Saturday 30 August 2008

Zaman Edan, Indonesia diambang Kehancuran

Judul : Zaman Edan, Indonesia Diambang Kehancuran
Penulis : Richard Lyyod Parry
Penerjemah : Yuliani Lupito
Penyunting : Anton Kurnia
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Mei 2008
Tebal : 451 hlm

“Buku ini membahas tentang kekerasan dan tentang rasa takut” (hal 25)

Demikian yang diungkapkan oleh Richard Lyyod Parry, jurnalis Times – London dalam kata pengantarnya di buku ini. Apa yang dikatakannya memang tak mengada-ngada. Buku yang ditulis berdasarkan hasil reportasenya ketika bertugas di Indonesia pada 1997-2001 memang secara umum memaparkan kekerasan yang pernah terjadi di beberapa bagian di wilayah Indonesia pada kurun waktu tersebut.

Dalam buku yang diberinya judul “In The Time of Madness, Indonesia on the Edge of Chaos” (2005) dan diterjemahkan oleh Penerbit Serambi menjadi “Zaman Edan, Indonesia Diambang Kehancuran” (2008), Richard Llyod Parry menyuguhkan tiga buah peristiwa mencekam yang dialaminya ketika sedang bertugas di Kalimantan (1997–1999), kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, dan kejahatan kemanusiaan di Timor Timur (1998–1999)?

Dimulai dengan bab Musibah yang Mendekati Aib : Kalimantan (1997-1999). Parry menyuguhkan kisahnya saat masuk ke daerah konflik perang antar etnik Dayak dengan suku Madura di pedalaman Kalimantan. Bagi yang tak tahan dengan kisah-kisah berdarah, bersiap-siaplah untuk mual ketika membaca bab ini.

Seperti halnya pemicu-pemicu kerusuhan di berbagai tempat di Indonesia, pemicu perang tersebut sebenarnya hanyalah hal yang sepele. Saat digelar panggung dangdut di Sanggauledo, Kalimantan (perbatasan dengan Sarawak Malaysia), dua orang gadis Dayak diganggu oleh pemuda Madura. Perkelahianpun pecah dan seorang pemuda Dayak, putra kepala desa setempat tertikam.

Peristiwa tersebut bagaikan menyulut api dalam sekam, ketegangan diantara kedua ras yang telah terbangun selama bertahun-tahun menyebabkan peristiwa sepele ini berubah menjadi sangat serius dan memicu serangan-serangan balas dendam yang berujung pada peperangan antar etnik.

Berdasarkan adat dan tradisi Suku Dayak saat berperang, mereka memanggil roh peperangan Kamang Tairu untuk menghadapi orang Madura. Imbalannya Kamang Tairu perlu diberi makan dengan darah, karenanya orang Dayak memenggal kepala orang Madura, membawa kepala-kepala itu sebagai trofi, kemudian membelah bagian punggung mayat-mayat itu untuk mengambil jantung yang akan mereka makan selagi masih segar.

Dengan mata kepala sendiri sendiri, Parry melihat bagaimana mayat-mayat berserakan tanpa kepala dengan lubang menganga di punggungnya. Puluhan kepala-kepala terpenggal dipajang diatas drum, dan disisi lain sekelompok orang sedang membakar sate daging manusia untuk dimakan, bahkan dirinyapun tak luput dari ajakan orang-orang Dayak untuk ikut memakan sate manusia!

Apa yang mendasari orang-orang Dayak untuk berbuat demikian keji? Dalam penutup bab ini, Perry mengutip pendapat seorang guru Dayak atas apa yang telah mereka lakukan terhadap mereka yang melanggar adat Dayak.

“Di mata orang Dayak,” ujar seorang guru Dayak, “Ketika orang tidak menghormati adat kami, mereka menjadi musuh, dan kami tidak memandang musuh kami sebagai manusia lagi. Mereka menjadi binatang di mata kami. Dan orang Dayak memakan binatang.” (hal 129)

Di bab berikutnya, Perry menuturkan kisahnya ketika ia meliput suasana pemilu 1997 situasi ketika terjadi demonstrasi di kampus Trisakti, kerusuhan massal di Jakarta 1998, dan peristiwa lengsernya Soeharto. Selain itu di bagian ini ia juga menungkapkan mengenai sosok Soeharto, dikatakan bahwa masa kecil Soeharto sangat menderita dan tidak bahagia. Setelah kelahirannya, ibunya menghilang. Beberapa hari kemudian dia ditemukan di dalam ruangan gelap sebuah rumah kosong dalam keadaan mirip kesurupan. Sejak itu ia dititipkan secara bergilir diantara paman, bibi, dan sahabat keluarganya. Tiga kali ia diculik oleh salah satu orang tuanya dan pindah rumah sembilan kali sebelum menamatkan sekolahnya.

