Monday 31 May 2010

The Man Who Loved Books Too Much

Judul : The Man Who Loved Books Too Much
Penulis : Allison Hoover Bartlett
Penerjemah : Lulu Fitri Rahman
Penerbit : Pustaka Alvabet
Edisi : April 2010
Tebal : xvi + 282 halaman

John Gilkey, adalah seorang pecinta buku sekaligus kolektor buku-buku sastra edisi pertama, obsesi utamanya adalah memiliki edisi pertama buku-buku sastra dunia yang tertera dalam daftar 100 novel terbaik abad ke 21 versi Modern Library. Tak mudah memang untuk memperoleh buku-buku edisi pertama tersebut, apalagi buku-buku sastra terkenal di paruh pertama abad ke 21, selain langka kalaupun ada maka buku itu nilanya bisa mencapai ratusan ribu dolar.

Gilkey bukanlah seorang pengusaha kaya yang mampu membelanjakan uangnya untuk memperoleh buku-buku tersebut, ia hanyalah pegawai biasa, namun ia tak menyerah dengan keterbatasan dananya. Alih-alih mengumpulkan uang untuk membeli buku-buku langka ia bertekad untuk mencurinya ! Pilhannya untuk mencuri buku itu dilandasi oleh ketidakadilan yang dirasakannya jika dia tak sanggup memiliki buku-buku tersebut sementara orang lain bisa.

Kiprah Gilkey sebagai seorang pencuri buku membuatnya menjadi pencuri yang paling terkenal di seantero Amerika. Caranya sangat sederhana, ia tak perlu mengendap-ngendap ke berbagai toko buku antik untuk mencuri buku. Cukup dengan menggunakan nomor kartu kredit yang diperolehnya saat ia menjadi pegawai di sebuah toko pakaian mewah, Gilkey menelpon toko buku dan memesan buku yang diinginkannya. Menjelang toko tersebut tutup ia mengambil sendiri buku pesanannya dengan mengaku sebagai orang suruhan dari pemesan buku tersebut.

Di sisi yang lain, Ken Sanders, salah seorang agen buku yang juga menjadi Ketua Keamanan ABAA, (asosiasi penjual buku antik Amerika) sangat terobsesi untuk menangkap Gilkey, ia rela mengubah profesinya sebagai penjual buku antik untuk menjadi seorang bibiliodic, semacam detektif swasta yang mengkhususkan diri menangani kasus pencurian buku.

Kisah bagaimana sepak terjang John Gilkey dalam mencuri buku dan bagaimana Ken Sanders berusaha untuk menangkap Gikley inilah yang dituturkan secara menarik oleh Allison Hoover Bartlet, seorang jurnalis yang tulisan-tulisannya sering muncul di media-media terkemuka dunia seperti New York Times, Washington Post, Salon.com, dll.

Ketertarikan Allison untuk menulis kisah tentang Gilkey dan Sanders ini sendiri berawal ketika dirinya menerima bungkusan berisi sebuah buku antik berjudul “Kratuterbuch” (buku tanaman) terbitan tahun 1630. Ketertarikannya akan buku tersebut membuatnya ia mencari data mengenai asal-usul buku tersebut yang pada akhirnya menghantarnya pada kisah-kisah mengenai pencurian buku. Dalam beberapa kisah pencurian buku itulah akhirnya ia menemukan referensi mengenai Ken Sanders yang akan membawanya pada sepak terjang Gilkey si pencuri buku. Sejak itulah Allison berhasrat untuk menulis artikel tentang John Gilkey.

Apa yang dilakukan Allison tak sekedar riset pustaka belaka, namun ia juga melakukan serangkaian wawancara baik pada Ken Sanders sang detektif buku maupun pada Ginkley si pencuri buku, sehingga apa yang ditulisnya ini merupakan hasil peliputan jurnalistik yang benar-benar seimbang, mendetail, valid dan kaya akan kilasan-kilasan menarik mengenai dunia buku-buku antik.

Kepiawaian Bartelt dalam melakukan investigasi membuat karakter kedua tokoh ini benar-benar tereksplorasi dan tersaji secara gamblang. Selain mewawancarai Gilkey dan Sanders, Alisson juga melakukan wawancara dengan orang Tua Gilkey untuk mencari tahu apakah ada pengaruh keluarga dan masa lalunya yang membuat Gilkey menjadi seorang pencuri buku.

