Tuesday 22 July 2008

Vereeniging Toertistenverker Batavia (1908-1942)

Judul Buku : Vereeniging Toertistenverker Batavia (1908-1942)
Awal Turisme Modern di Hindia Belanda
Penulis : Achmad Sunjayadi
Penerbit : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI
Cetakan : Des 2007
Tebal : 143 hlm

Penelitian mengenai sejarah perkembangan turisme di Indonesia masih sangat jarang dilakukan. Belum banyak yang mengetahui bahwa perkembangan turisme modern di Indonesia diawali dengan dibentuknya sebuah perhimpunan turisme di Batavia pada 1908 yang bernama Vereeniging Toeristenverkeer (VTV).

Pengaruh VTV sebagai peletak dasar perturisan di Indonesia masih terasa hingga kini. Misalnya, beberapa obyek wisata yang diunggulkan dan cara-cara pemerintah Indonesia dalam mempromosikan obyek-obyek wisatanya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda melalui VTV.

Apa yang mendasari terbentuknya VTV, bagaimana sejarah turisme modern berkembang di Indonesia, dan apa pengaruhnya bagi perkembangan kepariwisataan di Indonesia hingga kini? Semua jawaban atas pertanyaan diatas dapat ditemui pada buku ini yang sebenarnya diangkat dari tesis penulisnya dan telah dipertahankan di Program Studi Ilmu Sejarah Pascasarjana FIB UI.

Dalam buku ini dinyatakan bahwa turisme modern di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 tidak terlepas dari perkembangan industri turisme di Eropa yang berkembang setelah industrialisasi menjelang pergantian abad. Selain itu dipicu pula oleh munculnya kelas masyarakat baru, yaitu kelas pengusaha yang memiliki penghasilan lebih dan ingin melepaskan diri sejenak dari kepenatan pekerjaan mereka.

Hindia Belanda yang pada masa itu merupakan salah satu koloni Belanda adalah salah satu tujuan para pelancong Eropa dan Amerika. Sebelum abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda melakukan pembatasan dan pengawasan kepada mereka yang hendak berkunjung ke Hindia Belanda. Ketertutupan ini menyebabkan Hindia Belanda menjadi wilayah yang misterius. Apa yang didengar oleh masyarakat Eropa tentang kehidupan di Hindia Belanda hanyalah berita mengenai wabah penyakit, bencana alam, perang antar suku, dan santet, namun keadaan seperti inilah yang justru semakin membangkitkan rasa penasaran para pelancong Eropa.

Barulah pada 1904 setelah Perang Aceh usai, pemerintah Hindia Belanda mulai membuka diri terhadap para pelancong Eropa. Jawa dianggap wilayah yang paling layak untuk dijadikan obyek yang memperlihatkan suatu wilayah yang telah dikuasai baik secara sosial, politik, ekonomi maupun budaya.

Karenanya pemerintah Hindia Belanda segera menjadikan wilayahnya sebagai daerah tujuan turisme. Hal ini ditandai dengan didirikannya perhimpunan turisme pertama Hindia Belanda yang dinamakan Vereeniging Toeristenverkeer (VTV) yang dibentuk dan diresmikan oleh Gubernur JenderaL Hindia Belanda, Van Heutsz pada tahun 1908.

VTV yang beranggotakan para pengusaha yang mempunyai hubungan dengan turisme (perusahaan transprotasi, perhotelan, pemilik toko, perbankan, dll) ini untuk pertama kalinya membuka kantornya di Batavia. Kantor ini bertugas untuk mempromosikan, memberikan informasi, dan membuat reklame turisme yang kemudian disebarkan baik di dalam maupun di luar negeri. Awalnya perhimpunan ini mengawali kegiatannya di Jawa, lalu meluas ke Bali, Sumatera, Kalimantan, hingga ke kepulauan Maluku.

