Wednesday 28 July 2010

Balada Ching-Ching (Maggie Tiojakin)

No. 240
Judul : Balada Ching-Ching dan Balada Lainnya
Penulis : Maggie Tiojakin
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Juni 2010
Tebal : 175 hlm

Balada Ching-Ching adalah sebuah kumpulan 13 cerita pendek karya cerpenis muda Maggie Tiojakin. Maggie adalah cerpenis yang biasa menulis cerpen-cerpennya dalam bahasa Inggris dan banyak dimuat di media-media berbahasa Inggris seperti The Jakarta Post, Writers Journal, La Petite Zine, Voice, dll. Sebelum meluncurkan kumpulan cerpen ini, Maggie yang pernah mereguk ilmu kepenulisan keratifnya di Boston AS ini pada 2006 yg lalu telah menerbitkan kumpulan cerpen berbahasa Inggris yang berjudul Homecoming (And Other Stories).

Karena terbiasa menulis cerpen dalam bahasa Inggris, otomatis ia tak memiliki stok cerpen berbahasa Indonesia yang cukup untuk dijadikan buku, karenanya untuk kepentingan penerbitan buku ini Maggie harus menerjemahkan sembilan cerpennya kedalam bahasa Indonesia.

Dikemas dalam balutan cover bergaya minimalis dalam sapuan warna merah marun dengan ilustrasi sebuah sebuah jendela yang terbuka, cover ini seolah mengajak pembacanya untuk memasuki kisah balada Ching-Ching dan balada lainnya. Merajuk pada judul buku yang mencantumkan kata ‘balada’ maka setidaknya pembaca sudah diberi petunjuk kira-kira kisah seperti apa yang hendak ditawarkan dalam buku ini.

Jika kita membuka kamus besar Bahasa Indonesia, maka kita akan mendapatkan definisi dari kata balada yaitu: sajak sederhana yg mengisahkan cerita rakyat yg mengharukan. Jika merajuk pada definisi seperti dalam kamus sepertinya agak kurang tepat karena keseluruhan kisah dalam buku ini bukanlah cerita rakyat, hanya saja memang semuanya berisi kisah manusia-manusia biasa dengan problemanya yang umunya terkesan suram walau tak sampai membuat pembacanya tertekan.

Cerpen Balada Ching Ching yang dijadikan judul untuk buku ini menceritakan tentang seorang gadis Tionghoa yang selalu menjadi bulan-bulanan disekolahnya. Ia bukanlah anak orang kaya karena ayahnya hanyalah seorang pedagang kwetiaw pinggiran. Keberadaannya sebagai etnis minoritas di sekolahnya yang menyebabkan dirinya senantiasa diejek dan kehidupan sederhananya dengan seorang ayah yang keras inilah yang dikisahkan dalam cerpen ini

Saya tak akan membahas satu persatu seluruh cerpen dalam buku ini, namun ada beberpa cerpen yang bagi saya tampak kuat dan menonjol dalam buku ini. Salah satu cerpen favorit saya adalah “Liana, liana” dimana menceritakan tokoh Liana yang sedang menunggu ibunya pulang dari supermarket. Tidak seperti biasanya dimana ibunya selalu tiba tepat waktu, kali ini ibunya tak kunjung pulang.

Hal ini menyebabkan Liana merasa khawatiran sehingga ia mencoba menyusun skenario dalam pikirannya kira-kira apa penyebab keterlambatan ibunya. Kekhawatirannya memuncak ketika ia membaca headline di surat kabar mengenai kematian seorang wanita yang ditabrak truk pengangkut bahan bakar. Kisah yang menarik karena di cerpen ini pembaca bukan diajak membaca sebuah kisah real melainkan diajak menyelami khayalan-khayalan apa yang ada dalam benak Liana ketika menunggu ibunya pulang.

Cerpen berjudul “Kawin Lari” juga tak kalah menariknya. Ini adalah kisah paling pendek dari semua cerpen yang ada. Dikisahkan dua remaja yang memutuskan untuk kawin lari. Mereka lantas pergi ke Las Vegas naik bus umum. Separuh jalan mereka sadar bahwa tak ada jalan kembali karenanya si gadis berusaha untuk terus meyakinkan dirinya bahwa pilihannya tidaklah salah. Walau kisahnya pendek saja namun melalui dialog-dialog singkat antara dua tokohnya ini penulis mampu memberikan gambaran pada pembacanya bagaimana khawatirnya si gadis akan masa depannya kelak.

