Wednesday 24 March 2010

Elang - Kirana Kejora

No. 234
Judul : Elang
Penulis : Kirana Kejora
Penerbit : Almira Managemet
Cetakan : I, 2009
Tebal : 300 hlm

Novel Elang adalah sebuah novel roman humanis yang menceritakan tentang kisah cinta segitiga antara Kejora Padma, seorang penulis novel dengan dua pemuda kembar fraternal (non identik) Elang Timur dan Elang Laut.

Tidak seperti hubungan saudara kembar pada umumnya yang hidup rukun dan memiliki kedekatan emosional yang saling mengikat, Elang Laut dan Elang Timur hidup dalam suasana penuh persaingan yang mereka lakoni semenjak kecil. Hal ini menyebabkan hubungan antara mereka tidak harmonis, masing-masing didominasi oleh perasaan untuk saling mengalahkan satu dengan yang lainnya. Hal ini terus terbawa hingga mereka dewasa dan mencintai wanita yang sama, Kejora Padma.

Sayangnya pertarungan untuk memperebutkan cinta Kejora harus kandas, tak ada yang menang karena akhirnya Kejora menikah dengan Abi, lelaki pilihan ibunya. Dari pernikahannya dengan Abi, lahirlah seorang putra yang dinamainya Laskar. Sayang rumah tangga Kejora tidaklah bahagia, dan ketika Abi meminta izin Kejora untuk menikah kembali, Kejora memilih untuk bercerai daripada dimadu.

Walaupun hati Elang Timur dan Elang Laut pernah terluka karena pernikahan Kejora dengan Abi, namun cinta mereka pada Kejora tak pernah lenyap. Perceraian Kejora dengan Abi membuka kesempatan bagi Elang Timur untuk kembali mendekati Kejora, bukan hal yang mudah karena masih ada Elang Laut yang tetap menjadi pesaing utamanya. Kejora pun sempat dilanda kebimbangan mana yang akan dia pilih untuk menjadi ayah bagi Laskar.

Jika hanya membaca sinopsis di atas tampaknya tak ada yang istimewa dalam novel ini, tapi tunggu dulu, walau inti ceritanya tampak sederhana tapi dibalik tema utama yang sederhana ini penulis dengan piawai meramu kisahnya sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah cerita yang menarik dan sarat dengan konflik diantara para tokoh-tokohnya.

Dari segi penokohan, ketiga tokoh utama di novel ini tereksplorasi dengan baik. Timur dideskripsikan sebagai seorang imuwan sejati yang sukses secara materi. Ia tipe pria yang teguh pada prinsip dan pilihan hidupnya. Cintanya pada Kejora sudah final dan ia tak terus mengejar Kejora ketika diketahuinya bahwa Kejora telah bercerai dengan Abi.

Sedangkan Elang Laut digambarkan sebagai seorang seniman sejati yang setia terhadap jalan hidupnya. Sama seperti Timur yang tetap mengharap cinta Kejora, demikian pula dengan Laut, namun selayaknya seorang penyair, ia lebih mengungkapkan cintanya melalui karya-karyanya, berbeda dengan Timur yang mengungkapkan cintanya dengan tindakan dan kata-kata yang lugas.

Berbeda dengan karakter Timur yang terlihat sangat kokoh dan tegas akan pendiriannya untuk mencintai Kejora, karakter Laut terkesan lemah dan penuh keraguan, namun cintanya pada Kejora betul-betul mulia Ia mampu mencintai Jora meski tak harus memilikinya. Inilah cinta dalam level tertinggi yang mampu mengalahkan egonya.

Kedua bersaudara ini memang berbeda, namun merekapun memiliki kesamaan, sama-sama setia pada profesinya dan sama-sama memiliki kepedulian sosial terhadap lingkungannya.

Kejora sendiri digambarkan sebagai seorang penulis yang mulai menanjak kariernya, walau gagal dalam pernikahannya ia tak tenggelam dalam kepedihan ia bukanlah tokoh yang lemah, Kejora adalah sosok wanita yang tegar, berani mengambil sikap, bahkan ia berani menanyakan secara langsung kepada Laut bagaimana sesungguhnya perasaan cinta Laut pada dirinya.

Sejak dari awal pembaca akan disuguhkan oleh berbagai konflik antar tokoh-tokohnya. Persaingan abadi antar dua saudara kembar menjadi hal yang menarik dan rumit karena menyangkut soal cinta. Kejora sendiri dilanda kegalauan untuk memilih siapa diantara mereka yang merupakan pelabuhan terkahir hatinya, ia mencintai keduanya, haruskah ia mengorbankan salah satu pria yang dicintainya?