Secara rinci buku ini memuat bagaimana usaha-usaha yang dilakukan oleh VTV dan pemerintah Belanda dalam mempromosikan obyek-obyek wisata di Hindia pada masa itu. Pembahasan buku ini memiliki lingkup rentang waktu antara 1900-1942 dengan lebih memfokuskan pada masa peranan VTV (1908-1942). Tak hanya itu, masa sebelumnya, yaitu antara 1850-1908 juga dibahas untuk mengetahui kondisi turisme sebelum didirikannya VTV di Hindia Belanda.

Periode 1850 dipilih sebagai patokan awal pembahasan buku ini karena tahun tersebut merupakan tahun munculnya turisme modern di dunia yang dirintis oleh Thomas Cook. Sementara tahun 1942 dipilih sebagai berakhirnya obyek penelitian penulisnya karena berdasarkan sumber-sumber yang ada, turisme di Hindia Belanda terganggu akibat masuknya Jepang dan diperkirakan di masa ini VTV otomatis tidak berfungsi.

Buku ini disajikan dalam empat bab, selain prolog dan epilog. Pada bab I diurai situasi turisme di Hindia Belanda, dan kebijakan pemerintah dalam hal turisme, khususnya di Jawa sebelum dibentuknya VTV.

Pada bab II, diketengahkan alasan-alasan pembentukan VTV dan bagaimana struktur organisasi, kegiatan-kegiatan promosi dan analisa jumlah turis setelah terbentuknya VTV. Selain itu dibahas pula mengenai kendala-kendala yang dihadapi dalam mengelola turisme di Hindia Belanda.

Peran VTV dan perkembangan turisme modern di Hindia dianalisa pada bab III. Hal-hal yang dibahas adalah promosi turisme sebegai representasi kolonial, pergeseran daerah turisme dari Jawa ke Bali, pembukaan jalur penerbangan pertama, profil para turis yang datang serta obyek-obyek wisata yang disarankan untuk dikunjungi.

Di Bab IV akan dikemukakan hasil analisa pengaruh VTV terhadap turisme modern di Jawa, serta pengaruh dan akibat turisme modern terhadap para neo priyayi pribumi melalui pembentukan VTV lalu dikaitkan dengan citra ‘Indonesia’ yang dibentuk oleh perhimpunan turisme ini.

Ada banyak hal yang menarik yang akan kita temui dalam buku ini. Antara lain akan
terungkap bahwa daerah-daerah yang paling sering dikunjungi para turis pada masa itu adalah obyek alam dan budaya, seperti daerah pegunungan di Priangan, Tosari di Jawa Timur,dll. Selain itu candi-candi Buddha dan Hindu seperti Borobudur, Prambanan, dan Mendut, juga merupakan lokasi yang paling sering dikunjungi.

Selain keindahan panorama alam dan budaya, VTV juga menjual ‘keprimitifan’ penduduk pribumi. Sehingga di tahun 20-an ketika Jawa semakin modern maka daerah tujuan wisata dialihkan ke Pulau Bali yang saat itu dianggap masih ‘asli’ dan kuno dibanding Jawa.

Tari-tarian daerah juga menarik perhatian para turis, contohnya ketika pada tahun 1889 pemerintah Hindia Belanda ikut dalam pameran Exposition Universelle di Paris-Perancis. Paviliun Hindia Belanda menampilkan para penari dari Jawa. Pertunjukan ini mendapat sambutan yang hangat karena para pengunjung dapat menyaksikan secara langsung para penari yang ‘separuh telanjang’ (hanya menggenakan kain sebatas dada) di muka umum. ‘Ketelanjangan’ di muka umum di masa itu merupakan hal yang luar biasa karena sebelumnya mereka hanya bisa melihat melalui lukisan dan kartu pos dari negeri Timur.

Masih banyak hal-hal menarik yang akan kita temui dalam buku ini. Diluar bagian yang membahas struktur organisasi VTV, bahasan lain dalam buku ini pastinya akan menarik baik bagi para sejarahwan maupun para pembaca awam yang ingin mengetahui lebih banyak tentang sejarah dan kondisi turisme di Indonesia di jaman Hindia Belanda. Walau buku ini pada awalnya merupakan sebuah tesis namun tak berarti buku jadi rumit dan susah dimengerti. Saya pribadi yang tidak memiliki latar pendidikan sejarah dapat membaca dan menikmati buku ini hingga tuntas.

