Monday 27 August 2007

The White Lama #1: Reinkarnasi

Judul : The White Lama # 1 : Reinkarnasi
Teks : Alejandro Jodorowksy
Gambar : Georgess Bess
Penerjemah : Hetih Rusli
Editor : Tanti Lesmana
Proofreader : Yulia Hanoto
Penerbit : Humandios / Gramedia
Cetakan : Juli 2007
Tebal : 144 hlm ; 6 mm
Harga : Rp. 56.000,-

Tibet, negeri yang berada di pegunungan Himalaya yang sering dikatakan sebagai puncak dunia, sebelum kedatangan bangsa asing dan invasi China adalah negeri yang damai. Masyarakatnya sangat menjunjung tinggi kehidupan spritualnya. Ketentraman ini tiba-tiba diresahkan oleh mimpi yang mengganggu tidur Lama Agung Mipam (pemimpin spiritual Tibet). Dalam mimpinya ia diberi penglihatan sesosok mayat yang jatuh dari langit. Sesuai dengan apa yang telah diramalkan Guru Agung Padma Shambava, mimpi itu menandakan bahwa dalam tahun naga akan datang gerombolan penjahat yang akan menyerbu perbatasan Tibet dari selatan. Darah akan menodai salju abadi bangsa Tibet dan hal ini akan meruntuhkan pondasi keyakinan bangsa Tibet dan orang-orang Tibet akan terinjak-injak dan tersebar ke empat penjuru angin.

Lama Agung Nipam yang telah sepuh sadar bahwa sebelum semua itu terjadi, Tibet butuh seorang pemimpin yang memiliki tubuh yang kuat dan jiwa seorang pejuang. Sebelum meninggalkan raganya Nipam menyatakan bahwa ia akan kembali bereinkarnasi menjadi seorang bocah yang tempat kelahirannya telah ia ramalkan. Untuk itu ia mengutus pendeta pelatih Dondup dan guru Tzu untuk menemukan bocah itu dan melatihnya hingga siap menjadi seorang Lama Agung.

Sebagai Lama Agung ad interim, Nipam menunjuk Lama Migmar untuk memimpin kehidupan spiritual masyarakat Tibet hingga bocah yang merupakan reinkarnasi Nipam ditemukan.

Setelah Nipam wafat, datanglah Gabriel dan Susan - sepasang orang inggris bersama menuju Tibet. Ternyata Susan sedang mengandung. Penyihir Naljdjorpa yang disegani di Tibet menyatakan bahwa terdapat ikatan abadi yang menyatukan wanita inggis tersebut dengan Atma, wanita Tibet yang ketika itu juga sedang mengandung. Dan mereka diharuskan tinggal dalam satu rumah hingga kedua anak mereka lahir.Ternyata rumah tempat kedua anak itu dilahirkan merupakan tempat dimana Nipam akan berinkarnasi.

Lama Migmar yang ingin kekuasaannya langgeng memerintahkan sekutunya untuk mencari tempat dimana Nipam akan bereinkarnasi dan membunuh bocah tersebut. Utusan Migmar berhasil membunuh bayi yang baru dilahirkan dari rahim Atma, sedangkan Gabriel dan Susan yang tinggal bersamanya tewas terbunuh. Namun sebelum menghembuskan nafasnya, Susan sempat melahirkan anaknya yang kelak akan diberi nama Gabriel Marpa dan dibesarkan oleh Atma dan Kuten.

Lama Migmar tak pernah menduga bahwa ia salah membunuh bayi. Ia sama sekali tak menduga bahawa reinkarnasi Lama Agung Nipam akan lahir dari rahim seorang wantia inggris. Merasa telah berhasil membunuh bocah yang ‘terpilih’ Dengan rekayasanya Migmar memperdaya rakyat Tibet dengan menetapkan seorang bocah idiot sebagai reinkarnasi Lama Agung Nipam. Bocah idiot tersebut dijadikannya boneka sehingga kekuasaan secara faktual masih dipegang oleh Migmar.

