Monday 21 January 2008

Management Think Thank

Judul : Management Think thank
Penulis : Promod Batra & Vijay Batra
Penerjemah : Windy Johan
Desain : Kwek
Penerbit : PT Bhuana Ilmu Populer (BIP)
Cerakan : III, Sept 2007
Tebal : 129 hlm

Promod Batra & Vijay Batra, penulis buku best seller (Born to Win) dan motivator terkenal berdarah India mengatakan bahwa 90% lebih dari kita ditakdirkan untuk melakukan hal-hal yang luar biasa. Dan di dalam diri setiap orang, kita memiliki satu hasrat tersembunyi untuk melakukan hal-hal besar. Tentunya kita ingin menjadi ‘pembuat sejarah’. Sejarah apa yang ingin kita buat? Tentunya sejarah yang cocok dengan kita seperti sejarah perusahaan, bisnis, keluarga, kota, lingkungan, di mana kita hidup. Intinya kita ingin menciptakan/membuat sejarah di wilayah pengaruh kita.

Namun tak banyak orang yang menyadari bahwa dirinya bisa menjadi pembuat sejarah. Tidak ada malaikat yang akan datang untuk membisikkan agar kita menciptakan sejarah. Kita harus mendengarkan genderang kita sendiri dan melakukannya. Bagaimana agar kita peka ‘mendengar’ bisikan dalam diri kita agar menjadi pembuat sejarah? Buku mungil karya Promod Batra & Vijay Batra inilah yang mungkin dapat menjadi kumpulan ‘bisikan’ yang akan menjadi ‘musik’ bagi mata dan telinga kita sehingga kita mampu mempengaruhi ;sejarah’ kita sendiri – daripada hanya mengamatinya.

Buku ini bukanlah buku seperti umumnya buku-buku motivasi lainnya yang memberikan sejumlah contoh kasus beserta bahasannya yang panjang-panjang. Buku ini hanya memuat ratusan kalimat-kalimat pendek seperti kata bijak atau slogan atau tip2 singkat dari Promod Batra & Vijay Batra yang bisa memotivasi pembacanya dalam berbagai hal seperti : “Ucapan terima kasih langsung lebih efektif daripada dua halaman surat ucapan terima kasih yang dikirim satu minggu kemudian”, “Bersikaplah seperti seekor bebek – tetap tenang dan santai di eprmukaan..-namun terus mengayuh dengan kaki di bawah permukaan air” , “Inspirasi mungkin saja berada di sebelah Anda. Yang perlu Anda lakukan hanyalah mencarinya…”

Beberapa kalimat-kalimat bijak pemikir-pemikir dunia, seperti Socrates, Rig Veda (bagain tertua dari kitab Weda), Martin Luther King, Walt Disney, dll, juga ikut melengkapi tip-tip dalam buku ini

Secara total buku ini memuat 457 kalimat/tip yang dibagi kedalam 6 topik yaitu Manajemen Pribadi (85 tip), Individu (49 tip), Persahabatan (35 klmt), kebahagiaan (65 tip), pemasaaran (131 tip), dan umum (87 tip). Pembagian ini tentu saja membantu pembacanya untuk mencari inspirasi seusai dengan topik yang dikehendakinya.

Selain menyajikan ratusan kalimat-kalimat bernas, buku ini juga diberi ilustrasi katun sederhana yang menarik dan lucu disetiap kalimat/tip2 pilihan yang berada di halaman genap buku ini. Hal ini tentu saja sangat bermanfaat karena dengan ilustrasi biasanya pembaca akan lebih memahami dan mengingat tip-tip yang tersaji di buku ini.

Sejatinya buku ini memang buku kumpulan tip bagi kehidupan profesional dan pribadi., Buku ini juga dapat mengoreksi diri kita dalam berbagai hal, bukan tak mungkin tip-tip dalam buku ini secara langsung dan tidak langsung menyinggung perilaku kita yang selama ini kita anggap benar. Selain itu buku ini juga bermanfaat jika kita ingin mencari tip atau slogan-slogan untuk keperluan memotivasi pegawai dimana kita bekerja. Atau bisa juga tip-tip dalam buku ini mengilhami para penulis buku-buku motivator untuk mengembangkan idenya dalam menulis buku-buku motivasi.