Jika kawin lari adalah cerpen terpendek dalam buku ini, maka cerpen “Dua Sisi” merupakan cerpen terpanjang, dibutuhkan 52 halaman untuk mengisahkan tokoh bernama Andari, pemuda Indonesia yang berkerja di New Yrok. Ia menyaksikan secara langsung bagaimana runtuhnya menara kembar WTC. Kejadian ini mempertemukan dirinya dengan seroang gadis asal Beirut bernama Aysah. Pertemuannya ini melahirkan sebuah persahabatan bahkan berujung pada rasa saling mencintai.

Melalui dialog dan berbagai peristiwa yang dialami Andari dan Aysah pembaca akan diajak memahami peristiwa WTC dari dua sisi yang berbeda. Andari yang tadinya bersikukuh bahwa apapun alasannya peristiwa yang membuat korban berjatuhan adalah hal yang tidak dapat ditorelir dari sisi kemanusiaan akhirnya gamang ketika ia disadarkan bahwa ada sisi lain dimana ia perlu melihat dari kacamata yang berbeda dibalik peristiwa penyerangan gedung tersebut. Yang jadi acungan jempol adalah di cerpen ini penulis tidak terjebak untuk menggiring pembacanya untuk memihak pihak tertentu melainkan hanya membuka pengertian dan mengajak pembacanya untuk melihat sisi lain dari peristiwa yang menggedor sisi kemanusiannnya ini. Dan satu lagi yang membuat cerpen ini istimewa adalah kejutan di bagian akhirnya yang membuat pembacanya terhenyak.

Jika mencermati keseluruhan cerpen yang ada maka yang menjadi keistimewaan cerpen-cerpen dalam buku ini adalah kisah-kisahnya yang diangkat dari peristiwa keseharian. Hanya cerpen “dua sisi” yang agak istimewa karena mengisahkan peristiwa yang luar biasa. Selebihnya hanyalah kisah-kisah biasa yang mungkin juga kita alami seperti saat menunggu di ruang tunggu dokter, kisah seorang terapis, keseharian suami istri, persahabatan, seorang perawat yang berharap adanya muzizat atas pasiennya, dll.

Penuturan penulis dalam cerpen-cerpennya juga sederhana, tidak ada kalimat-kalimat yang rumit, tidak ada kalimat-kalimat bersayap dengan metafor-metafor yang ajaib yang akan membuai pembacanya. Tidak, tampaknya penulis tak menekankan pada keindahan dan kerumitan dalam menyajikan cerpen-ceprennya. Kekuatan cerpen ini justru terletak pada kesederhanannya, keefektifan merangkai kalimat, maupun realitas ceritanya yang membuat seluruh kisahnya menjadi tak berjarak dengan kehidupan pembacanya.

Ada yang mengatakan bahwa gaya penulisan Maggie dalam buku ini kental dengan warna penceritaan penulisan dalam bahasa inggris. Lalu seorang pembaca dalam reviewnya di Goodreads mengungkapkan keistimewaan cerpen- cerpen Maggie yang tidak menghadirkan cerita-cerita yang biasa kita temukan di cerpen-cerpen lokal walaupun settingnya di Jakarta. Karenanya tak heran Duncan Graham dari The Jakarta Post menyebut Maggie sebagai penulis global. Sisi ini yang saya rasa bisa dipertajam oleh Maggie sehingga jika terus ditekuni dan setia pada cara penulisannya seperti ini maka bukan tak mungkin karya-karya Meggie akan lebih dikenal dan disukai baik di dalam maupun di luar negeri

Dari segi penokohan, karakter-karakter tokoh yang dibangunpun tak berlebihan dan semua menggambarkan apa yang mungkin sedang kita alami seperti kesedihan, kegelisahan, kegagalan, obsesi, penantian dll. Semua itu seolah mewakili apa yang dialami oleh setiap manusia dalam perjalanan hidupnnya. Jika dicermati, ending dari setiap cerpen-cerpen dalam buku ini dibiarkan menggantung, bagi saya pribadi hal ini sangat menarik karena memberi ruang bagi pembacanya untuk melanjutkan imajinasinya dan mengembangkan sendiri karakter tokoh dan situasi dan akhir dari cerita yang dibacanya.