Lalu disinggung pula soal gaya hidup Soeharto, rumahnya di jalan Cendana termasuk kategori rumah yang sederhana dan biasa yang mungkin jika tak diberitahu orang tak akan menyangka kalau itu adalah rumah seorang presiden. Rumahnya dipenuhi bukan oleh harta benda melainkan cindera mata dan hiasan murahan. Bahkan mantan menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja mengungkapkan bahwa “Banyak artefak tak bermakna di seputar rumah itu, warna-warninya tidak selaras, ukurannya tidak sepadan-rasanya seperti memasuki toko souvenir.” (hal 175)

Sedangkan di Bagian ketiga buku ini, yang merupakan bagian yang paling panjang dan palin mengugngkap sisi emosional Parry atasketakutan yang dialaminya adalah mengenai Timor Timur. Di bagian ini Parry mengisahkan petualangannya menembus belantara Timor untuk bergabung dengan Falintil, tentara gerilyawan pendukung kemerdekaan.

Melalui investigasinya dengan orang-orang yang ditemuinya, akan terungkap berbagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara-tenara Indonesia ketika memburu para gerilyawan.

“Tak terhitung jumlah penududuk desa Timor yang dibakar, dibom, ditembak atau dibiarkan kelaparan hingga mati.” : Pada waktu lain, sekitar seratus orang, banyak diantara mereka perempuan, anak-anak, dan lanjut usia, yang berlindung di sebuah gua selama pengeboman dari udara, terkubur hidup-hidup ketika sebuah bom berkekuatan besar diledakkan di luar dan menutup mulut gua sepenuhnya. Setelah dua minggu, erangan mereka tidak lagi terdengar.” ( hal 288)

Kisah petualangan Perry di bagian ini terus berlanjut hingga rakyat Timor Timur melakukan referedum untuk menentukan masa depan meraka dan bagaimana situasi Timor Timur paska referendum yang begitu mencekam karena kelompok milisi indonesia tampaknya tak rela jika mereka dikalahkan begitu saja lewat jejak pendapat yang hasilnya mengecewakan mereka. Selain itu terungkap pula situasi ketika dirinya dan beberapa wartawan asing berlindung dalam markas PBB di Timor Timur untuk menunggu evakuasi.

Dari ketiga bab yang terangkum dalam buku ini, tampaknya hanya bab : Cahaya Terang Jawa : 1998 yang tak banyak mengungkap hal-hal yang baru bagi pembacanya, seperti kita tahu peristiwa 98 telah banyak diulas baik dibuku-buku memoar para tokoh politik maupun media-media cetak lainnya. Namun bab ini masih menarik dicermati pada bagian mengenai kehidupan Soeharto yang digambarkan sebagai Raja Jawa atau “Paku Bumi”.

Bagian yang mengungkap berbagai fakta baru dan mengejutkan adalah bab Musibah yang mendekati Aib: Kalimantan 1997-1999, dan Kandang Hiu : Timor Timur 1998-1999. Bagi masyarakat awam, kedua peristiwa ini mungkin tak banyak diketahui. Berita-berita mengenai kerusuhan di Kalimantan hanya beredar dari mulut kemulut dan hanya terungkap sekilas di media-media cetak. Sedangkan berita mengenai situasi di Timor Timur yang begitu mencekam sebelum dan setelah jejak pendapat hanya kita peroleh dari sumber resmi koran-koran nasional yang tentunya bersikap hati-hati dalam mengungkap fakta yang ada.

Karenanya buku ini tampaknya bisa membuka wawasan kita dalam melihat ketiga perstiwa kerusuhan dari sudut pandang dan kacamata seorang jurnalis asing yang dikenal piawai dalam menulis situasi di daerah-daerah konflik di dunia. Walau demikian, tentunya unsur-unsur subyektif penulisnya tak lepas dari apa yang ditulisnya, terlebih dalam tulisannya mengenai Timor Timur yang tampak condong ke pro kemerdekaan Timor. Karenanya kitapun tetap harus bersikap kritis terhadap apa yang ditulisnya dan membandingkannya dengan buku-buku lain yang membahas mengenai kejadian tersebut.

Dalam buku ini, tampaknya Parry melakukan sedikit kesalahan data, antara lain ketika menyebutkan partai politik peserta pemilu 1997 di halaman 34, dimana partai banteng merah (PDI) nomor urutnya tertukar dengan Beringin Kuning (Golkar). Entah mengapa kesalahan ini dibiarkan saja oleh penerjemahnya, jika di buku aslinya memang dibiarkan demikian mungkin ada baiknya penerjemah memberikan catatan kaki mengenai kesalahan ini.

