Monday 31 March 2008

Senja di Himalaya


Judul : Senja di Himalaya
Judul Asli : The Inheritance of Loss
Penulis : Kiran Desai
Penerjemah : Rikka Iffati Farihah
Penerbit : Hikmah
Cetakan : I, Desember 2007
Tebal : 542 hal

Senja di Himalaya adalah novel terjemahan dari The Inheritance of Loss karya penulis asal India Kiran Desai (37). Novel ini memenangkan Man Booker Prize for Fiction 2006. Penghargaan untuk novel terbaik sepanjang tahun yang ditulis oleh warga negara di negara persemakmuran Inggris dan Irlandia dimana novel tersebut harus diterbitkan dalam bahasa Inggris dan tidak dipublikasikan sendiri.

Novel ini merupakan sebuah kisah-kisah paralel yang berlatar India pasca-kolonial dan Amerika Serikat. Bersetting tahun 1980-an di perkampungan Kalimpong di pegunungan Himalaya, ceritanya berkisar pada beberapa tokoh utama dalam novel ini. Jemubhai Petel, atau yang dalam novel ini disebut ‘Sang hakim’ adalah laki-laki tua mantan hakim lulusan Cambridge yang kini menghabiskan masa pensiunnya di sebuah rumah tua yang diberi nama Cho Pyu bersama anjing kesayangannya dan seorang jurumasak setianya

Sai Petel, gadis berusia 16 tahun, cucu sang hakim yang menjadi yatim piatu karena kedua orang tuanya mengalami kecelakaan terpaksa harus meninggalkan sekolahnya dan tinggal bersama sang hakim di Cho Pyu. Di tempat kakeknya ini Sai jatuh hati pada Gyan guru les matematikanya , seorang mahasiswa Nepal dari sebuah perguruan tinggi ternama.

Tentu saja hubungan antara Sai dan Gyan tidak direstui oleh sang hakim karena perbedaan status, terlebih karena Gyan adalah orang Nepal, warga minoritas kelas dua dimata sang hakim. Walau awalnya Gyan mencintai Sai, namum Lambat laun sikap sang hakim dan Sai yang kebarat-baratan membuat Gyan membenci keduanya, apalagi kelak Gyan akan bergabung dengan kelompok separatis yang memperjuangkan kemerdekaan bagi bangsa Nepal.

Sementara itu ribuan kilometer dari Kalimpong yang terpencil, Biju, anak dari juru masak sang hakim sedang berjuang memperoleh kehidupan yang layak sebagai seorang imigran gelap di New York – Amerika Serikat. Biju tersaruk-saruk dalam belantara kota New York dan bekerja sebagai pelayan restoran secara berpindah-pindah untuk menghindari kejaran pihak imigrasi. Satu-satunya penghubung antara Biju dengan ayahnya hanyalah melalui surat menyurat. Biju tak pernah mengeluh apapun soal kehidupannya kepada ayahnya, sehingga ayahnya selalu menganggap Biju telah hidup sukses di Amerika.

Kehidupan di Kalimpong yang damai terusik ketika kelompok separatis Nepal berdemonstrasi utnuk memperjuangkan kemerdekaannya. Demonstrasi damai tiba-tiba berubah menjadi kerusuhan. Kekerasan merebak di seluruh Kalimpong. Jam malam diberlakukan. Kalimpong terputus dari dunia luar. Disaat kerusuhan inilah Biju akhirnya memutuskan untuk pulang ke India untuk menemui ayahnya.

Kerusuhan ini juga menyebabkan hubungan antara Sai dan Gyan yang tergabung dalam kelompok separatis Nepal menjadi goyah. Terpengaruh oleh pandangan kelompoknya dan sikap sang hakim dan Sai yang kebarat-baratan membuat Gyan membenci keduanya.

Kisah diatas ditulis oleh Kiran Desai dalam novelnya ini dengan gaya bahasa percakapan yang sederhana antar tokoh-tokohnya, namun Desai juga menampilkan setting pendukungnya seperti tempat, karakter dan latar karakter tokoh-tokohnya dengan sangat detail. Paradoks inilah yang oleh para juri Booker Man Prize 2006 dianggap mampu membelenggu pembaca untuk bersimpati pada tokoh-tokoh dengan konfliknya masing-masing.

Dari tokoh Sang Hakim / Jemubhai Petel, kita akan disodorkan pada sosok India yang sudah kehilangan identitas ke-indiaannya dan mengalami post power syndrome ketika telah pensiun karena dia menganggap dirinya lebih tinggi statusnya dibanding masyarakt sekitarnya.

Sai Petel, Biju dan Gyan mewakili tokoh generasi muda India yang gamang, mencari jati diri diantara pertentangan nilai-nilai barat dan timur, dan efek sosial dan psikologis yang dirasakan oleh mereka karena berada di wilayah ‘antara’ budaya barat dan timur.

