Saturday 21 February 2009

Lady Chatterley's Lover

Judul : Lady Chatterley's Lover
Penulis : D.H. Lawrence
Penerjemah : Arvan Achyar
Pengantar : Goenawan Mohamad
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Des 2008
Tebal : 586 hlm

Lady Chatterley’ Lover adalah roman sastra terkenal yang kini telah menjadi karya klasik dalam khazanah sastra dunia. Novel karya penulis Inggris D.H. Lawrence ini terbit pertama kalinya pada tahun 1928. Sadar bahwa novelnya tak mungkin diterbitkan di Inggris, maka Lawrence menerbitkannya sendiri di Florence, Italia. Novel ini menuai kontroversi karena deskripisi persetubuhan antara dua orang yang berbeda strata sosial begitu kentara dan bertaburan disepanjang novelnya. Hal yang saat itu masih dianggap tabu untuk diungkap secara eksplisit dalam sebuah karya sastra.

Beberapa pedagang buku di Inggris menolak novel ini dijual di toko-toko mereka. Sementara itu buku yang dikirimkan kepada para pemesan di AS sering disita oleh pihak otoritas bea cukai. Bahkan Presiden Eisenhower menganggapnya sebagai bacaan “dreadful”.

Berbagai pelarangan justru semakin membuat novel ini laris manis. Di Eropa sendiri novel itu laku keras. Namun karena novel ini dianggap sebagai bacaan tidak senonoh dan sesuai dengan UU yang berlaku saat itu bahwa buku-buku yang dianggap tidak senonoh tidak akan dilindungi oleh UU hak cipta internasional, maka para pembajak dengan bebas mencuri teks novel ini dan mencetak ulang dengan harga yang lebih murah. Untuk melawan para pembajak Lawrence terpaksa menerbitkan edisi murah dalam bahasa Perancis.

Lawrence juga pernah ditawari oleh penerbit Inggris untuk membuat edisi baru dengan menghilangkan bagian-bagian yang menurut mereka tidak pantas. Untuk itu Lawrence ditawari imbalan yang besar. Tentu saja Lawrence menolaknya karena menurutnya dengan menghilangkan bagian-bagian yang dianggap tidak pantas malah akan membuat karyanya hancur.

Penerbit buku bergengsi di London, Penguin Books Limited, akhirnya menerbitkan novel itu secara utuh pada tahun 1960. Karena itu, penerbit tersebut diadili di Pengadilan Old Bailey, London. Sejumlah saksi memberikan pandangan yang mendukung novel ini. Akhirnya pengadilan secara resmi menilai dan memutuskan bahwa The Lady Chaterley’s bukanlah karya pornografis. Penguin pun memenangi perkara dan buku tersebut secara utuh boleh beredar di Inggris. Semenjak itu novel ini dapat didistribusikan dan diterbitkan dengan bebas di berbagai negara tanpa khawatir dicap sebagai bacaan porno. Dan kini Berbagai kajian sastrawi dilakukan terhadap novel yang menarik perhatian pembaca popular dan juga mahasiswa sastra di berbagai belahan dunia.






Lady Chatterley's Lover
First Edition terbitan Penguin Books







Novel ini sendiri mengisahkan kisah cinta terlarang antara Connie dengan Olivers Mellors. Lady Chatterley adalah gelar yang diberikan pada Connie setelah ia menikah Cliiford Chatterley. Connie sendiri berasal dari keluarga kaya yang dibesarkan dalam pendidikan dan pergaulan modern keluarga Inggris pada saat itu. Sedangkan Clifford lahir dari keluarga bangsawan pemilik tambang batu bara di Travershall – Inggris. Ia mengenyam pendidikan tinggi hingga ke Cambridge dan berdinas sebagai tentara saat PD I meletus. Malang nya setelah perang usai Clifford harus pulang dalam keadaan lumpuh. Dan mulailah Clifford menjalani hari-harinya bersama Connie di rumah besarnya di Wragby di sebagai seorang penulis.

Pasca kelumpuhannya Cliford menjadi pribadi yang terluka. Ia harus terus berada diatas kursi roda mekanis yang bisa bergerak sendiri dengan menekan tombol-tombolnya. Clifford senantiasa sendirian. Ia seperti orang yang tersesat. Ia butuh Connie disampingnya untuk meyakinkan kalau dia tetap ada. Walau mereka selalu berdekatan, tubuh mereka menjadi asing satu sama lain. Mereka begitu intim, namun sama sekali tidak pernah bersentuhan. Connie merasa ia tak mendapatkan kehangatan dari suaminya.