Sedangkan untuk cover buku terjemahannya, tampaknya penerbit Serambi tak melakukan banyak perubahan, sesuai edisi aslinya, buku ini didominasi oleh warna merah gelap dengan ilustrasi wayang. Namun Serambi mengganti tokoh wayangnya, jika edisi aslinya menampilkan tokoh wayang Arjuna, maka di edisi terjemahannya yang tampak adalah tokoh wayang Batara Kala si pembawa petaka. Dalam hal ini tampaknya cover edisi terjemahannya lebih sesuai dengan tema buku ini.

Akhir kata, membaca buku Zaman Edan ini memang menarik, berbagai fakta mengejutkan yang mengiringi kekerasan dan kekacauan terjalin dengan kalimat-kalimat yang lentur, lincah, renyah dan dan enak dibaca. Inilah jurnalisme sastrawi yang sesungguhnya. Hasil reportase Parry tidak sekedar mengungkapkan fakta, tempat, dan waktu, namun juga menghadirkan emosi dan dsekripsi-deskrpisi mendetail sehingga membaca buku ini seolah membaca novel horor yang diangkat dari sebuah kisah nyata.

Semuanya ini tersaji dengan begitu hidup sehingga pembacanya seolah-olah berada bersama dengan Parry berpetualang ke daerah-daerah konflik.

Buku ini telah melaporkan peristiwa kerusuhan di tiga tempat, Jakarta, Kalimantan, dan Timor Timur dengan begitu menarik. Masih ada Ambon, Papua, dan Aceh, dll yang mungkin suatu saat perlu ditulis seperti buku ini. Semoga para jurnalis Indonesia bisa mengikuti jejak Richard Lyyod Parry, melaporkan apa yang dilihat dan dialaminya di daerah-daerah konflik di Indonesia dalam balutan jurnalisme sastrawi secara obyektif dan enak dibaca tanpa harus dibatasi oleh jumlah karakter atau sensor oleh dewan redaksi dimana biasa mereka mempublikasikan tulisan-tulisannya.


Sekilas tentang Penulis

Richard Lyood Parry adalah koresponden luar negeri yang kini bekerja untuk The Times London. Jurnalis yang tahun ini berusia 39 tahun kini bermukim di Tokyo. Tahun 1995 Parry menjadi koresponden harian Inggris, The Independent. Barulah pada 2002 ia pindah ke harian Times. Sepanjang karirnya ia telah berutugas di lebih dari 24 negara termasuk di daerah-daerah konflik seperti Irak, Kosovo, Afghanistan, Vietnam, dll. dan menulis pula untuk Granta, the London Review of Books, dan the New York Times Magazine.

Oleh beberapa kalangan Buku In The Time of Madness dipuji sebagai buku laporan perjalanan ke jantung kegelapan, dan menampilkan gaya bertutur (storytelling) ala Conrad, Orwell, dan Ryszard Kapuscinski. Tak heran jika buku ini masuk dalam nominasi a Dolman Best Travel Book Award 2006, penghargaan untuk buku-buku kisah perjalanan.

@h_tanzil

Saturday 16 August 2008

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels

Dalam rangka memperingati 200 tahun pembangunan jalan Anyer-Panarukan (1808-2008) yang dikomandoi oleh Daendels, sekaligus dalam rangka memperingati hari kemerdekaan, 17 Agustus 2008, maka izinkan saya mempostingkan ulang buku karya Pramoedya AT - Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.

Semoga dengan membaca buku ini kita akan menghargai para pahlawan pembuat jalan Raya Pos sepanjang 1000 kilometer yang masih bisa kita lalui hingga kini

@ h_tanzil

Judul : Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Cetakan : I, Oktober 2005
Tebal : 145 hal
ISBN : 979-97312-8-3


Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, membentang 1000 km sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Dibangun dibawah perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu : Herman Willem Daendels (1762-1818). Ketika baru saja menginjakkan kakinya di Pulau Jawa Daendels berangan untuk membangun jalur transportasi sepanjang pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.

Angan-angan Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. Yang gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. Gubernur Jendral Daendels memang menakutkan. Ia kejam, tak kenal ampun. Degan tangan besinya jalan itu diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808). Suatu prestasi yang luar biasa pada zamannya. Karena itulah nama Daendels dan Jalan Raya Pos dikenal dan mendunia hingga kini.

Walau Jalan Raya Pos dikenal dan selalu diajarkan di bangku-bangku sekolah namun bisa dikatkan tak ada buku yang secara khusus mengungkap sejarah pembuatan dan sisi-sisi kelam dibalik pembuatan Jalan Raya Pos. Buku terbaru karya Pramoedya Ananta Toer(Pram) ini bisa dikatakan dapat mengisi kekosongan literatur Jalan Raya Pos dalam khazanah buku-buku berlatar belakang sejarah dewasa ini. Walau buku ini bukan merupakan buku sejarah resmi, namun buku yang ditulis Pram dimasa tuanya ini (1995) dapat dijadikan sebuah buku yang mengungkap dan memberi kesaksian tentang peristiwa kemanusiaan yang mengerikan dibalik pembangunan Jalan Raya Pos.