Hingga tulisan ini dibuat, buku ini baru dicetak dan beredar secara terbatas di lingkungan kampus Fakultas Ilmu Budaya – Universitas Indonesia dan tidak diperdagangkan. Mungkin sudah waktunya buku ini dibaca oleh masyarakat luas, terlebih para pemerhati dan praktisi turisme di Indonesia, karena mungkin baru buku inilah yang membahas sejarah turisme di Indonesia dalam kurun waktu tertentu secara komprehensif.

Selain itu seperti yang diungkap oleh penulisnya, apa yang tersaji dalam buku ini diharapkan dapat memperkaya mozaik historiografi tentang sejarah turisme di Indonesia yang masih sangat kurang. Selain itu, buku ini diharapkan dapat mendudukkan sejarah turisme sebagai bagian dari historiografi Indonesia, mengingat adanya anggapan bahwa turisme di Indonesia belum lama berkembang. (hal xvii).

Sedikit catatan jika buku ini kemudian dicetak dan diterbitkan untuk umum, tentunya perlu diperbanyak lagi ilustrasi-ilustrasinya baik berupa gambar maupun kisah-kisah pengalaman para pelancong ketika mengunjungi Hindia Belanda di masa itu. Walau berupa kisah-kisah perjalanan yang remeh temeh, namun hal tersebut akan membuat buku ini menjadi lebih menarik dan lebih hidup lagi.

Untuk halaman-halaman yang berisi foto-foto dari majalah atau brosur di tahun 30-40an tentunya jika disajikan secara berwarna akan lebih menarik. Cover buku berupa foto hitam putih kantor VTV di Batavia saya rasa sudah sangat pas dengan pokok bahasannya dan menghadirkan nuansa masa lampau seperti yang dibahas dalam buku ini.

Selain itu walau agak diluar cakupan pembahasan buku ini, mungkin perlu pula sedikit disinggung mengenai organisasi turisme pertama di Indonesia yang dikelola oleh para bumiputera yang mungkin tumbuh bersamaan atau merupakan kelanjutan dari VTV setelah perkumpulan ini praktis bubar ketika kedatangan Jepang dan kemerdekaan Indonesia.

Sedikit tentang penulis

Achmad Sunjayadi, lahir di Jakarta 11 Mei 1973. Lulus dari Program Studi Belanda FSUI 1996. Setelah bekerja sebagai pengajar bahasa Belanda dan mengikuti kuliah di Dutch Studies, Universitiet Leiden, Belanda, pada 2003 ia melanjutkan studi Ilmu Sejarah di Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia dan lulus tahun 2006. Saat ini bekerja sebagai pengajar tetap di Program Studi Belanda FIB UI, dan beberapa tempat lainnya.

Tulisan-tulisannya kerap dipublikasikan di media-media cetak nasional, antara lain, Femina, Kompas, Seputar Indonesia, Ujung Pandang Express, de Volkskrat, dll. Karya-karya ilmiahnya juga telah dipublikasikan di berbagai jurnal dan media ilmiah.

Selain itu penulis juga telah menerjemahkan beberapa buku, antara lain Batavia Awal Abad XX – HCC Clockener Brousson (Komunitas Bambu, 2004), Lembah Kekal, Euwege Vallei: Sajak-sajak Sitor situmorang dalam bahasa Indonesia dan terjemahan bahasa Belanda (Komunitas Bambu & Kedutaan Besar Belanda, 2004), dan Melintas Dua Jaman: Kenangan tentang orang Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan, otobiografi Elien Utrecht. (Komunitas Bambu & NLPVF,2006)

Penulis juga aktif meresensi buku-buku bertema sejarah dalam blog bukunya : http://sunjayadi.com/

@h_tanzil

Monday 14 July 2008

Menyusuri Lorong-Lorong Dunia – jilid 2

Catatan Perjalanan Plus Plus !

