Monday 30 March 2009

The Road

Judul : The Road
Penulis : Cormac McCarthy
Penerjemah : Sonya Sondakh
Penyunting : Sapardi Djoko Darmono
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Januari 2009
Tebal : 260 hlm ; 20 cm

Bumi dilanda bencana yang maha dahsyat. Iklim berubah secara drastis, abu dari hutan-hutan yang terbakar menghalangi teriknya matahari. Udara menjadi dingin dan lembab, salju pun turun bercampur debu, hewan mati, tanaman tak tumbuh, bumi menjadi sepi dan hanya segelintir orang yang bertahan. Mereka hidup di dunia yang sepi, mencari makan dengan jalan menjarah rumah-rumah yang ditinggal mati pemiliknya. Dan ketika makanan habis, harus tetap ada yang harus dimakan. Mereka harus bertahan. Kelaparan dan naluri untuk tetap hidup membuat manusia melupakan sisi kemanusiaan dan menghancurkan peradaban agung yang telah terbentuk ribuan tahun. Memaksa manusia memangsa sesamanya.

Seorang ayah dan anak lelakinya yang masih kecil terseok-seok melakukan perjalanan panjang, melintasi Amerika yang telah hangus terbakar. Dengan perbekalan seadanya yang ditaruh diatas kereta belanja, mereka melakukan perjalanan panjang ke arah selatan menuju pantai, daerah yang bersuhu lebih hangat daripada di tempat-tempat lain yang telah menjadi dingin dan lembab. Bukan perjalanan yang mudah, karena selain harus berjuang untuk memperoleh makanan, tempat yang layak untuk tidur, mereka juga harus waspada terhadap kehadiran orang-orang asing yang mengincar perbekalan mereka, dan yang lebih mengerikan mereka harus menghadapi beberapa orang telah menjadi kanibal.

Dalam novel ini, pembaca diajak menyelami perjuangan ayah dan anak dalam bertahan hidup di dunia paska tragedi dahsyat. Uniknya dari awal hingga akhir, penulis sama sekali tak menjelaskan peristiwa apa yang sebenarnya telah terjadi sehingga bumi menjadi hancur. Cormac hanya mendeskrpisikannya dengan hutan-hutan yang terbakar, udara yang penuh debu, mayat-mayat kering, rumah kosong, aspal meleleh karena panas, dll. Pembaca diminta untuk menafsirkan sendiri apakah ini bencana alam atau bencana karena perang. Tampaknya Cormac lebih menekankan kisah perjalanan ayah dan anak lelaki kecilnya yang mencoba bertahan hidup.

Berbagai peristiwa menyesakkan dialami oleh mereka. Dengan hanya bersenjatakan sepucuk pistol dengan dua butir peluru mereka mencoba bertahan dari kehadiran orang-orang yang hendak merampok perbekalan dan mungkin akan memakan mereka. Udara yang buruk membuat mereka terserang demam dan diare. Mereka harus bertahan dalam dingin dan rasa lapar yang menghantui mereka. Rumah demi rumah mereka masuki untuk mencari makanan, namun seringnya rumah itu telah habis dijarah oleh orang-orang lain yang masih hidup.

Mayat-mayat kering bergelimpangan, mereka juga menemukan beberapa tengkorak kepala terjejer membuktikan bahwa bagian-bagian tubuh mereka telah habis dimakan. Mereka juga menghadapi dilema apakah harus menolong seseorang yang kelaparan seperti mereka atau tak mempedulikannya. Semua peristiwa itu membuat novel ini menjadi sangat kelam. Untunglah Cormac menyelipkan berbagai peristiwa melegakan seperti ketika mereka menemukan sebuah ruang bawah tanah yang luput dari penjarahan. Selama beberapa hari mereka tinggal dengan nyaman di tempat tersebut. Peristiwa inilah yang akan membuat pembaca novel ini lega sejenak sebelum kembali diperhadapkan dengan peristiwa-peristiwa kelam lainnya.