Apa yang dilakukan Allison dengan mewawancarai Ginkley hingga ke penjara dan pertemuannya yang intnes dengannya bukanlah hal yang sia-sia karena pada akhirnya Gilkey menceritakan secara blak-blakan padanya baik itu cara-cara dia mencuri buku maupun motif apa yang ada dibalik usahanya untuk mencuri buku.

Dalam bukunya ini, Allison tak sekedar menyajikan kisah dramatis bagaimana lika liku Gilkey melakukan pencurian buku atau bagaimana usaha Ken Sanders menangkapnya dan menjebloskannya ke penjara. Allison juga memasukkan kisah dirinya, bagaimana gentarnya dirinya ketika harus berhadapan dengan si pencuri buku atau dilema yang dihadapi apakah ia harus melaporkannya kepada polisi atau tidak ketika Gilkey menceritakan semua yang pernah dilakukannya.

Selain itu yang tak kalah menariknya, di buku ini akan tersaji pula berbagai hal mengenai dunia buku antik yang begitu memesona. Dalam buku ini akan terungkap harga-harga buku edisi pertama yang harganya bisa mencapai ratusan ribu dolar, bagaimana cara menilai buku antik hanya bedasarkan sentuhan dan aroma baunya, bagaimana jaket buku ternyata sangat berpengaruh pada nilai sebuah buku dan sebagainya.

Detailnya Allisson dalam memaparkan semua hasil investigasinya ini memang baik, namun bagi mereka yang tak terbiasa membacanya mungkin agak sedikit menimbulkan kejenuhan, untungnya Allisson tak terjebak dalam untuk menyajikan data-data menegnai buku-buku antik hasil investigasinya namun ia juga menyelipkan berbagai kisah para penggila buku yang sangat inspiratif.

Dalam hal perilaku para penggila buku, Allison juga menyertakan berbagai penggalan kisah tokoh-tokoh terkenal seperti Henry Huntington, pemilik The Huntington Library Museum, seorang taipan rel kereta api yang pernah membelanjakan $ 1.9 juta dalam sebuah lelang buku, lalu ada pula Thomas Jefferson Fitz, professor botani yang rumahnya dipenuhi oleh 90 ton buku koleksinya. Selain itu ada juga kisah pencuri buku Gugliemo Libri (1803-1869) seorang bangsawan Perancis yang bertugas membuat katalog buku-buku di Perpustakaan-perpustakaan Perancis yang akhirnya ketahuan telah menukar buku-buku berharga di perpustakaan dengan buku yang kurang berharga. Ketika Libri dihukum 10 tahun penjara koleksi bukunya bernilai 6500 franc atau setara dengan 1.56 juta Euro di masa kini.

Kesemua kisah-kisah tadi digambarkan Allison dengan narasi yang menarik sehingga membuat pembaca buku ini akan berdecak kagum pada kekayaan koleksi mereka dan penghargaan mereka akan buku-buku bernilai tinggi. Kesemua kisah ini bukan tak mungkin akan menjadi inspirasi bagi pembaca untuk memulai mengoleksi buku-buku yang berharga.

Secara keseluruhan , saya rasa Allison berhasil membuat sebuah karya yang menarik bagi pembacanya, ia berhasil mengundang rasa ingin tahu pembacanya akan dunia buku antik, kasus-kasus pencurian buku dan intrik-intrik dalam dunia perdagangan buku antik terungkap dengan gamblang. Selain itu, catatan kaki yang dilampirkan Allison pada buku ini juga dapat menambah wawasan pembacanya.

Dengan segala keistimewaan dari buku ini tak heran jika Library Journal menetapkan buku ini sebagai salah satu buku terbaiknya. Adapun cikal bakal buku ini yaitu artikel mengenai John Gilkey yang dibuat Allison untuk San Fracisco Magazine memperoleh penghargaan sebagai Best American Reporting 2007

Bagi seorang pecinta buku, buku ini sepertinya bisa menjadi buku yang wajib dibaca. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa buku ini juga bisa memberi inspirasi akan pentingnya mengoleksi buku, terutama buku-buku sastra edisi pertama. Selain itu buku ini juga akan membawa pembacanya pada pengenalan pertama akan dunia buku antik.

