Saturday 23 May 2009

Metropolis

Judul : Metropolis
Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : Grasindo
Cetakan : 2009
Tebal : 330 hlm

Narkotika, mafia, konspirasi, dan dendam, itulah tema sentral dalam novel Metropolis karya Windry Ramadhina, penulis muda yang novel perdananya “Orange” masuk dalam longlist Khatulistiwa Literray Award 2008 untuk kategori Penulis Muda Berbakat. Berbeda dengan novel Orange yang bergenre metropop, Metropolis merupakan novel thriller detektif yang menarik untuk disimak karena genre ini masih termasuk jarang digarap oleh penulis-penulis kita.

Dalam Metropolis dikisahkan bagaimana Augusta Bram, salah seorang anggota Satuan Reserse Narkotika Polda Metro Jaya mengungkap sebuah pembunuhan berantai yang menimpa para pemimpin sindikat mafia narkotika Indonesia. Selain karena tugas, Bram juga terobsesi untuk mengangai kasus ini karena ia menyimpan dendam pribadi karena keluarganya pernah berusan dengan masalah ini. Ayahnya yang pecandu narkoba tewas dibunuh oleh para pengedar narkoba karena tak sanggup membayar hutang-hutangnya.

Kisah dalam novel ini diawali dengan adegan pemakaman Leo Saada, salah seorang pemimpin mafia dari sindikat 12 yang menguasai bisnis narkotika terbesar dan merupakan momok bagi polisi-polisi Sat Reserese Narkotika karena selama lima tahun ini polisi tak memiliki cukup bukti untuk menyeret seluruh anggota sindikat 12 ke terali besi. Polisi berasumsi bahwa kematian Leo Saada karena kecelakaan mobil, bukanlah murni kecelakaan karena tim forensik berhasil menemukan beberapa peluru di lokasi kejadian.

Polisi juga menduga ada motif persaingan antar geng dalam kematian Leo Saada karena dalam satu tahun kebelakang sebelum peristiwa ini ada 6 orang pemimpin geng yang tergabung dalam sindikat 12 tewas dalam berbagai cara. Untuk itu Bram dan asistennya Eric, berusaha untuk membongkar dan menangkap siapa pelaku pembunuhan berantai itu.

Ternyata tak hanya Bram yang tertarik dalam kasus ini, Miaa, seorang wanita mantan polisi secara diam-diam mengamati kasus ini. Berkat kejelian Bram, keberadaan Miaa disetiap lokasi peristiwa pembunuhan pimpin sindikat 12 diketahui. Awalnya Bram menaruh curiga kalau Miia terlibat dalam kasus ini, namun akhirnya terkuak apa motifasi Miaa yang sesungguhnya.

Tak mudah mengungkap siapa pelaku dan apa motif dibalik peristiwa pembunuhan berantai ini. Ketika Bram harus memutar otak untuk memecahkan teka-teki kasus ini dengan sedikit bukti yang dia miliki, pembunuhan demi pembunuhan itu terus terjadi. Walau semua pemimpin geng telah meningkatkan kewaspadaannya dan Bram telah memperingatkan mereka, namun pembunuhan terus terjadi. Bram harus bergerak cepat menangkap pelakunya sebelum semua pemimpin sindikat 12 tewas.

Walau novel ini merupakan novel thriller detektif, namun pada pertengahan paruh pertama novel ini siapa pelaku dan apa motif pembunuhan berantai terhadap pemimpin sindikat 12 telah terang benderang diungkapkan oleh penulisnya. Tampaknya penulis sengaja membeberkan motif dan jati diri si pelaku, alih-alih menyimpan rapat siapa pelaku dan motif pembunuhan berantai dengan sasaran para pemimpin sindikat, penulis tampaknya lebih memilih menyajikan teka-teki dan berbagai kejutan dengan munculnya tokoh –tokoh yang memiliki keterkaitan dengan kasus ini. Dengan demikian walau pembaca sudah mengetahui apa motif dan siapa pelakunya, keasyikan pembaca untuk menuntaskan novel ini tak akan terganggu karena meraka tak akan bisa menduga akan kejutan-kejutan yang diberikan penulis hingga lembar-lembar terakhir novel ini.