Judul : Menyusuri Lorong-Lorong Dunia – jilid 2
Penulis : Sigit Susanto
Penyunting : Puthut EA
Penerbit : Insist Press,
Cetakan : I, Maret 2008
Tebal : xvi + 477 hal

“…aku ingin memboyong seluruh lorong kota atau negara yang sedang aku kunjungi untuk dibawa pulang ke negeri sendiri. Jangan ada satu jejakku yang lepas dari catatan, ketika aku berada di kota atau negeri asing itu”. (hal 11)

- Sigit Susanto, Menyusuri Lorong-Lorong Dunia jilid 2-

Demikian tekad Sigit Susanto, seorang petualang sejati dan penyuka sastra yang hingga tulisan ini dibuat telah mengunjungi sebanyak 27 negara bersama istri tercintanya, Claudia Beck. Dari Swiss dimana ia tinggal dan bekerja, ia memulai petualangannya menyusuri lorong-lorong dunia. Ia rela menyisihkan sebagian penghasilan sebagai buruh pabrik elektronik hinga juru masak hamburger, yang penting ia masih punya waktu dan uang untuk bepergian dan belajar sastra.

Ketekunannya yang luar biasa untuk mencatat semua kisah perjalanannya kini telah berbuahkan dua buah buku catatan perjalanan. Tahun 2005 terbit buku catatan perjalanannya yang berjudul Menyusuri Lorong-lorong Dunia (Insist Press). Dan kini, terbitlah sekuel dari buku pertamanya. Masih dengan judul yang sama hanya diberi imbuhan ‘jilid 2’, mengisyaratkan bakal ada jilid-jilid selanjutnya selama Sigit masih berkelana dan mencatat semua kisah perjalanannya.

Buku pertamanya sukses di pasaran, resensinya muncul di lebih dari 5 media cetak lokal dan nasional. Semuanya bernada positif dan memuji apa yang dicatat oleh Sigit Susanto dalam bukunya. Dan kesemua resensi tersebut sepakat bahwa apa yang ditulis oleh Sigit Susanto menawarkan sesuatu yang ‘lain’ dibanding buku-buku kisah perjalanan lainnya.

Dibanding buku pertamanya, dibuku keduanya ini jumlah negara yang dikunjunginya menyusut hampir setengahnya. Jika dibuku pertamanya Sigit mencatat perjalanannya di 13 negara, kini ia hanya mencatat sebanyak 7 negara saja (Swiss, Dublin, Hongaria, Potugal, Maroko, China, dan Vietnam). Alih-alih memperbanyak jumlah negara yang dikunjunginya, di buku keduanya ini Sigit mencatat kisah perjalanannya dengan begitu detail sehingga dari segi ketebalan buku, buku ini tampak lebih gemuk dibanding yang pertama.

Selalu ada Sastra

Tampaknya dunia sastra sudah mendarah daging dalam jiwa Sigit. Ketika penulis kisah-kisah perjalanan lainnya berasyik-asyik menulis keeksotisan panorama alam yang dilihatnya dan mencerecap nikmatnya keragaman kuliner yang memabukkan raga, Sigit malah mengurai dunia sastra yang ia sesuaikan dengan konteks negara yang dikunjunginya.

Buku ini dibuka dengan bab “Ullyses Dibaca selama Tiga Tahun”. Dari judulnya saja sudah sangat jauh dari kesan sebuah tulisan mengenai catatan perjalanan pada umumnya. Di bab ini Sigit menceritakan pengalamannya mengikuti reading groups Ullyses di kota Zurich, Swiss.

Di dua bab berikutnya, Sigit masih keasikan menulis hal-hal seputar James Joyce. Ia tumpahkan semua informasi yang dimilikinya tentang Joyce dan karya-karyanya. Mulai dari perayaan Blomsday, hingga menyusuri Dublin untuk menapaktilasi kehidupan Joyce disana.