Kisah Ginkley dan Sanders dan kisah-kisah para penggila buku dalam buku ini juga pada akhirnya akan membuka mata kita bahwa kegilaan atau obsesi seseorang terhadap buku itu dapat sedemikian dahsyatnya sehingga membuat sebagian orang rela mempertaruhkan apa saja demi memiliki sebuah buku yang mereka sukai.

Dari buku ini kita juga akan melihat bahwa di negara yang telah mengenal budaya baca dan tulis lebih awal dari kita, penghargaan akan buku itu begitu tingginya. Penghormatan terhadap sebuah buku menjadikan buku-buku yang terbit puluhan hingga ratusan tahun yang lampau walau mungkin isinya tak relevan lagi tetap menjadikan buku-buku itu tetap bertahan keberadaannya dari abad ke abad.

@htanzil

Monday 24 May 2010

Entrok - Okky Madasari

236.

Judul : Entrok
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, April 2010
Tebal : 282 hlm

Novel ini memiliki judul yang unik “Entrok” , hal ini membuat banyak orang penasaran apa itu Entrok?. Covernya yang unik dengan ilustrasi punggung seorang wanita yang sedang membuka pakaian dalammya sebenarnya sudah merupakan petunjuk yang diberikan oleh penulis dan penerbitnya. Ya, Entrok adalah pakaian dalam wanita, atau kutang, atau bra yang dikenakan para wanita di masa lampau. Sebutan Entrok ini sendiri sepertinya saat ini sudah jarang dipergunakan Lalu kisah apa yang akan dituturkan penulisnya dengan judul Entrok ini ?

Novel Entrok merupakan kisah kehidupan dua orang perempuan Sumarni, yang biasa dipanggil Marni dan anaknya, Rahayu. Marni adalah seorang perempuan pemuja leluhur (animisme) yang ulet untuk meraih apa yang diinginkannya, karakternya ini mulai terbentuk sejak ia beranjak remaja. Ketika payudaranya mulai menyembul timbullah keinginan untuk memiliki Entrok (pakaian dalam perempuan) seperti yang dimiliki oleh teman sebayanya.

Keinginannya yang sederhana ini menjadi tak masuk akal karena sebagai keluarga miskin yang tinggal bersama ibunya yang hanya seorang buruh pengupas singkong membuat Entrok menjadi barang yang mewah dan tak terbeli. Namun Marni tak menyerah dengan keadaannya. Ia rela menjadi kuli angkut di pasar agar bisa mendapat uang untuk membeli Entrok.

Akhirnya Marni berhasil membeli sebuah Entrok, pengalamannya ini membentuk persepsi pada dirinya bahwa sebuah mimpi bisa diraihnya asal mau berusaha dan bekerja keras. Hal inilah yang membentuknya menjadi wanita ulet yang tak menyerah bergitu saja pada segala keterbatasannya. Kisah Marni terus bergulir, ia menikah dan mempunyai seorang anak. Sayangnya suaminya seorang pemalas, dan doyan bermain perempuan, dengan demikian Marnilah yang mencari nafkah dan menjadi tulang punggung keluarga. Ia terus bekerja, mulai dari buruh pengupas singkong, kuli angkut, penjual panci hingga akhirnya menjadi seorang rentenir yang kaya.

Profesi Marni sebagai seorang rentenir memang membuatnya menjadi kaya namun ia harus menanggung cemoohan orang yang mencapnya sebagai lintah darat. Namun Marni tetap bergeming, ia terus menjalankan usahanya karena menurutnya apa yang dilakukannya tidaklah bersalah malah justru menolong orang-orang yang membutuhkan uang. Selain itu kepercayaan Marni yang masih memuja leluhurnya dengan sesajen-sesajen membuat ia dicurigai bersekutu dengan iblis, melakukan pesugihan, memelihara tuyul agar bisa memperoleh kekayaan.