Dan yang juga menarik adalah sekujur novel ini tersaji dengan kalimat-kalimat puitis yang membuai pembacanya. Walau demikian penulis tampak tak terjebak untuk menggunakan metafora-metafora yang berlebihan yang kadang bisa membingungkan pembacanya. Dalam novel ini rangkaian kalimat-kalimat bersayap dan metafora-metafora yang digunakan masih bisa dimengerti dan dinikmati oleh pembaca awam sekalipun karenanya novel ini saya rasa memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi karena tersaji dengan indah, mengalir, mudah dipahami dan enak dibaca.

Plot ceritanyapun tertata dengan baik perlahan tapi pasti emosi pembaca akan meningkat seiring dengan meruncingnya konflik yang terjadi antar tokoh-tokohnya dan mencapai klimaksnya di akhir cerita. Hanya saja ada satu bagian yang bagi saya sedikit mengganggu yaitu saat menceritakan bagian kehidupan Elang Laut ketika berada di Lombok..

Bagian ini memang menarik karena penulis berhasil menangkap landskap alam dan realita sosial yang ada di Lombok. Namun dengan munculnya konflik-konflik baru seperti soal demo masyakarat Lombok yang tanahnya yang diserobot oleh pihak-pihak tertentu, saya koq merasa bagian ini seakan-akan terlepas dari inti novel ini sehingga terkesan seperti berdiri sendiri.

Setting cerita yang berlokasi di tiga tempat, Papua, Jakarta, dan Lombok menjadi nilai tambah sendiri bagi novel ini. Walau tak banyak setidaknya akan tertangkap realita sosial di tiga tempat tersebut. Melihat cover novel ini yang menggambarkan panorama pegunungan, tadinya saya menyangka settingnya akan banyak berkisah di Papua atau tem tempat-tempat eksotis lainnya, namun ternyata tidak, setting di Jakarta lebih mendominasi, andai kisahnya lebih banyak di Papua atau Lombok tentunya akan lebih menarik lagi.

Terlepas dari hal-hal di atas secara keseluruhan novel yang diangkat dari kisah nyata ini bagi saya tetaplah menarik, karenanya tak heran jika novel ini banyak diapresiasi dengan baik oleh para sastrawan-sastrawan tanah air ketika novel ini baru diluncurkan. Selain itu kabarnya novel ini juga akan segera diadaptasi ke layar lebar.

Akhir kata novel ini tak hanya menghibur pembacanya, ada banyak hal yang dapat kita maknai ketika membaca novel ini antara lain bagaimana kita harus berani mengambil pilihan dalam hidup kita serta memiliki komitmen untuk tetap setia menjalani kehidupan sesuai dengan pilihan yang telah kita ambil.

@htanzil

Monday 8 March 2010

SOE HOK-GIE…sekali lagi

Judul : SOE HOK-GIE…sekali lagi – Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya
Editor : Rudi Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan
Penerbit : KPG bekerjasama dengan ILUNI UI & Kompas
Cetakan : Desember 2009
Tebal : 512 hlm

Empat puluh tahun silam, tepatnya tanggal 16 Desember 1969, bangsa Indonesia kehilangan seorang aktivis mahasiswa yang idealis, brillian dan berani mengambil sikap baik dalam pemikiran maupun dalam pergerakan. So Hok-gie, atau akarab dipanggil Gie ditemukan tewas di atas puncak Gunung Semeru, Jawa Timur tepat sehari sebelum ia merayakan hari ulang tahunnya ke 27 yang ia rencanakan akan dirayakan di puncak Mahameru bersama kawan-kawannya.

Walau telah 40 tahun berselang namun nama dan kiprahnya masih terus dikenang hingga kini. Beberapa tahun setelah kematiannya, namanya sempat terlupakan hingga akhirnya LP3ES yang saat itu masih merupakan LSM kecil menerbitkan catatan harian Gie yang diberinya judul “Catatan Seorang Demonstran” pada tahun 1983.

Terbitnya buku tersebut kembali mengingatkan orang pada tokoh Gie. Tak sekedar itu, buku tersebut bahkan menginspirasi dan mengangkat moril gerakan mahasiswa di tahun 80-an yang sedang terpuruk. Itulah Gie, ia tak hanya memberi inspirasi ketika ia masih hidup, dua puluh tahun setelah kematiannyapun Gie masih mampu memberi inpirasi baru pada gerakan mahasiswa saat itu.
Setelah itu seiring berjalannya waktu, namanya Gie kembali terlupakan hingga akhirnya di tahun 90an tulisan-tulisan Gie yang pernah dipublikasikan di harian-harian nasional dibukukan oleh penerbit Bentang Budaya dengan judul “Zaman Peralihan” (1995), lalu menyusul skripsi S1 nya yang berjudul “Orang-orang di persimpangan kiri Jalan” (1997).

