Tuesday 30 November 2010

Guardians of Ga'hoole #1 : The Capture

[No. 247]
Judul : Guardians of Ga'hoole #1 : The Capture
Penulis : Kathyrn Lasky
Penerjemah : T. Dewi Wulansari
Penerbit : Kubika
Cetakan : 2010
Tebal : 338 hlm

Burung hantu identik dengan hal-hal yang menyeramkan, mungkin karena jenis burung ini hanya beraktifitas di malam hari dengan suaranya yang menyeramkan bagaikan hantu tak heran burung ini muncul di kisah-kisah horror, penyihir, atau kisah-kisah seram lainnya. Beberapa film atau drama horror tak jarang menggunakan burung hantu dan memperdengarkan suaranya agar menimbulkan kesan mistis dan seram pada adegannya.

Kita tentu masih ingat bagaimana sebuah acara TV “The Master” menampilkan sosok magician fakir Master Limbad yang selalu tampil dengan tata panggung dan rias wajah yang seram bersama burung hantunya. Namun tak jarang sosok burung hantu juga muncul dalam bentuk yang lebih bersahabat seperti dalam Buku dan film Harry Potter yang menghadirkan burung hantu sebagai burung pengantar surat bagi para murid-murid penyihir Howgart

Demikian pula dalam novel fantasi Guardians of Ga’Hoole, sebuah kisah fabel burung hantu karya Kathryn Lasky yang sama sekali jauh dari kesan menyeramkan. Di novelnya ini alih-alih menampilkan sosok burung hantu yang seram Lansky mencoba menjadikan burung hantu sebagai burung yang cerdas, bijaksana, dan suka menolong. Apakah Lasky terlalu mengada-ngada? Tentu saja tidak karena ternyata menurut kepercayaan orang Yunani burung hantu itu melambangkan kebijaksanaan dan sifat penolong.

Buku ini merupakan seri pertama dari ke enambelas judul seri Guardians of Ga’Hoole. Di buku pertamanya ini dikisahkan seekor burung hantu Barn yang masih berusia tiga minggu bernama Soren. Saat kedua orang tuanya pergi berburu Soren terjatuh dari sarangnya. Soren tak bisa selain mengunggu pertolongan dari orang tuanya atau saudara-saudaranya. Malangnya ketika ia menunggu pertolongan tiba-tiba seekor burung hantu membawanya terbang ke sebuah tempat yang merupakan sebuah tebing yang tinggi, saat itu barulah ia sadar bahwa dirinya diculik.

Oleh burung hantu itu Soren dibawa ke sebuah tempat yang bernama St Aegolius, sekolah untuk burung hantu yatim piatu. Di tempat itu sudah terdapat ratusan anak-anak burung hantu yang diculik dan dididik dengan keras untuk sebuah tujuan tertentu. Mereka diharuskan patuh pada para gurunya, bekerja sesuai dengan yang diperintahkan dan harus mengikuti sesi pembingungan dimana anak-anak burung hantu harus berbaris dan tidur dibawah pancaran bulan purnama. Dengan demikian anak-anak burung hantu itu akan bertindak diluar kebiasaan burung hantu pada umumnya, lupa akan jati dirinya dan tidak memiliki keinginan untuk kabur dari St Aegolius.

Untungnya di tempat itu Soren bertemu dengan Gylfie, seekor burung hantu Peri yang cerdas, ia sadar bahwa semua anak-anak burung hantu yang tertidur di bawah pancaran sinar bulan purnama akan mengalami pembingungan. Selain itu mereka juga dibuat kehilangan jati diri mereka dengan menganti nama mereka dengan nomor. Dan yang lebih keji ada suatu masa dimana para anak-anak burung hantu itu diperintahkan untuk tidur terlentang dan sekelompok kelelawar datang untuk menghisap darah mereka dengan demikian anak-anak burung hantu itu akan kekurangan darah sehingga membuat bulu terbang mereka layu dan mati dengan demikian keinginan untuk kabur pun lenyap.