Selanjutnya kisah dalam buku ini akan berputar pada bagaimaan Gabriel kecil harus menjalani didikan keras dari Pendeta Tzu hinggga akhirnya suatu tragedi menimpa ayah angkatnya dan menyebabkan dirinya terusir dari keluarganya dan mengembara mencari sebuah biara yang mau menerimanya untuk menjadi soerang biksu. Saat itu tak seorangpun tahu kecuali Atma dan pendeta Tzu bahwa ia adalah reinkarnasi Lama Agung Nipam.

Akhirnya ia sampai di biara tempat dimana Migmar dan bocah idiot yang dipercaya sebagai reinkarnasi Nipam berada. Usahanya untuk diterima dalam biara tersebut tidaklah mudah, ia harus menjalani berbagai syarat yang berat. Ketika akhirnya diterima, Gabriel harus melihat kenyataan bahwa biara yang dipimpin Migmar telah mengalami kemerosotan moral. Migmar hanya peduli pada kekuasaan dan kekayaan. Ia hanya memikirkan bagaiman ia dapat terus berkuasa. Ketamakan dan egoismenya begitu besar sehingga ia rela menjual negaranya pada orang-orang Cina.

Kisah diatas terdapat dalam buku pertama sebuah novel grafis - The White Lama : Reikarnasi karya Alejandro Jodorowski dan Georges Bessis. Seluruh kisah kehidupan Gabriel sebagai Rahib Putih ini termuat dalam 6 buah buku yang telah diterbitkan oleh Les Humanoïdes Associés / Perancis pada tahun 1988 hingga 1993.

Jodorowski sendiri adalah seorang jenius kelahiran Chili dan telah menjadi warga negara perancis. Ia seorang yang multitalent, selain dikenal sebagai figur penting dalam percaturan komik Eropa : bahkan dunia, jodorowksy juga memiliki seabrek keahlian sebagai produser dan sutradara film alternatif, aktor, dramawan, composer, ahli tarot, filsuf, ahli perbandingan agama, psikoterapis, dll.

Dalam kariernya sebagai penulis komik, Jodorowsky telah menghasilkan lebih dari 20 buah komik yang telah diterjemahkan lebih dari 10 bahasa. Komik yang paling terkenal adalah L’Incal yang digambari oleh Jean Giraud (Mœbius). Dalam komiknya ini Jodoroewsky menggunakan symbol-sombol kartu Tarot yang memang dikuasainya. Komik terbarunya diberinya judul Dayal de Castaka, dengan ilustrator Das Pastoras, Les Humanoïdes Associés, 2007


Sedangkan Georges Bessis adalah illustrator komik yang kariernya sebagai komikus menanjak setelah berkolaborasi dengan Jodorowsky dalam White Lama. Sebelumnya Bess adalah ilsutrator di malajah-majalah Swedia dan juga mengerjakan serial komik The Phantom yang diterbitkan oleh penerbit Skandinavia. Hingga kini Bess masih produktif. Pada tahun 2005 terbit komik karyanya yang juga berlatar Tibet, 'Pema Ling', dan kini Bess sedang mengerjakan komik terbarunya yang berjudul Yamantaka, seigneur de la mort (Dubois).

Kolaborasi Jodorowsky dan Bess dalam The White Lama ini menghasilkan sebuah komik berlatar belakang Tibet yang sangat menarik. Tibet yang masyarakatnya dikenal dekat hal-hal gaib dan kedekataannya pada tradisi dan spiritualisme tergambar jelas pada komik ini. Dalam komik ini kita akan menemui hal-hal yang gaib seperti munculnya penyihir Naldjorpa yang bisa menalayang, guru Tzu yang menjelma menjadi dua, munculnya sosok gaib Lama Mirpan dalam diri gabriel kecil, dll. Semuanya itu tercertiakan dan tergambar dengan apik dalam komik ini. Dalam hal tradisi Tibet, komik ini juga mengungkapkan bagaimana ritual penenggelaman bayi yang baru lahir ke sebuah danau es guna menguji ketahanan si bayi akan kondisi dingin yang akan menyertai dia selama hidupnya.

