Monday 28 September 2009

Little Woman

Judul : Little Woman
Penulis : Louisa May Alcott
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Juli 2009
Tebal : 489

Little Woman adalah novel klasik karya Lousia May Alcott (1832-1888) yang pertama kalinya diterbitkan pada tahun 1868. Dalam novel ini Alcott menciptakan empat sosok perempuan yang paling populer dalam sastra Amerika hingga kini. Mereka adalah Meg, yang tertua diantara keempat anak perempuan keluarga March, berusia enam belas tahun, sangat cantik dan lembut. Jo, 15 tahun, pribadi yang penuh semangat, temperamental, suka bereksperimen dan senang menulis. Beth, 13 tahun gadis yang lembut, pendiam dan baik hati, serta si bungsu Amy, 12 yang memiliki jiwa seni, egois, manja serta kekanak-kanakan.

Keempat anak ini tinggal bersama ibu mereka, sementara sang ayah pergi bertempur dalam perang saudara. Keluarga ini hidup dalam kesederhanaan, sementara ayahnya pergi ibu serta keempat anak gadis March bahu membahu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sementara utuk melakukan pekerjaan rumah tangga, mereka dibantu oleh Hanah yang setia mengabdi pada keluarga March.

Keseharian yang dialami oleh keempat wanita keluarga March inilah yang dieksplorasi dengan baik oleh Alcott dalam novelnya ini. Walau mereka memiliki ibu yang bijak dan saling mengasihi satu dengan yang lainnya namun keempat gadis dengan karakter yang berlainan ini membuat mereka tak luput dari berbagai pertengkaran, kadang mereka saling memuji namun ada juga ejek mengejek, perkelahian, cemburu, dll seperti yang dialami oleh sebuah keluarga pada umumnya. Selain itu persahabatan mereka dengan Laurie, pemuda kaya tetangga mereka yang tinggal bersama kakeknya ikut mewarnai kehidupan keluarga sederhana ini. Bersama Laurie, mereka menikmati masa remaja dan persahabatan yang indah

Pada intinya dalam novelnya ini Alcott menuturkan keseharian keempat gadis March dengan begitu hidup dan menarik, seperti bermain teater dalam rumah, berpikinik, membuat koran sendiri, dan kejadian-kejadian lainnya yang ikut membentuk mereka menjadi perempuan dewasa. Eksplorasi karakter dan berbagai peristiwa yang dialami oleh keempat gadis March ini dideskripsikan dengan porsi yang hampir sama, tiap babnya secara bergantian menceritakan salah satu dari mereka sebagai pusat cerita. Walau demikian karakter Jo yang merupakan cermin dari kepirbadian Alcott sendiri tampak selalu muncul dan mengambil peran dibanding yang lainnya.

Apa yang dikisahkan oleh Alcott sangat manusiawi dan wajar, tidak berlebihan, seperti halnya keluarga kita pada umumnya sehingga membaca novel ini seperti membaca kehidupan kita sendiri. Ada berbagai peristiwa keseharian yang menarik yang dikisahkan Alcott misalnya bagaimana pertengkaran antara Jo dan Amy karena hal yang sepele malah membuat Jo begitu membenci Amy yang telah memusnahkan buku karangannya yang telah lama ia tulis untuk ia persembahkan pada ayahnya kelak.

Novel ini juga memuat kisah yang mengandung nilai-nilai pengorbanan dan kemanusiaan baik antara keluarga March atau dengan orang lain. Misalnya ketika Jo rela mengorbankan rambutnya untuk dijual ke sebuah salon demi menambah ongkos perjalanan ibunya ke Washington untuk menjenguk ayah mereka yang sakit keras.

Lalu ada pula kisah Beth yang tetap menolong bayi tetangganya yang menderita penyakit menular hingga akhirnya bayi tersebut meninggal di pangkuannya. Karenanya tak lama kemudian Beth pun tertular penyakit yang mematikan ini. Saat inilah saat yang paling berat yang dialami keempat gadis keluarga March. Mereka harus merawat Beth ketika kedua orang tua mereka tak ada di rumah. Saat-saat mereka menolong Beth yang sedang berjuang melawan maut inilah yang membuat mereka menyadari bahwa kehadiran keluarga mereka jauh lebih berharga dibanding apapun

Ada banyak hal tema menarik yang diangkat oleh Alcott dalam novelnya ini, selain masalah kehangatan keluarga, pengorbanan, cinta kasih antar saudara dan cinta romantis Meg, novel ini juga mengangkat isu feminisme melalui sosok Jo yang mandiri dan selalu menentang aturan yang membatasi kebebasannya. Menarik karena ketika novel ini dibuat, isu feminisme belum sepopuler saat ini sehingga bisa dikatakan bahwa Alcott adalah penulis yang memiliki wawasan berpikir melebihi zamannya.