Karena Gylfie sudah berada di tempat itu lebih awal daripada Soren maka iapun memberitahukan semua itu pada Soren sehingga mereka berdua berusaha untuk mengamati apa yang sebenarnya sedang terjadi dan berusaha untuk menghindari sesi pembingungan setiap malamnya. Akhirnya diketahui bahwa tujuan para penculik itu adalah untuk menguasai kerajaan burung hantu. Maka sambil menunggu bulu-bulu terbang Soren berkembang dengan sempurna mereka merencanakan untuk kabur dari St. Aegolius.

Akhirnya dengan bantuan seekor burung hantu bernama Grimble yang juga terhindar dari proses pembingungan Soren dan Gylfie diajari cara terbang olehnya. Soren dan Gylfie akhirnya bisa terbang dan lolos dari kejaran para burung hantu St. Aegolius walau hal itu harus ditebus oleh nyawa Grimble yang tewas demi lolosnya Soren dan Gylfie.

Kaburnya Soren dan Gylfie bukan akhir dari segalanya, setelah berhasil kabur mereka berdua berusaha mencari keluarganya terlebih dahulu. Dalam pencariannya mereka bertemu dengan Twilight dan Digger, dua ekor burung hantu yang juga pelarian dari St. Aegolius. Hal ini menjadi titik awal dari petualangan mereka untuk menyelamatkan kerajaan burung hantu dari niat jahat burung hantu. St. Aegoluis.

Sebelum mereka sampai pada tujuan itu, Soren dan kawan-kawannya berniat untuk terbang menuju tempat dimana Pohon Ga’Hoole Agung tumbuh, tempat dimana hidup sebuah Legenda tentang para kasatria burung hantu yang akan terbang setiap malam untuk melaksanakan tugas-tugas mulia untuk menjaga kerajaan burung hantu dari niat jahat musuh-musuh mereka.

Sebagai kisah fantasi remaja, dengan bijak Kathyrn Lasky menyisipkan beberapa pelajaran moral bagi pembacanya, misalnya dalam hal toleransi, Lasky menghidupkan tokoh Mrs. P , seekor ular buta yang menjadi pelayan sarang burung hantu di keluarga Soren. Ini adalah hal yang tidak umum bagi keluarga burung hantu karena ular adalah makanan burung hantu. Namun walau Mrs. P adalah seekor ular dan menjadi pelayan sarang, Soren dan keluarga memperlakukan Mrs. P dengan hormat bahkan untuk menjaga perasaan Mrs. P Soren dan keluarganya pantang makan ular.

Lasky juga mengajak pembacanya untuk meneladani tokoh Gylfie yang sangat setia kawan, ketika masih terperangkap di St. Aegoluis Gylfie dengan sabar menunggu Soren tumbuh bulu-bulu terbangnya agar bisa melarikan diri bersama, padahal kalau mau Gylfie bisa lebih dulu terbang dan meninggalkan Soren. Lalu ada kisah pula bagaimana Grimble memberi motivasi dan keyakinan pada Soren dan Gylfie kalau mereka sesungguhnya sudah bisa terbang.

Selain beberapa pelajaran moral yang bisa diperoleh di novel ini, karena novel ini berasal dari riset serius Lasky yang tadinya hendak membuat buku non fiksi tentang burung hantu maka dalam novelnya ini ia menyajikan berbagai pengetahuan tentang burung hantu seperti jenis-jenis burung hantu seperti burung hantu Peri, burung hantu Barn, burung hantu hitam, dan yang unik adalah burung hantu Digger atau burung hantu penggali yang menggali lubang di tanah sebagai sarangnya. Selain itu pembaca juga akan diajak memahami karakter, perilaku dan perkembangan fisik burung hantu semenjak menetas, hingga ia cukup dewasa untuk bisa terbang dan berburu makanan.