Walau secara umum novel ini menarik untuk dibaca, namun ada beberapa hal yang tampaknya perlu diekplorasi lagi agar semakin menarik, antara lain kurangnya pendalaman karakter tokoh-tokohnya. Contohnya untuk tokoh utamanya Bram. Masa lalu Bram yang kelam bersama ayahnya hanya dibahas secara singkat saja sehingga tak tereksplorasi dengan baik, padahal jika digali lebih dalam lagi maka novel ini akan semakin menarik. Bukankah di bawah judul novel ini tercantum kalimat “ Demi ayahku yang sudah mati…”. Namun mungkin soal kedalaman karakter dalam novel ini adalah pilihan penulis yang lebih mengutamakan plot cerita dan unsur teka-teki dibanding mengupas habis karakter2-karakter tokoh-tokohnya secara lebih mendalam, dan hal ini sah-sah saja.

Dalam hal mengungkap hubungan antara atasan dan bawahan dalam struktur kepolisian saya rasa, penulis telah terjebak dalam pandangan umum yang diciptakan oleh film-film detektif dimana atasan tak mendukung bawahannya sehingga terjadi clash dan diminta mundur dari kasus yang ditanganinya, dll. Tentunya tak harus seperti itu, ada banyak hal yang mungkin bisa digali untuk soal hubungan antara atasan dan bawahan, jadi untuk membuat sebuah kisah lebih tentu tak selalu harus mengikuti ‘pakem’ film-film detektif pada umumnya.

Kemudian dalam hal seluk beluk dunia mafia narkotika Indonesia, saya rasa kalau saja penulis lebih berani mengupasnya tentu akan lebih menarik. Dalam novel ini intrik-intrik dan cara kerja sindikat 12 hanya terungkap secara garis besar dan apa yang diungkap oleh penulisnya tampak sudah menjadi rahasia umum yang diketahui oleh banyak orang . Selain itu dampak sosial terhadap perilaku para mafia narkotika dalam novel ini juga tak terungkap dengan jelas. Andai saja penulis lebih berani mengungkap sisi-sisi gelap dunia mafia tanah air yang belum banyak diketahui orang dan menyertakan dampak-dampak sosial yang mungkin dirasakan akibat perilaku mereka tentunya novel ini akan jadi novel yang menggegerkan, monumental. Tentunya untuk mengungkap itu semua perlu riset yang lebih dalam lagi dan keberanian untuk mempublikasikannya.

Namun terlepas dari semua hal di atas, apa yang disajikan oleh penulis dalam Metropolis tetaplah menarik dan menghibur. Walau karakter-karakter tokohnya tak diulas secara mendalam namun tetaplah menarik karena penulis tak menghadirkan tokoh-tokoh yang sempurna termasuk tokoh protagonis dalam novel ini. Semua serba abu-abu, ada unsur baik ada pula unsur jahatnya, demikian pula untuk tokoh-tokoh jahat dalam novel ini sehingga semua tokoh terlihat sangat manusiawi.

Selain itu novel ini juga menghadirkan narasinya yang enak dibaca, plot yang cepat, deskripsi yang filmis, dan kejutan-kejutan di sepanjang novel yang akan memacu rasa kepenasaran pembacanya untuk terus membaca novel ini hingga tuntas. Tema persaingan bisnis ilegal narkotika, konspirasi, kisah cinta, dan balas dendam antar geng tentu akan mengingatkan kita pada novel Godfather – Mario Puzo. Jadi mungkin bisa dikatakan inilah Godfather rasa lokal walau rasanya tak pada tempatnya membandingkan Metropolis dengan Godfather.

Walau ending novel ini bisa dikatakan tuntas dan tak menggantung, namun masih ada celah yang bisa dijadikan bahan untuk membuat sekuel dari novel ini. Jika memang itu pilihan penulisnya untuk melanjutkan cerita ini, dan Windry terus konsisten untuk menulis dalam genre ini, bukan tak mungkin ia akan jadi penulis handal dalam genre thriller detektif yang hingga kini masih sedikit digarap oleh penulis-penulis kita.