Setelah dua tahun di Wragby dan menjalani hidup pengabdian pada suaminya, Connie merasa hidupnya bersama Clifford tidaklah bahagia. Walau hidup berkecukupan dan menikah dengan seorang bangsawan, ia tetap tidak bahagia dan merasa belum mendapat pemenuhan dalam hidup. Connie tahu bahwa dirinya akan hancur. Ia telah kehilangan dunia dan vitalitas masa mudanya yang pernah dia nikmati sebelum dia menikah.

Keterasingan, kesepian, bosan, hampa, dan perasaan tertindas oleh sikap patriakhi suaminya membuat dirinya tak bergairah dan mengalami kegelisahan yang semakin hari semakin memuncak. Ketika gelisah datang, ia berlari melintasi taman dan meninggalkan Clifford. Lari dari semua orang menuju hutan, tempat ia bisa melupakan semua kegelisahannya.

Dalam hutan itulah Connie bertemu dengan Oliver Mellors si penjaga hutan yang merupakan pegawai Clifford. Berawal dari ketika Connie ditugasi oleh Clifford untuk mengirimkan pesan pada Mellors akhirnya mereka kerap bertemu. Walau awalnya keduanya tak saling suka namun perasaan kesepian yang sama-sama mereka alami membuat mereka lambat laun saling mencintai dan membutuhkan. Bersama si penjaga hutan itulah akhirnya Connie menemukan kehangatan dan keteduhan batinnya.

Connie terperangkah di antara dua pria. Pada Clifford ia tetap melaksanakan kewajibannya sebagai istri, namun ia juga tetap menjalin hubungan cintanya dengan Mellors di hutan. Hubungan mereka berlanjut dengan aktifitas seks di pondok di tengah hutan di tempat kediaman Mellors hingga akhirnya Connie hamil. Bisa dibayangkan bagaimana sikap Clifford jika kelak mengetahui bahwa dirinya hamil karena perselingkuhannya dengan lelaki kelas bawah yang notabene pegawainya sendiri. Namun Connie tidak takut, ia memang menghendaki anak dan kehamilannya ini dijadikannya alasan bagi dirinya untuk meminta cerai dari Clifford. Clifford terguncang, namun ia menampik keinginan istrinya untuk bercerai dan menawarkan sebuah solusi yang dianggapnya terbaik.

Ada banyak hal yang menarik dari novel ini. Seperti yang menjadi kontroversi sejak novel ini diterbitkan, novel ini memang memiliki banyak deksrpisi erotis. Walau D.H. Lawrence membungkusnya dalam balutan kalimat-kalimat sastrawi namun tetap saja pembaca akan terbakar oleh deskripsi persetubuhan Connie dan Mellors. Mereka bercinta di pondok Mellors, di tengah hutan di bawah naungan hujan, bertelanjang di tengah hujan, bercinta di bawah pohon, dll. . Namun tentunya bukan maksud penulisnya hanya untuk sekedar menghadirkan kisah erotis tanpa makna.

Persetubuhan antara Connie dan Mellors bukan hanya sekedar pemuasan nafsu mereka semata, tetapi sebagai perwujudan kelegaan atas pribadi-pribadi yang terkukung. Hubungan seks diantara mereka melahirkan ketenangan sejati bagi Connie. Jadi tujuan seks dalam novel ini lebih pada penyembuhan dan bukan sekedar pemuasan nafsu. Walau seks yang mereka lakukan adalah hal yang terlarang namun seks membawa kelahiran kembali Connie dan Mellors untuk bisa membuka diri dan menapak kehidupan baru mereka.

Karakter-karakter yang dihidupkan oleh D.H. Lawrence dalam novel ini sangatlah menarik. Walau merupakan roman percintaan namun novel ini bukanlah novel yang mendayu-dayu dan cengeng. Hampir semua tokoh dalam novel ini mentransformasikan dirinya dari pribadi yang rapuh menjadi pribadi yang kuat dan melawan. Clifford, Connie, dan Mellors awalnya merupakan pribadi-pribadi yang tertutup, tersisih, dan kesepian, namun berbagai peristiwa telah merubahnya menjadi pribadi yang kuat dan penuh perlawanan. Contohnya adalah perlawanan terhadap tradisi dan pendobrakan sekat-sekat kelas yang dilakukan secara simbolis oleh perselingkuhan Connie danMellors.