Kisah yang seru, perilaku dan karakter burung hantu, dan nilai moral yang terdapat dalam kisah ini ini dipadu sedemikian rupa sehingga mampu memikat pembacanya untuk terus membaca petualangan para tokoh-tokohnya. Tak heran jika novel ini tampaknya diapresiasi dengan baik oleh pembacanya dan menjadi International Bestselling Series, hal ini pula yang membuat Lasky dengan tekun meneruskan seri burung hantu Ga’hoole ini hingga 16 seri yang terbit dua judul setiap tahunnya. Mungkin ini pula yang menjadi alasan Warner Bross untuk mengadaptasi kisah legenda Ga’ahoole ini dalam bentuk film yg berjudul “Legend of The Guardians : The Owl of Ga’hoole”. Film tersebut merupakan gabungan dari tiga judul awal seri ini yaitu The Capture, The Journey, dan The Rescue

Dengan banyaknya hal-hal positif yang bisa didapat pembaca dalam novel ini semoga pembaca fiksi fantasi tanah air juga khususnya para pembaca remaja kita dapat mengapresiasi novel berseri ini dengan baik sehingga penerbit Kubika dapat terus termotivasi untuk konsisten menerbitkan ke 16 judul dari seri Guardians of Ga’hoole ini.

@htanzil

Wednesday 24 November 2010

Aku Berkicau

[No. 246]
Judul : Aku berkicau (Saat Prosa dan kisah bercerita
Penulis : Nuzula Fildzah
Penerbit : www.nulisbuku.com
Cetakan : Oktober 2010
Tebal : 112 hlm

Aku berkicau adalah sebuah kumpulan cerpen karya penulis muda Nuzula Fildzah atau biasa dipangil dengan ‘Zula’. Saat ini ia masih menempuh pendidikan bidang Kurikulum dan Tekonolgi Pendidikan Universitas Jakarta, menulis baginya adalah salah satu hobinya yang sejak lama terus ditekuninya hingga kini. Pada tahun 2008 salah satu cerpennya berhasil dimuat di sebuah majalah remaja. Kini Zula rajin menulis di blog pribadinya (zulazula.wordpress) , selain itu ia juga menulis artikel dan cerpen di sebuah majalah elektronik (Myjalah.com).

Menerbitkan tulisan-tulisannya dalam sebuah buku adalah impian Zula, bersyukur karena akhirnya kesempatan itu datang melalui nulisbuku.com sebuah perusahaan self-publishing berbasis online pertama di Indonesia yang menawarkan jasa menerbitkan buku secara indie. Melalui acara 99 Writerrs yag digagas oleh nulisbuku.com yang mengumpulkan 99 penulis dan menerbitkan bukunya secara serentak akhirnya di awal Oktober lalu lahirlah buku perdana Zula yang diberi judul “Aku Berkicau” yang sebagian besar berasal tulisan-tulisan yang telah tersimpan rapih di blog pribadinya.

Buku ini menyuguhkan 8 buah kisah yang dihantar oleh sebuah prosa pendek sebagai penghantar masuk dalam masing-masing kisahnya. Jika hendak dicari benang merahnya, semua kicauan Zula dalam buku ini bertemakan cinta. Namun bukan hanya cinta romantis antara pria dan wanita semata, melainkan cinta dalam arti yang lebih luas lagi seperti cinta pada anak dan ayah, cinta lingkungan, cinta sejarah, dan sebagainya. Keragaman cinta inilah yang membuat kisah-kisah dalam buku ini menjadi menarik dan tidak membosankan walau kicauan Zula hanyalah kiacauan cinta.

Dari segi ide cerita dan tokoh-tokoh dalam ceritanya saya rasa Zula termasuk berani dalam menyuguhkan sesuatu yang segar. Ada dua kisah dimana tokohnya bukanlah manusia, yaitu di kisah “Pendengar Terbaikmu” dan “Ilalang dan aku” Jika kita membaca kedua kisah tersebut maka sepanjang tubuh kisah kita akan dibuat penasaran siapa sebenarnya tokoh ‘aku’ dalam dua kisah itu, awalnya mungkin kita tidak akan menyangka bahwa tokohnya bukanlah manusia, di akhir kisah barulah pembaca akan menyadari siapa sebenarnya tokoh ‘aku’ yang dimaksud.

Selain itu keberanian Zula sebagai generasi muda dalam memasukkan peristiwa proklamasi dalam kisah “Perjalanan Proklamasi Kemerdekaan” patut diacungi jempol. Hanya sayang judulnya kurang menarik karena seperti judul sebuah Essai . Secara ide kisah ini menarik karena membawa pembaca ke saat-saat pembacaan detik-detik proklmasi 1945, namun sayang penulis tampak terlalu tergesa mengakhiri kisahnya padahal kalau dieksplorasi lagi lebih jauh, cerpen ini akan semakin menarik.