Masuknya budaya barat yang dibawa oleh tentara inggris yang pertama kali menginjakkan kakinya di Tibet juga tergambar dengan jelas di komik ini. Dengan alasan membawa keberadaban pada bangsa Tibet, Inggris mencoba meruntuhkan kepercayaan di Tibet dengan membawa agama baru bagi orang Tibet. Hal ini terlihat pada tokoh Gyalpo dan seluruh keluarganya yang dibabtis secara Kristen dan memiliki nama baru “Yesus” dan anak cucunya diberi nama yesus junior dan yesus kecil dan merubah gaya hidup mereka menjadi gaya barat seperti bermain kriket, perabotan barat dan patung salib di rumahnya.

Jodorowsky tampaknya memahami betul budaya dan spiritualisme Tibet. Selain soal-soal tradisi dan budaya yang telah diungkap diatas, kita juga akan disuguhkan beberapa percakapan yang filososofis, semua ini terangkai secara pas dan tidak berlebihan sehingga tidak mengganggu alur ceritanya. Ilsutrasi yang dibuat oleh Bess juga sangat menarik dan detail sehingga membantu kita memahami isi ceritanya. Kesimpulannya Alexandro Jodorowsky dan Georges Bess mempersembahkan kisah memikat yang menggabungkan unsur-unsur filososif, bela diri, kekuatan supranatural, dan kebangkitan spiritual.

Walau terjemahan komik ini baru hadir di tangan pembaca Indonesia lebih dari 10 tahun sejak terbitan perdananya di Perancis, rasanya tak ada kata terlambat untuk menikmati komik-komik kelas dunia dalam bahasa indonesia. Kabarnya seri berikutnya dari komik ini telah selesai diterjemahkan dan akan segera terbit, semoga tak terlalu lama menunggunya sehingga kita bisa segera menikmati salah satu seri terbaik karya komikus dunia ini secara lengkap.

The White Lama dicetak dengan format yang sama dengan edisi aslinya (format Album) Dari segi terjemahannya, komik ini diterjemahkan dengan sangat baik sehingga pembaca dipastikan tak akan menemui kendala dalam memahami komik ini. Dari hasil cetakannya, karena tidak menggunakan kertas art paper, konsekuensinya beberapa gambar dalam buku ini terlihat kurang terang dibanding edisi aslinya. Hal yang patut dimaklumi karena tampaknya penerbit berusaha menekan harga agar buku ini lebih terjangkau oleh pembaca indonesia.

Saya rasa apa yang diambil penerbit dalam menyiasati kemasan novel grafis ini agar harganya lebih terjangkau sangat tepat. Hasilnya tak mengecewakan dan tidak terlalu berbeda dengan edisi aslinya. Semoga dengan terus diterbitkannya novel-novel grafis bermutu dengan harga yang terjangkau, masyarakat Indonesia mulai tersadarkan bahwa komik bukanlah bacaan anak-anak yang tak berguna. Kini melalui komik, pembaca juga akan mendapat wawasan baru sesuai dengan keragaman komik-komik kelas dunia yang kini bukan hanya menyajikan cerita-cerita superhero belaka.


@h_tanzil

Monday 20 August 2007

Glonggong


Judul : Glonggong
Penulis : Junaedi Setiyono
Penyunting : Imam Muhtarom
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Juli 2007
Tebal : 293 hal

Perang Jawa atau De Java Oorlog (Belanda) adalah perang besar dan menyeluruh yang berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro atau yang dalam novel ini disebut-sebut sebagai Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa

Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metoda perang gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran.

Di pihak Belanda perang ini menghabiskan 20 juta gulden dan banyak memakan korban. Belanda kehilangan 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, sedangkan rakyat Jawa yang tewas sebanyak 200.000. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.

Novel Glonggong, adalah novel sejarah berlatar Perang Jawa. Namun bukan novel tentang Pangeran Diponegoro atau tokoh-tokoh perang jawa lainnya. Novel ini mengisahkan seorang pemuda yang namanya tidak akan pernah kita temui dalam buku-buku sejarah. Tokoh utama novel ini bernama Danukusuma yang lebih dikenal dengan nama Glonggong.