Tampaknya buku yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh BIP dengan judul Management Think Tank ini cukup laris di pasaran. Terbukti semenjak untuk pertama kalinya buku ini diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia, sejak Juni 2006 buku ini telah dicetak sebanyak tiga kali. Walau mungkin buku ini masih kalah sukses dengan buku Born to Win, namun setidaknya buku ini terbukti mampu diserap oleh pembaca buku-buku motivasi di Indonesia.

Singkat kata, seperti yang diungkap Promod & Vijay Batra dalam kata pengantarnya, membaca buku ini merupakan langkah pertama bagi kita untuk mempengaruhi sejarah, dan juga buku ini akan membantu kita menuju program pemberdayaan diri.

@h_tanzil


Promod Batra, MBA.
Memulai karier profesionalnya di India pada tahun 1963 bersama Escort dan pension pada 1996 sebagai Chief General Manager. Sebelum bergabung dengan Escorts, ia mendapat pelatihan dari General Mills Inc., Minieapolis, Minnersota, USA. Selama masa kerjanya dengan Escorts, ia mulai menulis dan mengompilasi buku-buku manajemen. Promod Batra telah membawakan lebih dari 100 lokakarya perlatihan setiap tahunnya sejak 1996. Ia sangat efektif sebagai seorang instruktur. Pendekatannya sederhana, namun dipikirkan secara matang.

Vijay Batra, MBA.
Memulai karier profesionalnya bersama Marriott Corporation of America pada tahun 1984. Ia bekerja di Kankaku sejak 1987 sampai 1999. Bekerja Jepang membuat dirinya mahir berbahasa Jepang dan berinteraksi dan belajr secara efektif bersama orang Jepang. Vijay bergabung dengan ayahnya, Mr. Promod Batra. Bersama-sama, tim ayah dan anak ini mempelajari cara-cara sederhana untuk memicu pemikiran positif dan kemudian membagikannya secara efekrit pada semabayk mungkin orang melalui lokakarya/pelatihan.

Sunday 13 January 2008

Janda dari Jirah

Judul : Janda dari Jirah
Penulis : Cok Sawitri
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Juni 2007
Tebal : 187 hlm

Sebetulnya buku ini telah telah terbit sekitar 6 bulan yang lalu (Juni 2007), namun baru sekarang saya berkesempatan membacanya. Entah terlupakan, entah karena tidak tertarik membaca judulnya, atau sedang sibuk membaca buku-buku lain, yang pasti novel karya Cok Sawitri ini luput dari pengamatan saya.

Janda dari Jirah menarik perhatian saya ketika novel ini masuk dalam nominasi Khatulistiwa Award (KLA) 2007, karenanya novel dan nama Cok Sawitri kembali dibicarakan orang. Selain itu saat digelarnya Ubud Writers & Readers Festival yang lalu nama Cok Sawitri adalah salah satu penulis Indonesia yang menjadi primadona di perhelatan para penulis se Asia Tenggara itu.

Karena itulah, walau terlambat akhirnya saya membaca juga Janda dari Jirah karya penulis bali yang juga aktif berkiprah di dunia teater ini. Ternyata novel ini merupakan versi lain dari legenda Calon Arang yang selama ini kisahnya masih terus dikisahkan baik dari mulut kemulut, pementasan teater, dan ditulis dalam buku-buku fiksi dan non fiksi. Di ranah fiksi setidaknya sudah 2 penulis menuliskan legenda ini. Yang pertama adalah Pramoedya Ananta Toer dalam “Dongeng Calon Arang” (1954) dan Femmy Syaharani dalam “Galau Putri Calon Arang” (Gramedia, 2005). Sedangkan di ranah non fiksi Toety Heraty menulis sebuah buku kajian feminisme berdasarkan legenda Calon Arang yang diberinya judul Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki. (YOI,…)

Dari dua buku fiksi diatas Calon Arang dilukiskan sebagai perempuan penyihir yang kejam dan mendatangkan bala ke penduduk Daha/Kediri karena putrinya, Ratna Menggali tak juga mendapat jodoh. Lalu seperti apa sosok Calon Arang versi Cok Sawitri ?