Selain itu melalui novel ini kita juga dapat menangkap kritik sosial terhadap muramnya kehidupan di Inggris setelah perang di tahun 1920-an. Masyarakat terjebak ke dalam lapisan-lapisan kelas, industrialisasi mulai merasuk, dan uang menjadi senjata ampuh untuk pencapaian kekuasaan. Melalui tokoh Clifford, seorang berdarah biru dan tuan tanah pemilik tambang akan terungkap bagaimana sikap para bangsawan terhadap para pekerja tambang yang bagi mereka bukan lagi manusia seutuhnya melainkan hanya sekedar alat produksi untuk mengeruk keuntungan bagi usaha mereka.

Jadi novel ini bukanlah sekedar novel erotis semata seperti yang mungkin selama ini menjadi pendapat umum atas karya terkenal D.H. Lawrence ini . Ada banyak hal yang bisa dimaknai dalam kisah cinta Lady Chaterly. Michael Squares, editor Penguin Books menulis dalam kata pengantarnya bahwa Lawrence berusaha membangunkan dan mengarahkan rasa simpati para pembaca tanpa membuat novel ini menjadi sebuah kebosanan.

Salah satu yang ingin disampaikan oleh Lawrence dalam novel ini adalah upaya menyadarkan masyarakat atas dirinya sendiri, mempertanyakan berbagai asumsi yang telah mengakar dan membangkitkan sebuah kejujuran dan keberanian yang menantang. Karena itulah tampaknya karya yang telah berusia lebih dari 75 tahun ini masih relevan untuk terus dibaca dan dimaknai.

Bersyukur kini karya klasik ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dibanding edisi aslinya, novel terjemahannya ini tampak lebih gemuk karena penerbit memasukkan berbagai artikel tambahan baik di awal maupun akhir novel ini. Di bagian awal, pembaca akan disuguhkan dengan 4 buah artikel berupa Catatan untuk edisi Penguin, Kata Pengantar, dan Catatan Panjang dari Penulis yang menghabisi sekitar seratus halaman sebelum kita masuk dalam novelnya sendiri. Sedangkan di akhir novel masih ada tambahan berupa Riwayat Panjang D.H. Lawrence, dan Apendiks sebanyak 23 halaman.

Bagi para pemerhati sastra, artikel-artikel tambahan itu tentunya sangat bermanfaat, namun bagi pembaca awam mungkin menjadi tak terlalu bermanfat karena membaca artikel-artikel tersebut ternyata cukup melelahkan. Novel ini dicetak diatas kertas yang bagus sehingga terkesan mewah, nyaman dibaca, dan layak dikoleksi, namun konsekuensinya harga buku ini menjadi relatif mahal yang tentunya membuat calon pembeli berpikir ulang untuk membeli novel seharga 99 ribu ini.

Beberapa kesalahan cetak juga ditemui di novel ini. Dari segi terjemahan bisa dibilang baik, walau ada beberapa frasa yang saya anggap janggal namun tak sampai mengurangi kenikmatan saya membaca novel ini. Ada satu hal yang tidak konsisten dalam terjemahannya. Di cover belakang novel ini disebutkan Connie berselingkuh dengan penjaga kebun/tukang kebun, sementara di seluruh bagian novel ini, profesi Oliver Mellors tidak disebut sebagai tukang kebun melainkan penjaga hutan.

Namun bagaimanapun usaha untuk menerjemahkan novel klasik yang menggugah ini patut dihargai. Jika sebelumnya novel ini hanya dapat dibaca oleh para kalangan yang melek sastra dan fasih membaca dalam bahasa Inggris, kini novel ini dapat terbaca oleh kalangan yang lebih luas lagi. Semakin banyak karya sastra klasik yang diterjemahkan dan dapat dibaca oleh para pembaca di negeri ini tentunya akan lebih mendorong perkembangan dunia sastra kita lebih baik lagi. Semoga.