Cormac Mc Carthy, novelis terkenal Amerika yang sebelumnya mungkin dikenal dengan novelnya yang berjudul No Country Old Man (2005) meramu novel The Road (2006) ini dengan sangat menarik. Pembaca tak diberi kesempatan sedikitpun untuk keluar dari inti cerita. Novel ini tak memberikan kisah-kisah lain diluar perjalanan si lelaki dan anaknya. Cormac hanya memberi secuil keterangan tentang masa lalu mereka. Kedua tokoh itupun tak diberinya nama. Dialog-dialog antara lelaki dan anaknya hanya sedikit dan pendek-pendek saja, itupun hanya berputar masalah ketakutan yang mereka hadapi, kelaparan, nasehat-nasehat untuk bertahan hidup, dan ungkapan cinta ayah kepada anaknya. Kehadiran tokoh-tokoh lain hanya selewat-selewat saja sehingga dengan demikian pembaca digiring oleh Cormac untuk hanya terpusat pada kisah perjalanan dan tujuan akhir perjalanan lelaki dan anaknya tersebut.

Cormac juga tak memberi kesempatan pembacanya untuk jeda sejenak, seluruh kisahnya mengalir dari halaman pertama hingga akhir tanpa ada pembagian bab. Ditulis dalam kalimat yang pendek-pendek, lugas namun tak mempedulikan aturan penulisan bahasa. Dialog-dialognya dibiarkan polos tanpa tanda baca. Untungnya dialog-dialog tersebut tersusun dalam baris-baris berurut ke bawah sehingga agak memudahkan untuk memahami mana kalimat dialiog, mana yang bukan. Awalnya pembaca mungkin akan sedikit kesulitan memahaminya, namun lambat laun akan terbiasa juga dengan gaya menulis Cormac ini. Mungkin gaya penulisan yang tidak biasa inilah yang membuat penerbit merasa perlu melibatkan sastrawan senior Sapardi Djoko Darmono untuk menyunting novel ini.




The Road, Vitage books publisher







Kisahnya yang menarik, terjemahan yang baik dan penyuntingan yang prima membuat novel ini menurut hemat saya memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi. Walau saya merasa tertekan dengan begitu kelabunya kisah ini, lembar demi lembar saya nikmati dengan antusias dan tak sabar ingin mengetahui ada peristiwa apa di lembar berikutnya. Semangat bertahan hidup di tengah kondisi yang ekstrim dan ikatan cinta antara ayah dan anaknya yang dideskripsikan dalam novel ini juga menjadi sebuah pembelajaran tentang pentingnya cinta dan harapan dalam mengarungi kehidupan yang sulit ini. Tak heran jika novel ini berhasil meraih penghargaan Putlitzer untuk kategori fiksi pada 2007 yang lalu.

Sama seperti karya lain Cormac, No Country Old Man yang pernah difilmkan dan memenangkan 4 piala Oscar 2007 termasuk sebagai Best Picture 2007, The Road juga kini sedang didadaptasi menjadi sebuah film oleh John Hillocat pada dengan dibintangi oleh Viggo Mortensen,Robert Duvall,Charlize Theron,Guy Pearce dan Kodi Smith McPhee. Fim ini rencananya akan dirilis pada kawartal terakhir 2009 ini. Akankah film yang diadaptasi dari novel Cormac ini akan sesukses adaptasi No Country Old Man. Kita lihat saja nanti.

@ h_tanzil

Tuesday 24 March 2009

Inkheart

Judul : Inkheart
Judul Asli : Tintenherz
Penulis : Cornelia Funke
Penerjemah : Dinyah Lacutonsina
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Januari 2009
Tebal : 536 hlm

Bagi kita para kutu buku, membaca kisah fiksi adalah sebuah pengalaman yang sangat mengasyikan, apalagi jika buku tersebut ditulis dengan begitu hidup sehingga seolah kita masuk dalam kisahnya dan bertemu langsung dengan tokoh-tokohnya. Namun pernahkah kita membayangkan ketika kita sedang asyik-asyiknya membaca tiba-tiba tokoh-tokoh dalam buku yang kita baca muncul dari buku dan berada di depan kita?

Cornelia Funke, penulis kisah-kisah remaja asal Jerman tampaknya memiliki imajinasi seperti itu. Ia kembangkan imajinasinya itu ke dalam sebuah tulisan fiktif, karena kisahnya berawal dari sebuah buku yang sedang dibaca, maka ia ciptakan karakter tokoh-tokohnya yang begitu mencintai buku lengkap dengan deskripsi perilaku seorang kutu buku sejati, ia ciptakan juga tokoh antagonis untuk menghidupkan sebuah kisah yang seru, maka jadilah sebuah kisah fantasi menarik berlatar dunia buku lalu diberinya judul ‘Tintenhertz’ (Inkheart).