Selain itu novel ini juga memberikan contoh bahwa dalam kehidupan perempuan yang sederhana, kehidupan yang berhasaja dan berkualitas masih mungkin diperoleh. Tak ada yang lebih berharga ketimbang memiliki keluarga yang saling mencintai. Hal ini seolah mendobrak pandangan umum bahwa kebahagiaan hanya dapat diperoleh melalui oleh kelimpahan materi semata.

Dengan segala kelebihan yang ada dalam novel ini maka tak heran jika novel yang ditulis Alcott hanya dalam tempo dua setengah bulan (antara 1867 dan awal 1868) ini langsung menuai sukses ketika pertama kami diterbitkan pada 30 September 1868. Lebih dari 2000 ekslempar terjual seketika. Novel ini juga direspon secara positif oleh para kritikus sastra dan langsung menyebut novel baru itu sebagai sastra klasik. Hal ini kelak terbukti karena novel ini menjadi novel yang laris selama puluhan tahun dan dibaca hingga kini dari generasi ke generasi.

Sesaat setelah novel ini terbit dan banyak dibaca orang, Alcott kebanjiran surat dari pembacanya yang menuntut sekuel dari novelnya tersebut. Memenuhi keinginan pembacanya untuk menulis kelanjutan dari kisah keempat gadis keluarga March ini, Alcott pun akhirnya menulis sekuel Little Woman yang diberinya judul Good Wives pada tahun 1869. Kedua bagian ini sering disebut dengan Little Women or Meg, Jo, Beth and Amy. Tak hanya berhenti sampai di situ, kisah keluarga March terus berlanjut Alcott terus menulis dan menerbitkan Little Men (1871) dan Jo’s Boys (1886), yang menceritakan kehidupan anak-anak dari perempuan-perempuan keluarga March. Pada 1880 kedua bagian digabung ke dalam satu volume di Amerika dengan judul Little Women or, Meg, Jo, Beth and Amy.

Hingga kini kisah keempat perempuan keluarga March terus dibaca orang . Sejumlah karya merujuknya. Geraldine Brooks, misalnya, menerbitkan novel March pada 2005, novel ini bercerita tentang Tuan March, ayah keempat perempuan March, selama Perang Saudara. Novel ini kemudian dianugerahi Pulitzer Prize for Fiction 2006. Tak hanya dalam ranah buku, kisah keluarga March juga telah menggelitik para sineas untuk melayar lebarkan karya Alcott ini, hingga kini Little Woman sudah 14 kali diadaptasi ke layar lebar . Selain film, Little Woman juga dibuatkan versi serial TVnya, anime-nya, panggung opera, drama musical, dll

Selain itu menurut buku “ 1001 Books You Must Read Before You Die karya Peter Boxall. Novel Little women ini menginspirasi banyak penulis perempuan antara lain Simone Beauvoir, Joyce Carol Oates, dan Cynthia Ozick (salah satu penulis amerika paling top saat ini). Karenanya hadirnya terjemahan novel ini patut dipresiasi dengan baik karena jika sebelumnya novel klasik ini hanya dibaca dan dibicarakan di lingkungan terbatas yang melek sastra, kini novel ini menjadi lebih terbaca oleh kalangan yang lebih luas lagi.

@h_tanzil

Wednesday 9 September 2009

Braga - Jantung Parijs van Java

No. 223
Judul : Braga - Jantung Parijs van Java
Penulis : Ridwan Hutagalung & Taufani Nugraha
Penerbit : Ka Bandung
Cetakan : Oktober 2008
Tebal : 168 hlm

Di paruh pertama abad ke 20 Bragaweg (Jalan Braga) adalah jalan paling mashyur dan telah menjadi landmark kota Bandung. Jika Bandung pernah dikenal dengan sebutan “Parijs van Java”, tampaknya hanya jalan Braga yang paling mewakili sebutan itu karena Braga merupakan jalan pertokoan yang paling bernuansa Eropa di seluruh Hindia yang memiliki keunikan dan daya tarik yang khas.