Tulisannya tentang Joyce bisa dikatakan cukup komprehensif, selain mengunjungi rumah-rumah yang pernah ditempati Joyce dan museum James Joyce, Sigit juga mengurai biografi Joyce beserta ulasannya mengenai proses kreatif dibalik pembuatan Ullyses. Tak hanya itu di bab ini disertakan juga teks satu halaman pertama Ullyses dalam bahasa inggris. Singkat kata, ketiga bab pertama dalam buku ini bisa dijadikan pengantar yang sangat baik bagi mereka yang ingin mendalami dunia Joyce.

Jika di Dublin kita diajak berkenalan dengan Joyce, maka di Budapest-Hongaria ada Imre Kertesz, peraih nobel sastra 2002, Erno Szep, penyair dan wartawan. Di Portugal ada Vasco da Gama, Fernando Antonio Pessoa (1888-1935), Jose Saramago, dll. Di Maroko ada Fettima Merissi, penulis feminis, di China kita akan bertemu Mao yang juga seorang penyair dan Lu Xun yang berkata, “Semua sastra adalah propaganda, tapi tidak semua propaganda itu sastra “( hal 303). Sedangkan di Vietnam ada Bao Ninh dan Le Thi Deim Thuy, penulis lokal yang menulis novel tentang perang vietnam. Selain itu ada juga Candi Sastra, sekolah pertama dan tertua di Vietnam.

Kesemua nama sastrawan diatas, walau tak sedetail Joyce ditulis dengan informatif beserta karya-karya terkemukanya. Selain bicara soal sastrawan dan karya-karyanya, beberapa kalimat yang nyastra juga ikut menghiasi buku ini, tanpa berlebihan Sigit mennyelipkan sejumlah metafora dalam kalimat-kalimatnya, seperti :

“Stasiun Desa Oberwil masih tidur. Tidak ada kereta di pagi itu yang bisa membawa kami ke bandara”, “Masih ada tiga jam lagi untuk mencumbui sudut-sudut kota yang alpa kami singgahi”, “Cahaya pagi matahari sontak tumpah di kamar. Kami terbangun agak malas.”

Pilihan kalimat-kalimat nyastra diatas tentu saja membuat buku ini semakin enak dibaca. Sigit memang dikenal dengan penutur yang baik. Membaca tulisan-tulisannya yang, deskrpitif, renyah, dan enak dibaca membuat seolah kita sendiri yang sedang berkelana menyusuri lorong-lorong dunia.

Realita Budaya dan Politik.

Tak hanya mencatat soal tempat dan sastra, Sigit juga senantiasa menyinggung realita budaya dan politik di tiap negara yang dikunjunginya. Terlebih ketika ia mengunjungi tiga negara sosialis (Hongaria, Vietnam dan China). Di tiga negara ini tampaknya Sigit antusias sekali mencari tahu pandangan masyarakat kecil mengenai kondisi sosial politik di negara-negara tersebut dan membandingkannya dengan kondisi di Indonesia

Untuk usahanya itu ia tak segan-segan menyelinap dari rombongan tournya dan mewawancarai tiap orang yang ditemuinya untuk memperoleh informasi. Jika dirasa masih juga belum lengkap, ia akan melengkapinya dengan sejumlah buku-buku yang yang dibacanya sebelum dan setelah ia mengunjungi negara tersebut. Karenanya tak heran buku ini menjadi sangat informatif.

Untuk memperkaya catatan perjalanannya ini, Sigit mengunyah lebih dari 100 buku yang dilahapnya dengan rakus. Semua buku yang dibacanya dan dijadikan sumber acuan tulisannya, tertera dalam daftar pustaka di lembar terakhir buku ini.

Ketika menulis realita sosial di setiap negara yang dikunjunginya, akan terungkap bahwa Sigit adalah seorang yang lembut hatinya, berkali-kali ia merasa gelisah manakala melihat ketimpangan dan ketidakadilan yang menimpa orang-orang kecil di negara yang ia kunjugi. Ketika berada di China, hatinya trenyuh melihat bagaimana tukang perahu harus turun ke sungai untuk mendorong perahu manakala sampai di sungai yang dangkal sementara para turis masih asik berada diatas perahu.