Adapun Rahayu dikisahkan sebagai wanita yang cerdas, berpendidikan dan taat dalam menjalankan ibadah agamanya. Semakin dewasa ketika menyadari bahwa ibunya seorang rentenir dan pemujaan terhadap leluhur yang dianggapnya musrik membuat ia memberontak terhadap ibunya sendiri. Puncaknya adalah ketika ia memutuskan untuk menikah dengan seorang pria beristri dan pergi meninggalkan ibunya. Semenjak menikah hubungan dengan Rahayu dan ibunya menjadi terputus karena ia tak pernah memberi kabar pada kedua orang tuanya. Rahayu dan suaminya kemudian bergabung dalam kelompok dakwah yang membela penduduk yang tanahnya hendak tergusur oleh proyek bendungan.

Dari narasi dua perempuan, Marni dan Rahayu lah kisah Entrok terbangun dimana kedua tokoh ini menjadi naratornya secara bergantian. Sebenarnya kisah dalam novel ini sederhana yaitu perjalanan hidup dua wanita yang penuh perjuangan melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Yang membuat novel ini menarik adalah munculnya beberapa tema besar yang mewarnai novel ini. yaitu tema feminisme, pluralisme, politik, profesi, kepercayaan, serta agama. Menariknya walau memiliki beberapa tema namun semua tema itu terawi secara baik sehingga menghasilkan kisah yang utuh dan mengalir.

Nuansa feminisme merebak di lembar-lembar awal novel ini dimana akan telihat dengan jelas bahwa berbeda dengan buruh pria yang mendapat upah berupa uang buruh-buruh perempuan di pasar tidak diupahi dengan uang melainkan dengan bahan makanan, hal ini menyiratkan bahwa tenaga pria lebih dihargai dibanding tenaga wanita. Suka atau tidak suka hal ini masih banyak terjadi di pabrik-pabrik kita dimana buruh wanita dibayar lebih rendah dibanding buruh pria.

Selain tema feminisme, tema sosial politik dan pluralisme tampaknya merupakan tema yang paling dominan mewarnai kisah Marni dan Rahayu. Dalam novel ini situasi sosial dan politik dilihat dari sudut pandang rakyat kecil yang diwakili oleh Marni dan Rahayu. Ketika Marni sukses saat itu merupakan masa keemasan bagi pemerintahan yang didominasi oleh militer dimana dengan wewenang teritorialnya militer menjadi penguasa, menyusup masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Dengan dalih sebagai penjaga kemanan, para oknum tentara meminta ‘upeti’ pada mereka yang berduit. Demikian pula dengan Marni, demi kelangsungan usahanya, dua minggu sekali ia harus membayar upeti pada orang-orang berseragam dan hal ini terus berlangsung seumur hidupnya. Inilah masa dimana segala masalah bisa diselesaikan dengan uang dan koneksi dengan militer.

Tak hanya menangkut soal keamanan, kebebasan masyarakat untuk meyakini kepercayaannyapun dicampuri oleh negara. Tentara lagi-lagi menjadi alat yang efektif untuk mengendalikan apa agama yang harus dianut rakyatnya. Pasca pemberontakan PKI sesuatu yang berbau China dilarang, hal ini terwakili oleh tokoh Koh Cahyadi yang harus mencantumkan agama Kristen dalam KTP nya padahal ia adalah penganut Konghucu. Barongsai yang merupakan warisan tradisi leluhurnya dilarang karena dianggap simbol PKI, Koh Cahyadi yang kedapatan bermain barongsai otomatis menjadi incaran militer hingga ia harus menyembunyikan dirinya dari kejaran para tentara.

Jika kita mencermati berbagai peristiwa yang dialami oleh para tokohnya akan terlihat bahwa novel ini memang memiliki nilai dokumenter khususnya dalam ranah politik. Dengan mudah ketika membaca Entrok kita akan menemukan kronik dari berbagai peristiwa politik yang terjadi di tahun 1950-1999 misalnya soal Pemilu yang mengharuskan pemilih untuk memilih lambang tertentu, peristiwa peledakan candi Borobudur, petrus (pembunuhan misterius), polemik waduk kedungombo, dll. Hal yang menarik karena melalui novel ini kita akan diingatkan akan sejarah dan peristiwa sosial dan politik masa lampau yang mungkin nyaris kita lupakan.