Nama Glonggong diperoleh Danukusuma karena kemahirannya bermain perang-perangan dengan menggunakan pedang glonggong. Glonggong adalah tangkai daun pepaya berwarna kuning pucat kehijauan. Oleh anak-anak Jawa pelepah pohon pepaya ini dijadikan pedang untuk bermain perang-perangan. Sedangkan nama Glonggong disandangnya setelah ia bermain perang-perangan dengan Suta, sahabatnya. Ketika ia jatuh terjerembab di tanah, seseorang menariknya dan ternyata dia adalah seorang putrra raja bernama Bendara Raden Mas Antawijaya yang kemudian dikenal dengan nama Kangjeng Pangeran Aria Dipanegara. Ketika itu Pangeran menyapanya dengan panggilan “Glonggong”. Dan sejak itu Danukusuma dipanggil Glonggong oleh teman-temannya dan nama itu terus melekat dengan dirinya hingga dewasa.

Dalam darah Glonggong mengalir darah biru. Namun hidupnya tak semulus teman-temannya yang berdarah biru lainnya. Ibunya seorang Raden Ayu dari daerah Tegalreja (tanah kelahiran Pangeran Diponegoro) yang menikah dengan Kiai Sena, seorang jagabaya (penjaga kemanan) dari wilayah Bagelen. Namun pernikahan ini tak berlangsung lama karena ayahnya hilang ketika terjadi peristiwa pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Rangga Prawidirja pada tahun 1810. Saat itu Glonggong masih dalam ayunan gendongan selendang ibunya. Ia tak sempat mengingat wajah ayah kandungnya yang tak pernah pulang.

Ibunya kemudian menikah lagi dengan Raden Suwanda. Glonggong tinggal bersama ibu dan ayah tirinya, sementara dua orang saudaranya tinggal bersama pamannya. Walau telah menikah, ibu glonggong masih terus memikirkan Kiai Sena sehingga kondisi psikisnya terganggu, ia hidup dalam dunianya sendiri, setiap hari dilaluinya mengeram dalam kamar sambil menembangkan tembang-tembang mapacat. Sedangkan Raden Suwanda, ayah tiri glonggong, sibuk dengan kepriyayiannya. Tak ada tegur sapa yang harmonis layaknya bapak dan anak. Ayah tirinya terlampau asing bagi glonggong.

Dalam keluarga yang seperti inilah Glonggong dibesarkan, sejatinya ia tumbuh dalam asuhan kedua orang pembantunya. Setiap hari dilaluinya dengan bermain glonggong bersama anak-anak desa di kampungnya. Ketika Raden Suwanda memperoleh pendamping baru, glonggong dan ibunya diusir dari rumahnya sendiri. Mereka terpaksa harus tinggal di sebuah gubuk di tengah hutan. Dengan setia glonggong merawat ibunya hingga sebuah tragedi merengut nyawa ibunya dan membuat Glonggong harus hidup terlunta-lunta sebatang kara.

Hidup sendirian membuat dirinya bertekad untuk berkelana untuk mencari ayah dan dua kakak kandungnya. Kemahirannya memainkan glonggong juga membuatnya bekerja sebagai pengawal para priyayi keraton. Pekerjaan ini membuatnya memahami bahwa para priyayi umumnya hidup dalam kemewahan harta, tahta, dan wanita yang memabukkan kehidupan mereka. Lalu ia juga bergabung dengan barisan prajurit Pengeran Dipanegoro yang saat itu sedang berjuang melawan Belanda. Saat itu keraton Ngayogyakarta terbelah menjadi dua, satu pihak mendukung perjuangan Diponegoro, di lain pihak bersekongkol dengan Belanda.

Dalam sebuah tugasnya mengawal peti harta karun laskar dipanegaran guna ditukarkan dengan senjata, Glonggong mendapat serangan dari para bagal. Ia terluka cukup parah. Setelah sembuh, ia diperhadapkan dengan munculnya orang yang menyamar menjadi dirinya dan membunuhi penduduk desa. Selain itu ia juga bertekad untuk menemukan kembali harta karun yang direbut oleh para bagal sebagai tanggung jawabnya pada Sang Pangeran.