@h_tanzil

Saturday 14 February 2009

Stromchaser

Judul : Stromchaser
Penulis : Paul Stewart & Chris Riddell
Penerjemah : Meithya Rose Prasetya

Penerbit : Matahati

Cetakan : Des, 2008

Tebal : 462 hlm

Stromchaser adalah buku kedua dari seri fantasi “The Edge of Chronicle” yang kisahnya merupakan kelanjutan dari buku “Beyond the Deepwoods” (Matahati, 2007). Kali ini Twig, putra sang perompak Langit, Cold Wolf telah berusia 16 tahun dan ikut serta dalam perjalanan ayahnya mengarungi langit The Edge dengan perahu langit yang diberi nama Stormchaser (Pemburu Badai).

Dikisahkan saat ini kota terapung Sanchtaprax dalam keadaan krisis karena stormphrax yang merupakan batu pemberat agar kota itu berada dalam ketinggian ideal semakin menipis karena terus menerus diambil untuk memurnikan air sungai di Undertown yang telah tercemar. Guna menyelamatkan Sanchtaprax maka satu-satunya cara adalah dengan mencari Stormphrax! Jika tidak maka rantai penahan Sanchtaprax yang diikat ke Undertown tak akan mampu menahan tarikan keatas dari Sanctaphrax dan kota yang merupakan pusat ilmu pengetahuan, tempat tinggal para cendekiawan The Edge, itu akan melayang lenyap menuju kehampaan.

Bukan hal yang mudah untuk memperoleh Stormphrax karena batu kristal pemberat tersebut hanya terbentuk oleh ledakan petir di atas Hutan Temaram saat munculnya Badai Akbar yang hanya muncul beberapa tahun sekali. Menurut tradisi untuk mencari Stromphrax diutuslah seorang Akademikus Ksatria yang bertugas untuk mengejar badai akbar, menembus belantara hutan temaran dan membawa pulang stromphrax. Para ksatria itu bersumpah untuk tidak pulang sebelum memperoleh stromphrax. Malangnya walau telah beberapa ksatria diutus untuk mencari stromphrax namun tak satupun yang berhasil pulang untuk membawa stromphrax.

Singkat cerita, Cold Wolf (Quintinius Verginix) yang pernah menjadi Akademikus Ksatria akhirnya berangkat mengejar badai akbar dengan kapal langitnya (Stromchaser). Walau Twig menginginkan untuk ikut serta, Cold Wolf tak mengizinkannya. Ternyata dalam ekspedisinya ini seorang awak stromchaser, Slyvo Spleethe yang merupakan kaki tangan Vilnix Pompolnius, (akademia tertinggi yang jahat) diam-diam telah merencanakan niat jahat dalam ekspedisi ini. Slyvo memanfaatkan keinginan Twig untuk ikut serta dalam ekspedisi ini. Secara diam-diam ia menyeludupkan Twig kedalam Stromchaser tanpa diketahui siapapun.

Tepat ketika Stromchaser berada di atas hutan temaram, muncullah badai akbar, ketika seluruh awak kapal berjuang melawan keganasan badai tiba-tiba Slvyo merampas stromchaser dan Twig dimanfaatkan sebagai sandera. Tentu saja Kapten Cold Wolf tak menyerah begitu saja sehingga ia harus berduel dengan Slyvo. Stromchaser menjadi tak terkendali dan mengalami kerusakan berat. Cold Wolf memerintahkan seluruh awak kapalnya terjun menuju hutan temaram sementara ia sendiri berjuang untuk mempertahankan kapal.

Twig dan seluruh awak kapal terjun menuju hutan temaram dengan menggunakan parawing (sayap buatan). Twig mendarat terpisah dari para awak kapal lainnya sehingga ia harus menyusuri hutan temaram untuk mencari teman-temannya. Walau akhirnya ia dapat bertemu dengan beberapa awak kapal Stromchaser namun untuk mencari strompharax yang baru saja terbentuk di hutan temaran dan membawanya pulang bukanlah hal yang mudah. Hutan Temaram dengan segala kemisteriusannya ternyata membuat siapa saja yang berada di dalamnya menjadi berhalusinasi dan merampas kesadaran tiap awak kapal yang selamat. Belum lagi ditambah tantangan alam dimana Twig dan kawan-kawannya harus melewati lumpur hisap, lubang tiup beracun, dan bermacam monster jahat penghuni rawa.