Sisi kemanusiaannya tergugah ketika melihat kuli-kuli di China berjalan sempoyongan mengangkut kopor-kopor milik wisatawan. Hatinya membatin resah karena beberapa wisatawan mengabadikan para kuli tersebut dalam kamera foto mereka. “Akankah mereka menjual kemiskinan China yang jarang diberitakan media ? Ataukah para wisatawan itu akan membuktikan, semaju-majunya China, di Barat, dunia mereka, tidak ada kuli seperti di China” (hal 318)

Peta dan Foto-foto

Selain dilengkapi dengan peta rute perjalanan, buku ini juga menyertakan sejumlah foto. Tak seperti di buku pertamanya yang menyajikan foto hitam putih tak jelas, kini foto-fotonya berwarna dan terlihat ‘kinclong’ karena dicetak secara khusus diatas kertas glossy. Sayang semua fotonya ditempatkan di akhir tiap bab, andai saja dapat diletakkan di sebelah halaman yang membahas tempat atau peristiwa dalam foto tersebut, tentunya pembaca akan lebih dimudahkan lagi dalam mengikuti petualangan penulisnya.

Sama seperti tulisannya yang tak mengumbar keeksotisan suatu tempat, beberapa foto dalam buku inipun menyajikan foto-foto bertema sosial. Di Dublin tersaji foto seorang pemabuk duduk di tengah patung Oscar Wilde dan Eduard Vilde, di Maroko ditampilkan foto tukang cerita yang sedang beraksi, lalu ada pula foto pengemis buta yang berderet-deret.

Di China, alih-alih menyajikan foto Tembok Besar dan kemegahan patung tentara Terra Cotta, Sigit malah menyajikan foto barisan orang yang sedang mengantri untuk menuju mouseleum Mao di Tainamen, selain itu ada pula foto seorang ibu yang menggendong anaknya di dalam keranjang bambu.

Foto penulisnya sendiri tampak dua kali mejeng di buku ini, pertama foto Sigit yang sedang membaca Ullyses dengan latar Martello Tower, Dublin. Kedua foto Sigit di depan monumen kapal ekspedisi Vasco da Gama, Lisabon. Sayang tak ada satupun foto penulis bersama istrinya. Padahal Sigit dan Claudia Beck selalu bersama dalam menyusuri lorong-lorong dunia. Dan lagi bukankah hampir di tiap bab, aktifitas sang istri juga turut mewarnai kisah perjalanan penulisnya?.

Catatan Perjalanan Plus Plus

Akhirnya, setelah melahap habis buku ini dan buku pertamanya, tak berlebihan jika saya katakan bahwa apa yang ditulis Sigit dalam dua bukunya ini bukan sekedar catatan perjalanan biasa. Buku ini merupakan Kumpulan Catatan Perjalanan Plus Plus !. Plus pertama adalah muatan sastranya, plus kedua adalah muatan sosial budaya dan politiknya. Kedua ‘plus’ inilah yang membuat buku ini menjadi begitu informatif, kaya materi, dan yang pasti akan menambah wawasan kita akan negara-negara yang dikunjungi penulisnya.

Namun harus disadari tak semua pembaca catatan perjalanan suka akan kedua plus diatas. Detailnya Sigit mengungkap sastra dan politik akan menjadi hal yang paling membosankan bagi mereka yang tak menyukai kedua bidang tersebut. Karenanya diperlukan positioning yang jelas bagi siapa buku ini diperuntukkan. Jika sekedar diperuntukkan bagi mereka penyuka traveling saja, tentunya ini bukan buku yang tepat. Namun jika diperuntukkan bagi para petualangan sejati yang juga menggemari sastra dan politik, buku inilah yang wajib dibaca dan dimiliki!

Apa yang kurang dibuku ini?

Anwar Holid, pengamat buku yang juga menjadi pembahas ketika buku ini diluncurkan di TB Ultimis Bandung mengungkap bahwa meski buku ini telah dieditori oleh Puthut EA yang dikenal sebagai ‘penulis yang kuat’, buku ini dari segi editing masih menyisakan bebagai kelemahan. Peta yang buruk, salah eja, inkonsistensi format, dan kekeliruan pencantuman indeks membuat hal-hal tersebut mesti segera diperbaiki bila nanti cetak ulang., demikian ungkap Anwar Holid.