Dalam novel ini kita tak akan menemukan nama Calon Arang, Cok, menggantinya dengan sebutan Rangda ing Jirah (Janda dari Jirah). Berbeda dengan Calon Arang yang selama ini diseskprikian dengan wanita penyihir yang jahat, keji dan licik, dalam novel ini Calon Arang / Rangda ing Jirah dideskripiskan sebagai pendeta wanita yang taat mengikuti jalan Buddha. Tutur katanya lembut dan sopan, namun dibalik kelembutannya terpancar kewibawaan yang tiada tara yang membuat semua pengikutnya taat pada ajaran-ajarannya. Ia juga piawai dalam mengatur desanya sehingga desa-desa yang berada dibawah asuhannya menjadi desa yang makmur dan sentosa dengan panen yang melimpah ruah.

Rangda in Jirah tinggal dan memimpin sebuah wilayah yang dinamakan Kabikuan dimana tanah-tanah di Kabikuan ini sejak dahulu kala merupakan persembahan raja-raja kepada para pendeta Buddha. Dalam tata krama Kabikuan ditetapkan bahwa tanah-tanah di wilayah Kabikuan tidak boleh dilewati oleh Raja dan para pengikutnya jika untuk tujuan berperang dan membunuh, sekalipun dengan alasan membela negara.

Dikisahkan di tahun 940 Saka, kerajaan Medang yang saat itu sedang melangsungkan pernikahan antara Putri Raja Dharmawangsa Tguh dari Wangsa Isana dengan Pangeran Airlangga, yang merupakan putra Raja Udayana dari Bali secara tiba-tiba diporak porandakan oleh kerajaan Wura-Wuri yang masih merupakan kerabat wangsa Isana, penguasa kerajaan Medang. Penyerangan itu menyebabkan tewasnya raja Dharmawangsa Tguh dan putrinya sedangkan Airlangga sendiri bersama beberapa pengawalnya berhasil meloloskan diri.

Untungnya Airlangga beserta Narotama, penasehat utamanya berhasil merebut kembali ibu kota Medang dan mengganti nama kerajaannya menjadi Kadiri dengan ibukotanya Daha. Airlangga berhasil menjadi raja dan membangun kerajaannya dengan baik. Namun masih ada duri dibalik kesuksesannya itu. Beberapa kerabat dari Wangsa Isana diam-diam merasa tidak puas dengan naik tahtanya Airlangga. Bagi mereka Airlangga sebagai mantu dari Raja Dharmawangsa yang telah pralaya dianggap tidak berhak atas tahta kerajaan karena bukan keturunan langsung dari Wangsa Isana. Yang berhak atas tahta kerajaan adalah Pangeran Samarawijaya yang masih kecil, namun hilang entah kemana ketika Medang diserbu oleh Wura-Wuri.

Daerah kekuasaan Airlangga berbatasan langsung dengan wilayah Kabikuan dimana Rangda ing Jirah dan putrinya Ratna Manggali tinggal. Dia disegani oleh rakyat jelata dan raja-raja. Karenanya siapapun raja yang memerintah tak seorang pun yang berani mengusik tanah-tanah di wilayah Kabikuan Jirah. Di Kabikuan ini pula Rangda ing Jirah melatih murid-muridnya agar taat pada ajaran Budha sehingga para murid-muridnya dikenal karena perilakunya yang terpuji dan ilmu kanuragan yang tinggi.

