Monday 22 September 2008

Laskar Pelangi : The Phenomenon

Judul : Laskar Pelangi - The Phenomenon
Penulis : Asrori S. Karni
Penerbit : Hikmah
Cetakan : I, September 2008
Tebal : 263 hlm

Laskar Pelangi memang fenomenal. Kisah memoar Ikal dan kawan-kawannya mengejar mimpi ternyata diapresiasi dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Selain fenomenal dari segi penjualannya yang telah mendekati angka 1 juta esklempar, ternyata tetralogi ini tak hanya manjadi buku yang menghibur secara sastrawi namun juga mampu menginspirasi jutaan pembacanya.

Sejauh mana tetralogi laskar pelangi menginspirasi pembacanya? Jawabannya dapat kita peroleh di buku Laskar Pelangi : The Phenomenon yang ditulis oleh Asrori S. Karni, jurnalis peraih Mochtar Lubis Award 2008. Naluri jurnalistiknya yang terasah dan ketekunannya dalam menyelisik pengaruh buku Laksar pelangi terhadap pembacanya membuat Asrori berkesimpulan bahwa ledakan inspirasi tetralogi laskar pelangi telah menghasilkan multi level marketing spririt. Spirit pantang menyerah yang bergulir dari mulut kemulut. Karenanya menurut penturan Asrori, buku ini memotret efek berantai dari ledakan isnpirasi itu

Di buku ini, Asrori secata menarik menampilkan kisah-kisah nyata di berbagai bidang dan di berbagai daerah tentang spirit baru yang tumbuh karena efek fenomena Laskar Pelangi. Di lembar pertama buku ini, Asrori mengisahkan ketika sembilan mobil yang ditumpangi para pengusaha Tionghoa Jakarta yang berasal Belitong melaju beriringan memasuki Desa Gantung, Belitong Timur, tempat dulu Ikal dan kawan-kawan bersekolah. Mereka terpanggil untuk menengok kampung halaman mereka setelah membaca Laskar Pelangi sekaligus membawa bingkisan senilai Rp. 20 juta untuk diserahkan pada Lintang

Lalu ada kisah Maisaroh, seorang guru honorer di SDN I Pamijahan Cirebon. Ketika melihat tayangan laskar pelangi di Metro TV ia langsung tergerak untuk mencari novelnya. Ia mengirim email ke website Kick Andy minta dikirimi buku itu. Namun karena tak ada jawaban ia pun membelinya. Karena tak cukup uang ia menjual kebayanya untuk memperoleh novel itu.

Setelah memperoleh bukunya Maisaroh segera membaca habis bukunya. Dan sejak itu bukunya tak pernah menetap lagi dirumahnya, dipinjam bergantian antar teman. Maisaroh juga menyerap ilmu dan semangat Bu Muslimah dalam mendidik anak-anak laskar pelangi, maka jadilah Maisaroh seperti Bu Mus yang dekat dengan anak-anak didiknya dan menjadi guru favorit karena gaya mengajarnya yang menarik dan membangkitkan semangat.

Lalu ada pula seorang wanita yang menjadikan tanda tangan Andrea Hirata sebagai mahar pernikahannya. Seorang gadis di Pontianak juga terkena imbas daya tarik sosok ibu Muslimah dan daya juang Lintang menembus belantara Belitong untuk bersekolah. Dengan alasan untuk riset skripsinya ia seorang diri menembus pedalaman Belitong untuk menemui Bu Muslimah. Perjalanannya sendiri penuh warna dan tantangan sehingga perlu satu bab tersendiri untuk mengisahkan perjalanan gadis Pontianak ini.

Novel Laskar pelangi juga mampu menggerakkan Bupati Sumbawa, Jamaluddin Malik untuk berusaha mendatangkan Andrea Hirata untuk membakar semangat dan merangsang kreativitas ratusan siswa SMP- SMU di daerahnya. Untuk itu melalui dana APBD dan sumbangan dari para orang tua murid, pemda setempat rela mengeluarkan uang 50 juta untuk honor Andrea diluar biaya akomodasi dan transprotasi. Dan ini mungkin rekor honor tertinggi bagi pembicara sastra di Indonesia.