Dari kedelapan kisah yang ada, yang menurut saya paling kuat kisahnya adalah “05:05”. Yaitu tentang tokoh bernama Zahra yang harus kehilangan kegadisannya karena direngut oleh mantan kekasihnya. Dilema muncul ketika seorang pria kembali hadir dalam hidupnya dan menyatakan cintanya. Kisahnya memang sudah umum namun dikisah ini penulis membingkainya dengan baik, karakter dan pergulatan batin tokoh-tokohnya tersebut tersaji dengan apik sehingga pembaca akan hanyut dalam kisahnya itu. Selain itu ending dari kisahnya juga mengagetkan, sangat tak terduga dan menggugah hati pembacanya.

Secara umum seluruh kisah dalam buku ini menarik dan mengibur pembacanya, kisah-kisahnya sederhana karena tema yang disajikan adalah cinta yang universal dan diangkat dari peristiwa-peristiwa yang bisa terjadi pada siapa saja. Namun kesederhanaan kisah dan temanya itu dikemas dan disisipi untaian kalimat-kalimat puitis sehingga pembaca akan hanyut dalam saat membaca kisah demi kisahnya.

Satu hal yang patut disayangkan dari buku ini adalah terdapatnya beberapa kesalahan ketik, tidak sampai mengganggu namun tetap saja membuat buku ini menjadi kurang sempurna. Mungkin ini karena proses editing dimana penulis sendiri yang mengeditnya. Untuk selanjutnya, walau buku ini diterbitkan secara indie, penulis sebaiknya bisa meminta jasa teman atau seorang editor professional yang bisa menjadi proofreader bagi tulisan yang akan dibukukan.

Yang juga agak mengganggu adalah munculnya kalimat bergaris sebanyak 2 halaman lebih di kisah “05.05”, sebagai visualisasi dari sebuah kertas surat karena bagian itu adalah bagian surat Zahra pada kekasihnya. Dalam sebuah tulisan umumnya sebuah surat dibedakan dengan menggunakan huruf italic, tapi disini penulis mencoba visualisasi baru dengan menggunakan garis, tapi karena garisnya tebal dan tepat berada di bawah kalimat-kalimatnya maka hal ini menjadi ganjil, mungkin sebaiknya menggunakan garis tipis atau diberi kotak di seluruh kalimat suratnya agar lebih menyerupai visualisasi sebuah surat.

Namun terlepas dari hal di atas, saya rasa semua kicauan yang ditulis oleh penulisnya ini patut mendapat apresiasi yang positif dari pembacanya. Walau ini adalah buku pertamanya, dari semua kisah yang tersaji di buku ini saya rasa penulisnya memiliki modal dan potensi besar untuk menjadi penulis yang baik asalkan ia terus konsisten dan mengembangkan kreatifitasnya dalam berkarya.

Pada kesempatan ini saya juga memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada www.nulisbuku.com sebagai penerbit self publishing yang memberikan kesempatan selebar-lebarnya kepada banyak penulis-penulis baru untuk berani menerbitkan karya-karyanya. Jika ini terus berlanjut saya optmis dunia literer kita akan semakin berkembang dan bisa berbicara banyak dalam kancah sastra dunia.
Semoga!

@htanzil

Tuesday 16 November 2010

200 Ikon Bandung, Ieu Bandung Lur!

[No. 245]

Judul : 200 ikon Bandung ; Ieu Bandung Lur!

Penulis : Ahda Imran, dkk

Koordinator Penulis : Zaky Yamani

Penerbit : Pikiran Rakyat

Cetakan : i, Sept 2010

Tebal : xvi+269 hlm



Sebutkan dengan cepat apa yang terlintas dalam benak ketika kita mendengar kata “Bandung”, umumnya Bandung diidentikkan sebagai pusat belanja pakaian dan wisata kuliner, hal ini ditunjang dengan menjamurnya factory outlet dan aneka makanan khas Bandung yang tersebar di berbagai tempat. Hampir setiap akhir pekan wisatawan domestik khususnya penduduk Jakarta menyerbu kota Bandung untuk membeli pakaian sambil menikmati wisata kuliner.