@h_tanzil

Monday 18 May 2009

Sastra Sepeda di Boja

Judul : Sastra Sepeda di Boja - Kumpulan Catatan Perjalanan
Penulis : Arif Khusnudhon, dkk
Kata Pengantar Sigit Susanto
Penerbit : lerengmedini press
Cetakan : I, April 2008
Tebal : 112 halaman

Membaca judul buku ini “Sastra Sepeda di Boja” tentu menimbulkan pertanyaan apa itu “Sastra Sepeda?” , lalu di mana pula kota Boja berada ? Sastra Sepeda adalah nama sebuah kegiatan dimana para pesertanya diajak bersepeda ke beberapa tempat dan menuliskan pengalaman mereka dalam sebuah catatan perjalanan. Seperti yang kita ketahui ‘Catatan Perjalanan/Travel Writing’, atau Sastra Pelancongan adalah salah satu genre dalam dunia sastra. Beberapa sastrawan dunia seperti VS. Naipul, DH. Lawrence, Charles Dickens, Ernest Hemingway, dll pernah menulis catatan perjalanan, karenanya tak berlebihan jika kegiatan bersepeda yang salah satu tujuannya untuk menuliskan pengalaman bersepeda dari tiap pesertanya ini diberi nama “Sastra Sepeda”.

Lalu dimana Boja?. Boja adalah nama desa di Kecamatan Boja, Kendal, Jawa Tengah. Desa seluas 1.024 ha yang berpenduduk sekitar 6000 jiwa ini berjarak sekitar 27 km dari Kota Semarang. Di perpustakaan desa yang bernama Pondok Maos Guyub yang berdiri sejak 2007 dan telah memiliki koleksi sekitar 1550 buku (700 komik, 350 novel berbahasa asing, 500 buku berbahasa Indonesia, terutama buku sastra dan kebudayaan) inilah kegiatan Sastra Sepeda dilaksanakan.

Pengagas Sastra Sepeda adalah Sigit Susanto, putra daerah asli Boja, pendiri Perpustakaan Pondok Maos Guyub dan penulis buku “Menyusuri Lorong-lorong Dunia jilid 1-2 yang kini bermukim bersama istrinya di Swiss. Sigit bersama pengelola perpustakaan dan milis Apresiasi Sastra bekerja sama untuk mewujudkan kegiatan Sastra Sepeda ini yang dilaksanakan pada tanggal 3- 10 Mei 2008 yang lalu. Pesertanya sebagian besar terdiri dari anak-anak / remaja Boja dan diikuti beberapa peserta tamu yang berasal dari Jakarta, Bandung, Semarang, Bali, Kalimantan, bahkan diikuti pula oleh Shiho Sawae, mahasiswi S3 Tokyo University of Foreign Studies Jepang yang tengah melakukan riset untuk disertasinya mengenai gaya kegiatan sastra di Indonesia terkini.

Sesuai dengan salah satu tujuan Sastra Sepeda dimana peserta didorong mengenal lingkungannya dan menuliskan pengalamannya masing-masing untuk mendorong kemajuan dunia baca-tulis di Boja dan sekitarnya, maka semua obyek-obyek yang dikunjungi adalah tempat yang berorientasi sosial seperti pabrik tempe, pabrik genting, puskesmas, rumah sakit jiwa, gereja, pesantren, makam Sunan Bromo, makam pahlawan, pasar hewan, dll, yang jika dijumlah ada 20 obyek yang dikunjungi oleh para peserta selama tujuh hari berturut-turut. Dari kegiatan inilah akhirnya terhimpunlah 15 tulisan dan dibukukan dalam sebuah buku sederhana dengan judul ‘Kumpulan Catatan Perjalanan Sastra Sepeda di Boja’ yang diterbitkan oleh penerbit lokal asal Boja, lerengmedini press.

Kelima belas cataran perjalanan pada buku ini dibagi menjadi dua bagian, bagian pertama berisi 4 tulisan peserta lokal yang masih duduk di bangku SMP, sedangkan bagian kedua berisi 10 catatan penulis tamu dengan aneka profesi seperti penyair, mahasiswa, cerpenis, mantan TKW, pensiunan guru, dll. Semuanya menulis catatan perjalanan mereka dengan gaya dan sudut pandangnya masing-masing.

Yang menarik tentu saja tulisan anak-anak SMP, mereka mencatat hasil pengamatan obyek-obyek yang dikunjunginya dengan tulisan tangan. Bahkan untuk melengkapi catatan mereka, tak jarang tulisan-tulisan itu diberi gambar-gambar berupa sketsa dari apa yang mereka lihat. Semua tulisan tangan dan gambar tersebut terekam secara apa adanya dalam buku ini karena dengan cerdas penerbit menampilkan tulisan mereka dengan cara men-scan langsung dari apa yang mereka tulis. Jadi jika tulisannya agak sukar dibaca ya itu karena tulisan aslinya yang memang agak sukar dibaca. Tapi disinilah letak keasyikan membaca bagian ini karena pembaca akan dibawa memasuki nuansa anak SMP asal Boja dari apa yang mereka tulis dan gambar sesuai dengan aslinya.