Inkheart adalah judul sebuah buku misterius yang disimpan dengan sangat hati-hati oleh Montmiger (Mo) , seorang kutu buku dan restorator buku yang sehari-hari bekerja mereparasi, dan menjilid ulang buku-buku tua yang rusak. Begitu hati-hatinya ia menyimpan buku tersebut hingga anaknya sendiri, Meggie tak tahu menahu akan keberadaan buku tersebut.

Ternyata Mo, memiliki alasan sendiri untuk menyimpan dan menyembunyikan buku Inkheart dari siapapun termasuk anaknya sendiri. Sembilan tahun yang lalu, saat Meggie masih berusia tiga tahun, ketika Mo membacakan buku Inkheart dengan suara keras tiba-tiba saja tanpa disadarinya terjadilah sebuah peristiwa ajaib. Tiga tokoh dalam Inkheart yang bernama Capricorn, Basta, dan Staubfinger tiba-tiba muncul dihadapannya . Malangnya hal itu diikuti dengan hilangnya Teressa, istri Mo yang masuk dalam buku tersebut.

Usaha Mo untuk mengeluarkan kembali Teressa dari buku tersebut sia-sia. Dan semenjak itulah ia menyembunyikan buku tersebut, sambil berharap bisa mengembalikan istrinya ke dunia nyata. Menyadari bahwa dirinya memiliki kekuatan untuk mengeluarkan tokoh-tokoh, dan benda-benda dari buku yang sedang dibacanya dengan suara keras, semenjak itu pula Mo tidak pernah membacakan dongeng untuk Meggie karena khawatir kejadian ajaib itu akan terulang kembali.

Sembilan tahun telah berlalu, lalu bagaimana dengan nasib ketiga tokoh yang keluar dari buku Inkheart? Tampaknya Capricorn yang merupakan tokoh jahat dalam Inkheart sangat kerasan tinggal di bumi. Sama seperti dalam bukunya, ia menyebar kejahatan dan terror di wilayah yang dikuasainya. Capricorn juga selalu berusaha mencari buku Inkheart dan Mo. Ia ingin agar Mo memunculkan lebih banyak lagi dari tokoh jahat dari Inkheart. Termasuk Sang Bayangan, monster menakutkan yang dapat membunuh semua musuh Capricorn.

Dalam suatu usahanya untuk menyembunyikan Inkheart dan dirinya dari incaran Capricorn, Mo dan Maggie terpaksa harus hidup berpindah-pindah rumah hingga akhirnya Mo memilih untuk bersembunyi da menyembunyikan buku Inkheart di rumah Ellanor, seorang wanita penggila buku yang rumahnya bagaikan perpustakaan karena dipenuhi oleh ratusan ribu buku. Namun karena penghianatan Staubfinger, salah satu tokoh Inkheart yang dimunculkan oleh Mo, akhirnya Mo, Meggie, Ellanor beserta buku Inkheart jatuh ke tangan Capricorn. Keadaan bertambah runyam ketika akhirnya diketahui bahwa Meggie ternyata memiliki kemampuan yang sama seperti ayahnya yang bisa mengeluarkan tokoh-tokoh dari buku yang dibacanya.

Bagi saya yang tidak terlalu menyukai kisah-kisah fantasi, buku ini menjadi menarik karena tokoh-tokoh dalam buku ini begitu mencintai buku. Semua perilaku kutu buku terungkap dengan jelas dalam buku ini. Melalui buku ini kita akan melihat bagaimana ketekunan Mo dalam merestorasi buku-buku tua hingga masih layak disimpan puluhan tahun kemudian. Atau bagaimana Meggie menyimpan buku-buku kesayangannya dalam sebuah kotak khusus yang selalu dibawanya kemanapun ia pergi. Kita juga akan terperangah melihat deskripsi rumah Ellinor yang bagaikan perpustakaan, dan bagaimana dia begitu menyayangi dan memperlakukan seluruh koleksi buku-bukunya bagaikan anaknya sendiri. Elllinor juga rela bergelap-gelap untuk menghemat biaya listrik agar uangnya bisa disisihkan untuk membeli buku.