Di tahun 2001 muncul terjemahan biografi politik SHG yang berjudul " SOE HOK-GIE : Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani" karya sejarahwan Australia, John Maxwell. Setelah beberapa buku ttg Soe Hok Gie diterbitkan, di tahun 2005 sutradara kondang Riri Reza pun membuat film berjudul Gie yang diambil dari catatan hariannya.

Kiini dalam rangka memperingati 40 tahun kematiannya bulan Desember yang lalu, kawan2 dekat so Hok-Gie berinisiatif menerbitkan buku tentang Gie yang isinya merupakan kumpulan tulisan dari teman, sahabat, hingga tokoh2--tokoh terkenal di negeri ini. Itulah sebabnya buku ini diberi judul “Soe Hok-Gie Sekali Lagi”, seolah ingin menegaskan bahwa inilah buku kesekian mengenai Soe Hok-Gie yang pernah diterbitkan.

Dibanding dengan buku-buku lainnya tentang Gie, buku ini tak kalah menariknya malah memiliki keunikan sendiri, kalau selama ini kita mengenal Gie dari catatan harian, tulisan-tulisannya, dan pandangan John Maxwell, maka di buku ini kita bisa melihat sosok Gie dari pandangan sahabat-sahabat terdekatnya dan dari orang-orang yang mengaku terpengaruh oleh spirit dan semangat perjuangan Gie baik semasa hidupnya maupun setelah membaca tulisan-tulisan Gie.
Buku gemuk ini dibagi menjadi lima bagian besar, bagian pertama berisi satu tulisan panjang Rudy Badil, salah satu rombongan Gie ke puncak Semeru yang secara rinci menceritakan perjalanannya bersama Gie mulai dari Stasiun Gambir, Jakarta hingga proses evakuasi jenazah Gie dan Idham dari puncak Mahameru ke Gubuk Klakah, sebuah desa di kaki gunung Semeru.

Bagian ini merupakan bagian yang paling menarik karena selama ini belum pernah terungkap secara bergitu mendetail bagaimana saat-saat terakhir hidup Gie, bagaimana kondisi jenasah Gie dan Idham setelah berhari-hari terlantar di puncak Mahameru, dan bagaimana kondisi fisik dan mental teman-teman seperjalanannya dalam mencari bantuan dan mengevakuasi jenasah Gie dan Idham.

Di bagian kedua, dikisahkan bagaimana reaksi masyarakat dan pers dalam dan luar negeri yang begitu responsif begitu mendengar kematian Hok Gie hingga Prof. Soemitro Djojohadikusumo yang saat itu telah menjadi menteri menyempatkan diri untuk melayat jenasah Gie dan memberikan kata sambutannya di FS-UI. Selain itu bagian ini juga menyajikan berbagai hal menarik seperti bagaimana puluhan tahun setelah kematian Gie namanya disangkut pautkan dengan peta harta karun peninggalan Jepang yang konon saat itu sedang diterjemahkan oleh Gie dan secara tidak sengaja ditemukan oleh oleh tim SAR saat sedang mengavakuasi jenazah Gie.

Selain itu di bagian ini terungkap pula hal-hal yang menyangkut gunung Semeru seperti temuan Arca Kembar yang selama ini dianggap hilang, lalu ada juga tulisan tentang serba serbi Semeru yang tentunya bermanfaat bagi para pendaki gunung.

Bagian ketiga buku ini yang berisi tulisan-tulisan dari teman-teman Gie di FS-UI tak kalah menariknya. Di bagian ini kita akan melihat sosok manusiawi Gie secara apa adanya. Sisi lain Gie dalam kesehariannya sebagai seorang mahasiswa terungkap di tulisan Kartini Sjahrir dan Luki Sutirsno Bekti yang secara jujur menceritakan pengalamannya berteman dekat dengan Gie.

Menurut pernagakuan Kartini, seperti anak muda pada umumnya dalam pergaulannya tak jarang Gie mengeluarkan celetukannya yang suka ‘menyerempet-nyerempet bawah puser’. Dalam tulisannya ini Kartini juga secara terbuka menceritakan perasaan hatinya dan kedekatannya dengan Gie sebelum akhirnya menikah dengan Syahrir. Bahkan di setiap surat terbukanya,, Kartini selalu memulainya dengan “Hok Gie-ku yang manis..”