Istilah Parijs van Java sendiri hingga saat ini belum diketahui secara pasti kapan tepatnya mulai digunakan. Namun demikian, setidaknya sebuah buku berjudul Boekoe Penoenjoek Djalan Boeat Plesiran di Kota Bandoeng dan Daerahnja yang kemungkinan diterbitkan tahun 1906 telah menyebutkan Bandung sebagai “Parisnya tanah Jawa”. Kenyataannya memang pada masa itu sudah tampak upaya-upaya yang mewujudkan Bandung seperti kota Paris seperti mulai dibangunnya societiet, bioskop, cafĂ© dan restoran, gedung kesenian, serta taman hiburan rakyat yang mampu menghidupkan suasana malam Bandung seperti suasana Paris di malam hari.

Upaya-upaya mewujudkan Bandung yang bernuansa Paris mencapai puncaknya pada masa 1920-1930 terlebih ketika Pasar malam tahunan Jaarbeurs pada tahun 1920 (sekarang lokasi Gedung Kodiklat TNI AD Jl. Aceh) dipromosikan hingga ke luar negeri. Slogan Parijs van Java juga makin populer setelah Boscha sering mengutipnya di berbagai pidatonya. Selain itu di pada masa 1920-1940 Bandung juga dikenal sebagai pusat mode seperti halnya Paris. Saat itu di Braga berdiri berbagai toko mode diantaranya toko mode Au Bon Marche milik orang Perancis yang spesialis menjual pakaian-pakaian mode terbaru dari Perancis.

Di masa kini Braga tak ubahnya seperti jalan-jalan umum lainnya yang padat dan berdebu. Namun di tengah kemacetan Braga pada jam-jam sibuk kita atau suramnya Braga di waktu malam kita masih bisa menikmati sedikit sisa-sisa kejayaan Bandung tempo dulu. Bagaimana caranya? Bacalah buku kecil berjudul Braga – Jantung Parijs van Java, dan kita akan diajak menyusuri sepanjang Braga sambil mengoreh-ngoreh apa saja yang tersisa dari masa keemasan Braga.

Buku setebal 167 halaman ini memang disusun laiknya panduan wisata jalan kaki sehingga pembaca dapat menyusuri sepanjang Braga mulai dari sisi paling selatan di pertigaan jalan Asia Afrika dan Jalan Braga hingga ke berakhir di ujung utaranya di persimpangan Jalan Braga, Jalan Wastukencana, dan Jalan Perintis Kemerdekaan sekarang . Mulai dari gedung bekas toko Van de Vries hingga berakhir di gedung Javasche Bank (kini Bank Indonesia). Ada lebih dari 30 bangunan yang dibahas dalam buku ini, ada yang masih ada hingga kini, namun ada juga yang sudah hilang tak berbekas dan digantikan dengan bangunan yang lebih modern.

Masing-masing bangunan penting sepanjang Braga itu dikisahkan dengan menarik dan cukup detail lengkap dengan kondisinya di masa kini. Dari kisah puluhan bangunan yang terdapat dalam buku ini yang mendapat porsi bahasan yang banyak dibahas adalah Gedung Societeit Concordia (Gedung Merdeka) yang menjadi pusat hiburan masyarakat Belanda di Bandung

Societeit Concordia awalnya adalah nama perkumpulan yang terdiri dari para Preangerlpanter (pengusaha perkebunan di Priangan) dan para elite kota Bandung. Pada 1895 perkumpulan tersebut menempati gedung yang diberi nama Gedung Societeit Concordia. Pada tahun 1940 gedung Societeit Concordia mengalami renovasi yang mengubah penampilannya hingga berbentuk seperti sekarang. Di sinilah Societeit Concordia sebagai perkumpulan kaum elite mencapai puncak popularitasnya

Gedung yang dapat menampung 1.200 orang ini dilengkapi dengan ruang makan, ruang dansa yang luas, ruang bowling serta perpustakaan yang cukup lengkap dengan ruang bacanya . Setiap akhir pekan gedung ini diadakan berbagai pertunjukan seni seperti konser musik (Ismail Marzuki & WR Supratman pernah berkonser di tempat ini) , tonil, dan dansa. Sedangkan di hari minggu pagi gedung ini juga dipakai oleh anak muda Belanda untuk bermain sepatu roda.