Pokoknya semua hal tentang perilaku dan pemikiran tokoh-tokohnya yang pecinta buku akan muncul mewarnai kisah petualangan yang ajaib ini. Yang pasti kisah ini memberikan pembacanya pelajaran bagaimana seharusnya mencintai buku dan bagaimana sebuah buku dapat begitu berpengaruh dalam kehidupan pembacanya.

Dari plot ceritanya sendiri saya agak kecewa karena Cornelia Funke tampaknya kurang memberikan adegan-adegan dramatis dalam beberapa peristiwa. Bertemunya Mo dangan istrinya setelah sekian tahun menghilang tak terceritakan secara dramatis. Peristiwa kemunculan Monster Bayangan dan Capricorn yang digambarkan dengan begitu menakutkan dan keji ternyata tak diikuti dengan adegan akhir yang menuju klimaks sehingga ending kisahnya terasa begitu cepat dan tak sesuai dengan harapan saya bahwa akan ada pertempuran pamungkas yang menegangkan dan seru.

Inkheart adalah novel pertama dari sebuah Trilogi Inkworld. Kelanjutan kisah Mo dan Meggie akan berlanjut di buku Inkspell dan Inkdeath yang edisi jermannya telah terbit pada tahun 2005 dan 2007 yang lalu. Semoga Gramedia dapat segera menerjemahkannya dan saya berharap di buku-buku selanjutnya deskripsi mengenai buku dan perilaku kutu buku dari para tokoh-tokohnya masih akan terkesplorasi dengan baik.

Novel ini sendiri telah dibuat filmnya dengan dibintangi oleh Brendan Fisher selaku Mo dan telah diputar di bioskop-bioskop Amerika dan Kanada pada Januari 2009 yang lalu. Entah kapan film ini akan beredar di bioskop-bioskop Indonesia. Saya tak berharap banyak bahwa filmnya akan sebagus novelnya seperti umumnya film-film yang diadaptasi dari sebuah buku. Namun saya penasaran ingin melihat setting rumah Ellinor yang dalam bukunya dideskripsikan sebagai rumah yang dipenuhi oleh rak-rak buku.



@h_tanzil

Tuesday 17 March 2009

Tintin dan Alpha Art

Judul : Tintin dan Alpha Art
Penulis : Herge
Penerjemah : Anastasia W. Mustika & Donna Widjajanto
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Februari 2009
Tebal : 64 hlm ; 22 cm

Tintin dan Alpha Art (Tintin et l'alph-art) adalah buku terakhir dari seri Petualangan Tintin. Sayangnya kisah ini tak tuntas diselesaikan oleh komikusnya, Herge. Ketika komik ini masih dalam bentuk sketsa dan narasinya sendiri masih belum selesai, Herge keburu meninggal di tahun 1983 akibat penyakit yang dideritanya.

Pada tahun 1986 atas permintaan para penggemarnya, Fanny Remi (istri Hergé) bersama penerbit Casterman dan La Fondation Herge akhirnya menerbitkan Tintin et l'alph-art dalam bentuk apa adanya berupa sketsa dan narasi ala kadarnya. Persis sebagaimana yang Herge tinggalkan sebelum wafat. Hal ini sesuai dengan amanat Herge bahwa Tintin tak boleh diselesaikan tanpa dirinya. Kemudian dalam rangka memperingati ulang tahun ke-75 Tintin pada tahun 2004, menerbitkan ulang Tintin et l'alph-artdengan menambahkan beberapa material tambahan yang baru ditemukan di tahun-tahun belakangan.

Di Indonesia sendiri, baru kali ini Tintin dan Alpha Art diterjemahkan. Langkah Gramedia selaku pemegang hak cipta Tintin untuk menerbitkan ulang seluruh kisah petualangan Tintin termasuk cepat. Belum genap setahun sejak diterbitkannya Tintin di Soviet pada April 2004, Gramedia kini telah menuntaskan kerjanya dengan menerbitkan judul ke 24, Tintin dan Alpha Art. Dengan demikian lebih dari 20 tahun semenjak Tintin hadir di Indonesia baru kali inilah seluruh kisah petualangan Tintin dapat dinikmati secara lengkap.