Factory Outlet dan aneka kuliner memang telah menjadi ikon kota Bandung, namun sebenarnya bukan itu saja, ada 200 ikon yang menjadi trade mark kota Bandung! Apa saja? Dalam rangka ulang tahun kota Bandung yang ke 200, Pikiran Rakyat selaku surat kabar lokal terbesar di Jawa Barat merasa perlu untuk mengangkat dan mendokumentasikan ikon-ikonnya sehingga Bandung tak hanya dikenal sebagai kota wisata belanja saja.



Niat untuk mendokumentasikan ikon-ikon Bandung ini terealisasi dalam bentuk sebuah buku yang berjudul “ 200 Ikon Bandung, Ieu Bandung Lur!” Semula ke 200 ikon ini akan ditampilkan untuk dalam satu buku, namun karena keterbatasan waktu dan pertimbangan ekonomis dan ketebalan buku maka buku ini dibagi dalam dua jilid. Hingga tulisan ini dibuat baru buku pertamanya saja yang telah diterbitkan yang mennampilkan seratus ikon di berbagai bidang yaitu ekonomi (tempat usaha), politik, seni, agama, kesehatan, lanskap, pendidikan, dan olah raga yang masing-masing terbagi dalam bab-bab tersendiri



Sebagai kisah pembuka buku ini menyajikan sejarah berdirinya kota Bandung. Pada tahun 1810 Gubernur Jenderal Daendels bersama bupati Wiranatakusumah II bertandang ke sebuah lokasi hutan yang akan dilewati jalur pembangunan Grote Postweg (Jalan Raya Pos). Sambil menancapkan tongkatnya Daendels berkata “Usahakan saat aku datang lagi ke sini, sebuah kota sudah dibangun!”.



Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 25 September 1810, Bupati Wiranatakusumah II mendapat SK (Surat Keputusan) pemindahan kota kabupaten ke wilayah dimana Daendels menancapkan tongkatnya. Tanggal surat SK itulah yang kini dijadikan patokan sebagai hari lahirnya kota Bandung. Sedangkan tempat dimana Daendels menancapkan tongkatnya itu kini dijadikan titik KM 0 dimana terdapat tugu atau monumen “Kilometer Nol” yang kini letaknya persis di depan kantor Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Barat atau tepat di seberang hotel Savoy Homan di jalan Asia Afrika Bandung.



Tugu atau monument “Kilometer Nol” tersebut diresmikan gubernur Jawa Barat pada thun 2004. Selain tugu terdapat juga monumen mesin penggilingan (stoomwals) kuno disertai sebuah batu prasasti beruliskan sejarah yang menaungi keberadaannya. Tugu dan monument mesin stoomwals ini didedikasikan bagi rakyat Priangan yang menjadi korban kerja paksa saat membangun Jalan Raya Pos.



Setelah kisah tentang KM 0 buku ini mengurai satu persatu ikon Bandung secara menarik. Ada yang memang mungkin sudah sangat dikenal seperti Gedung Sate,kampus ITB, Gedung Merdeka, dll, tapi ada juga yang mungkin merupakan hal-hal yang belum diketahui khususnya bagi generasi muda Bandung. Kalaupun ikon tersebut sudah dikenal tapi melalui buku ini pembaca akan menemukan kisah-kisah menarik dan unik dibalik ikon-ikon tersebut.



Misalnya fakta tentang ikon Bandung paling terkenal yaitu Gedung Sate. Siapa yang menyangka kalau ternyata di halaman Gedung Sate hingga kini masih tertanam empat jenazah pejuang Bandung yang gugur untuk mempertahankan Gedung Sate dari Pasukan Gurkha dan Nica pada tahun 1945.

Lalu siapa yang tahu jika di Pabrik Kina yang didirikan sejak 1896 itu memiliki lorong bawah tanah yang melintas di jalan Pajajaran yang hingga kini masih dipakai untuk lalu lintas karyawan pabrik yang hendak menyeberang ke pabrik di seberangnya.