Buku ini ditulis dengan mengalir, tanpa pembagian bab. Pada halaman-halaman awal Pram mengurai awal ketertarikannya pada Jalan Raya Pos yang memakan banyak korban jiwa para pekerja paksa yang ia golongkan sebagai genosida, pembunuhan besar-besaran ia juga menyinggung beberapa genosida yang awalnya dilakukan oleh Jan Pietersz Coen (1621) di Bandaneira, Daendels dengan Jalan Raya Posnya (1808), Cuulturstelsel alias tanam paksa, genosida pada jaman Jepang di Kalimantan, genocida oleh Westerling (1947) hingga genosida terbesar dalam sejarah bangsa Indoenesia di awal-awal pemerintahan Orde Baru.

Di halaman-halaman selanjutnya setelah mengurai sejarah tercetusnya ide pembuatan Jalan Raya Pos di benak Daendels Pram membagi bukunya ini berdasarkan kota-kota yang dilewati dan berada disepanjang Jalan Raya Pos. Pram mencatat dan mengurai 39 kota yang berada dalam jalur Jalan Raya Pos, baik kota-kota besar seperti Batavia,Bandung, Semarang, Surabaya, maupun kota-kota kecil yang namanya jarang terdengar bagi masyarakat umum seperti Juwana, Porong, Bagil dan lain-lain.

Secara rinci Pram mengungkap sejarah terbentuknya kota-kota tersebut, dampak sosial saat dibangunnya Jalan Raya Pos, hingga keadaan kota-kota tersebut pada masa kini. Dengan sendirinya masa-masa kelam ketika Jalan Raya Pos dikerjakan akan terungkap di buku ini. Ketika Jalan Raya Pos sampai di kota Sumedang dimana pembangunan jalan harus melalui daerah yang sangat berat ditembus, di daerah Ciherang Sumedang, yang kini dikenal dengan nama Cadas Pangeran. Para pekerja paksa harus memetak pegunungan dengan peralatan sederhana, seperti kampak, dan lain-lain. Dengan medan yang demikian beratnya inilah untuk pertama kalinya ada angka jumlah korban yang jatuh, 5000 orang!

Ketika pembangunan jalan sampai di daerah Semarang, Daendels mencoba menghubungkan Semarang dengan Demak. Kembali medan yang sulit menghadang. Bukan hanya karena tanahnya tertutup oleh rawa-rawa pantai, juga karena sebagian daripadanya adalah laut pedalaman atau teluk-teluk dangkal. Untuk itu kerja pengerukan rawa menjadi hal utama. Walau angka-angka korban di daerah ini tidak pernah dilaporkan, mudah diduga betapa banyaknya kerja paksa yang kelelahan dan lapar itu menjadi makanan empuk malaria yang ganas (hal 94). Sumber Inggris melaporkan seluruh korban yang tewas akibat pembangunan Jalan raya Pos sebanyak 12.000 orang!. Itu yang tercatat, diyakini jumlah korban lebih dari itu. Tak pernah ada komisi resmi yang menyelidiki.

Selain mengungkap sisi-sisi kelam dibalik pembangunan Jalan Raya Pos, Pram juga senantiasa menyelipkan penggalan kenangan-kenangan masa muda dirinya pada kota-kota disepanjang Jalan Raya Pos yang pernah ia singgahi. Ada kenangan yang pahit, mengesankan, dan lucu yang pernah dialaminya di berbagai kota yang ditulisnya di buku ini. Sebut saja pengalaman lucu ketika Pram muda yang sedang dalam tugas ketentaraannya bertugas di daerah Cirebon, dalam kegelapan malam secara tak disengaja ia pernah buang hajat disebuh tungku dapur yang disangkanya kakus, padahal tungku itu masih berisi sisa singkong rebus untuk rangsum para laskar rakyat.(hal 79)..O la la….!

Buku ini diutup dengan bab "Dan Siapa Daendels" yang ditulis oleh Koesalah Soebagyo Toer. Dalam bab ini diuraikan biografi singkat Daendels. Selain itu bagian daftar pustaka yang menyajikan sumber-sumber pustaka yang digunakan Pram untuk menyusun buku ini mencakup buku-buku yang terbit dipertengahan abad ke 19 hingga akhir abad ke 20. Tak heran jika membaca karya ini pembaca akan mendapatkan hal-hal yang detail mengenai sejarah kota yang dilalui oleh Jalan Raya Pos.