Dalam kisah terakhirnya ini Tintin terlibat dalam petualangan yang melibatkan seni. Alpha Art sendiri adalah gerakan kreasi seni yang berdasarkan huruf-huruf alphabet. Dikisahkan karya-karya seniman Alpha Art, Ramosh Nash saat itu sedang dipamerkan di sebuah Galeri milik Henri Fourcart. Melalui telepon Tintin secara langsung diundang oleh Foucart untuk menemuinya di galerinya. Namun pertemuan itu tak pernah terjadi karena Foucart tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.

Naluri Tintin mengatakan bahwa ada yang tidak wajar dalam kematian Foucart. Ketika meninjau lokasi kejadian kecelakaan, tiba-tiba Tintin diserang oleh beberapa penjahat. Kejadian ini membuat Tintin semakin curiga dan memutuskan untuk mengungkap ada apa dibalik tewasnya Fourcart. Kelak akan terungkap bahwa pembunuhan ini terkait juga dengan pemalsuan karya-karya seni.

Seperti yang diungkap di paragraf awal tulisan ini, kisah Tintin ini memang tak tuntas dan masih berupa sketsa kasar. Demikian juga dengan edisi terjemahannya yang tampaknya dibuat berdasarkan edisi Casterman terbitan tahun 2004. Selain soal ukuran yang lebih kecil dibanding edisi aslinya, semua lay out dalam versi Gramedia ini sama persis dengan edisi Casterman 2004 dimana di satu sisi menampilkan script dialog dan narasi yang tersaji seperti pada naskah drama, sementara di sisi yang lain ditampilkan goresan asli dari halaman-halaman sketsa yang dibuat oleh Herge.

Kadang halaman sktesa asli itu tersaji dalam ukuran kecil yang ditempatkan secara dinamis, namun ada juga beberapa sketsa yang tampil satu halaman penuh. Beberapa sketsa yg ingin ditonjolkan tampak diperbesar dan disajikan secara artistik sehingga pembaca bisa melihat dengan jelas coretan-coretan Herge yang mungkin tak terlihat secara jelas di bagian halaman sketsa yang kecil.

Herge sendiri hanya sempat membuat 42 halaman sktesa yang telah memiliki alur cerita, dari ke 42 halaman sketsa itu hanya tiga halaman pertama saja yang telah agak halus dan mungkin sudah 90% selesai. Sisanya masih berupa sketsa kasar seperti yang terdapat di cover komik ini dimana Tintin hanya digambarkan bermuka bulat, hidung pentul dan jambul, atau Kapten Haddock yang digambarkan bermuka bulat, hidung besar, jenggot dan rambut yang kasar.



Sketsa terakhir Herge (Tintin & Alpha Art)





Namun selain ke 42 halaman sktesa inti, ada pula 9 halaman tambahan yang tak kalah menariknya karena setidaknya dapat memberikan gambaran cerita akhir dari komik ini. Di halaman tambahan ini akan diperoleh informasi antara lain Kapten Haddock yang tampak berubah karena bergaul dengan para seniman, menyukai benda-benda seni, dan mengubah penampilannya layaknya seorang seniman., menyanyi, bermain gitar, dan merubah kediamannya menjadi seperti galeri seni.

Lalu muncul pula musuh bebuyutan Tintin, Rastapopoulus yang berniat menyiram Tintin dengan cairan polyester agar menjadi sebuah karya seni. Yang tak kalah menariknya adalah munculnya kata Sondonesia dibawah sketsa bangunan berundak yang menyerupai candi bodobudur. Mungkinkah yang dimaksud adalah Indonesia ?

Kesemua sketsa pada halaman tambahan tersebut memang tampak tak terususun secara teratur dan membingungkan, jadi pembaca hanya bisa menduga-duga atau berimajinasi sendiri kira-kira seperti apa kelanjutan dan akhir dari petualangan Tintin ini, namun disinilah letak kenikmatan membaca komik ini. Melalui karya terakhir Herge yang masih berupa sketsa ini kita dapat mengetahui bagaimana sang maestro Herge mencoretkan garis-garis awal dari sebuah komik yang indah. Selain itu buku ini juga menawarkan sebuah pengalaman baru dalam membaca dan menginterpretasi sebuah komik yang masih berbentuk sketsa kasar dan belum selesai.