Petualangan Twig dan kawan-kawannya di hutan temaram inilah yang membuat seri kedua dari The Edge of Chhronicle ini menjadi menarik. Lebih menarik dari seri pertamanya (Beyond The Deepwoods, Matahati, 2007) yang hanya sekedar menceritakan petualangan Twig yang bertemu dengan berbagai monster saat keluar dari hutan Deepwoods.

Dalam Stromchaser, selain disuguhkan petualangan Twig menembus belantara Hutan Temaram guna mencari Stromprharax, dikisahkan pula intrik-intrik para akademia di Sanctahprax yang merupakan tempat yang penuh persaingan, konspirasi, dan perjuangan sengit antar golongan. Juga akan dikisahkan bagaimana Cold Wolf sebelum menjadi perompak langit ternyata pernah menjadi Akademikus Ksatria terbaik selama seratus generasi yang diutus untuk mencari Strompharax namun gagal karena kelicikan Vilnix Pompolnius yang berambisi untuk menjadi Akademia Tertinggi.

Seperti di buku pertamanya, buku ini masih menyajikan ilustrasi hitam putih yang indah dengan tarikan-tarikan garis yang tajam, kuat dan detail. Ilustrasi garapan Chris Riddel ini menghiasi hampir seluruh halaman buku dengan penempatan yang dinamis, kadang di tengah halaman, di pinggir, di atas, di bawah, terkadang menempati satu halaman penuh bahkan hingga menyeberang ke halaman berikutnya sehingga terkesan begitu menyatu dengan narasinya. Hal ini ini juga membuat pembacanya seakan ‘diculik’ dan dipindahkan ke dunia fantasi The Edge.

Jika mencermati segi kemasan dari buku terjemahannya ini, tampaknya penerbit Matahati telah melakukan beberapa perbaikan dibanding buku pertamanya. Di buku pertama cover buku terjemahannya tidak begitu menarik dan kertas di halaman dalamnya menggunakan kertas koran sehingga keindahan ilustrasinya terdistorsi. Sedangkan di buku keduanya ini covernya tampak lebih menarik dan eye catching, dan halaman dalamnya menggunakan kertas HVS putih sehingga ilustrasinya terlihat lebih sempurna untuk dinikmati.

Sayangnya di halaman 438 ada yang salah dalam layoutnya. Ilsutrasi di sisi kiri halaman tersebut menutupi 16 baris kalimatnya sehingga sangat mengganggu kenikmatan membaca, padahal narasi di halaman tersebut sedang seru-serunya. Semoga kesalahan fatal seperti ini tak lagi terulang di buku-buku berikutnya

Seri Fantasi The Edge of Chronicles ini hingga kini telah dibuat hingga jilid yang ke sebelas. Dari kesebelas buku tersebut, Paul Steward dan Chris Riddel membaginya ke dalam 3 buah Saga yaitu The Quint Saga, The Twig Saga, The Roog Saga, Stromchaser merupakan bagian dari Twig Saga yang terdiri dari 3 judul (Beyond the Deepwoods, Stromcahser, dan Midnight over Sancaptrax)

Tentunya akan sangat menarik jika seluruh judul dari The Edge of Chronicle ini dapat diterjemahkan. Semoga penerbit Matahati memiliki nafas yang panjang dan komitmen untuk menerbitkan seluruh buku dari serial ini. Ada banyak kisah fantasi yang diterjemahkan di Indonesia, namun tak banyak yang menerbitkan novel fantasi berilustrasi indah seperti seri ini. Dengan promosi yang baik serta penerbitan terjemahan yang teratur antara satu judul ke judul berikutnya, saya percaya seri ini akan menjadi seri fantasi yang populer di Indonesia.