Novel Glonggong karya Junaedi Setiono, yang sehari-harinya mengajar sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Purworejo ini merupakan novel pertamanya dan langsung didapuk sebagai pemenang ke-empat (harapan I) sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006. Sebelumnya cerpen dan puisinya pernah memenangi sayembara penulisan cerpen dan puisi. Cerpen dan Puisi-puisinya telah dimuat di media masa lokal (Porworejo), juga dapat ditemui dalam beberapa antologi puisi yang terbit sejak tahun 1988, yang terakhir , kumpulan puisi dan cerpennya dibukukan alam antologi Kemuning (2005)

Walau novel ini berlatar belakang Perang Jawa ini kita tidak akan disuguhkan oleh serunya peperangan antara Laskar Dipanegaran dengan Belanda atau kisah-kisah heroik Sang Pangeran dan laskar-laskarnya dalam membela haknya. Sang Pangeran dalam novel ini hanya muncul sekilas saja, selebihnya novel ini lebih mendeskripsikan kisah kehidupan Glonggong dan tokoh-tokoh lain yang merupakan lapisan pertama dan kedua dari hirarki pasukan Diponegoro. Selain itu novel ini juga mengupas intrik politik dan perilaku kaum bangsawan keraton dalam melawan belanda.

Tak ada deskripsi mendetail baik mengenai peristiwa sejarah, setting lokasi dan waktunya. Melalui kisah hidup glonggong, penulis lebih memilih untuk mengungkap bagaimana kebobrokan kehidupan para priyayi keraton yang memilih hidup nyaman dan mencari aman dengan berpihak pada Belanda. Bahkan yang lebih ironis bagaimana akhirnya pasukan Dipanegaran sendiri yang akhirnya frustasi karena kekalahan-kekalahan yang dideritanya sehingga akhirnya membelot dan mencari jalan sendiri-sendiri.

Karakter glonggong dieksplorasi secara baik oleh penulis sebagai pribadi yang pantang menyerah terhadap kepahitan hidupnya yang tercerabut dari keluarganya, berperang melawan ayah tiri dan saudara kandungnya sendiri, dikhianati oleh guru dan sahabatnya, hingga menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri bagaimana akhirnya Sang Pangeran yang dijunjungnya tertangkap oleh Belanda. Namun hal ini tidak membuat dirinya undur dari perjuangannya dan tetap melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terhadap tugas yang diembannya.

Novel setebal 293 halaman ini memiliki plot yang cepat dengan kalimat-kalimat yang enak dibaca. Untuk lebih menghidupkan novel ini, penulis menggunakan beberapa istilah dalam bahasa jawa. Untuk itu, buku ini menyediakan daftar glosari di halaman akhir yang memuat 74 istilah jawa. Sangat membantu, walau sedikit mengganggu kenikmatan membaca karena harus membolak-balik daftar glosari ketika menemukan istilah yang tidak dimengerti. Mungkin lebih baik diberi catatan kaki saja sehingga pembaca tak perlu terhenti lebih lama untuk membolak-balik buku ini.

Di awal kisah, penulis menyajikan novel ini seolah-olah Glonggong sedang menulis kisahnya kepada Hendrik, sahabat belandanya. Sayangnya tokoh Hendrik dan kisah persahabatannya dengan Glonggong sendiri kurang terekplorasi sehingga saya tak melihat urgensinya mengapa Glonggong sampai perlu menulis kisahnya ini untuk Hendrik.

Ada satu kejanggalan di halaman 111, disebutkan “Uang hasil menang judi sebanyak sepuluh ribu rupiah perak dapat selamat sampai ke purinya” (hal 111). Yang jadi pertanyaan, apakah pada masa itu istilah rupiah sudah mulai digunakan?