@h_tanzil

Tintin dan Alpha Art kemudian dilanjutkan dan diberi warna oleh komikus Perancis, Yves Roider.























Komiknya bisa dilihat di : http://membres.lycos.fr/dafilu/tintin/couverture.html


Segera setelah penerbitan sketsa oleh Herge dari Casterman terbitlah sebuah versi Tintin dan Alpha Art dengan kualitas yang kurang baik (Ramo Nash) hingga akhirnya muncullah versi Yves Rodier yang berhasil menyelesaikan Tintin & alpha Art. Dibutuhkan waktu 5 tahun oleh Roider untuk menyelesaikan komik yang belum selesai itu. Selain dirinya beberapa penulis telah mencobanya tetapi versi Yves Rodier adalah karya yang paling utama yang dicari oleh kolektor.

Saturday 7 March 2009

Istanbul - Kenangan Sebuah Kota

Judul : Istanbul, Kenangan sebuah kota
Penulis : Orhan Pamuk
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Februari 2009
Tebal : 363 hlm

Istanbul adalah memoar dari peraih nobel sastra 2006 asal Turki, Orhan Pamuk. Namun berbeda dengan memoar-memoar lainnya yang biasanya lebih mengutamakan kisah hidup si penulisnya, dalam memoarnya ini Pamuk tak hanya berkisah mengenai sejarah hidupnya. Dengan cara betutur seperti dalam novel-novelnya , Pamuk mencatat penggalan memori kehidupan masa lalunya yang dikaitkan dengan memori kolektif Istanbul, kota kelahirannya yang begitu ia cintai. Jadi bisa disimpulkan bahwa buku ini merupakan serpihan-serpihan memoar dan essai panjang Pamuk tentang dirinya danIstanbul

Bagi Pamuk yang begitu lekat dengan kota kelahirannya, takdir Istanbul adalah takdir dirinya sebab Istanbullah yang membuat dirinya seperti sekarang ini. Istanbul baginya adalah mata air yang terus menerus memberinya inspirasi. Tak heran jika sebagian besar novel-novelnya berlatar Istanbul, kota yang merupakan warisan kesultanan Usmani yang tak henti bergumul dengan identitas Barat dan Timur. Begitupun dalam memoarnya ini, di mata Pamuk, Istanbul dimetaforkan sebagai mahluk yang berwajah murung, atau istilah dalam bahasa arabnya adalah “huzun”.

Setelah Kesultanan Usmani ambruk, dunia nyaris lupa bahwa Istanbul ada. Kota tempat saya dilahirkan ini lebih miskin, lebih kumuh, dan lebih terasing ketimbang sebelumnya selama sejarahnya sepanjang dua ribu tahun. Bagi saya, Istanbul selalu merupakan kota penuh reruntuhan dan kemurungan masa akhir kesultanan. Saya menghabiskan hidup memerangi kermurungan ini atau (seperti semua penduduk Istanbul) menjadikannya kemurungan saya. (hal 7)

Istanbul modern dalam kacamata Pamuk memang telah mengalami kemunduran sejak jatuhnya Kesultanan dan berdirinya pemintahan Republik dengan reformasinya yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Ataturk (pendiri Turki dan presiden pertama Turki). Bagi Ataturk satu-satunya jalan untuk melangkah maju adalah mengembangkan konsep baru mengenai ke-Turkian yag modern, sayangnya konsep ini dilakukan dengan cara melupakan masa lalu sehingga kultur, seperti bahasa dan pakaian tradisional, dilupakan. Bahkan literatur tradisional pun dilupakan.

Kemurungan Istanbullah yang menjadi benang merah seluruh kisah dalam memoarnya ini. Karenanya jangan harap dalam memoarnya ini kita akan disuguhkan panorama keindahan Istanbul, alih-alih membicarakan bangunan megah Hagai Sophia atau situs-situs bersejarah lainnya, kita malah akan disuguhkan deskripsi rumah-rumah kayu yang kumuh yang dibangun diatas reruntuhan bangunan megah dari era kejayaan kesultanan Usmani dan kehancuran puri-puri para Pasha karena tak terawat atau terbakar.