@h_tanzil

Friday 6 February 2009

Old Surehand 1 : Oase di Llano Estecado

Judul : Old Surehand 1 - Oase di Llano Estecado
Penulis : Karl May
Penerjemah :
Primadiana Hermila Wijayanti (koord)
Ani Inataliza
Diah Puspita W
Eli Puji Setyowati
Lilis Afifah
Nasirotussa'dyah
Widyana Ika Rosidah
Penyunting :
Andrea K. Iskandar
Pandu Ganesa
Penerbit : Pustaka Primatama & PKMI
Cetakan : I, Nov 2008
Tebal : x + 534 hlm

Old Shatterhand dan Winnetou adalah superhero di dunia wild west Amerika di abad ke 19. Walau telah berusia ratusan tahun sejak pertama kali muncul, tokoh fiksi ciptakan maestro kisah petualangan Karl May ini tampaknya tetap akan abadi dan terus hidup di hati para penggemarnya dari generasi ke generasi. Buku-bukunya dengan beragam versi terus dicetak dalam berbagai bahasa dunia. Demikian juga di Indonesia, kisah Old Shatterhand / Kara Ben Nemsi & Winneotu yang pernah populer dan menjadi bacaan para pejuang kemerdekaan kita (Hatta, Hario Kecik, Syahrir ) kini secara kontinyu diterbitkan ulang oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) dan Pustaka Primatama (Puspri).

Kali ini setelah menerbitkan seri Winneotu (Win I-IV, Anak Pemburu Beruang, Hantu di Llano Estecado) dan seri Kara Ben Nemsi (I-III), PKMI kini menerbitkan sebuah lagi serial Winnetou yang berjudul Old Surehand 1 : Oase di Llano Estacado.

Dalam petualangannya kali ini, Old Shatterhand dikisahkan mendapat pesan tertulis dari Winnetou yang sedang dalam perjalanan untuk menyelamatkan seorang westman, ‘Blody Fox’ yang hendak diserang oleh suku Indian Comanche. Selagi hendak menyusul Winnteou ia bertemu dengan Fred Cutter alias Old Wable, koboi tua yang juga dikenal dengan “King of Cowboys”. Dari penuturan Old Wable diketahui bahwa Old Surehand, seorang westman yang terkenal karena kemahirannya dalam menembak sasaran. telah tertangkap oleh sekelompok Indian Comanche. Akhirnya Old Shatterhand, Old Wabble dan beberapa temannya menyusun strategi untuk menyelamatkan Old Surehand.

Setelah Old Surehand berhasil diselamatkan, mereka bersama-sama menyusul Winnetou menuju tempat persembunyian Blody Fox di sebuah oase di Llano Estacado. Bukan perjalanan yang mudah karena mereka harus menaklukkan ganasnya gurun pasir Llano Estacado yang karena selain luas dan sulitnya memperoleh air, Llano Estacado juga dikuasai oleh para penyamun yang sering menyesatkan orang-orang yang lewat dengan mengubah tonggak2 penunjuk arah. Para penyamun yang dikenal dengan istilah ‘Stakeman’ itu kerap menjarah harta benda sang korban dan tak segan membunuh korbannya atau meninggalkan korbannya hingga mati kehausan.

Dari berbagai penyelidikan yang dilakukan Old Shatterhand, diketahui bahwa selain hendak menyerang Bloddy Fox, orang-orang Coamnche juga berencana menyerang sekelompok pasukan kaveleri dengan cara membuat mereka tersesat di padang tandus Llano Estecado lalu mengepungnya ketika pasukan tersebut sedang tersesat dan kehausan.

Begitu mengetahui rencana tersebut, Old Shattehand menyusun strategi jitu. Tanpa disadari oleh orang-orang Comanche, Old Shatterhand dan kawan-kawannya berusaha memutarbalikkan keadaan, mereka berencana membuat orang-orang Comanche itulah yang akan masuk perangkap dengan membawa mereka memasuki padang kaktus yang luas. Dan disitulah Old Shatterhand dan kawan-kawannya berserta pasukan Apache pimpinan Winneotu akan berhadapan langsung dengan suku Comanche.

Seperti biasa Karl May meramu kisah petualangan Old Shatterhand dan Winnetou dengan sangat menarik. Namun jangan menduga buku ini akan dipenuhi adegan-adegan pertempuran layaknya kisah dalam film-film koboy Hollywood. Old Shatterhand & Winnetou yang cinta damai selalu lebih mengutamakan perundingan dengan musuh-musuhnya dibanding harus angkat senjata dan menimbulkan banyak korban yang tidak perlu. Jadi yang menarik dalam buku ini bukanlah serunya pertempuran berdarah-darah antara kulit putih dan suku Indian melainkan bagaimana pembaca diajak memahami berbagai strategi cerdas Old Shatterhand & Winnetou dalam mengalahkan musuh tanpa perlu mengeluarkan satu pelurupun.