Yang patut disayangan pada buku ini adalah tidak adanya peta yang secara jelas menggambarkan rute-rute Jalan Raya Pos. Buku ini hanya menyijikan reproduksi dari peta kuno yang diambil dari Rijks Museum Amsterdam (hal 129). Peta yang tak mnggambarkan Pulau Jawa secara utuh dan huruf yang tak terlihat pada peta tersebut tentu saja menyulitkan pembaca untuk memperoleh gambaran akan sebuah jalan yang dibuat Daendels sepanjang Anyer hingga Panarukan ini.

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels diselesaikan oleh Pramoedya pada tahun 1995, entah apa yang membuat buku ini harus menuggu 10 tahun untuk diterbitkan, tak ada penjelasan dari penerbit mengenai mengapa baru sekarang buku ini diterbitkan, padahal beberapa tahun setelah karya ini diselesaikan era reformasi memungkinkan diterbitkannya karya-karya Pram secara bebas. Namun walau bisa ditakan terlambat diterbitkan, buku ini masih sangat relevan untuk dibaca oleh siapa saja karena buku ini merupakan sebuah buku kesaksian tentang peristiwa genosida kemanusiaan paling mengerikan dibalik pembangunan sebuah jalan sepanjang 1000 km yang dibangun beraspalkan darah dan air mata manusia-manusia pribumi yang dipaksa untuk membangunnya.

@h_tanzil

Monday 11 August 2008

Lanang

Judul : Lanang
Penulis : Yonathan Rahardjo
Editor : A. Fathoni
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Mei 2008
Tebal : 414 hlm


Sebenarnya agak terlambat untuk membicarakan novel Lanang – Yonathan Rahardjo, pemenang harapan II novel DKJ 2006. Novel yang terbit sejak Mei 2008 ini telah banyak menuai komentar, ada yang memuji dan ada juga yang mengkritiknya. Ketika novel ini dibahas di TIM pada bulan Juli yang lalu, novel ini didiskusikan dengan sangat kritis oleh para pengamat dan pelaku sastra nasional.

Arpesiasi atas novel ini ternyata tak berhenti di ruang-ruang diskusi sastra, kritikan, pujian, dan beraneka tanggapan dari berbagai kalangan terus berseliweran di ruang cyber, baik di milis-milis sastra, maupun blog-blog yang membahas buku ini. Kini semua komentar, diskusi, essai, dan makalah yang membahas novel ini telah dikumpulkan oleh penulisnya dalam sebuah blog yang diberi nama http://novellanang.co.cc

Novel ini diawali dengan deskripsi suasana pedesaan ketika dokter hewan Lanang tengah menolong kelahiran seekor anak sapi perahan. Proses kelahiran anak sapi ini berlangsung dengan lancar dan disambut gembira oleh si empunya sapi. Pulangnya, saat lanang memadu kasih dengan istrinya, mucullah sosok mengerikan dari dalam tanah. Bentuknya menyerupai babi, namun memiliki sayap dan bisa terbang. Belum lagi Lanang sadar dari rasa kagetnya, burung babi hutan yang memporak porandakan rumahnya itu terbang dan lenyap entah kemana.

Kemunculan burung babi hutan itu ternyata diikuti oleh kematian mendadak sapi-sapi perah di desa tempat lanang bekerja, bagai wabah ganas, kematian itu menyebar hingga ke seantero nusantara. Para ahli ternak mulai mencari penyebab wabah kematian sapi-sapi perah itu, namun penyakit aneh yang menyertai kematian para sapi perah tak bisa diidentifikasi secara ilmiah hingga seorang dukun hewan memastikan bahwa burung babi hutan yang pernah mendatangi lananglah penyebab wabah tersebut.

Lanang terobesesi untuk mencari tahu apa sebenarnya mahluk tersebut. Berbagai usaha dilakukannya hingga akhirnya berkat kegemarannya mengumpulkan cairan tubuh dari para wanita yang dikencaninya, ia berhasil merumuskan sebuah cara ilmiah plus mistis guna menghadirkan sosok burung babi hutan. Usahanya tersebut berhasil, burung babi hutan berhasil ditembaknya hingga tewas. Bersamaan dengan tewasnya mahluk tersebut lenyap juga wabah penyakit yang melanda para sapi perahan

Lanang pun menjadi pahlawan. Namun ini bukan akhir dari kisah Lanang, tewasnya burung babi hutan belum menjawab apa dan darimana mahluk tersebut berasal. Peran Lanang sebagai pahlawan pemberantas wabah penyakit hewan tiba-tiba dipertanyakan dan digugat dalam sebuah seminar Kehewanan Nasional. Selain itu rumah tangga Lanang pun diguncang prahara. Kehidupan Lanang berada dalam titik terendahnya. Secara intelektual dan emosional ia dihancurkan oleh sebuah konspirasi tingkat tinggi yang justru dilakukan oleh kolega-koleganya sendiri.