Salah satu bagian yang menarik dari novel ini adalah karakter Biju dan deskripsi kehidupannya sebagai imigran gelap di Amerika. Melalui karakter Biju kita akan mengetahui bagaimana para pemuda India sebagian besar beranggapan bahwa Amerika adalah tanah impian untuk meraih kesuksesan. Karenanya mereka berjuang mati-matian untuk memperoleh Green Card. Bagaimana Biju berjuang untuk memperoleh Green Card sangat menarik dan penuh dengan humor yang getir.

Ketika Green card gagal diperoleh, Biju dan sebagian besar kawan-kawannya tetap berangkat ke Amerika dengan cara illegal. Resikonya mereka harus pandai-pandai menyembunyikan diri dari pihak imigrasi Amerika. Atau kalau perlu mereka akan menikahi nenek-nenek warga Amerika guna memperoleh kewarnganegaraan Amerika. Selain itu, mereka yang telah berhasil tinggal di Amerika harus berusaha menghindar teman-teman sekampungnya yang baru datang ke Amerika karena khawatir mereka akan ditumpangi dan menimbulkan kesulitan baru ditengah kehidupan mereka yang sudah sedimikian sulit.

Seperti umumnya novel-novel peraih penghargaan sastra internasional, novel ini bukan novel yang mudah untuk dikunyah. Alur kisah tokoh-tokohnya tidak linier, kadang mundur jauh kebelakang lalu kembali lagi ke masa kini, sehingga perlu konsentrasi ekstra untuk membacanya. Kisahnyapun seakan hanya berputar-putar pada kehidupan tokoh-tokohnya, tak heran pembaca yang kurang sabar akan merasa jenuh dan tak tahan untuk menamatkan novel ini.

Ternyata kesulitan untuk menikmati novel inipun diakui oleh Kiran Desai sendiri. Dalam wawancaranya dengan wartawan Tempo - Angela Dewi (Koran Tempo, 28 Okt 2007), ketika Angela dengan jujur mengungkap bahwa ia butuh waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan novel ini. Dengan tertawa Desai menyatakan, “Anda pembaca ke seribu yang berkata seperti itu”.

Menurut Desai novel keduanya ini yang dikerjakannya selama 7 tahun ini adalah hasil dari coretan-coretan panjang pada kertas setebal 1500 halaman dengan konflik yang lebih kompleks dari novel jadinya. Dan sebagian dari apa yang dikisahkannnya merupakan pengalaman pribadinya. Rumah Cho Oyu di Kalimpong memang benar-benar ada dan Desai pernah menginap selama beberapa hari disana.

Dengan kompleksitas pada novelnya ini Desai tampaknya mencoba menangkap makna hidup di wilayah antara timur dan barat dan bagaimana rasanya menjadi imigran. Apa jadinya sesuatu yang bukan barat diberi sentuhan dan terpapar pada hal-hal berbau barat. Apa jadinya jika orang-orang yang biasa hidup dalam kemiskinan tiba-tiba berada di negara yang kaya. Hal yang sebenarnya sudah terjadi saat kolonial Inggris menyentuh India, lalu sekarang terjadi lagi saat Amerikanisasi mulai menyentuh kehidupan orang India.

Menyoal Terjemahan dan Cover Terjemahan

Novel yang sulit tentu saja akan lebih sulit dipahami jika terjemahannya kurang baik. Selama membaca novel ini, saya menemukan beberapa kejanggalan terjemahan. Belum lagi membaca isinya, saya terperangah ketika membaca judul terjemahannya menjadi Senja di Himalaya, saya rasa terjemahan judul tersebut tidaklah pas. Memang setting cerita sebagian besar berkisar di desa Kalimpong di kaki gunung Himalaya, namun akan lebih elok jika diterjemahkan mendekati judul aslinya yang kira-kira bermakna ‘warisan yang hilang’ karena memang kisahnya mengenai ‘warisan’ budaya yang hilang akibat benturan tradisi barat paska kolonialisme di India.

Sedangkan dari segi isinya, beberapa terjemahan khususnya dalam kalimat-kalimat metafora, tampak terkesan dipaksakan diterjemahkan secara harafiah sehingga menjadi aneh dan lucu. Berikut beberpa terjemahan yang saya anggap tidak pas :

Telepon itu duduk berjongkok di ruang tamu rumah penginapan tersebut” (hal 379). “Dasar sampah!” Jemubhai berteriak dan, dari antara buah dada Nimi yang berduka,…(hal 278) “…, pelan-pelan melunak, sampai pantatnya mulai menetes ke bawah kursi..” (hal 252) “..seorang pria yang muncul dengan rekomendasi koyak yang diwarisi dari ayah dan kakek..(hl 108).

Sedangkan untuk cover novel terjemahannya, saya rasa ilustrasi cover dengan isi novel ini tidaklah cocok. Cover terjemahannya melukiskan wajah gadis India yang sedang terbaring diatas rerumputan. Apa maksudnya ? Apakah gadis ini adalah tokoh Sai ? Jikapun demikian tidaklah tepat karena novel ini tidak hanya menceritakan tokoh Sai, melainkan ada beberapa karakter utama yang memiliki porsi cerita yang sama banyaknya. Saya rasa cover aslinya berupa ilustrasi sebuah pohon lebih tepat, lebih indah, dan multi tafsir.