Dibagian kedua, yang merupakan catatan perjalanan para peserta tamu , barulah tersaji seperti naskah-naskah buku pada umumnya. Dari ke sepuluh catatan ini kita akan melihat bagaimana para peserta tamu dari berbagai profesi menulis catatan perjalanan mereka dengan sudut pandang dan gayanya masing-masing.

Semua menulis pengalamannya bersepedanya dengan menarik, termasuk penak-pernik perjalanan seperti bangun kesiangan sehingga harus berangkat sendiri menuju Boja, ada yang terjatuh dari sepeda, anak kecil yang merengek ingin menonton pementasan kuda lumping hingga usai, suasana dalam rumah sakit jiwa, dan pernak-pernik lain yang mereka temui dalam kegiatan ini. Yang pasti munculnya tulisan para peserta tamu dari berbagai daerah juga menambah ragamnya sudut pandang akan Boja dan sekitarnya, sehingga Boja tidak hanya dipotret oleh orang setempat, tapi juga oleh orang luar yang biasanya akan lebih obyektif dalam menggambarkan keberadaan suatu tempat.

Tampaknya tak ada batasan harus seperti apa dan apa saja yang perlu dituliskan. Semua peserta hanya diminta untuk menulis apa yang mereka lihat dan amati, karenanya tulisan-tulisan dalam buku ini sangat beraham. Ada yang panjang dan mendetail, ada pula yang singkat. Jika ingin mengetahui kegiatan ini secara rinci mungkin bisa membaca tulisan Sigit Susanto dan Adi Toha yang merekam kegiatan ini dari obyek ke obyek dari hari pertama hingga ke enam lengkap dengan deskripsi yang mengajak pembacanya ikut merasakan apa yang dialami oleh peserta Sastra Sepeda ini.

Selain itu ada pula yang tulisannya lebih menekankan pada munculnya kenangan masa kecil, alih-alih merinci pengalaman bersepeda, Maria Bo Niok, pengelola rumah baca “Istana Rumbia” di Wonosobo malah menulis bagaimana girangnya ketika ia menemukan buku Ko Ping ho di perpustakaan Pondok Maos Guyub. Atau bagaimana Stevi Sundah menuliskan pengalamanannya dengan kalimat-kalimat puitis plus dengan beberapa puisi yang ia goreskan untuk melengkapi tulisannya.

Sebagai pelangkap, buku ini menyajikan pula beberapa foto kegiatan ‘Sastra Sepeda’ , semua fotonya tersaji dengan tajam di bagian akhir buku ini sehingga membuat pembacanya dapat lebih merasakan bagaimana seru dan menariknya kegiatan Sastra Sepeda di Boja.

Ide untuk membukukan kegiatan Sastra Sepeda ini sangatlah mulia. Mungkin awalnya para peserta sastra sepeda tak mengira jika tulisan-tulisan mereka akan terkumpul dalam sebuah buku yang dan diterbitkan oleh penerbit lokal. Dengan demikian apa yang telah mereka tulis menjadi abadi, dan bisa dibaca dan menjadi inspirasi bagi pembaca buku ini. Tentunya kita bisa membayangkan bagaimana senangnya anak-anak SMP yang tulisan tangannya dimuat di buku ini, yang pasti mereka akan terharu dan merasa bangga membaca tulisannya sampai dibukukan. Semoga kebanggaan ini kelak akan berbuahkan semangat bagi mereka untuk terus menulis dan berkarya. Dan seperti yang menjadi harapan M. Ali Muakhor, seorang peserta tamu Sastra Sepeda, “Semoga dalam 5 atau 10 tahun kedepan akan lahir penulis-penulis baru yang berasal dari Boja” (hal 78)

Buku ini selain dapat mendokumentasikan kegiatan Sastra Sepeda dan menyulut semangat literasi di Boja, tentunya buku ini juga akan mengispirasi pembacanya bahwa sebuah catatan perjalanan tidak harus ditulis dari pengalaman mengunjungi tempat-tempat yang jauh, obyek-obyek wisata terkenal di dalam dan luar negeri. Jika kita membuka mata kita, maka ada tempat-tempat di sekitar kita yang sering kita lewati dan tampaknya biasa-biasa saja namun memiliki muatan sosial dan budaya yang unik yang ternyata bisa ditulis untuk menjadi sebuah catatan perjalanan yang menarik untuk diketahui oleh semua orang.

