannya ini disertai juga dengan sejumlah persayaratan yang dibuat dihadapan 4 Serangkai (Hatta, Ki Hajar Dewantara, KH Mas Mansur, dan Soekarno) . Bagi Inggit yang telah menjalani bahtera rumah tangganya bersama Bung Karno selama hampir 20 tahun lamanya ini adalah suatu peristiwa yang paling menyedihkan dalam hidupnya, namun ia tak mau larut dalam kesedihan. Cintanya yang tulus pada Bung Karno dan kepasrahannya pada jalan hidup yang telah digariskanNYA membuat ia kuat dan mensyukuri apa yang telah dialaminya.

“..sesungguhnya aku harus senang pula karena dengan menempuh jalan yang bukan bertabur bunga, aku telah menghantarkan seseorang sampai di gerbang yang amat berharga” (hal 415)

Demikianlah novel ini menggambarkan dengan menarik bagaimana suka duka dan pasang surut kisah cinta Inggit dengan Bung Karno. Novel ini ditulis dengan menggunakan kata ganti ‘aku’ sehingga kita yang membacanya seakan langsung mendengar penuturan langsung dari bu Inggit. Dengan demikian penulis juga bisa secara dalam mengeksplorasi semua isi hati Inggit selama ia mendampingi Bung Karno baik dalam suka maupun duka. Semua perasaan dan pergolakan batin yang dirasakan Inggit terdeskripsikan dengan blak-blakan dan apa adanya sehingga semua ungkapan cinta romantis, kemarahan, dan kegalauan hati Inggit benar-benar dapat dirasakan pembacanya

Selain kisah cinta Inggit dan Soekarno, novel ini juga memaparkan berbagai peristiwa, isu-siu sejarah, dan kisah-kisah keseharian Bung Karno dari sudut pandang Ibu Inggit antara lain soal isu bahwa Bung Karno telah berbalik haluan dan meminta maaf serta ampun kepada pemerintah Hindia Belanda.

Di buku ini terungkap bagaimana isu ini begitu menganggunya sampai-sampai Inggit harus meminta konfirmasi langsung pada suaminya, sayangnya seperti yang dikisahkan dalam novel ini Bung Karno hanya diam dan tidak memberi reaksi apa-apa, sebagai istri yang taat dan memahami perasaaan suaminya Inggit tidak mendesak Bung Karno untuk menjawabnya sehingga isu tersebut tetap menjadi misteri dan pedebatan di kalangan sejarahwan hingga kini.

Selain itu ada banyak hal-hal menarik tentang Bung Karno, baik itu pemikiran dan strategi perjuangannya, pembelaannya di pengadilan Landraad Bandung, pandangannya terhadap dunia Islam, kegemarannya melukis, melatih Ratna Juami, anak angkatnya berpidato di pantai, hingga hewan peliharaannya, akan terkisahkan di novel ini.

Kesemua itu ditulis oleh Ramadhan KH dengan kalimat-kalimat yang sederhana namun sarat makna seakan mampu mewakili gambaran sosok bu Inggit yang sederhana dan cerdas. Intinya lewat novel ini kita semua akan diajak menyelami penggalan kehidupan Ibu Inggit dan Bung Karno semenjak kuliah di Bandung hingga beberapa saat sebelum memasuki gerbang kemerdeakaan yang dicita-citakannya.

Melalui novel ini kita juga akan tahu bahwa Inggit yang namanya dan bukti pengabdiannya hanya tersisa lewat seonggok bangunan yang terkepung di tengah-tengah debu dan hiruk pikuk kaki lima serta lalu lalang kendaraan di Jalan Inggit Ganarasih (dulu Ciateul) Nomor 18 Bandung Itu ternyata memiliki kontribusi yang besar baik terhadap bangsa ini maupun terhadap pembentukan pribadi Bung Karno untuk menjadi seorang pejuang yang tangguh.

Tak berlebihan jika Prof. S.I Poeradisastra dalam kata Pengantarnya edisi pertama novel ini yang diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan (1981) menulis demikian :

Separuh dari semua prestasi Soekarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam Bank Jasa Nasional Indonesia”. Inggit telah menjalankan tugasnya dengan sempurna, lebih dari seorang istri.

“Saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada semua janda Sukarno dengan segala jasa dan segala segi positifnya masing-masing, tetapi saya harus mengatakan, bahwa hanya Inggit Garnasihlah yang merupakan tiga dalam satu diri. Ibu, kekasih, dan kawan yang memberi tanpa menerima. Kekurangan Inggit hanyalah karena ia tak mampu melahirkan anak bagi Sukarno”



Rumah Ibu Inggit

Jln Inggit Ganarsih No. 8 - Bandung






Sejarah Penerbitan

Novel ini diulis oleh sastrawan senior Ramadhan KH (1927-2006) pada tahun 1979-180 berdasarkan wawancara langsung dengan Ibu Inggit yang saat itu telah berusia 91 tahun dengan dibantu oleh Ratna Djuami dan Kartika Uteh yang adalah anak Soekarno-Inggit. Selain itu penulis juga mengadakan wawancara dengan sejumlah tokoh yang pernah aktif dalam pergerakan pada tahun 1920-1943. Berdasarkan wawancara dan studi literatur yang bersangkutan dengan kejadian-kejadian pada masa itu.

Pada tahun 1981 novel ini untuk pertama kalinya diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan. Kemudian di tahun 2000-an penerbit Kiblat Buku Utama – Bandung menerbitkan lagi novel ini dan sempat mencetak ulang novel ini sebanyak 3 kali sebelum akhirnya di tahun 2011 ini diterbitkan oleh Bentang Pustaka dengan cover yang lebih menarik dan tambahan foto-foto dokumentasi yang relevan dengan isi bukunya.




Cetakan I, Pustaka Sinar Harapan, 1981






Terbitan Kiblat Buku Utama, thn 2000-an





Selain menerbitkan ulang novel ini, Mizan Group dibawah bendera Mizan Production juga akan mengangkat kisah cinta Ibu Inggit dan Bung Karno ini kedalam versi layar lebar. Rencanaya film ini akan mulai diproduksi pada juli 2011 nanti dan baru tayang pada 2012 mendatan. Maudy Koesnaedi yang terpillih menjadi Ibu Inggit. Sedangkan sosok proklamator di film ini kabarnya masih sedang dicari.

@htanzil

 
ans!!