Di buku ini akan terungkap pula bahwa Badak Bercula satu yang kini hanya dapat ditemui di Ujung Kulon konon kabarnya pernah memiliki habitat di Bandung saat masih berupa hutan dan rawa-rawa karenanya kawasan itu dinamakan Rancabadak (Rawa Badak) yang sekarang menjadi Rumah Sakit Umum Dr. Hasan Sadikin, karenanya tak heran jika dulu Rumah Sakit tersebut dikenal dengan RS Rancabadak.



Di bidang kuliner selain mengetengahkan Brownies Amanda, lotek Edja, Es Oyen, Cireng Cipaganti, dan sebagainya tercatat pula sebuah warung kopi Purnama di jalan Alketeri Bandung yang ternyata sudah berusia seratus tahun dan tidak boleh ditutup oleh pelanggannya. Walau telah berusia seratus tahun namun warung kopi Purnama tidak pernah berniat untuk mengubah warungnya menjadi Kafe atau lebih besar lagi, jadi ia tetap warung kopi yang bersaja hingga kini.



Masih banyak ikon-ikon menarik lainnya, seperti tokoh-tokoh seni (Bimbo, Kang Ibing, Harry Roesli, dll), tempat ibadah (Mesjid Cipaganti, Katedral, Gereja Betel), olah raga ( Pemandian Tjihampelas, Stadion siliwangi, BHHH) dan sebagainya. Kesemua ikon dalam buku ini disusun dengan gaya penulisan jurnalistik karena para penulisnya adalah wartawan HU Pikiran Rakyat.



Dalam menampilkan setiap ikon selalu terdapat sisi unik yang disajikan dengan gaya penulisan feature yang ringkas, padat, dengan bahasa yang mudah dimengerti. Tiap ikonnya umumnya tak lebih dari dua halaman yang dilengkapi dengan sebuah foto hitam putih dan box keterangan berisi data-data tempat seperti tahun berdirinya, alamat, nama pemilik, dsb.

Sebagai buku yang mengungkap ikon-ikon Bandung kehadiran buku ini dapat menjadi pelengkap literatur tentang Bandung yang telah terlebih dahulu hadir seperti buku-buku karya Haryanto Kunto (Wajah Bandung Tempo Doeloe, Semerbak Bunga di Bandung Raya, Balai Agung di Kota Bandung, dll), Bandung Citra Sebuah Kota (Robert PGA Voskuil, dkk ), Jendela Kota Bandung (Her Suganda), dan sebagainya,



Yang agak disayangkan dari buku ini adalah editing yang tidak maksimal karena disana-sini masih ada beberapa kesalahan ketik yang seharusnya bisa dihindari oleh editor yang tentunya telah terbiasa mengedit sebuah harian besar. Kesalahan fatal terdapat di halaman 5 dimana tertulis surat keputusan p[emindahan Ibu kota Kabupaten Bandung tertanggal 25 Mei 1810, seharusnya tanggal 25 September 1810 yang tanggalnya dijadikan acuan untuk memperingati hari jadi kota Bandung.





Kemasan buku yang dikemas secara hard cover dengan penjilidan yang sempurna memang sangat baik untuk buku koleksi, namun hal ini mengakibatkan harga buku menjadi relatif mahal dan mungkin agak sulit dijangkau oleh masyarakat umum. Alangkah bijaknya jika di kemudian hari penerbit bisa menerbitkan edisi paperback sehingga harganya bisa lebih terjangkau dan buku ini dapat dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya warga Bandung yang ingin mengenal kotanya lebih dekat lagi.



Akhir kata, tentunya dengan kehadiran buku ini maka akan menimbulkan interaksi positif antara kota dan warganya. Interaksi yang baik akan lahir jika ada ingatan kolektif di benak warga tempat dia tinggal. Pencatatan, pendokumentasian, dan publikasi ikon-ikon kota seperti yang tersaji dalam buku ini adalah salah satu cara untuk membangun ingatan kolektif tersebut sehingga masyarakat khususnya warga Bandung dapat menyelusuri Bandung tempo doeloe maupun Bandung masa kini sehingga semakin mencintai kotanya.



@htanzil

 
ans!!