Kehidupan di Kabikuan Jirah lebih makmur dibandingkan daerah lain di sekitarnya. Selain itu tata krama kabikuan melarang penduduknya berpihak kemanapun apabila terjadi perselisihan dan melarang daerahnya dilewati oleh prajurit dari pihak manapun untuk berperang.

Airlangga sadar akan keistimewaan Kabikuan, karenanya ia ikut menghormati tata krama Kabikuan, apalagi setelah tersiar kabar bahwa raja putri Wura-Wuri sering menghadap Rangda ing Jirah untuk menjadi murid utamanya. Bahkan tersiar pula kabar bahwa Wura-Wuri menyerahkan dua belas desa kepada pendeta Rangda in Jirah untuk digembleng dalam tata karma Budha. Melihat keadaan itu Airlangga pun mengutus mengutus Narotama untuk menjalin persahabatan dengan Kabikuan Jirah.

Setelah memerintah selama 10 tahun, ketentraman Airlangga terusik ketika kerajaan Wura-Wuri tiba-tiba menyerbu kembali istana kerajaan Kadiri. Airlangga menjadi naik pitam dan merencanakan penyerbuan balasan. Namun ia menghadapi masalah pelik karena untuk menyerang Wura-Wuri, tentara-tentaranya harus melewati tanah Kabikuan yang menurut tata krama Kabikuan menolak untuk dilalui prajurit yang hendak berperang.

Ketika Airlangga mencoba mengutus Narotama untuk berunding dengan Rangda ing Jirah agar pasukannya diijinkan melewati tanah kabikuan, beberapa perwira Kadiri yang tak sabaran menerobos salah satu dusun di wilayah kabikuan hingga menimbulkan pertumpahan darah. Tata Krama Kabikuan dilanggar, bagaimana sikap Rangda Ing Jirah dan Airlangga menghadapi persoalan ini ? Kerumitan bagi Airlangga bertambah ketika tiba-tiba muncul Pangeran Samarawijaya, pewaris tahta kerajaan yang sah Wangsa Isana disaat Airlangga hendak menobatkan putrinya sebagai Putri Mahkota kerajaan Kadiri.

Novel perdana karya Cok Sawitri ini menarik untuk disimak. Selain mendekontruksi tokoh Calon Arang dari yang selama ini dikenal sebagai penyihir jahat menjadi tokoh pendeta wanita yang bijak , novel ini ditulis dengan kalimat-kalimat yang puitis. Mungkin bisa disebut sebagai prosa liris. Dengan demikian pembaca akan dibuai kedalam kalimat-kalimat indah yang melambungkan imaji pembacanya ke wilayah Kadiri berabad-abad lampau.

Namun cara penyajian seperti ini juga bisa menimbulkan jarak bagi para pembaca umum. Bagi yang tak terbiasa membaca kalimat-kalimat puitis, novel ini membutuhkan kecermatan yang lebih tinggi untuk memahami rangkaian kalimat indah yang tertera di setiap paragrafnya

Melalui novel ini pula pembaca akan diajak memasuki alam surealis dan fantasi dimana para murid Kabikuan dapat melesat terbang berkat ilmu kanuragannya, pepohonan dan binatang bisa saling bercakap-cakap dengan manusia, dll. Karena semua itu ditulis dengan kalimat puitis maka pembaca merasa tak sedang diobodohi melainkan semakin larut dalam keeksotisan deskripsi tanah Jawa dimasa lampau.

Kisah dalam novel ini sebenarnya lebih banyak diceritakan dari sudut pandang Narotama, penasehat Airlangga. Sehingga sepak terjang Airlangga dalam mendirikan, melakukan ekspansi dan mempertahankan kerajaannya merupakan porsi terbesar dalam novel setebal 184 halaman ini. Sedangkan porsi Rangda ing Jirah, walau tak mendominasi alur kisah di novel ini, Cok Sawitri dengan cerdas tetap membuat pembacanya dibayangi oleh kewibawaan, kebijaksanaan dan kemistisan dari Janda ing Jirah yang menyelimuti novel ini dari halaman awal hingga lembar terakhirnya.