Jika kita cermati saat ini cover dengan wajah wanita timur mendominasi cover-cover buku kita, terlebih novel2 terbitan mizan group, sebut saja :

- My Salwa My Palestine – Ibahim Fatwal - Mizania
- Perempuan Terluka – Qaisra Shahraz - Mizan
- Taj Mahal, Kisah Cinta Abadi – John Shors - Mizan
- Taj – Timeri N. Murari - Mizan
- A Thousand Splendid Suns – Khaled Hosseini - Qanita
- Maya – Jostein Gaarder – Mizan

Apakah selera pasar memang menghendaki demikian? Apakah cover dengan ilustrasi wanita lebih ‘menjual’ dibanding ilsutrasi lain?
Ada pepatah mengatakan “don’t judge book by the cover”, memang benar! Isi sebuah buku tidak dapat dinilai hanya dengan covernya. Tapi alangkah baiknya jika cover sedapat mungkin mencerminkan isi dari sebuah buku.

@h_tanzil

Sunday 16 March 2008

Drunken Monster

Judul : Drunken Monster (Catatan Harian)
Penulis : H. Pidi Baiq
Kata Pengantar : Prof. Dr. Bambang Sugiharto
Ilustrator : H. Pidi Baiq
Penerbit : DAR! Mizan
Cetakan : I, Januari 2008
Tebal : 201 hlm


Pidi baiq itu pahlawan komikus indie bandung, dan bisa jadi indonesia yang paling sableng yg pernah sy kenal.ngomongin komik bandung.ngga lepas dari pidi. Buku ini kumpulan catatan hariannya pidi yg ada di multiply dia.dijamin ngakak, maklum ngga waras.kalo di jogya ada eko nugroho(indie juga) di bandung harus sebut satu nama “pidi”.

Demikian SMS yang saya terima dari salah seorang kawan saya yang menginformasikan buku Drunken Monster – Pidi Baiq. Tertarik dengan SMS tersebut, ditambah lagi dengan membaca kata pengantar buku ini yang diupload di beberapa milis perbukuan yang menyatakan bahwa “Ini Buku Berbahaya”, membuat saya makin penasaran ingin membacanya.

Bersyukur karena tak terlalu lama kemudian saya menerima sebuah buntelan dari Mizan yang ternyata isinya buku Drunken Monster!. Segera saja saya membacanya, dan benar apa yang dikatakan orang-orang yang sudah membacanya, ternyata buku catatan harian Pidi Baiq ini memang benar-benar gila dan lucu!

Buku catatan harian Pidi Baiq yang memiliki seabrek pengalaman ini (mantan vokalis band indie The Panasdalam, mantan Dekan sebuan Universitas di Bandung, anggota Tim Kreatif Project-P, Staf Ahli di Bimbel Villa Merah, konsultan di galeri seni dan budaya SPACE 59, serta ilusrator di Penerbit Mizan) sejatinya berasal dari seluruh jurnal hariannya di http://pidibaiq.multiply.com ini berisi 18 kisah-kisah keseharian seorang Pidi Baig.

Kesemua kisahnya membuat saya tertawa-tawa dalam hati, bahkan beberapa kisah sanggup membuat saya tertawa dengan keras sehingga membuat orang-orang di sekitar saya terheran-heran hehe…

Sebenarnya tidak ada kisah yang bombastis, tidak ada kisah yang mengada-ngada, semua kisah berangkat dari keseharian Pidi Baig seperti mengantar anak ke sekolah, naik kereta ke jakarta, obrolan dengan temannya, derita karena sakit, dll. Namun Pidi dengan keisengan dan cara berpikirnya yang memang usil membuat keseharian yang biasa-biasa saja menjadi kejadian-kejadian yang lucu dan menarik untuk dibaca.

Pidi memang unik, cara berpikirnya aneh, apa yang tidak terpikirkan oleh kita, terpikirkan oleh Pidi dengan keisengannya yang lucu. Pidi juga memiliki keberanian yang luar biasa untuk mengungkap dan bertindak apa yang dipikirkannya itu terhadap siapapun lawan bicaranya yang ia temui mulai dari tukang parkir, tukang becak, satpam, penjual rokok, hingga Rosi, istrinya sendiri. Semuanya dijadikannya objek kejahilannya. Untuk hal ini saya percaya bahwa Pidi memang ‘gila’ dan super jahil!

Selain itu cara penuturan Pidi pun tak lazim. Kalimat-kalimatnya meluncur melanggar tata bahasa Indonesia yang baku, semuanya seakan berjumpalitan semau-maunya. Pidi bermain-main dengan kalimat. Ia sering menjelaskan apa yang sebenarnya tidak perlu dengan kalimat-kalimat yang irit dan lugas. Karenanya bagi yang belum biasa membaca tulisan-tulisannya akan terasa sulit memahami apa yang dimaksud Pidi. Namun jangan khawatir kesulitan itu akan segera sirna ketika kita telah terbiasa membacanya.