@h_tanzil

Thursday 7 May 2009

The Dragon Scroll

Judul : The Dragon Scroll

Penulis : I. J. Parker

Penerjemah : Meithya Rose Prasetya

Penerbit : Penerbit Kantera

Cetakan : Februari 2009

Tebal : 484 hlm



The Dragon Scroll adalah sebuah kisah detektif dengan setting Jepang di abad ke 11 ketika pemerintahan Jepang berada dalam periode Heian (794-1185). Mirip dengan kekaisaran Teng di China yang pemerintahannya terpusat, Jepang dikendalikan langsung dari ibukota Heian Kyo (Kyoto) oleh seorang kaisar dengan birokrasi yang rumit. Saat itu Jepang dibagi ke dalam beberapa propinsi yang diperintah oleh seorang gubernur yang bertugas mengawasi hukum dan tata tertib di daerahnya, termasuk penarikan pajak propinsi.



Sugawara Akitada, seorang bangsawan muda yang cerdas dan idealis yang sedang menata kariernya, baru saja dilantik menjadi panitera muda dalam Kementrian Kehakiman. Ia diberi tugas pertama oleh pemerintah untuk menyelidiki hilangnya iring-iringan pajak yang dikirim dari propinsi Kazusa. Ini adalah perjalanan pertamanya ke luar ibukota, untuk itu ia dibantu oleh Seimei, pelayan keluarga Akitada yang setia, mahir dalam pembukuan, dan memiliki pengetahuan yang sangat luas soal ramuan herbal. Selain itu dalam perjalanannya ia juga bertemu dengan Tora, seorang pengelana urakan yang turut menyertai Atikada dan Seimei dalam menjalankan tugas mereka.



Tugas yang diemban Atikada bukanlah hal yang mudah, karena ia harus berhadapan dengan pejabat-pejabat setempat seperti Motosuke, gubernur Kazusa, Residen Ikeda, mantan gubernur Lord Tachibana, yang merupakan tokoh-tokoh senior dan terpandang. Hal pertama yang dilakukannya adalah memeriksa arsip-arsip dan pembukuan gubernur Motosuke. Walau ia disambut dengan hangat namun Atikada tetap menjaga jarak dengan Motosuke, apalagi ketika diketahui Motosuke memberikan batangan emas di mangkuk makanannya. Apakah sang gubernur hendak menyogoknya?



Temuan sementara ternyata arsip dan laporan pembukuan sang gubernur rapih dan bersih dari unsur-unusur penggelapan keuangan negara, namun pemberian sang gubernur membuat Akitada mencurigainya. Belum lagi ia menyelidiki lebih lanjut, sebuah peristiwa berdarah terjadi. Lord Tachibana, mantan gubernur Kazusa terbunuh dalam ruang kerjanya. Padahal sehari sebelumnya Lord Tachibana mengundang Akitada untuk berkunjung ke rumahnya karena ada hal penting yang ingin disampaikannya secara rahasia. Pembunuhan ini tentu saja membuat Akitada curiga bahwa Lord Tachibana memiliki informasi mengenai hilangnya iring-iringan pajak dan ia sengaja dibunuh agar tak membuka mulut pada Akitada.



Benarkah Lord Tachibana dibunuh agar pelaku penggelapan pajak tak terungkap?. Akitada harus memutar akal agar dapat mengungkap semua itu. Bukannya semakin mudah karena berbagai persoalan rumit mulai menghadangnya, mulai dari persoalan perselingkuhan istri muda Lord Tachibana dengan seorang pejabat negara, terbunuhnya seorang mucikari, hingga keberadaan biara Empat Wajah Kebijaksanaan yang semakin kaya serta rahib-rahibnya yang sering membuat onar penduduk kota. Adakah keterkaitan semua itu dengan hilangnya iring-iringan pajak yang tak pernah sampai ke ibukota?