Namun terlepas dari kelemahan dan kejanggalan di atas, novel ini tetap menarik untuk disimak Awalnya saya menyangka novel ini seperti layaknya novel-novel pendekar dimana tokohnya menderita, terkucilkan, dan akhirnya menjadi seorang yang besar dan disegani. Rupanya penulis tak terjebak dalam alur seperti itu. Di sini penulis mengelaborasi jalan hidup tokohnya secara lain , glonggong tetaplah glonggong, yang namanya tidak dikenal dan bukan siapa-siapa hingga kisahnya berakhir.

Yang patut diteladani adalah sikap hidupnya yang tetap konsisten membela kebenaran di tengah kehidupan pribadinya yang pahit dan kekecewaannya terhadap teman-temannya dan gurunya yang pada akhirnya memilih hidup nyaman dengan meninggalkan perjuangan melawan ketidakadilan.

Dan seperti diungkap oleh Ahmad Tohari dalam endorsmen buku ini, novel ini mengungkap genetika kebobrokan politikus sekarang yang bisa dilacak dengan jelas dalam novel ini. Jika kita cermati, intrik politik yang terjadi lebih dari seratus lima puluh tahun yang lampau masih terjadi hingga kini. Tidak percaya ? Silahkan baca novel ini.

@h_tanzil

Monday 13 August 2007

Ekspedisi Kapal Borobudur - Jalur Kayu Manis

Judul : Ekspedisi Kapal Borobudur - Jalur Kayu Manis
Text & arahan visual : Yusi Avianto Pareanom
Gambar : M. Dwi Bondan Winarno & Dhian Prasetya
Penerbit : Banana
Cetakan : 2007
Tebal : 50 hlm ; 29 x 20.5 cm
Hard Cover


Catatan-catatan Sejarah dan bukti-bukti arkeologis secara jelas telah mengungkapkan pada kita bahwa berabad-abad yang lampau nenek moyang bangsa Indonesia telah mengarungi lautan untuk berdagang rempah-rempah dengan perahu tradisionalnya. Pada abad ke-1 Masehi sejarahwan Romawi Pliny menulis tentang pelaut yang datang ke Afrika dari lautan Timur, "Mereka datang menggunakan rakit atau perahu sederhana dua cadik dengan muatan kayu manis dan bumbu-bumbu lain" (hal 1)

Salah satu bukti sejarah lain adalah relief yang yang terdapat di dinding Candi Borobudur, tepatnya pada panil nomor 6 bidang C, lorong I, sisi utara Borobudur. Hal ini membuktikan bahwa di abad ke 8 pada saat dinasti Syalendra berkuasa, jauh sebelum pelaut-pelaut Eropa sampai ke kawasan Asia tenggara, nenek moyang kita telah berlayar hingga pesisir barat Afrika untuk melakukan misi perdagangan. rempah-rempah.

Salah satu rempat-rempah yang diperdagangkan adalah kayu manis yang merupakan rempah yang paling bergengsi karena aromanya yang harum dan elegan. Jalur yang digunakan pelaut-pelaut nusantara untuk berdagang kayu manis dikenal dengan Rute Kayu Manis (The Cinnamon Route). Rute itu membentang dari samudera Hindia- Kepulauan Maladewa-Madagaskar-Cape Town-Tanjung Harapan, hingga di Ghana, di pesisir barat Afrika.

Benarkah pelaut-pelaut nusantara pernah melakukan pelayaran hingga Afrika barat ? Tak puas hanya dengan membaca catatan-catatan sejarah, sekelompok pelaut dari dalam dan luar negeri tergerak untuk menjajal rute yang pernah dilalui oleh pelaut-pelaut nusantara dengan kapal tradisionalnya. Tak tanggung-tanggung mereka mencoba menyusuri rute itu dengan perahu tradisional yang mereka dapatkan gambarnya dari sebongkah relief di candi Borobudur. Karenanya ekpedisi ini diberi nama Ekspedisi Kapal Borobudur

Pencetus ide ekspedisi ini lahir dari seorang berkebangsaan Inggris, Philip Beale, mantan Angkatan Laut Kerajaan Inggris yang di tahun 1982 mengunjungi candi Borobudur guna mempelajari kapal tradisional Indonesia. Dua puluh tahun kemudian, setelah melakukan riset yg mendalam barulah ide Philip Beale terwujud.