Selain kisah-kisah unik dan mengharukan dari para pembaca laskar pelangi yang terinspirasi oleh novel tersebut, buku ini juga mencatat bagaimana proses kreatif Andrea Hirata dalam membuat laskar pelangi.

Ternyata sebelum menulis novelnya Andrea beberapa kali datang ke Belitong untuk riset novelnya sekaligus menyegarkan memori masa kecilnya. Bahkan menurut penuturan Kucai (Husaini Rasyid), ketika di Belitong Andrea beberapa kali melakukan aksi ‘gila’ seperti pergi ke kuburan untuk merasakan ketakutan akan hantu, pergi ke desa Gantung dengan motor yang hanya diisi bensin setengahnya, dll. Hal itu dilakukannya untuk lebih menjiwai isi tulisannya kelak. Karenanya tak heran laskar pelangi menjadi demikian deskriptif dan hidup dimata pembacanya.

Masih banyak hal menarik lainnya dibahas dalam buku ini, misalnya kisah bagaimana awalnya naskah laskar pelangi tidak dipedulikan bahkan hampir dibuang oleh penerbitnya ke tong sampah, lalu kiat Andrea untuk membuat tulisan yang memikat, soal honor, royatli, dan lain-lain.

Yang menarik, buku ini juga membahas mengenai tema pendidikan yang juga merupakan tema utama dari novel Laskar Pelangi. Asrori membahas bahwa apa yang dilakukan Bu Muslimah di tahun 70-an adalah apa yang kini dinamakan sebagai konsep pendidikan inklusi dan multiple intelegence. Hal yang mengagetkan karena konsep ini baru dideklarasikan sebagai komitmen internasional pada tahun 1990-an. Di Indonesia sendiri konsep ini baru dirancang di tahun 2000-an tapi Bu Muslimah telah menerapkannya dalam bentuk yang alami, original, dan sederhana sejak tahun 1970-an.

Buku yang dikemas dengan menarik dan atraktif serta dilengkapi dengan foto-foto yang berkaitan dengan novel laskar pelangi termasuk foto-foto saat syuting film laskar pelangi ini memang buku yang menarik dan memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi.

Asrori tampaknya piawai dalam menemukan dan menggali informasi mengenai korban-korban yang terkena sindrom laskar pelangi dan menyajikannnya dalam tulisan jurnalistik yang enak dibaca, informatif, memberi inspirasi, dan mampu melibatkan emosi pembacanya sehingga pembacanya betah melahap buku ini hingga tuntas dalam sekali baca. Sayangnya Asrori agak berpanjang-panjang di bab “Melayu Pemalas: Mitos atau Realitas”, dimana penulis secara panjang lebar membahas ceramah Muhtar Lubis mengenai karakteristik manusia Indonesia. Bagi saya bagian ini terasa terlalu melebar dari tema utama buku ini dan merupakan bagian yang paling membosankan di buku ini.

Akhir kata kehadiran buku ini turut memperkaya khazanah perbukuan kita. Jika dicermati tampaknya di tanah air masih jarang buku yang membahas isi dari sebuah buku. Memang buku ini bukan buku yang mengulas laskar pelangi secara sastrawi, namun setidaknya buku ini semakin mengukuhkan kekuatan dari sebuah buku, bagaimana sebuah buku dapat menginspirasi pembacanya dalam banyak hal. Dan juga seperti yang diharapkan penulisnya, semoga buku ini dapat menggerakkan simpul-simpul inspirasi baru dan menjadi mata rantai baru dari jejaring semangat yang telah ditebar oleh tetralogi Laskar Pelangi.