Namun dibalik keunikan kalimatnya dan kelucuan kisah-kisahnya, ada juga beberapa kisah yang membuat saya tertawa dalam haru. Dibalik keisengan Pidi, sesuai dengan bunyi ucapan namanya “Pidi Baiq”, Pidi memang benar-benar baik dan dermawan. Ia tak segan-segan memberikan sejumlah uang yang cukup besar pada orang-orang kecil yang ditemuinya seperti tukang parkir, tukang becak, sopir taksi, tukang ojek, dll. Kisah yang paling membuat saya terharu adalah ketika Pidi mengantar tukang becak jalan-jalan ke kota dan mengantarnya satu persatu ke rumah masing-masing. (Monggo Mirno-hal 146)

Di buku ini yang semua kisahnya bersetting di Bandung, Pidi juga sempat menyentil realitas yang ada di kota Bandung, misalnya dalam kisah “Mengejar Kereta” , ia berseloroh bahwa gedung-gedung tua di sepanjang Braga sangatlah indah dan anggun. Ia heran mengapa gedung-gedung peninggalan penjajah malah bagus sehingga ia berpikir untuk mengajukan proporsal,

“Atau kita ngajuin proposal aja Bang?”
“Buat?”
“Buat Pemerintah Belanda atau Inggris lah. Minta kita dijajah lagi! Biar bangunannya kuat. Biar tata kotanya beres. Biar taman kotanya bagus!”
(hal 67).

Memang dalam kisah-kisahnya, Pidi memang tak hanya menawarkan kelucuan dan keisengannya, melainkan ada nilai-nilai kehidupan yang terbungkus dalam candanya. Siapa yang berpikir kritis dan mau sedikit berjerih memaknainya, pastilah akan memperolehnya.

Buku ini cocok untuk dibaca siapa saja. Bagi mereka yang kadang berpikir terlalu serius anggaplah buku ini sebagai penyeimbang dan sebuah tawaran agar bisa sedikit lebih ‘gila’ dan tak terlalu serius menghadapi kehidupan ini.

Dari segi buku-buku bergenre humor di Indonesia, mungkin inilah buku humor yang lain daripada yang lain. Salut untuk penerbitnya yang berhasil menemukan ‘kelainan’ dari sebuah catatan harian di media internet yang kini marak dibukukan. Yang pasti buku ini tutur menyemarakkan khazanah dunia perbukuan kita.

Ah, saya terlalu serius, pokoknya bacalah dan nikmatilah buku ini tanpa dibebani oleh berbagai komentar tentang buku ini yang tampaknya mulai bermunculan baik di media-media cetak maupun blog-blog pribadi. Lupakan ulasan saya ini segera dan bacalah bukunya, dan selamat memasuki alam pikir dan keseharian Pidi Baiq yang gila, ganjil, dan lucu.

Akhir kata, izinkan saya mengutip apa kata Prof. Dr. Bambang Sugiharto (Guru Besar Filsafat di Unpar dan ITB) dalam kata pengantar di buku ini :

Kegilaan dan permainan adalah terapi yang penting untuk menjaga kewarasan dan keindahan hidup. Manusia telah menjadikan hidup terlampau seirus, terencana dan rasional -terlampau “normal” kata Michel Foucault- hingga hidup tak lagi menawan, menggemaskan dan orang terjangkiti amnesia massal alias lupa. Lupa pada tertawa, lupa pada kekonyolan manusia yang kerap menggelikan. Lupa bahwa hidup barangkali sebuah permainan indah yang mengasyikan; akal-akalan manusia, permainanTuhan. (hal 14)

Sampai kita berjumpalitan !

@h_tanzil

Monday 10 March 2008

An Affair to Forget

Judul : An Affair to Forget – Mencintai saja tak pernah cukup
Penulis : Armaya Junior
Penyunting : GIta Romadhona
Penerbit : Gagas Media
Cetakan : I, 2008
Tebal : 237 hlm

Hal pertama yang kubayangkan ketika seorang perempuan dikhianati adalah marah besar, bahkan bukan tak mungkin menggugat cerai suaminya. Tapi ketika pengkhianatan itu menimpa Anna, sahabatku, semua itu tak kutemukan darinya. Sebagai perempuan mandiri dan tegar, dia memilih jalan yang bagi orang lain terasa mustahil, yaitu berusaha mencari informasi tentang perempuan selingkuhan suaminya dan..berteman dengannya.