Satu-satunya kritik untuk buku ini adalah mengenai judulnya. Setelah membaca semua cerpen yang ada, sepertinya judul ‘Balada Ching Ching dan balada lainnya’ kurang merepresentasikan seluruh cerpen yang ada. Dan saya rasa cerpen Balada Ching-ching juga bukanlah cerpen yang terkuat dari ketiga belas cerpen yang ada. Mungkin ini strategi pemasaran karena judulnya memang menarik, mudah diingat, dan membuat penasaran, namun saya rasa masih ada cerpen-cerpen lain dalam buku ini yang lebih kuat dan bisa lebih mewakili ke-13 cerpen yang ada.

@htanzil

Thursday 22 July 2010

Globucksisasi - Rahayu Kusali

No. 239
Judul : Globucksisasi (Meracik Globalisasi melalui Secangkir Kopi)
Penulis : Rahayu Kusasi
Penerbit : Kepik Ungu
Cetakan : I, Juli 2010
Tebal : 148 hlm

Kata ‘Globalisasi’ yang beberapa tahun yang lampau masih menjadi hal yang asing kini tanpa disadari telah menjadi bagian dari hidup kita. Tanpa harus tahu apa arti kata Globalisasi sadar atau tidak sadar sebagian dari apa yang kita konsumsi merupakan hasil dari budaya global. Contohnya adalah MTV, Coca-cola, Mc Donalds, Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken, Starbucks, dll yang Semuanya dengan mudah dapat kita temukan di hampir semua kota besar di Indonesia.

Buku ini mencoba mengungkap bagaimana Starbucks telah menjadi salah satu fenomena globalisasi yang terjadi di tengah kita. Mengapa Starbucks yang dipilih oleh penulisnya? Selain karena penulisnya yang adalah mantan barista (bar tender) Starbucks, keunikan gerai kopi asal Amerika ini juga menarik untuk dicermati karena dari beberapa komoditas asing lainnya hanya Starbucks yang paling mempertahankan ciri aslinya dibanding Mc Donald’s, Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken, dsb yang telah menyesuaikan produknya dengan budaya lokal.

Buku ini pada awalnya adalah sebuah penelitian antropologi tentang kehidupan seorang barista yang adalah si penulisnya sendiri ketika ia bekerja di Starbucks Jakarta. Walau merupakan hasil penelitian akademis namun jangan keburu menduga kita akan mendapatkan bacaan yang berat dan membuat kening berkerut karena apa yang tersaji di buku ini sangat mudah dicerna dan dimaknai.

Di bab pertama penulis memulai tuturannya dengan mengajak pembacanya menelusuri perjalanan biji kopi yang bermula di Kaffa, Etiophia dimana seorang penggembala kambing bernama Kaldi menemukan tumbuhan asing. Tanpa disengaja ternaknya memakan buah dari tumbuhan tersebut sehingga berperilaku aneh, karena penasaran akhirnya Kaldi mencoba sendiri buah tersebut dan hal ini ternyata membuatnya tetap terjaga.

Dari legenda penemuan kopi ini pembaca akan terus diajak menyelusuri penyebaran kopi ke beberapa tempat di dunia termasuk di Indonesia. Ada juga kisah berdirinya kedai kopi pertama di dunia ‘Kiva Han’ di Konstatinopel, ditemukannya mesin Espresso pada 1882 di Italia yang mendorong terbentuknya kedai kopi modern yang kelak akan dibawa imigran Italia ke Amerika, sejarah berdirinya Starbucs Coffe Company di Seattle Amerika pada 1971 hingga dibukanya kafe Starbucks pertama di Indonesia pada 2002 di Plaza Indonesia Jakarta.

Setelah mendedah sejarah kopi dan Starbucks, di bab kedua pembaca akan disuguhkan akan arti globalisasi secara teoritis. Untungnya di bagian ini penulis tak berpanjang-panjang membahasnya karena di bab berikutnya pembaca akan diajak menemukan hal-hal yang menarik dari pengalaman penulis yang bekerja sebagai barista Starbucks. Bagian ini adalah bagian yang paling menarik dan dominan dari buku ini.