Lalu apa pembelaan novel ini terhadap citra Calon Arang yang selama ini dikenal sebagai tokoh penyihir yang jahat? Melalui tokoh Ratna Menggali yang memiliki kemampuan untuk melihat masa depan ia meramalkan, “Mereka akan menuduh Ibu sebagai penganut ilmu hitam..”. “ Selama ratusan tahun, Ibu akan digelapkan, namun itu bagi yang tak memahami…” (hal 38). Dalam novel inipun disinggung bahwa kelak Airlangga memerintahkan agar para penyair tidak menulis apa yang sebenarnya terjadi di Kadiri dan kejaidan-kejadian di tanah Kabikuan. Bahkan Cok mengklaim bahwa novel ini merupakan kitab kecil yang selama ini tidak terungkap. dalam “Kelak, orang akan mengenangnya jauh dari kebenanaran…dan hanya dalam kitab kecil ini, apa yang tidak boleh dituliskan yang terkubur beratus-ratus tahun lampau, kembali dikisahkan”


Inilah alasan yang tersirat dalam novel ini mengapa sosok Calon Arang dan kisah yang melatarinya berbeda seratus delapanpuluh derajad dengan apa yang ditulis dalam novel ini.

Dalam novel ini tampak jelas Cok Sawitri juga sepertinya berupaya agar pembaca keluar dari bayang-bayang ingatan akan Calon Arang yang selama ini digambarkan sebagai perempuan yang seram. Dalam tafsir Cok, tak ada dendam karena Ratna Menggali tidak ada yang melamar, bahkan porsi kisah Ratna Menggali tersaji secara singkat saja. Tak ada teluh yang menebar penyakit pada rakyat Kediri. Yang ditawarkan Janda dari Jirah adalah rasa cinta kasih yang membawa kedamaian


Lalu apa dasar Cok Sawitri melakukan dekontruksi terhadap tokoh Calon Arang? Menurut wawancaranya dengan koran Tempo, Cok mengungkap bahwa “Rangda ing Jirah ini menjadi mitos yang dipelihara turun-temurun. Siapa dia sebenarnya, apakah sedemikian gelap padahal dia menurunkan banyak keturunan yang sangat menentukan dari Singosari sampai Majapahit, bahkan sampai Bali. Artinya Rangda ing Jirah bukan mitos. Dia ibu Ratna Manggali: ibu, nenek buyut para mpu. Bagaimana mungkin seorang yang sakti dan memiliki kewibawaan seorang btari bisa digambarkan sebagai tukang sihir dan harus dibunuh?”

Apa yang diungkap oleh Cok memang bukan sekedar pendapat tanpa dasar. Kabarnya untuk merawi novel ini ia telah melakukan riset yang mendalam selama empat belas tahun. Banyak naskah yang terdapat dalam lontar-lontar kuno dan prasasti bersejarah dicermati Cok untuk novelnya ini. Bahkan ia melengkapi risetnya hingga ke Negeri Belanda yang terkenal memiliki literaur-literatur lengkap mengenai Indonesia dimasa lampau.

Tampaknya Cok cukup ambisius mengerjakan novelnya ini. Kabarnya novel inipun sebenarnya hanyalah bagian kecil dari sebuah karya yang lebih besar yang sedang dikerjakannya. Apakah Cok sedang merevisi sebuah sejarah yang selama ini telah dikenal oleh masyarakat ? Novel ini memang menimbulkan kontroversi, dalam berbagai kesempatan Cok harus meladeni berbagai pertanyaan, menjelaskan latar belakang "keyakinannya" itu, bahkan meladeni gugatan banyak orang yang menuduh bahwa penelitiannya tidak sahih.