Awalnya tak ada yang salah dengan pernikahan Toni dan Anna, sembilan tahun sudah pernikahan yang mereka lewati. Keluarga yang romantis dan bahagia, dua anak, dan perekonomian yang mapan karena Toni dan Anna sama-sama bekerja dan memiliki karir yang menjanjikan. Namun tiba-tiba Anna melihat keganjilan atas perilaku suaminya. Naluri kewanitaannya sebagai seroang istri mengatakan bahwa Tony telah berselingkuh dengan wanita lain.

Dengan bantuan sahabatnya, Anna mencoba membuktikan kecurigaannya. Dan ternyata benar, Toni, suaminya berselingkuh. Tak dapat dipungkiri kalau ia merasakan pedih dan sakit hati. Namun Anna bukanlah tipe wanita yang cengeng. Ia tidak larut dalam kesedihan, melainkan berusaha untuk mengembalikan suaminya ke dalam pelukannya kembali.

Akhirnya Anna berhasil menemukan wanita selingkuhan suaminya. Ia adalah seorang klien suaminya yang bernama Dini. Namun apa yang dilakukan Anna bukanlah melabrak Dini, atau mengancam suaminya agar segera meninggalkan Dini atau bercerai dengannya. Tidak! Anna justru melakukan tindakan yang sama sekali diluar dugaan siapapun. Ia tekan rasa pedih dan sakit hatinya, alih-alih menaruh dendam dan amarah kekasih suaminya, Anna malah menjalin persahabatan dengan Dini, wanita yang jelas-jelas ingin merengut kebahagiaan rumah tangganya.

Perselingkuhan memang merupakan masalah terbesar dalam keutuhan suatu rumah tangga dan merupakan penyebab utama perceraian. Banyak sudah kisah perselingkuhan diangkat dalam ranah fiksi, namun yang membuat novel ini istimewa adalah bagaimana akhirnya sebuah perselingkuhan diakhiri dengan cara yang tidak lazim seperti yang sering kita dengar dan baca baik di kisah-kisah nyata maupun kisah-kisah fiksi.

Melalui kisah yang dinarasikan oleh tokoh “Aku” selaku sahabat Anna, pembaca akan diajak mengikuti perjuangan Anna untuk merebut kembali suaminya ke pelukannya. Walau bercerita kepedihan soerang wanita namun tidak ada narasi cengeng dalam novel ini. Tokoh-tokoh dalam novel ini adalah tokoh yang tegar, berpendidikan, dan memiliki gaya hidup modern.

Kehidupan masyarakat metropolis menengah keatas dengan gaya hidup yang bebas tergambarkan juga melalui semua tokoh dalam novel ini. Hubungan one night stand untuk mendapatkan seks dan cinta sesaat merupakan hal yang lumrah. Kencan yang berakhir dengan hubungan seks bukan hal yang aneh. Kalaupun ada penyesalan karena telah melakukan hubungan seks, itupun bukan karena tokohnya ingat akan dosa, melainkan karena hubungan persahabatan yang mungkin akan rusak akibat seks.

Karenanya novel ini benar-benar hanya dapat dibaca oleh mereka yang telah berpikir secara dewasa. Deskripsi hubungan seks dan adegan percumbuan walau disampaikan dengan halus namun sanggup membawa pembacanya masuk dalam imajinasi kenikmatan cinta.

Namun dibalik kehidupan bebas para tokoh-tokohnya, ada satu hal yang menarik dan menggugah kesadaran pembacanya. Melalui kisah cinta Anna dan Toni yang begitu romantis dan menggebu-gebu ternyata hal itu tak otomatis membuat rumah tangga mereka bebas dari hantaman badai. Ternyata mencintai saja tak cukup. Ada beberapa hal yang tentunya akan kita peroleh setelah membaca novel ini.

Armaya Junior memang pencerita yang mahir, kita akan dibuat betah menikmati novel ini dan selalu dibuat bertanya-tanya bagaimana kira-kira peristiwa selanjutnya dari kejadian-kejadian yang terjadi di novel ini. Amarya tampaknya juga mahir dalam mendeskripsi detail sebuah tempat atau peristiwa. Selain deksrpisi percumbuan yang memabukkan , pembaca juga diajak masuk dalam detail mengenai rumah dan furniturnya. Dan satu lagi yang unik, pembaca diajak sejenak masuk dalam dunia Akuntansi lewat dialog tokoh-tokohnya.

Novel dengan materi politik, filsafat, budaya, kedokteran, hukum, dll sering kita baca. Namun novel dengan muatan Akuntansi ? rasanya dalam ranah fiksi tanah air, baru Amara Junior yang melakukannya. Salut untuk penulis yang telah melakukan terobosan ini. Bagi pembaca yang mengenal dunia akuntansi hal ini tentu saja sangat menarik, namun bagi mereka yang tidak mengenal permasalahan akuntansi hal ini menjadi bagian yang membosankan.