Di bagian ini, dengan gaya personal penulis mencoba menuangkan seluruh pengalamanya selama ia menjadi barista. Pembaca akan diajak masuk kedalam dapur Starbucks yang seluruh peralatan, cara kerja, dan penyajiannya harus dilakukan dengan standarisasi yang ketat untuk mempertahankan standart global dari produk yang dihasilkan Starbucks .

Disini kita akan melihat bagaimana ketat dan detailnya prosedur kerja dalam penyajian secangkir kopi. Proses mengucurnya Espresso ke cangkir dihitung dalam satuan detik dimana mengucurnya sari kopi ke cangkir harus terjadi antara 18-23 detik. Selain itu hampir seluruh peralatan yang digunakan di setiap gerai Starbucks termasuk bahan kimia pencuci cangkir, bahkan spidol untuk menandai cangkir kertaspun harus diimport dari Starbucks Amerika.

Skill para barista pun harus distandarisasi, selain diberi pengetahuan cara penyajian kopi dan cara menghadapi pelanggan, para barista juga diberi pengetahuan mengenai segala sesuatu tentang kopi dan bagaimana melakukan coffe tasting (mencicipi kopi) untuk dapat membedakan rasa kopi, dll. Dengan semua itu Starbucks berusaha agar kualitas produknya tetap sama di seluruh dunia. Jadi dimanapun orang membeli Starbucks mereka akan tetap menemukan produk dengan pelayanan dan rasa yang sama.

Ada banyak hal menarik di bagian ini, tanpa ragu-ragu penulis seakan menumpah ruahkan seluruh pengalamannya ketika menjadi barista, bahkan penulis juga menyertakan table taksonomi minuman Starbucks sehingga pembaca mengetahui secara lengkap apa saja jenis minuman yang tersedia disana. Dari semua pengalaman si penulis maka tanpa disadari pembaca akan diajak memaknai bagaimana fenomena globalisasi telah terjadi melalui secangkir kopi di kedai kopi Starbucks.

Di buku ini kita akan melihat bahwa masyarakat di Negara mana Starbucks membuka gerainya akan mengalami globalisasi dengan mempertemukan mereka dengan dirinya; toko kopi dan representasi Amerika. Starbucks dengan kekhasannya yang juga menjual biji dan minuman kopi dari berbagai negara telah mereteterorialisasi kebudayaan dunia melalui kantung-kantung kopi.

Di Starbucks rasa kopi didramatisasi sedemikian rupa sehingga meninggalkan kesan mendalam untuk peminumnya. Pengalaman merasakan secangkir kopi yang berasal dari seluruh penjuru dunia yang digabungkan dengan suasana toko yang membuat tubuh menyesap suasana asing diharapkan akan menghasilkan sebuah “Starbucks Experice”. Pengalaman Starbucks ini akan membuat seseorang membandingkan, merefleksikan, mengkirtik, memahami, dan mencampurkan cara-cara hidup global. Ini adalah sebuah dialog antara dialog budaya lokal dan budaya asing yang diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari melalu aktivitas meminum secangkir kopi.

Pada akhirnya melalui buku ini dalam skala yang lebih luas penulis mencoba mengungkapkan bahwa fenomena globalisasi terjadi di sekitar kita dan telah menjadi realitas yang hadir di sekililing kita. Buku ini memang bukan satu-satunya buku yang mengupas globalisasi. Berbagai macam buku sejenis telah lahir namun bukan berarti buku ini tak patut mendapat perhatian karena dengan semakin maraknya berbagai karya yang mengupas globalisasi dengan berbagai perspektif pada akhirnya akan memperkaya kita mengenai fenomena yang saat ini sedang terjadi dalam kehidupan kita.

Dan bagi para penikmat kopi Starbucks, rasanya buku ini terlalu sayang untuk dilewatkan karena berbagai informasi tentang panyajian, isi dapur, dan segala sesuatu tentang gerai kopi Starbucks di buku ini saya rasa akan membuat penikmat kopi Starbucks dapat lebih menikmati 'Starbucks Experiece'

@htanzil
 
ans!!