Sanggupkah Lanang bertahan, darimana dan apakakah sebenarnya burung babi hutan itu muncul? Layaknya sebuah novel misteri, semua misteri dan berbagai kejutan tak terduga akan tersaji di lembar-lembar terakhir novel ini.

Novel dengan keragaman tema

Novel yang dibuat oleh seorang dokter hewan sekaligus pecinta dan pelaku sastra ini memiliki keragaman tema. Ada soal cinta, seks, kemunfaikan, psikologis, dan isu-isu sosial yang menyangkut lingkungan kesehatan hewan dan bioteknologi.

Secara psikologis karakter dalam tokoh-tokoh novel ini bisa dibilang menarik. Pada awalnya kita akan disuguhkan karakter Lanang sebagai dokter hewan yang berdedikasi, mencintai istrinya dan tampak taat menjalankan ritual agamanya. Namun Lanang bukanlah tokoh yang sempurna, sedikit demi sedikit kebusukan dan perilakunya yang aneh dan rapuh akan terungkap. Demikian juga dengan tokoh-tokoh lainnya, seperti Putri, istrinya, Dewi, teman seprofesinya, dan Rajikun di dukun hewan yang kontroversial.

Konflik kejiwaan dan karakter tokoh-tokohnya ditampilkan secara mendalam sehingga membangun novel ini menjadi sebuah novel psikologis yang mengungkap sisi malaikat dan sisi iblis pada tiap manusia.

Tema lain yang menonjol dalam novel ini adalah mengenai lingkungan dunia kesehatan hewan. Tampaknya penulis menumpahkan semua pengetahuan akademisnya dan wawasan lingkungannya sebagai seorang dokter hewan pada novel ini. Seluk beluk mengenai dunia kesehatan hewan dieksplorasi dengan baik termasuk intik-intrik didalamnya dan berbagai konspirasi dalam dunia kesehatan.

Dan yang paling menarik adalah tema rekayasa genetika. Akan terungkap bagaimana penggunaan zat-zat transgenik dalam pengolaan pakan hewan bagaikan pisau bermata dua, di satu pihak dapat memacu produktivitas hewan namun sekaligus bisa berdampak menimpulkan penyakit baru. Ironisnya, hal ini ternyata disengaja agar produsen obat penangkalnya bisa memasarkan produknya dengan maksimal.

Dan hal yang lebih ekstrim lagi adalah akibat rekayasa genetika yang dicobakan pada hewan-hewan yang ada disekeliling kita. Misalnya bagaimana seekor monyet yang diberi gen ubur-bur akan membuat monyet tersebut berpendar dalam gelap, seekor babi yang memilik sayap setelah diberi gen seekor burung, atau pemberian gen manusia pada sapi perah agar dapat menghasilkan susu lebih banyak dan kandungan susu yang dihasilkan menjadi sama dengan ASI ! Semua itu akan terungkap dengan jelas pada novel ini.

Alur cerita

Novel yang ditulis dengan bahasa yang ‘nyastra’ ini memiliki alur kisah yang tak terlalu cepat, kalimat-kalimat yang puitik dalam mendeskripsikan sesuatu tampaknya turut membuat alur kisahnya berada dalam kecepatan yang sedang-sedang saja.

Ketika membaca novel ini, pembaca akan diajak bagaikan menaiki sebuah roler coaster. Perlahan tapi pasti pembaca dibawa menaiki puncak ketegangan dari novel ini. Klimaksnya adalah dengan tertembaknya burung babi hutan ditangan dokter lanang.

Uniknya hal ini terdapat di pertengahan novel ini. Tentunya pembaca akan bertanya-tanya, kalau begitu kisah apa lagi yang akan ditemui di sisa halaman selanjutnya? Yang pasti setelah itu situasi kembali mengendur sesaat, emosi pembaca akan diajak kembali menanjak menuju klimaks berikutnya yang berakhir di lembar-lembar terakhir novel ini.

Novel ini juga menyisipkan berbagai teka-teki dan misteri sehingga walau tak memiliki alur kisah yang cepat, hal ini dapat mengikat pembacanya untuk terus betah melahap novel ini hingga selesai guna mencari jawab semua teka-teki dan misteri yang terdapat dalam novel ini.

Novel yang menuai kritik dan pujian

Seperti telah diungkap diatas, novel ini ternyata menuai beragam tanggapan, baik yang positif maupun negatif. Yang memuji, umumnya mengacungkan jempol pada penulisnya karena keberaniannya menghadirkan tema mengenai rekayasa genetik, seluk beluk peternakan, dll yang merupakan wilayah yang jarang dibicarakan di sastra Indonesia.