Namun terlepas dari berbagai kekurangan di atas, buku ini tetap bisa saya nikmati dengan baik. Bagi saya yang tak pernah menjejakkan kaki ke luar negeri, membaca buku ini yang ditulis dengan renyah, mengalir, enak dibaca, dan kaya akan informasi sastra, membuat saya seolah ikut menyusuri lorong-lorong dunia sambil menekuni dunia sastra lewat halaman-halaman buku.

Sigit masih terus mencatat

Sesusai dengan tekadnya yang saya kutip di awal tulisan ini, Sigit masih akan terus mencatat semua kisah perjalanannya. Di pertengahan tahun 2008 ini saja sudah terjadwal kunjungannya ke 4 negara lagi. Tampaknya tak ada yang bisa menghentikan langkah kaki dan guratan penanya selama ia masih bekerja dan tinggal di Eropa.

Sigit masih terus berkelana dan mencatat kisah-kisahnya, akankah kembali dibukukan ? Apakah penerbit memiliki komitmen untuk menerbitkan jilid-jilid selanjutnya? Jika jawabannya “Ya”, maka seri Menyusuri Lorong Lorong Dunia akan merupakan buku seri catatan perjalanan yang kedua yang terbit secara konsisten setelah era legenda traveling Prof. HOK Tanzil yang pernah merajai tulisan catatan perjalanan di era 80an.

@h_tanzil

Monday 7 July 2008

Mohon Maaf...

Kepada para pengunjung setia blog ‘bukuygkubaca’, saya mohon maaf sebesar-besarnya karena sudah lebih dari 2 minggu ini saya belum juga meng-update review buku. Karena kesibukan baik di keluarga dan pekerjaan yang semakin menumpuk, otomatis jam baca saya semakin sempit sehingga buku yang saya baca tak juga rampung-rampung terselesaikan.

Sebenarnya saya sudah menyelesaikan buku Menyusuri Lorong-Lorong Dunia jilid 2 – Sigit Susanto, namun hingga kini belum sempat menuntaskan reviewnya. Semoga minggu depan bisa saya buatkan reviewnya

Seperti biasa walau waktu semakin sempit untuk membaca, ‘lapar mata’ terhadap buku tetap saja tak bisa dibendung. Di sela-sela menunggu mertua yang sakit di RS Boromoeus Bandung, saya menyempatkan diri ke counter TB Gramedia yang masih satu komplek dengan RS Boromeous.

Counter Gramedia yang mungil namun lengkap dan ditata dengan menawan itu membuat saya tak bosan-bosannya mampir untuk menghilangkan kejenuhan selama menunggu di rumah sakit. Setelah beberapa kali berkunjung akhirnya kemarin saya melihat sebuah buku sejarah :

Nusantara, Sejarah Indonesia
Judul Asli : Nusantara : A History of Indonesia
Penulis : Bernard HM. Vleke
Penerjemah : Samsudin Berlian
Penerbit : KPG, cet II April 2008
Tebal : 528 hal

Buku ini diterbitkan oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dan diterjemahkan dari edisi tahun 1961. Sebelumnya saya memang sudah mendengar bahwa buku yang banyak dijadikan sumber referensi oleh para peneliti sejarah ini telah diterjemahkan oleh KPG. Namun baru kali ini saya melihat wujud fisiknya.

Secara fisik buku Nusantara ini menarik, covernya yang berupa lukisan peperangan karya Rully Sutanto sangat menawan dan terkesan lebih menyerupai novel dibanding buku sejarah, selain itu halaman dalamnya dicetak diatas kertas yang ringan sehingga buku setebal 528 halaman ini terasa enteng ditangan.

Di halaman copyright ada hal yang menarik, berupa penjelasan dari penerbit sbb :

Penerbitan buku ini sudah melalui proses pencarian hak terjemahan sebagaimana mestinya. Kendati demikian, hingga buku naik cetak, penerbit belum berhasil menghubungi pemegang hak cipta buku yang sah. Penerbit akan menyelesaikan persoalan hak terjemahan buku ini segera setelah berhasil menghubungi pemegang hak cipta yang sah.