Namun jangan khawatir, materi akuntansi dalam novel ini tidaklah banyak. Hanya ada dua bagian, di kisah-kisah awal dan di bagian akhir ini. Nah, di bagian mendekati akhir novel (hal 163-165) inilah yang tampaknya agak mengganggu kenikmatan membacanya. Ketika emosi pembaca sudah memuncak ingin segera mengetahui akhir dari kisah ini, tiba-tiba penulis kembali memasukkan dialog akuntansi, walau tak banyak namun cukup mengganggu. Mungkin sebaiknya materi akuntansinya dipadatkan saja dibagain-bagian awal agar emosi pembaca tak terganggu.

Akhirnya dengan segala kelebihan dan kekurangannya, novel yang menurut penulisnya diangkat dari kisah nyata plus materi akuntansi ini telah hadir dan menyemarakkan khazanah sastra kita. Jika mau dicermati dan dimaknai, apa yang telah disajikan oleh penulisnya bukanlah sekedar novel cinta yang menghibur belaka, ada sebuah pesan yang tampaknya ingin disampaikan, selain mencerdaskan pembacanya dengan materi akuntansinya, novel ini juga membuka pikiran pembacanya bahwa ada alternatif lain dalam memecahkan masalah. Mencintai saja tak pernah cukup untuk memelihara keutuhan rumah tangga.

Seperti yang terdapat di lembar terakhir novel ini, Anna mengungkap bahwa ia mau kisah cintanya ini dibukukan agar bisa berbagi kepada banyak orang, “Aku mau share pengalaman biar semua perempuan tahu alternatif memelihara pernikahan mereka” (hal 237)

Tentang Penulis

Armaya Junior adalah nama pena dari Ardian Syam, yang saat ini bekerja di sebuah BUMN terkenal di Medan dan memiliki latar belakang pendidikan Magister Akuntasi
Ia dikenal sebagai seorang penulis buku-buku motivator, “Kacamata Kuda” (Amara Books,2006), Instrumen Orang Sukses (LP-FEUI, 2007), selain itu artikel-artikel motivasinya juga dapat dibaca di www.bukakacamatakuda.blogspot.com. atau di www.andriewongso.com .

Sebagai penulis motivasi ia kini mencoba masuk dalam ranah fiksi. Sebelumnya Armaya memang pernah menulis beberapa puisi dan cerpen di muat di beberapa koran Medan. Mengapa sampai menulis novel? Berdasarkan pengamatannya, ia beranggapan masyarakat kita lebih menyerap pesan apapun lewat media fiksi (seperti cerpen, novel, sinetron, film TV maupun film bioskop). Maka selain menyampaikan pesan lewat media-media serius seperti buku motivasi, ia mencoba menyampaikan lewat novel.

Karena ditantang oleh seorang temannya untuk membuat sebuah novel dengan muatan akuntansi, dan anggapan sebagian besar orang bahwa akuntansi tidak menarik untuk diceritakan, darah akuntannya lalu menggelegak untuk menjawab tantangan tersebut. Maka lahirlah novel perdananya ini dengan muatan akuntansi didalamnya.

Kabarnya Armaya tengah mempersiapkan dua buah novel berikutnya yang juga memasukkan unsur-unsur akuntansi di dalamnya. Selain itu, ia juga sedang menulis buku akuntansi dengan metode yang menyenangkan. Dengan gaya bercerita, dan sebanyak mungkin menghindari kata-kata yang berat, dan diimbuhi dengan komik.

Jika Armaya Junior a.k.a Ardian Syam konsisten menulis novel dengan muatan akuntansi secara menarik, bukan tak mungkin akan terbit genre baru dalam dunia sastra tanah air, yaitu genre SASTRA AKUNTANSI !


@h_tanzil

Saturday 1 March 2008

Opik Sok Cool Nih !

Judul : Opik Sok Cool Nih!
Penulis : Jurie G Jarian
Penerbit : Mizania
Cetakan : I, Jan 2008
Tebal : 282 hlm


Sinopsis

Novel ini merupakan kisah cinta plus petualangan menangkap sekelompok teroris. Tokoh utamanya Opik, seorang mahasiswa di sebuah universitas di Bandung. Opik dideskripsikan sebagai sosok yang atletis, rileks, suka bercanda dan taat beribadah. Latar belakangnya yang berasal keluarga pesantren di sebuah desa sifat dan karakternya tumbuh sesuai dengan ajaran agamanya. Fisik dan kepribadiannya yang menarik inilah yang membuat dirinya banyak dilirik para gadis-gadis, namun Opik terkesan cuek dalam urusan pasangan hidup sehingga belum juga memiliki seorang pacar.

Bella, adik kelasnya beda jurusan, adalah salah satu mahasiswa yang tertarik dengan Opik. Berbeda dengan Opik, Bella dilahirkan dari keluarga diplomat yang modern. Lahir di London, besar di Paris dan akhirnya atas kesadarannya sendiri memilih kuliah di Bandung. Karena lama tinggal di Eropa otomatis perilaku dan gaya berpakaiannya pun sangat modis. Ia tak segan-segan menggoda Opik baik melalui sms maupun secara terang-terangan agar Opik mau menjadi pacarnya. Namun Opik tetap cool terhadap Bella. Baginya Bella bukanlah gadis tipenya, apalagi cara berpakaian Bella yang seksi membuat Opik tak bersimpati padanya.