@h_tanzil

Monday 15 September 2008

Di Negeri Penjajah

Judul : Di Negeri Penjajah (Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950)
Penulis : Harry A. Poeze
Penerjemah : Hazil Tanzil & Koesalah Soebagyo Toer
Penerbit : KPG
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : X + 412 hlm ; 19.5 x 28 cm

Saat ini saya sedang membaca 2 buah buku sejarah, yang pertama buku terbitan Serambi “Indonesia Merdeka karena Amerika?” karya Francis Gouda dan satu lagi terbitan KPG , Di Negeri Penjajah karya Harry A. Poeze. Dua-duanya merupakan karya sejarahwan Belanda yang banyak menulis tentang Indonesia.

Saat ini saya hanya akan mengulas sedikit mengenai buku di Negeri Penjajah – Harry A. Poeze sejauh yang telah saya baca, yaitu hingga bab III , walau saya baru membaca seperempatnya saja, saya benar-benar puas dan banyak memperoleh hal-hal baru.

Sesuai dengan judulnya, buku karya Poeze ini membahas mengenai orang-orang Indonesia yang bermukim di negeri penjajah (Belanda) dalam kurun waktu hampir 350 tahun (1600-1949). Untuk itu Poeze membaginya secara kronologis waktu kedalam 7 bab :

1600-1898 : Utusan, Budak, Seorang PElukis, dan Beberapa Siswa
1898-1913 : Sejumlah Tokoh dan Rombongan
1913-1920 : Emansipasi dalam Kerjasama
1920-1930 : Nasionalisme dalam Isolasi
1930-1940 : Ke Arah Kerjasama yang Sadar
1940-1945 : ISolasi dan Solidaritas
1945-1949 : Berangsur Menjauh

Semua bab tersebut terangkum dalam buku setebal 412 halaman dengan ukuran buku besar 19,5 cm x 28 cm dimana tiap halamannya tersaji dalam dua kolom. Bisa dibayangkan setebal apa buku ini jika dicetak dalam ukuran buku biasa, mungkin bisa mencapai 1000 halaman lebih. Untungnya walau bukunya besar dan tebal, buku ini dicetak diatas kertas yang ringan, sehingga bisa dibaca lama tanpa takut tangan terasa pegal.

Dalam buku ini akan terekam profil, suka duka, dan pengalaman serta sepak terjang orang-orang Indonesia yang pernah merantau di Negeri Belanda dari 1600-1949. Uniknya tak hanya para elit kaum bangsawan terekam dalam buku ini, bahkan para seniman biasa hingga para babu tak luput dari penelitian Poeze untuk disajikan dalam buku ini.

Poeze menulis sepak terjang para tokoh-tokoh Indonesia dengan kalimat-kalimat yang enak dibaca dan mudah dipahami, selain itu agar pembaca data merasakan suasana periode yang dibahas dan memudahkan gambaran pembacanya, buku ini memuat lebih dari 150 bh foto, gambar-gambar, sajak-sajak, berita surat kabar atau majalah, teks pidato, kop majalah atau suratkabar, kartu undangan, kartu ucapan, hingga bon makanan.

Karenanya tak berlebihan kalau saya katakan bahwa buku ini merupakan buku yang sangat menarik yang wajib dimiliki oleh para pengamat dan pecinta sejarah Indonesia, karena bagaimanapun juga sebagian besar orang-orang yang disinggung dalam buku ini adalah para tokoh pembuat sejarah atau setidaknya yang memiliki persinggungan yang erat dengan sejarah Indonesia.

Pada bab awal buku ini akan terungkap bahwa kunjungan resmi pertama penduduk Nusantara dilakukan oleh utusan Sultan Aceh yang terdiri dari tiga orang, yaitu dutabesar Abdul Zamat, laksamana raja Seri Mohamat, dan kemenekannya Meras San. Mereka menumpang kapal Zeelandia dan Langhe Barcke diiringi lima orang pembantu, seorang juru bahasa, dan sejumlah pedagang Arab. Perutusan itu tiba di Zeeland – Belanda pada akhir Juli 1602.