Yang mengkritik, menyorot soal terlalu banyaknya deskripsi-deskripsi puitik yang mengganggu alur cerita, beberapa kejadian yang tidak masuk akal, hingga struktur kalimatnya yang dianggap berantakan.

Terlepas dari berbagai kritik atas novel ini, saya pribadi bisa menikmati novel ini hingga tuntas, bahkan banyak mendapat pencerahan melalui dialog-dialog seputar kesehatan hewan, bioteknologi, rekayasa genetik, kritik sosial, hingga intrik-intrik politik dunia kesehatan tanah air yang mungkin merupakan cermin apa yang sesungguhnya terjadi di dunia kedokteran hewan dan peternakan di tanah air.

Dibalik pencerahan yang saya dapat memang ada beberapa hal yang mengganggu seperti beberapa puisi yang menurut saya mengganggu alur kisahnya, terutama di bagian ketika Lanang menumpahkan kekesalannya pada kolega-koleganya melalui kalimat-kalimat puisi sebanyak hampir 3 halaman ! Saya terpaksa melompati bagian ini karena sama sekali tak bisa menikmati puisi tersebut.

Sedangkan untuk peristiwa yang menurut saya ganjil adalah ketika Lanang digempur oleh rekan-rekannya dalam seminar Kehewanan Nasional. Umpatan-umpatan dan tuduhan yang ditujukan pada Lanang tampak terlalu berlebihan dan emosional sehingga tidak mencerminkan suasana sebuah seminar nasional yang dihadiri oleh ahli2 dokter hewan dari luar negeri.

Kehadiran sosok burung babi hutan sendiri saya rasa terlalu mengada-ngada dan agak sulit bagi saya untuk menghadirkan sosok tersebut dalam benak saya. Saya rasa dengan tema, pesan, dan muatan yang sama tak perlulah penulis menghadirkan sosok mahluk aneh dan terkesan mistis. Jika saja burung babi hutan digantikan dengan sejenis virus, seperti virus flu burung yang hingga kini masih menjadi momok di negara kita, pasti novel ini akan lebih membumi dan bermanfaat karena ada kesempatan bagi penulisnya untuk mengemukakan hal-hal baru mengenai virus ini.

Selain itu usaha ketika lanang akhirnya memperoleh suatu rumusan yang mencampuradukkan unsur bioteknologi, mistis, dan religi untuk memanggil burung babi hutan saya rasa terlalu berlebihan dan diluar nalar saya yang awam dengan kajian bioteknologi.

Nah, dibalik semua kelebihan dan kekurangannya tersebut, novel yang telah hadir dan menyemarakkan jagad sastra kita ini setidaknya memiliki nilai-nilai baik. Seperti yang ditulis oleh koran tempo, novel ini telah mengangkat satu isu yang sangat aktual, yaitu mengenai teknologi transgenik yang masih diwarnai perdebatan sampai sekarang, Selain itu terungkap pula tarik menarik antara kedokteran modern dangan pengobatan alternatif, hubungan suami istri, serta isu lingkungan.

@h_tanzil

Monday 4 August 2008

Petualangan Tintin - Cerutu Sang Firaun

Judul : Petualangan Tintin - Cerutu Sang Firaun
Penulis : Herge
Penerjemah : Donna Widjajanto
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 64 hlm ; 22 cm

Diantara sekian banyak komik Tintin yang pernah saya baca, Cerutu Sang Pharaoh (Indira) atau Cerutu Sang Firaun (Gramedia, 2008) merupakan salah satu judul favorit saya. Saya pertama kali membacanya saat masih duduk di bangku SMP. Saya teratik dengan covernya yang menggambarkan Tintin dan Milo (Snowy) sedang mengendap-ngendap dalam sebuah makam lengkap dengan latar heliograf dan mumi yang berderet-deret. Saat itu, saya juga sangat tertarik dengan lambang / simbol sang Firaun yang terdapat di buku ini. Saking sukanya akan simbol tersebut, saya sering menggambarkan simbol sang firaun tersebut di buku-buku tulis saya semasa SMP.

Karenanya ketika Gramedia menerbitkan kembali seri petualangan Tintin, maka Cerutu Sang Firaun merupakan buku Tintin pertama yang saya beli setelah sebelumnya saya memperoleh 2 judul lain (Tintin di Soviet & Si Kuping Belah) secara gratis atas kebaikan Gramedia.

Di awal kisahnya, diceritakan Tintin bersama Milo sedang dalam perjalanan menuju Shanghai. Di atas kapal ia bertemu dengan Philemon Siclone yang mengaku memiliki manuskrip dengan simbol Firaun berupa peta lokasi kuburan Firaun Kih-Oskh yang hilang . Banyak ahli Mesir berusaha menemukannya, anehnya mereka semua hilang tak berbekas. Untuk itu Siclone mengajak Tintin bergabung untuk bersama-sama menemukan kuburan Firaun yang hilang itu.