Akitada tak menyerah pada tantangan yang dihadapinya, bersama Seimei dan Tora, mereka berbagi tugas dalam melaksanakan tugas mereka, berhadapan dengan dunia politik yang kelam dan birokrasi yang rumit, mencoba menguak apa yang sesungguhnya terjadi di Kazuza yang penuh dengan intrik politik dan beberapa kasus pembunuhan yang terjadi selama Akitada berada di Kazusa.



Selain itu konsentrasi Akitada juga terpecah karena hatinya tertaut pada seorang gadis lokal yang memiliki seorang adik yang bisu yang ternyata merupakan salah satu saksi kunci dalam mengungkap kasus yang dihadapinya.



Bagi yang menyenangi kisah-kisah misteri detektif atau penggemar kisah-kisah samurai atau Jepang kuno tentunya kisah Akitada dalam The Dragon Scroll ini layak dicoba karena memadukan kisah detektif ala Alfred Hitcock dengan petualangan samurai Jepang. Pertarungan ala Samurai dan penyelidikan ala Alfred Hitchcock kental mewarnai novel ini. Selain itu yang membuat menarik dalam novel ini adalah settingnya yang eksotis yaitu Jepang di abad ke 11.



Melalui novel kita bisa mengetahui bagaimana kondisi sosial dan budaya Jepang di masa tersebut, misalnya budaya korupsi, birokrasi yang rumit, nuansa politik kotor dan bagaimana hilangnya kepercayaan masyarakat pada petugas negara mewarnai novel ini, selain itu kisah percintaan juga menjadi menu tambahan didalamnya.



Apa yang dicoba dideskripsikan oleh IJ Parker dalam novel ini bukanlah khayalan semata karena penulisnya telah melakukan riset yang mendalam mengenai suasana Jepang abad ke 11. Beberapa tempat, kejadian-kejadian, dan beberapa tokoh dalam novel ini didasarkan pada apa yang tercatat dalam sejarah. Karenanya dalam kadar tertentu, melalui novel ini kita memperoleh beberapa informasi mengenai sejarah kuno Jepang.



Sayang plotnya yang tak terlalu cepat dan halamannya yang tebal kadang membuat saya agak bosan membacanya. Untungnya jalinan peristiwa misteri yang saling kait mengkait yang ditulis dengan kalimat-kalimat yang mudah dicerna dan enak dibaca membuat saya bertahan untuk menamatkan novel ini hingga selesai dan menemukan semua jawaban atas kasus yang dihadapi Akitada.



Sebagai pelengkap, di bab terakhir novel ini terdapat bab “Latar Sejarah” yang berisi latar sejarah dan situasi sosial, politik, agama, dan budaya Jepang di abad ke 11. Walau diletakkan di bagian akhir, bab ini ada baiknya juga dibaca sebelum kita mulai membaca novel ini karena setidaknya apa yang ditulis di bab ini memberikan gambaran riil mengenai setiing cerita yang dibangun dan memudahkan kita untuk lebih memahami dan menikmati kisah petualangan Akitada melalui latar sejarah, sosial, dan budaya Jepang di masa itu.

Kisah Akitada ternyata tak berhenti pada novel ini saja karena The Dragon Scroll merupakan buku pertama dari serial Sugawara Akitada. Selanjutnya masih ada lima judul seri Akitada yang telah ditulis oleh I.J. Parker yaitu : Rahsomon Gate, Black Arrow, Island of Exiles, The Hell Screen, dan The Convict Sword. Semoga kesemua judul ini kelak akan diterjemahkan dan diterbitkan oleh Penerbit Kantera.





Akitada's Series













Inggrid J. Parker adalah penulis kisah-kisah detektif kelahiran Jerman. Pada tahun 2000 ia meraih penghargaan Private Eye Writers" dari America Shamus Award untuk Best P. I. Short Story untuk bukunya “Akitada First Case” (1999). Ketertarikannya pada literasi dan budaya Jepang kuno membawanya pada riset yang mendalam tentang Jepang di abad ke-11 hingga kini. Apa yang dipelajarinya mengilhaminya untuk menciptakan tokoh Akitada dalam karya-karyanya. Cerita pertamanya tentang Akitada “Istrument of Murder” muncul di majalah Alfred Hitchcock's Mystery di Oktober 1997. . Saat ini Parker tinggal di Virginia Beach, Virginia. Hingga saat ini dia masih menulis untuk Alfred Hitchcock’s Mystery Magazine.



@h_tanzil
 
ans!!