Terlepas dari segala kontroversi yang ada, novel ini sangat layak dibaca sebagai alternatif dalam membaca sejarah yang disastrakan. Cok telah menyajikan peristiwa sejarah dari sisi yang berbeda. Bukan tak mungkin hal ini akan membuat para pemerhati sejarah dan budaya kembali melakukan riset untuk mencari kebenarannya atas riset yang dilakukan Cok hingga akhirnya kebenaran sejarah sejati akan terungkap.

Namun jangan lupa, Janda dari Jirah adalah sebuah karya fiksi. Sementara kebenaran sejarah masih terus diteliti, marilah kita sebagai pembaca menikmati novel ini sebagai sebuah karya sastra yang mengungkap cinta, gejolak, nafsu kekuasaan, intrik politik, hubungan antarmanusia dan hubungan manusia dengan alam dalam bahasa yang sastra puitis.

@h_tanzil

Sunday 6 January 2008

Bulan Jingga dalam Kepala


Judul : Bulan Jingga dalam Kepala
Penulis : M. Fadjroel Rachman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2007
Tebal : 425 hlm
Harga : Rp. 42,500

Setelah malang melintang di hiruk pikuknya dunia mahasiswa di era 80-an, bersastra sambil berpolitik di kampus, dikejar-kejar tentara, dianggap sebagai orang yang berbahaya, dan akhirnya dipenjarakan oleh Pemerintah Orde Baru karena dianggap sebagai otak aksi mahasiswa yang menuntut Soeharto turun dari kursi kepresidenannya dalam aksi 5 Agustus 1989 . Kini M Fadjroel Rachman yang masih konsisten mengkritisi pemerintah melalui tulisan-tulisannya di media masa dan puisi-puisi perjuangannya membuat sebuah novel sejarah politik Indonesia dan dunia kontemporer dengan kehidupan tokoh utamanya yang mirip dengan pengalaman hidupnya.

Novel perdana Fadjroel yang diberinya judul Bulan Jingga dalam Kepala ini diawali dengan kisah Surianata saat menghadapi kematian di hadapan regu tembak di kawasan Tangkuban Perahu Lembang. Lalu kisah Surianata mundur ke belakang, tujuh tahun sebelum ia dihukum mati. Surianata masih kuliah di ITB. Ia bersama kawan-kawannya aktif berdiskusi dalam sebuah kelompok rahasia yang dinamai Lingkar Sokrates yang senantiasa mengevaluasi kondisi ekonomi, sosial, dan politik mutakhir, tak hanya itu saja mereka juga berlatih membela diri, dan menyiapkan diri dengan gagasan radikal perubahan sosial.

Dalam novel ini dikisahkan Indonesia berada dibawah kekuasaan otoriter Jendral Suprawiro yang dengan kekuasaannya telah menculik, membunuh, mencuri harta rakyat dan memenjarkan orang seenaknya terutama para aktivis politik dan mahasiswa yang menentang pemerintahannya.

Melihat keadaan negerinya yang semakin parah, akhirnya Surianata dan kawan-kawannya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Jendral Suprawiro dan rezim fasisnya harus digulingkan!. Untuk itu mereka menggalang kerjasama dengan kampus-kampus lain untuk melakukan aksi demo dengan tujuan menurunkan Jenderal Suprawiro dari tahtanya.

Setelah selama setahun melakukan berbagai demonstrasi, akhirnya aksi mahasiswa mencapai puncaknya ketika beberapa mahasiswa tewas ditembak ketika melakukan aksi demo. Inilah momentum sejarah yang mengetuk pintu para mahasiswa termasuk Surianata untuk melakukan aksi yang lebih besar lagi. Kali ini dengan lokasi tepat di simbol kekuasaan negara, Istana Merdeka!

Istana Merdeka segera dikepung seratusan ribu mahasiswa. Tentara dan polisi tak kuasa menahan amuk massa yang marah terhadap pemimpinnya. Presiden dan keluarganya terkepung di Istana Merdeka. Surinata dan kawan-kawannya menerebos ke ruang Istana Merdeka. Ia berhadapan langsung dengan Jenderal Suprawiro. Pistol dengan pistol saling teracung, baku tembak terjadi hingga akhirnya menewaskan Jenderal Suprawiro, malangnya Bulan Pratiwi (5 thn) putri Jendral Suprawiro tertembak juga secara tidak sengaja oleh Surianata.