Maraknya kegiatan yang dilakukan di dalam gedung ini membuat seorang pelancong Belanda, L.H.C. Horsting menyimpulkan bahwa tidak ada Societeit di seluruh Hindia Belanda yang dapat mengalahkan Societeit Concordia Bandung. Setelah melewati segala kemeriahan dan masa keemasan sebagai pusat hiburan bergengsi pada zaman Hindia Belanda, gedung ini kemudian menjadi terkenal ke seluruh dunia karena menjadi tempat Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955.

Tentunya kita bisa membayangkan bagaimana semaraknya suasana gedung ini di masa lampau, jauh berbeda dengan kondisinya kini yang hanya menjadi sebuah museum bisu yang jarang sekali dipakai untuk aktivitas seni seperti di masa lampau.

Setelah gedung Soceiteit Concordia, gedung legendaris yang mendapat porsi bahasan agak panjang dalam buku ini adalah Maison Bogerijen (Braga Permai) dimana ada lambang kerajaan Belanda yang terpampang di muka restoran ini. Restoran ini dikenal sebagai restoran paling elite di seantero kota yang mendapat piagam restu langsung dari ratu Belanda. Maka dari itu tidak heran jika Maison Bogerijen adalah satu-satunya restoran yang diizinkan menyajikan berbagai hidangan istimewa khas kerajaan Belanda yang tidak bisa ditemukan di sembarang tempat.

Selain kedua gedung diatas, masih banyak gedung-gedung lain yang tak kalah menariknya yang dibahas dalam buku ini seperti gedung DENIS Bank dengan gaya bangunan unik yang merupakan bank pertama kali menggunakan system hipotek di Bandung, Het Snopheus (Sumber Hidangan) , toko mobil Fuchs en Rens yang menjual mobil-mobil terkenal (Peugeot, Renault, Chlyser, Plymouth,dll). Lalu ada pula toko buku van Dorp (sekarang gedung Landmark) yang memiliki cara pemasaran unik yang secara tidak langsung menggiring warga Bandung untuk kerajingan menanam bunga.

Menarik memang menyusuri spanjang Braga bersama buku ini. Hanya saja satu hal yang disayangkan adalah tak adanya kisah-kisah humanis dibalik keberadaan gedung-gedung yang dibahas dalam buku ini karena buku ini hanya mendeskrpisikan sejarah gedung, fungsi bangunan di masa lampau, arsitek pembuatannya,dll. Jika saja penulis memasukkan sedikit kisah-kisah remeh temeh yang merupakan bagian dari orang-orang yang tingal di gedung-gedung ini tentunya buku ini akan lebih menarik lagi dan gedung-gedung yang dibahas dalam buku ini akan terasa lebih bernyawa jika kita mengunjunginya saat ini.

Karena format buku yang kecil, tidak terlalu tebal, bahasan yang runut, mudah dicerna dan informatif karena dilengkapi dengan daftar istilah, indeks, peta, dan tampilan foto-foto yang tajam membuat buku ini sangat nyaman dibawa sebagai pedoman dalam menyusuri sepanjang Braga untuk menemukan serpihan-serpihan kejayaan Braga di masa lampau.

Selain itu kehadiran buku ini juga ikut melengkapi sejumlah buku tentang Bandung yang telah ditulis selama ini. Satu hal yang menarik, walau dikemas dalam gaya popular, namun salah satu penulis dari buku ini adalah lulusan dari jurusan sejarah. Selama ini buku-buku tentang Bandung ditulis oleh budayawan, wartawan, dan ahli planologi.

Namun siapapun yang menulisnya dan apapun yang dibahas mengenai Bandung di masa lampau, buku-buku tersebut, termasuk buku ini bukanlah sekedar hanya menigsahkan kembali sejarah panjang sebuah kota. Ada banyak hal yang positif yang bisa dipelajari, ditimbang, dan mungkin dijadikan teladan khususnya bagaimana mengelola sebuah kota baik untuk masa kini maupun di masa yang akan datang.

@h_tanzil

 
ans!!