Namun belum sampai tujuan, malam sebelum kapalnya berlabuh di Port Said, seseorang menjebak Tintin dengan memasukkan narkoba kedalam kabinnya. Tintin pun ditangkap dan dikurung dalam kabinnya oleh detektif kembar Dupond dan Dupont. Namun ketika kapal telah berlabuh di Port Said, Tintin dan Milo berhasil meloloskan diri.

Di Port Said Tintin bertemu kembali dengan Siclone dan akhirnya berhasil menemukan makan Sang Firaun yang hilang. Ketika Tintin memasuki ruang makam, betapa kagetnya karena ia menemukan para peneliti Mesir yang dikabarkan hilang telah menjadi mumi, dan yang lebih mengerikan lagi telah tersedia tiga sarkofagus kosong dengan nama Siclone, Tintin dan Milo.

Belum pulih dari rasa kagetnya, Tintin tiba-tiba terjebak dalam kuburan itu. Saat mencari jalan keluar, ia menemukan beberapa peti berisi cerutu dengan symbol Sang Firaun. Namun tiba-tiba kepalanya pusing dan iapun jatuh pingsan.

Apa yang terjadi pada Tintin, mengapa ada cerutu dalam makam sang Firaun?, Berhasilkah ia menemukan jalan keluar dan memecahkan misteri yang ia temui? Yang pasti dalam petualangannya kali ini kita akan diajak mengungkap sindikat perdagangan narkoba mulai dari Mesir, Arab, hingga India. Dan bak menonton film James Bond, kita akan disuguhkan petualangan baik di laut, darat dan udara.

Berdasarkan urutan kronologisnya, Cerutu Sang Firaun merupakan kisah ke 4 dari petualangan Tintin. Untuk pertama kalinya kisah ini dirilis pada tahun 1932. Di komik inilah untuk pertama kalinya pasangan detektif Dupond dan Dupont (Thomson & Thompson) muncul. Selain itu, Cerutu Sang Firaun juga menjadi pemunculan pertama Roberto Rastapopoulos, musuh abadi Tintin yg kerap tampil sampai beberapa episode berikutnya.

Ketika komik ini dibuat, penemuan makam Firaun sedang menjadi topik yang hangat sehingga mengilhami Herge untuk membuat kisah Tintin yang terperangkap dalam makam sang Firaun lengkap dengan hieroglif dan mummi. Bahkan Herge mencantumkan para peneliti yang dikenal telah meninggal secara misterius setelah melakukan ekspedisi makam-makam Firaun. Sedangkan untuk logo Firaun, nampaknya Herge mengadaptasi dari lambang Yin dan Yang sehingga jika diperhatikan akan ada kemiripam yang signifikan.

Seperti yang menjadi ciri khas komik petulangan Tinitin, dalam komik ini Herge menunjukkan berbagai akurasi gambar dengan kondisi sebenarnya seperti hieroglif pada makam Firaun, menara Port Said, pakaian tentara-tentara Arab, termasuk senapannya. Dan juga pesawat tempur DH-80 buatan Inggris, 1929. Selain itu penggambaran fisik bangsa India beserta kebudayaannya juga tersaji secara akurat. Semua itu menandakan bahwa Herge telah melakukan riset yang dalam untuk menghidupkan latar dalam tiap komik-komiknya.

Namun ada juga kejanggalan dalam judul ini, contohnya di halaman 15 Sheik Patrash Pasha terlihat menunjukkan sebuah buku komik Tintin yang berjudul ‘Perjalanan ke Bulan’. Padahal kisah Perjalanan ke Bulan baru dibuat dua puluh tahun kemudian setelah kisah Cerutu sang Firaun dibuat.

Menurut Tintinologist (situs resmi Tintin), kejanggalan tersebut dikarenakan komik Tintin telah berulangkali dilakukan revisi atau penggambaran ulang oleh Herge sendiri. Pada versi Petit Vingtieme, komik yang ditunjukkan Sang Pasha pada Tintin adalah komik “Tintin di Amerika”, sedangkan di edisi kedua yang diperlihatkan adalah ‘Tintin di Congo’. Hal ini juga disebabkan karena pembuatan/penerbitan Tintin versi warna yang memang tidak seusaui dengan urutan versi awalnya yang masih berupa komik hitam putih

Kisah petualangan Tintin dalam membongkar sindikat narkoba dalam Cerutu sang Firaun akan terus berlanjut dalam kisah Lotus Biru. Tak heran jika dalam Cerutu Sang Firaun belum terungkap secara jelas siapa otak mafia dibalik penyebaran narkoba yang disamarkan dalam bentuk sebuah cerutu bersimbol Sang Firaun.

@h_tanzil
 
ans!!