Kematian Jenderal Suprawiro disambut sorak massa yang mengepung Istana Merdeka. Sang Presiden yang telah tewas digantung terbalik seperti pemimpin fasis Italia, Benito Mussolini. Mahasiswa menjadi pahlawan. Sayang ternyata para mahasiswa tak siap dengan langkah selajutnya, situasi menjadi chaos, Jakara dilanda amuk masa. Pemerintahan beralih ke kekuasaan para Jenderal yang dulu merupakan kaki tangan Jenderal Suprawiro. Surianata diadili dan djijatuhi hukuman mati karena telah membunuh Presiden dan putrinya. !

Surianata memang puas telah membunuh Jenderal Suprawiro, namun batinnya menangis dan tak tenang karena secara tak sengaja ia telah membunuh Bulan Pratiwi yang tak berdosa. Berkali-kali Surianata membatin bahwa pembunuhan yang ia lakukan membuat jiwanya seperti lepra yang membusuk. Pertempuran dunia batin inilah yang selalu ‘mengganggu’ Surianata dalam penjara hingga detik-detik terakhir hidupnya berakhir.

Fiksi dengan aroma sejarah, politik, yang juga melukiskan hiruk pikuk gerakan mahasiswa Indonesia dalam menumbangkan rezim fasis inilah yang diangkat dengan gamblang oleh Fadjorel. Dalam novel ini juga terlihat secara jelas bagaimana adanya penghianatan dalam gerakan mahasiswa dan bagaimana pula intrik-intrik politik para jenderal yang menggunakan aksi mahasiswa untuk membawa mereka pada puncak kekuasaan tertiinggi. Dan bagaimana juga akhirnya jika kekerasan dipergunakan untuk menumbangkan sebuah rezim.

Dalam novel ini Fadjroel bertutur secara mengesankan, ia tak ragu menggunakan kalimat-kalimat puitis dalam mendeskripsikan sesuatu. Hal ini menjadi paradoks yang mengasyikan karena menggabungkan gemulainya sastra dengan kerasnya dunia politik dan kehidupan Surianata dalam penjara. Penggunaan kalimat-kalimat puitisnya tersaji secara pas karena Fadjroel mengetahui kapan ia harus berlarik-larik dengan kalimat puitis dan kapan ia harus mempercepat tempo kisahnya.

Beberapa kotbah politik dan sejarah dari para tokoh-tokohnya terselip dalam porsi yang cukup banyak dalam novel ini. Di novel ini pengetahuan penulis tentang filsafat, sosiologi, politik tumpah ruah didalamnya, selain itu diwarnai pula dengan taburan nama-nama pembuat sejarah. Termasuk kisah penyaliban Yesus Kristus yang cukup banyak disinggung di novel ini. Namun Fadjorel bukan menulisnya menurut sudut pandang iman, melainkan dari sisi "kebiadaban dunia" atas apa yang dilakukan terhadap Yesus.
Masih banyak hal-hal yang menarik dalam novel ini, seperti kerasnya kehidupan di penjara dimana sadisme dan perilaku seks menyimpang selalu membayang-bayangi mereka yang hidup di penjara. Setting ITB, UI, Kuil Yasukumi Tokyo, Kamp Nazi Sachhensuen dan Holocoust Memorial Berlin juga turut mewarnai novel ini. Lalu ada pula sedikit taburan kisah cinta antara Surianata dan Bunga Langit yang tak cengeng dan tetap rasional ditengah perjuangan mereka.