Dimasa liburan panjang selepas UAS (Ujian Akhir Semester), Opik mudik ke kampung halamannya di kaki gunung Sawal Sementara itu Bella yang telah jenuh dengan kehidupan kota memilih mengisi liburannya dengan mengikuti PPK (Paket Pesantren Kilat) bersama temannya disebuah desa di wilayah Tasikmalaya. Kesempatan ini juga dipergunakan oleh Bella untuk belajar mengaji, dan mengubah cara berpakaiannya menjadi lebih santun. Tanda diduga oleh Bella, ternyata desa tempat PPK adalah desa dimana Opik dilahirkan.

Sementara Bella dan kawan-kawannya mengikuti PPK, Opik dan Aan, teman sekampungnya, mendapat tugas penting dari Abah Sirod selaku pimpinan pesantren di sebuah desa di selatan gunung Sawal yang juga adalah kakek dari Opik. Abah Sirod diam-diam mencurigai beberapa santri senior yang telah lama tak mengikuti pengajian malam di pesantrennya.

Kecurigaan abah Sirod ini dilandasi perkembangan di tanah air dimana sedang berkembang ajaran jihad yang dipahami dari sisi yang paling keras, yaitu jihad dalam bentuk berjuang langsung secara fisik/perang! Tugas Opik dan Aan adalah menyelidiki dan mencari tahu apa sesungguhnya kegiatan para santri senior yang telah lama tak terlibat dalam aktifitas pesantren pimpinan abah Sirod. Bukan misi yang mudah karena mereka harus menghadapi teman-teman masa kecil mereka sendiri yang kini memiliki keyakinan yang kokoh untuk berjuang menegakkan agama dengan jalan kekerasan.


Novel Dua Rasa

Jika novel ini diandaikan sebagai sebuah roti, maka saya berani mengatakan bahwa novel ini bagaikan roti sobek dua rasa. Ada dua rasa yang ditawarkan dalam satu kemasan. Begitupun dalam novel ini, satu ‘rasa’ cinta muda mudi yang disajikan dengan humor khas mahasiswa dan satu lagi ‘rasa’ petualangan Opik dkk menangkap para teroris. Yang mana yang lebih menarik? Tergantung selera pembaca tentunya.

Namun walau berbeda rasa, ada satu unsur yg terdapat dalam kedua rasa dalam novel ini, yaitu unsur humor. Sebelum novel ini terbit, penulisnya; Jurie G Jarian telah mengatakan pada saya bahwa novelnya kali ini adalah novel humor. Benar saja, walau ada beberapa bagian yang terkesan serius namun secara umum di novel ini Jurie G Jarian menyajikan kisahnya dengan riang gembira berupa dialog, celetukan dan humor ala mahasiswa.

Di lembar-lembar awal, saya dibuat terperangah ketika saya sudah siap membaca sebuah kisah humor, ternyata di lembar-lembar awal justru tegang dengan setting di hutan di kaki gunung Sawal. Lalu setelah melewati beberapa halaman tiba-tiba pula settingnya berubah menjadi setting kampus dan muncullah dialog-dialog yang penuh dengan guyonan. Perubahan yang mendadak ini mengigatkan saya seperti sedang naik roler coaster…:D

Dengan setting di sebuah kampus di Bandung, di bab-bab awal kita diajak melihat bagaimana Bella berusaha mengejar-ngejar Opik, pujaan hatinya. Awalnya saya merasa janggal dengan karakter Bella karena karena biasanya laki-lakilah yang mengejar wanita, bukan sebaliknya. Untungnya ada penjelasan rasional atas sikap Bella ini karena dalam salah satu dialognya Bella mengungkap prinspi hidupnya bahwa dirinyalah yang harus menentukan lelaki pilihannya, “Ketika perempuan diberi tugas melahirkan, aku p ikir perempuan juga punya hak untuk mencari dan memilih dengan siapa ia akan menikah dan punya anak” (hal 46).

Usaha Bella meluluhkan hati Opik ini memenuhi hingga pertengahan novel ini, sebelum akhirnya setting novel ini beralih ke sebuah desa di kaki gunung Sawal. Masih dengan taburan humor, pembaca akan diajak masuk dalam petualangan Opik dan kawan-kawan menangkap para santri yang telah terhasut untuk melakukan tindakan kekerasan dalam memaknai jihad.