Kapal Borobudur dibuat oleh seorang ahli pembuat kapal tradisional As’ad Abdullah al Madani (70). Kapal yang menyerupai kapal penangkap ikan ini berukuran panjang 18,29 meter, lebar 4,25 meter, dan tinggi 2,25 meter, serta memiliki berat 30 gross ton tersebut terbuat dari 125 meter kubik kayu dan dikerjakan hanya dalam waktu empat bulan enam hari oleh 26 orang, termasuk As’ad dan 13 tukang perahu di sebuah desa di Pulau Kangean, Madura. Kapal ini dikerjakan dengan teknik tradisional dan menggunakan bahan lokal yang mendekati bahan asli kapal masa silam, tidak ada satu pun paku dan besi digunakan dalam pembuatan kapal ini. Sebagai gantinya digunakan tali temali tradisional dari tumbuhan, yaitu serabut kelapa, serat nanas, serat henet dan ijuk. Sekitar Rp 250 juta dihabiskan untuk menyiapkan kapal ini.

Setelah melakukan perjalanan uji coba dan berbagai persiapan, akhirnya pada tanggal 15 Agustus 2003 Ekpedisi Borobudur resmi dilepas oleh Presiden Megawati Soekarnoputri di FIS Water Sport Club Marina, Ancol Jakarta Utara. Kapal layer bercadik yang dinahkodai oleh Kapten Laut (P) I Gusti Putu Ngurah Sedana ini akan menapak tilas rute kayu manis (Cinnamon Route) dari Jakarta menuju Afrika, dengan melewati Seychelles, Madagaskar, Cape Town, dan berakhir di Accra, Ghana. Kapal yang tidak menggunakan mesin dan hanya digerakkan oleh layar ini tak menggunakan peralatan modern kecuali sejumlah peralatan navigasi seperti global positioning satelite (GPS), saluran telekomunikasi Inmarsat, Navtex, dan Ecosonar. Tak ada radar sama sekali sehingga ketajaman mata dan intuisi para pelaut terutama di malam hari amatlah berperan penting.

Ekspedisi ini dipimpin sendiri oleh Philip Deale dan melibatkan 10 anak buah kapal (ABK) dari warga negara Indonesia dan beberapa awak berkewarganegaraan asing. ABK asal Indonesia adalah, Mucoko, Niken Maharani, Sheirlyana Juanita, Bayu Siantoro, Oskar Susanto, Irvan Risnandar, Muhammad Habibie, Abdul Aziz, Anthony Hugiono, dan I Gusti Ngurah Agung.

Ekpedisi ini menempuh jarak 11 ribu mil dalam waktu 6 bulan sebelum akhirnya pada tanggal 23 Februari 2004, Kapal Borobudur berlabuh di pelabuhan Temaa di Accra, Ghana. Dengan demikian berakhirlah seluruh ekpedisi Borobudur yang juga membawa misi mempromosikan budaya Indonesia dan menggali budaya Indonesia yang mungkin ditinggalkan nenek moyang kita di tempat persinggahannya

Kisah Petualangan Ekspedisi Borobudur inilah yang dijadikan komik oleh Yusi Avianto Paraenom, M. Dwi Bondan Winarno, dan Dhian Prasetya. Yusi menggarap teks dan ceritanya, sedangkan gambarnya dikerjakan oleh Bondan W dan Dhian Prsetya.

Komik non fiksi ini bisa dikategorikan sebagai komik dokumenter, komik berdasarkan catatan perjalanan orang lain. Jika dilihat dari gambar-gambarnya, komik ini sangat mememesona. Gambar-gambarnya mengingatkan kita pada komik Herge (Tintin) atau Peter Van Dongen (Rampokan Jawa, Pustaka Primatama 2005). Gambar-gambarnya bersih dan sapuan warna-warnanya cerah dan indah. Untuk menyiapkan komik dengan gambar kelas satu dan tingkat presisi tinggi, kabarnya Yusi dan teman-temannya memotret tempat, benda-benda, dan tokoh yang terlibat dalam ekspedisi itu.