Di tengah segala hal yang menarik dalam novel ini, satu hal yang berpotensi menggundang pertanyaan di benak pembacanya yaitu soal setting waktunya. Fadjorel sama sekali tak menulis angka tahun dalam kisahnya. Novel ini hanya menyebutkan kejadian di tahun X. Berbagai peristiwa sejarah dan situasi politik riil dan beberapa nama-nama asli tokoh-tokoh pembuat sejarah muncul dalam novel ini, namun ia tak memaparkannya sesuai dengan kronologis waktunya. Berbagai peristiwa sejarah yang kejadiannya berlainan tahun bisa saja terjadi dalam satu periode waktu.

Contohnya ketika Surianata dalam penjara disebutkan bahwa Xanana Gusmao masih berada di LP Cipinang dan Timor Leste belum merdeka. Namun ketika itu pula Surianata meminta kawan-kawannya untuk membawakan novel Tin Drum karya Gunter Grass karena ia ingin membaca novel tersebut setelah Grass mengaku dirinya sebagai anggota pasukan SS Hitler. Hal yang tidak sesuai dengan kronologis waktu rill karena sejatinya Grass mengaku bahwa dirinya anggota SS di tahun 2006, dan ketika itu Timor Leste telah merdeka dan Xanana telah menjadi presiden.

Ketika hal ini saya tanyakan langsung pada Fadjroel, ia menjawab melalui emailnya bahwa ia memang tidak membuat kronologi sejarah politik pada novel ini. Ia hanya tertarik pada peristiwa politik lalu memberi makna atas peristiwa tersebut. Menurutnya novel ini memang tidak dimaksudkan membuat kronologi sejarah. Ia hanya melihat makna peristiwa-peristiwa lalu disambungkan menjadi makna baru.

Dalam kreatifitas menulis fiksi hal seperti diatas sah-sah saja dilakukan. Hanya saja, tanpa penjelasan dari penulisnya hal ini berpotensi menimbulkan kejanggalan bagi pembacanya yang umumnya terbiasa dengan fiksi sejarah berdasarkan kronologis waktunya seperti tetralogi Pramoedya atau novel sejarah seri Gajah Mada karya Langit Kresna H, dll

Yang kedua, ketika Istana Merdeka dikepung masa kenapa pula Jendral Suprawiro tak dievakuasi oleh paspampres, bukankah kedatangan masa bisa diprediksi dan bukankah aturan pengamanan kepala negara seharusnya telah melakukan evakuasi bagi kepala negara dan keluarganya dari istana ketika keadaan menggenting?

Yang ketiga, surat terakhir Surianata kepada kedua orangtuanya penuh dengan kotbah politik, ah rasanya hal ini terlalu berlebihan, bukankah surat kepada orang tua biasanya lebih personal ?. Bagi saya surat seperti yang ditulis Surianata tampaknya lebih cocok ditujukan kepada kawan-kawan seperjuangannya untuk terus membakar semangat mereka.

Ditengah segala kelebihan dan kekurangannya, novel sejarah politik yang penuh liku, padat, mengungkap kemarahan, kekayaan alam fikir dan batin seorang Fadjroel ini layak diapresiasi oleh mereka yang ingin mengetahui lebih banyak sepak terjang pergerakan dan pola pikir ideal mahasiswa dalam memperjuangkan kebebasan politik. Walau berupa fiksi, tak belebihan jika dikatakan bahwa novel ini dapat dijadikan kisah pembelajaran bagaimana seharusnya para pejuang demokrasi harus berpikir dan bersikap agar apa yang dicita-citakannya dapat terwujud dengan baik.

Selain itu novel ini juga berbicara perjuangan manusia meraih kebebasan, melawan sifat kebinatangan penguasa yang selalu ada sejak zaman dahulu kala. Kebinatangan yang tak akan pernah hilang selamanya dan akan terus membayangi akal budi kita. Seperti bulan yang bersembunyi dalam terang matahari, lalu berkuasa penuh di tengah gelap. Selalu berulang hingga kiamat. Itulah bulan jingga dalam kepala manusia.

@h_tanzil
 
ans!!