Luki Sutirsno-Bekti sebagai salah satu teman wanita Gie yang juga pernah dekat dengannya mengungkapkan Gie sebagai sosok yang moralis dan humanis, selain itu Gie juga merupakan teman curhat yang baik bagi teman-teman pria maupun wanitanya. Ia juga dikenal suka membantu teman-temannya dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah. Luki juga mengulas hubungan kakak beradik Hok-gie dan Arief Budiman yang unik.

Selain itu di bab ketiga ini ada juga tulisan teman-teman lainnya yang melihat Gie dari berbagai sudut pandang , semuanya menggambarkan bagaimana hangatnya, lekatnya, dan akrabnya pertemanan mereka dengan Hok Gie secara jujur dan apa adanya.

Di Bagian ke empat, buku ini menyuguhkan berbagai tulisan dari para penulis yang tidak mengenal Hok-Gie secara fisik namun mereka mengenalnya lewat pemikiran-pemikiran Gie melalui tulisan-tulisannya seperti Riri Reza, Nicholas Saputra, Hilmad Farid, N. Riantiarno, Stanley Adi Prasetyo, Mona Lohanda, Ben Anderson, dll.

Di bagian ini juga Arif Santoso, aktivis mahasiswa 80-an mengetengahkan catatan mengenai gerakan aktivis 1980-an yang tersulut oleh terbitnya Catatan Harian Seorang Demonstran di tahun 1978. Arif juga menceritakan secara kronologis gerakan 1980-an sehingga pembaca akan mengetahui bagaimana para aktivis 1980-an berjuang melawan rezim orde baru yang saat itu begitu intens meredam setiap gerakan mahasiswa.

Stanley Adi Prasetro dalam tulisan panjangnya di buku ini mencoba membaca pikiran HAM Soe Hok-gie. Dari tulisannya ini Stanley mengatakan bahwa Gie merupakan pejuang sejati HAM yang berpikir melebihi zamannya. Di tulisan ini akan terungkap walaupun Gie begitu membenci komunisme, namun ketika pemerintah membabat habis orang-orang PKI secara membabi buta, Gie mengutuk keras peristiwa ini.

Lalu ada juga tulisan Lona Mohanda, sejarahwan, yang mencoba menguliti skripsi Hok-gie yang pada akhirnya mengaminkan apa yang dikatakan oleh almarhum Prof Harsya W. Bachtiar yang berpendapat bahwa soe Hok-gie itu seorang kolumnis yang baik, tapi tidak sebagai sejarahwan.
Di bagian kelima yang merupakan bagian terakhir dari buku ini diketengahkan tujuh belas tulisan Gie yang tersebar di berbagai media baik tulisan mengenai pendakian gunung, hingga persoalan-persoalan politik yang terjadi pada masa itu.

Menarik memang membaca keselurahan tulisan-tulisan yang terdapat dalam buku ini. Buku yang ditulis oleh 30 orang ini memberikan gambaran yang iutuh akan sosok Gie yang sebelumnya hanya kita kenal lewat catatan hariannya atau tulisan-tulisannya saja. Karena buku ini merupakan kumpulan tulisan dari berbagai orang maka masing-masing memiliki keunikan sendiri, semuanya menarik, hanya saja di bagian ke empat dimana semuanya ditulis oleh orang-orang yang hanya mengenal Gie melalui tulisan-tulisannya maka terdapat beberapa kesamaan pandangan sehingga agak membosankan.

Selain berbagai tulisan tentang Gie, yang tak kalah menariknya adalah dimuatnya puluhan foto2 yang selama ini jarang atau mungkin belum pernah terpublikasikan. Kemasan buku ini juga tak kalah menariknya, walau bukunya besar dan gemuk namun sangat nyaman digenggam saat dibaca. Pilihan font yang besar dan lay out antara teks dan foto yang dinamis membuat buku ini sangat ramah mata dan membuat betah membacanya berlama-lama.

Dan yang pasti munculnya kembali buku tentang Gie ini setidaknya mengangkat kembali sosok pribadi yang berintegritas dan memiliki komitmen yang teguh terhadap perjuangannya, hal yang langka ditemukan di masa kini.

Di tengah bangsa kita yang tengah mengalami krisis kemanusiaan, keadilan, dan kepemimpinan, sosok Soe Hok Gie ini sangat tepat untuk diangkat kembali sehiingga generasi muda masa kini dapat belajar dari pribadi dan pemikiran Gie yang masih sangat relevan hingga kini.

Mungkinkah melalui buku ini Soe Hok-Gie sekali lagi memberi inspirasi bagi para pejuang demokrasi dan penegak keadilan bangsa ini? Ataukah buku ini hanya sekedar menjadi buku pengingat romantika perjuangan di era 60-an bagi kawan-kawan dekatnya? Jawabannya ada di tangan para pembaca buku ini.

@htanzil
 
ans!!