Karakter tokoh Marni dan Rahayu tampak tereksplorasi dengan baik. Satu hal yang menarik adalah walau bertutur tentang tokoh perempuan dan ditulis oleh seorang perempuan, penulisnya tak lantas menjadikan kedua tokoh ini sebagai ‘hero’. Marni dan Rahayu hanyalah perempuan biasa. Mereka digambarkan apa adanya termasuk kebaikan dan keburukannya. Marni walau perempuan yang mandiri, ulet dan tegar namun ia menyerah juga terhadap keadaan yang membuatnya menyuap tentara untuk menyelamatkan hartanya. Ia mengutuk kebisaan suap yang dilakukan para tentara namun ia tak melawan karena tak punya kuasa dan keberanian untuk melawannya. Secara moral ia bahkan jatuh dalam pelukan pria lain yang belum dinikahinya.

Novel ini secara keseluruhan memang menarik, namun ada dua hal yang menjadi catatan saya. Pertama ada satu bagian kisah yang bagi saya agak terlalu mengada-ada dan sedikit berlebihan, yaitu pada bab “Kentut Kali Manggis” dimana ketika seorang penduduk desa kedapatan buang angin saat diinterogasi oleh tentara karena kedapatan bermain kartu akhirnya harus dihukum berendam di sungai semalaman. Kejadian ini diketahui oleh Rahayu dan kawan-kawan sehingga mereka berniat untuk mengungkapkan tindakan semena-mena yang dilakukan oleh oknum tentara itu ke dalam koran. Akibatnya sungguh tak terduga karena menyebabkan kematian bagi si penduduk desa yang kedapatan buang angin tersebut

Kasus yang berawal dari main kartu dan buang angin yang menyebabkan kematian ini saya rasa terlalu mengada-ngada. Mungkin penulis bermaksud untuk mendeskripsikan kesewenang-wenangan tentara tapi saya rasa hal ini terlalu berlebihan, andai saja kasusnya diganti dengan yang sedikit lebih kompleks maka akan terkesan lebih realistis.

Kemudian dalam hal judul, judul novel ini memang menarik sekali “Entrok” mudah diingat dan membuat penasaran pembacanya akan arti dari Entrok. Entrok atau pakaian dalam wanita memang menjadi dasar dari Marni untuk meraih mimpinya tapi sayangnya kisah Entrok ini hanya terdapat di bab pertama, setelah itu Entrok tak lagi disebut-sebut. Padahal penulis bisa saja menyelipkan Entrok dalam kisah perjalanan Marni, misalnya melalui kenangan Marni akan entrok yg tiba-tiba muncul lagi ketika kesulitan menderanya, atau bisa saja dimunculkan ketika Marni memberi wejangan kepada anaknya, dll. Entrok tidak menjadi simbol dari kehidupan Marni dan Rahayu, ia hanya sebuah benda kenangan yang pernah diimpikan Marni. Karenanya maka Entrok itu sendiri seakan kurang menjiwai novel ini secara keseluruhan.

Terlepas dari hal di atas, novel ini menarik untuk dibaca, penulis menuturkan kisah Marni dan Rahayu dengan lancar, beberapa kalimat lokal disisipkan dalam dialog-dialognya sehingga kisahnya terasa membumi. Melalui novel ini kita akan melihat sebuah kisah bagaimana Marni dan Rahayu sama-sama tak berdaya dan menjadi korban dari orang-orang yang memiliki kuasa dan senjata. Berbagai tema sosial seperti yang telah diungkap di atas membuat novel ini memiliki keunggulan sendiri dalam merekam situasi sosial dan politik di era 50-an hingga 90-an.

Dalam novel ini kita juga akan melihat bahwa walau setting novel ini terjadi berpuluh tahun yang lalu namun beberapa situasi sosial yang terungk masih terjadi dimasa kini sehingga masih relevan dengan situasi sekarang. Sedemikian lambatkah perubahan yang terjadi di Indonesia khususnya mengenai isu pluralisme dan kesewenangan penguasa? Silahkan pembaca menyimpulkannya sendiri.


@htanzil
 
ans!!