Selain menyuguhkan kisah petualangan yang menarik buku ini juga menyelipkan dialog-dialog bertema kemanusiaan dan spiritual sehingga bisa dikatakan buku ini merupakan kisah petualangan dengan nilai moral dan religiuitas yang tinggi. Bertemunya Old shatterhand dengan Old Wabble yang ceroboh, atheis, dan rasis dalam sebuah misi yang sama tentunya membuat perjalanan mereka sarat dengan konflik. Karl May tampaknya sengaja menyandingkan Old Shatterhand dengan Old Wabble agar ia bisa menghadirkan sebuah dialog yang bertema kemusiaan, rasialisme dan religi.

Misalnya ketika Old Wable yang atheis menantang Shatterhand untuk membuktikan keberadaan Tuhan, maka Shatterhand berujar,

“Sebagaimana yang tertulis di Alkitab, sulit bagi Anda untuk tetap berpegang teguh kepada keyakinan Anda. Saya yakin pada suatu saat Tuhan akan menunjukkan sebuah bukti nyata kepada Anda. Bukti itu lebih kuat daripada keyakinan Anda sehingga membuat Anda putus asa. Satu-satunya yang dapat menolong Anda adalah doa. Semoga Tuhan memberkati dan mengasihi Anda, meskipun Anda tidak percaya dan berdoa kepada-Nya.” (hal 319)

Tampaknya usaha Karl May untuk menyelipkan dialog-dialog religi dan kemanusiaan bukan hanya sekedar tempelan belaka, hal ini terbukti untuk episode dialognya dengan Old Wable dalam masalah keTuhanan saja dibutuhkan 14 halaman penuh!

Dalam buku ini Karl May juga menyinggung masalah rasialisme. Di masa itu kedudukan orang kulit hitam menempati strata terbawah, lebih rendah dari orang-orang berkulit merah (Indian). Dikisahkan Bob, seorang negro yang merupakan sahabat Blody Fox tertangkap oleh suku Comanche. Tanpa pandang bulu Shatterhand berniat membebaskan Bob, suatu hal yang dianggap aneh dan ditentang oleh Old Wable. Dengan nada penuh ejekan Old Wable mengatakan bahwa :

“Seorang nigger adalah mahluk rendah sehinga tidak ada gunanya membicarakan mereka.” “ Orang kulit berwarna sama sekali bukan manusia sejati, kalau tidak Tuhan akan menciptakannya sebagai kulitputih!” (hal 190)

Dan, apa kata Old Shatterhand untuk menyangkal pandangan Old Wabble ?

“Sebaliknya dengan hak yang sama besarnya, seorang negro dapat juga mengatakan demikian: orang kulit putih sama sekali bukan manusia sejati, kalau tidak Tuhan akan menciptakannya sebagai kulit hitam. Saya pernah berkeliling dunia dan bertemu dengan orang-orang kulit hitam, coklat, merah, dan kuning. Setidaknya mereka sama baiknya seperti orang kulit putih” (hal 190)

“Semua manusia adalah ciptaan dan anak-anak Tuhan dan jika Anda menganggap bahwa Ia telah menciptakan Anda dari zat-zat yan paling bagus dan Anda adalah mahluk kesayangannya maka pemikiran Anda itu keliru dan sama sekali tidak dapat diterima.” (hal 191)

Masih banyak hal menarik yang akan kita temui dalam buku ini. Tokoh Old Surehand dengan masa lalu yang misterius membuat pembaca penasaran akan siapa sebenarnya Old Surehand ini. Dengan mahir Karl May membuka sedikit demi sedikit identitas Old Surehand. Kemunculan Apanatskha seorang Indian Comanche yang memiliki fisik yang mirip dengan Old Surehand, dan pertemuan Old Shatterhand dengan ibu Apatskha yang memberinya beberapa petunjuk terselubung membuat pembaca bertanya-tanya apakah mereka mungkin bersaudara ?

Di penghujung kisah Old Surehand 1 ini Karl May masih menyisakan kejutan bagi pembacanya, senapan lagendaris (Senapan Henry, senapan pemburu beruang, dan senapan perak) milik Shaterhand dan Winnetou ini hilang entah kemana. Bagaimana mungkin? Apakah Shaterhand dan Winnetou akan berhasil mendapatkan senapannya kembali?

Ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab ketika kisah Old Surehand 1 harus berakhir, namun jangan khawatir karena kisahnya masih berlanjut di buku keduanya yang berjudul Old Surehand II : Di Jeferson City, dan Old Surehand III : Di Gunung Setan yang kedua-duanya masih dalam proses terjemahan. (OS II sudah selesai diterjemahkan, tinggal finishing, OS III sudah diterjemahkan sebagian).

Tentunya akan sangat menarik kalau kita bisa menuntaskan membaca trilogi Old Surehand ini dalam waktu yang tidak terlalu lama semenjak diterbitkannya buku ini. Kisah perualangan yang bercampur dengan tema kemanusiaan dan religi ini membuat seri ini banyak mendapat pujian dan bahkan bisa dikatakan merupakan salah satu masterpiece dari Karl May. Memang sosok tokoh-tokoh baik (Shatterhand, Winnetou, Old Surehand) dalam karya ini bisa dikatakan sangat ideal, sulit rasanya menemukan sosok seideal dan sebaik mereka dalam dunia nyata. Namun disinilah kelebihannya, bukankah di tengah dunia yang serba abu-abu ini kita masih memerlukan patron ideal seperti Old Shatterhand dan Winnetou ?

Saya telah berbicara. Howgh!

Sejarah Penerbitan

Old Surehand I ditulis oleh Karl May setahun setelah diterbitkannya Winneotu I (1893). Seperti sebagaian besar karya-karya Karl May, Old Surehand I ditulis dalam bentuk cerita bersambung di media sejak September 1894, dan langsung dijadikan buku begitu serialnya berakhir. Tanpa direncanakan sebelumnya akhirnya kisahnya terus menyambung hingga menjadi 3 seri.

Old Surehand sendiri sebenarnya merupakan kisah sambungan dari Hantu Llano Estecado (1890) walau dalam jilid pertamanya ini Karl May lebih banyak berbicara tentang tokoh lain seperti Old Wabble yang ditafsirkan orang sebagai representasi masa lalu si pengarang yang gelap. Untuk pertama kalinya juga Karl May menyampaikan pandangan-pandangan tentang religiutas yang kentara. Hal ini tak ditemui dalam karya-karya Karl May yang lain
Old Surehand I pernah diterbitkan oleh penerbit Pradnya Paramita pada tahun 60-an dengan judul Llano Etecado.

Saat itu penerbit menerjemahkan buku ini dari versi Belanda yang merupakan versi ringkasan dari buku aslinya yang dilakukan oleh Editor Belanda. Mungkin karena versi ringkasannya itu ditujukan untuk pembaca remaja maka buku ini mengalami banyak penyunatan sehingga misi penulisnya tentang persahabatan, kemanusiaan, dan keTuhanan tak tersampaikan dan hanya menyisakan kisah petualangannya saja. Kini, hampir 40 tahun kemudian buku ini diterbitkan kembali langsung dari versi aslinya yang berbahasa Jerman. Karenanya orisinalitas dan esensi kepenulisan Karl May seperti yang telah disinggung diatas tetap terjaga.

Berbeda dengan penerbitan-penerbitan terdahulu, kali ini buku Old Surehand 1 dicetak berdasarkan sistem Print on Demand (PoD) yang dapat dipesan di situs www.tokowinneotu.com karenanya jangan heran jika buku ini tak terdapat di toko-toko buku. Bagi yang berminat tinggal melakukan pembelian secara onlen dan penerbit akan mencetak dan mengirimkannya langsung ke rumah-rumah pembelinya.

Sistem ini tentunya memiliki kelebihan dan kekurangannya. Bagi mereka yang tidak memiliki akses internet tentu saja akan mengalami kesulitan untuk mengetahui dan memperoleh buku ini. Karenanya diperlukan usaha keras bagi penerbit dan para pegiat komunitas PKMI untuk menginformasikan kehadiran buku ini pada masyarakat luas agar misi perdamaian, kemanusiaan, dan religiutas yang tersirat dalam buku ini bisa tersampaikan ke seluruh lapisan masyarakat Indoensia.

@h_tanzil
 
ans!!