Orang-orang Aceh itu disambut dengan penuh kehormatan oleh Pangeran Maurits. Dan peristiwa ini diabadikan dalam sebuah lukisan karya Mari ten Kate. Setelah tinggal di Belanda selama lima belas bulan dengan biaya dari VOC dan mengunjungi berbagai kota di Belanda, pada tahun 1603 merekapun pulang ke tanah air.

Sayangnya dutabesar Aceh, Abdul Zamat meninggal di usianya yang ke 71 di Middelburg pada tahun 1602. Uniknya, pemakamannya dilakukaan dengan mengikuti syariat Islam di Gereja Sint Pieters, sebuah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya dimana seorang muslim disemayamkan dan dimakamkan di sebuah gereja. Sebagai tanda peringatan, VOC juga mendirikan monumen untuk menghormati sang duta besar dari seberang lautan ini.

Berawal dari keddaatangan utusan raja, lalu kedatangan para anak-anak Ambon ketika VOC berhasil merebut Ambon, dan beberapa budak yang diperkejakan di Belanda, akhirnya muncul pula orang Indonesia yang pergi ke Belanda untuk menimba ilmu. Raden Saleh adalah salah seroang Indonesia pertama yang mendapat pendidikan modern di Belanda. Pada 1829 ia berlayar ke Negeri Belanda sebagai klerk Inspektur Keuangan De Linge. Setelah namanya tersohor sebagai pelukis Istana di Belanda dan tinggal di belna selama 22 tahun , ia pulang ke Jawa pada 1851.

Setelah Raden Saleh, berangsur-angsur datang juga orang Indonesia ke Belanda untuk belajar atau keperluan lain. Sebut saja Raden Mas Ismangoen Danoe Winoto yang merupakan orang Indonesia pertama yang menikmati pendidikan tinggi di Negeri belanda. Setelah lulus HBS ia diterima di Lembaga Bahasa, Sejarah, dan Antropologi Hindia-Belanda di Delft.

Ketika Politik Etis diberlakukan, maka hal ini semakin terbuka kesempatan orang-orang Indoensia untuk berangkat ke negeri Belanda untuk menimba ilmu. Sosrokartono (kakak kandung RA Kartini) adalah orang pertama dalam dalam rombngan orang Indoensia yang datang ke negeri belanda untuk belajar. Di Belanda Sosrotokartono dikenal sebagai orang Jawa yang tekemuka. Pada 1899 ia berbicara di depan konggres Ilmu Bahasa dan Sastra Belanda ke XXV, dan mendapat sambutan yang sangat meriah. Dan pidato tersebut tercatat merupakan penampilan terbuka pertama orang Indonesia di Eropa.

Selama di Belanda ia juga kerap menulis surat untuk adiknya RA Kartini, sayangnya surat-surat mereka tak ditemukan lagi hingga kini. Di Leiden Sosrokartono merupakan mahasiswa yang cemerlang dan dalam beberapa waktu saja ia telah menguasai duapuluh bahasa Timur dan Barat. Kelak ia memang merampungkan pendidikannya tapi tidak sampai mencapai promosi seperti yang direncanakannya.

Selama 29 tahun Sosrokartono hidup di negeri Belanda, diakhir petualangannya di Belanda ia dikabarkan terjerat hutang. Setelah meletusnya Perang Dunia pertama ia menjadi koresponden New York Herald (Tribune), dan ia merupakan satu-satunya wartawan perang yang berasal dari Indonesia. Setelah Perang, ia bekerja sebagai penerjemah di Wina, Den Haag, dan di PBB - Jenewa. Baru pada 1925 ia kembali ke Indonesia dan memperoleh nama besar sebagai filsuf mistis Jawa.

(bersambung)

@h_tanzil

 
ans!!