Wah, pernyataan yang jujur dari penerbit nih…

Akhirnya tanpa pikir panjang saya beli buku Nusantara tersebut seharga Rp. 60.000,-. Dan karena saya belum sempat membacanya, maka saya akan memberikan deskripsinya saja sesuai dengan yang tercetak di cover belakang buku ini.

Deskripsi :

Nusantara merupakan salah satu karya tentang sejarah Indonesia yang ditulis dengan perspektif komprehensif. Kurun waktu yang dibahas sejak zaman pra-kolonial sampai 1941.”Buku ini dirancang sebagai sejarah Indonesia dan bukan perluasan perusahaan dan koloni Belanda di luar negeri,” tukas Vlekke, seng penulis, dalam prakatanya. Karena itu, sejarah negara-negara dan pranata-pranata di Indonesia pra-kolonial mendapat porsi pembahasan lebih besar.

Uraiaannya tentang sejarah Indonesia pra-kolonial itu sangat penting dan kaya ilustrasi. Tentang Majapahit, misalnya. Menurut Vlekke, kejayaan Majapahit runtuh bukan disebabkan oleh kerajaan Islam.

Vlekke juga punya penjelasan menarik tentang mengapa masyarakat Jawa berbondong-bondong masuk Islam, tapi pada saat yang sama begitu bersahabat dengan tradisi lokal (sinkretis). Para raja Jawa, menurut Vlekke, memilih Islam bukan karena mereka suka dengan agama itu, melainkan karena situasi politik mendorong mereka untuk bertindak demikian. Mereka dihadapkan pilihan sulit antara memilih bersekutu dengan Portugis atau bekerjasama dengan Johor dan Demak, yang berarti harus memilih antara Kristen dan Islam.

Membaca Nusantara seperti membaca dongeng karena kaya ilustrasi. Inilah kelebihan lain karya ini dibandingkan kebanyakan buku sejarah tentang Indonesia.

Daftar Isi :

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG GEOGRAFIS

BAB 1
FAJAR SEJARAH INDONESIA

BAB 2
KERAJAAN-KERAJAAN JAWA DAN SUMATERA

BAB 3
PENDIRI-PENDIRI IMPERIUM DI JAWA

BAB 4
MUSLIM DAN PORTUGIS

BAB 5
PEDAGANG DARI NEGERI RENDAH

BAB 6
INDONESIA DI ZAMAN SULTAN AGUNG
DAN ZAN PIETERSZOON COEN

BAB 7
KEUNGGULAN KEKUATAN LAUT DI INDONESIA

BAB 8
KERUNTUHAN NEGARA-NEGARA INDONESIA

BAB 9
ASPEK-ASPEK BARU KEHIDUPAN DI INDONESIA

BAB 10
ORANG BELANDA DAN INDONESIA PADA ABAD KE 18

BAB 11
HERMAN WILLEM DAENDELS,
NAPOLEON DARI BATAVIA

BAB 12
THOMAS STAMFORD RAFLESS, PENDIRI SINGAPURA

BAB 13
JOHANNES VAN DEN BOSCH DAN KAUM LIBERAL

BAB 14
PENYATUAN INDONESIA

BAB 15
BERAKHIRNYA SUATU KOLONI,
LAHIRNYA SUATU BANGSA

BAB 16
MENUJU PERANG DAN REVOLUSI

CATATAN
RINGKASAN KRONOLOGIS
INDEKS


Nah! Menarik bukan? Yang pasti melihat cover , membaca deskripsi, dan melihat daftar isinya membuat saya ingin segera membacanya.. Wah bertambah panjang lagi deretan buku-buku yang antri menanti untuk dibaca…..

Postingan ini bukan iklan atas buku NUSANTARA, namun hanya sekedar berbagi pengalaman membeli sebuah buku sejarah.

@h_tanzil
 
ans!!