Dalam memoarnya ini, wajah Istanbul modern yang kini semakin carut marut itu dikisahkan secara parallel dengan kehidupan masa lalu Pamuk yang dilahirkan dari keluarga kelas menengah yang hidup dalam budaya sekuler Barat. Dengan begitu hidup Pamuk menceritakan tentang dirinya dan keluarganya, apartemen-apartemen yang pernah didiaminya, jalan-jalan yang sering dilaluinya, peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya, kisah cinta pertamanya yang kandas, serta keinginannya yang besar untuk menjadi pelukis sebelum ia banting setir dan akhirnya memutuskan untuk menjadi penulis.

Karena setiap jejak langkah masa lalu Pamuk senantiasa dikaitkan dengan memori kolektif Istanbul maka daya pikat memoar ini bukan hanya terletak pengalaman pribadi penulisnya, melainkan dalam identifikasi puitisnya dengan Istanbul . Hasilnya adalah semacam essai yang berisi sejarah dan kehidupan sosial masyarakat Istanbul baik dari apa yang diperolehnya dari pengalaman dan risetnya sendiri maupun dari catatan orang-orang yang pernah menulis sejarah Istanbul seperti, Yahya Kemal, seorang penyair, Resat Ekrem Kocu, seorang sejarawan, Tampinar, seorang novelis, dan Abdulhak Sinasi Hisar, seorang kronologis. Sedangkan untuk penulis barat terwakili oleh Gerard du Nerval, Teophile Gautier, Gustave Flaubert.

Untuk lebih menghidupi memoarnya ini, Pamuk juga menampilkan ratusan foto hitam putih baik yang berasal dari koleksi keluarga Pamuk sendiri maupun foto-foto Istanbul karya fotografer lokal, Ara Guller. Dan yang tak kalah menarik adalah foto-foto lukisan engraving Antoine-Ignace Melling, pelukis Jerman yang merekam Istanbul di abad ke 18. Jika foto-foto karya Ara Guller didominasi wajah Istanbul modern yang muram, maka pada karya Mellinglah keindahan masa lalu Istanbul terungkap.



Salah satu lukisan karya Melling



Sebagai seorang novelis terkemuka, Pamuk menyajikan memoarnya ini dengan begitu menarik dan hidup sehingga membaca ke 37 bab kisahnya tak membuat kita bosan kendati dia terkadang menceritakan hal-hal yang sederhana yang pernah dialaminya. Hal-hal sederhana itu ia hubungkan dengan, lukisan, buku-buku, landskap, bangunan kuno, legenda, sejarah, politik, dll sehingga potret dirinya dan Istanbul terekam dengan menarik.

Sayangnya memoar Pamuk terhenti di era 70-an ketika Pamuk memutuskan merubah jalan hidupnya dari seorang pelukis menjadi seorang penulis. Jadi dalam memoar setebal 363 halaman ini kita tak akan menemukan jejak Pamuk dan Istabul ketika ia meniti kariernya sebagai seorang penulis. Semenjak kecil hingga menjadi seorang mahasiswa arsitektur tampaknya tak ada tanda-tanda Pamuk yang kelak akan menjadi seorang penulis terkenal kecuali kesenangannya membaca.

Akhir kata novel yang terbit untuk pertama kalinya pada tahun 2003 dalam bahasa Turki dengan judul Istanbul : Hatiralar ve Sehir ini memang sangat-sangat menarik, kisah kehidupan Pamuk, pergumulan batinnya , serta responnya atas lingkungan yang membesarkannya membawa pembacanya pada sebuah perenungan yang dalam. Berbagai kisah mengenai Istanbul membuat kita memahami sejarah dan kultur Istanbul modern di tahun 50-70an yang menyiratkan wajah Turki yang murung dan terbelahnya kultur masyarakat Turki antara Islam dan sekularisasi, modern dan tradisional, timur dan barat, yang ternyata masih bisa dirasakan hingga kini.

Seperti yang ditulis oleh Irish Times sebagai pujian untuk buku ini bahwa memoar Pamuk ini layak disejajarkan dengan karya-karya terbaik Pamuk dan buku-buku terbaik yang pernah ditulis mengenai Istanbul. Buku ini wajib dibaca dan kota itu wajib dikunjungi.

@h_tanzil

 
ans!!