Ternyata ditengah keriang gembiraannya membuat sebuah cerita humor, Jurie G Jarian juga memasukkan kedalam ceritanya sebuah peristiwa sejarah yang dikenal dengan pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di Jawa Barat yang terjadi di awal-awal revolusi kemerdekaan

Di novel ini melalui tokoh Abah Sirod selaku pimpinan pesantren, Darul Islam dilihat dari sudut pandang masyarakat sekitar Gunung Sawal yang dulu merupakan basis perjuangan DI/TII. “Darul Islam dulu, meskipun cita-citanya mulia, karena terjepit, mereka melakukan hal-hal yang justru bertentangan dengan syariat Islam. Dalam keadaan seperti itu, bahkan agama yang bertujuan menciptakan masyarakat damai jadi alasan untuk membuat keonaran” (hal 150). Karenanya penduduk sekitar menyebut pihak DI sebagai gerombolan karena ketika makin terdesak oleh kekuatan TNI, tentara DI berubah menjadi semacam perampok yang meresahkan masyarkat.

Nah, bagi saya yang tidak terlalu menyukai membaca kisah cinta berbalut humor di bagian sebelumnya, bagian petualangan yang cukup seru dan menyinggung peristiwa sejarah inilah yang membuat saya tetap melahap novel dua rasa ini hingga habis tak bersisa. Walau di bagian ini tema yang diangkat cukup berat, namun Jurie G Jarian tetap menyelipkan humor sehingga tema yang berat ini menjadi terkesan ringan dan tak perlu berlama-lama mengerutkan kening karena seserius apapun sebuah peristiwa yang terjadi pastilah ada celetukan humor yang menyertainya.

Yang mengganggu

Ada sebuah kesalahan kecil yang tampaknya dilakukan oleh penulis dan luput pula dari pengamatan editor. Pada halaman 81 baris ke 2 terdapat kesalahan penulisan nama, nama tokoh Tatang ditulis menjadi Adun. Hal ini tentu saja membuat saya bingung kenapa tiba-tiba ada tokoh Adun muncul ketika Tatang berdialog dengan abah Abun.

Selain itu ada pula dua hal yang saya rasa agak berlebihan, yaitu ketika dikisahkan Bella sampai menyewa jasa detektif swasta untuk mencari tahu siapa saja orang dekat Opik. Lalu ketika pasukan yang dipimpin oleh Kumin sedang berbaku tembak dengan para teroris mereka masih sempat-sempatnya bercanda. Apakah mungkin sampai sebegitunya?
Ketika tempat persembunyian para teroris di gua bekas tambang timah peninggalan Belanda ditemukan oleh Opik, dkk, terlihat para teroris tak melakukan antisipasi sehingga tempat tersebut segera saja dapat diserbu oleh Kumin dkk.

Ah, mungkin saya terlalu serius membacanya karena bukankah novel ini bukan novel detektif, melainkan seperti yang dikatakan Jurie bahwa novel ini adalah novel humor?

Menyoal Cover & judul

Cover dengan foto dua orang muda-mudi berpakaian muslim dan judul “Opik Sook Cool nih! “ menurut saya tidak mencerminkan secara utuh dari kisah yang ada dalam novel ini. Cover dan judulnya hanya mengedepankan kisah cinta dalam novel ini. Jika saja saya melihat cover dan judulnya dan belum membacanya saya pasti akan menduga bahwa novel ini adalah novel teen-lit islami dengan kisah cinta muda-mudi. Padahal novel ini menyajikan lebih dari sekedar kisah cinta.

Begitupun dengan sinopsis di cover belakang buku ini.Sinopsisnya sama sekali tak menyinggung akan ada sisi lain dari sekedar kisah cinta Opik dan Bella. Jadi jangan heran jika hanya membaca sinopsis yang terdapat dalam novel ini pastilah orang hanya akan menyangka bahwa kisah dalam novel ini adalah sekedar kisah cinta muda mudi.

Siapa Jurie G Jarian ?

Nama penulis ini sungguh unik, dan dahsyat, coba saja jika kita baca nama penulisnya tanpa jeda maka bunyinya menjadi ‘Jurig Jarian’ yang dalam bahasa sunda jurig berarti setan, dan jarian berarti lubang pembuangan sampah. Jadi penulis buku ini adalah Setan Sampah…hehehehe

Ternyata pemilik nama Jurie G Jarian ini adalah Jamal atau yang biasa disapa Mang Jamal, penulis produktif yang telah menerbitkan 5 buah novel (Lousiana-Lousiana, Rakkasutaria, Fetussaga, Epigram, Dong Mu). Kalau kita mencermati novel ini, ciri khas Jamal memang akan sangat kentara, yaitu dari humor2nya, dialog2 filosofis berat yang dibuat menjadi ringan sehingga ada sesuatu yg bisa diambil & direnungkan , dan selipan soal desain/arsitektur, yang semua itu hampir bisa ditemui dalam semua novelnya. Hanya saja novelnya kali ini tampak lebih cair dan full humor, mungkin inilah novel yang paling mengekspresikan dirinya sebagai penulis riang gembira.

Pertanyaannya, kenapa Jamal yang telah memiliki nama dan penggemar dalam dunia novel memakai nama lain...??? apakah Mang Jamal ingin meniru Opik yang sok cool ? Jika demikian mungkin kita bisa berseloroh, “Mang Jamal, Sook Cool nih!"

@h_tanzil
 
ans!!