Ceritanya sendiri merupakan dokumentasi dari kisah-kisah perjalanan kapal Borobudur. Apa yang selama ini kita baca di media-media beberapa tahun yang lampau mengenai kisah-kisah suka duka yang diungkapkan oleh para peserta ekspedisi ini kini tersaji dalam teks dan gambar-gambar yang menawan. Tampaknya komik ini memang komik yang sengaja dibuat untuk mendokumentasikan salah satu peristiwa bersejarah dalam dunia pelayaran kita. Penulis tampaknya sangat setia pada fakta-fakta yang terjadi selama pelayaran. Karenannya tak banyak yang bisa diceritakan dalam komik ini, sehingga untuk menggambarkan keseluruhan kisah mulai dari munculnya ide, persiapan, suka duka selama perjalanan, hingga kedatangan kembali ekpedisi ini, komik ini hanya menyajikan 217 panel gambar dengan tebal 50 halaman saja.

Rieza Fitramuliawan, penggemar dan pemerhati komik yang aktif berdiskusi dalam milis-milis komik, ketika dimintai pendapatnya akan komik ini mengungkapkan bahwa komik ini dikemas dengan sangat bagus, hard cover, kualitas kertas yang baik, dan memiliki gambar-gambar dan warna yang bagus, mestinya harus menjadi standar baru bagi komik Indonesia, sedangkan ceritanya sendiri sangat datar, dan sarat akan pesan-pesan sponsor [ Hal yang bisa dimaklumi mengingat bahwa komik ini merupakan hasil kerjasama antara Penerbit Banana dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata] . Dialog dalam balon teks sangat kering dan formal, percakapan yang dimaksudkan untuk melucu - sama sekali tidak tersampaikan.
Menurut pendapat pribadinya, buku ini lebih cocok diklasifikasikan sebagai picture book yang bagus dibandingkan komik atau novel grafis. Baginya gambar-gambar dalam buku ini walau indah tapi tidak ‘hidup’. Ekspresi kurang tergarap. Menurutnya yang membuat buku ini menjadi komik adalah balon teksnya saja. Demikian ungkap Rieza.

Memang buku ini memiliki tampilan yang sangat bagus terlebih dalam komposisi warna-warninya yang indah. Sayang tampilan yang menawan ini diciderai oleh beberapa kesalahan pengetikan tanda baca, walau tak terlalu mengganggu namun mengurangi kenikmatan dalam membacanya. Selain itu Ada yang kurang dalam komik ini. Kalau memang dimaksudkan untuk mendokumentasikan sebuah peristiwa bersejarah, kenapa tak ada panel gambar atau teks yang mengungkap bahwa kebrangkatan ekspedisi ini ini dilepas oleh Presiden Megawati ? Padahal hal ini tentu saja merupakan salah satu bagian yang penting guna mengungkap bagaimana pemerintah begitu concern terhadap ekspedisi ini.

Kabarnya setelah menerbitkan buku ini, penerbit banana juga akan menerbitkan komik lain yang berjudul Pencurian Permata di Eendagsche Exprestreinnen. Komik berlatar sejarah yang memotret masa awal masuknya jalur kereta di Jawa. Di luar itu, ada dua lagi yang sudah menunggu. Komik tentang Jalan Raya Anyer-Panarukan dan kisah pembantaian orang-orang Tionghoa di masa pendudukan Belanda di Batavia. Semoga apa yang menjadi kekurangan-kekurangan seperti yang diungkap oleh Rieza diatas bisa diperbaiki di komik-komik berikutnya

Namun terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, ide untuk mengkomikkan ekspedisi bersejarah ini patut diacungi jempol. Tentunya tak semua orang mengetahui bahwa 4 tahun yang lampau sebuah ekspedisi ‘nekad’ berhasil melakukan napak tilas perjalanan yang pernah dilakukan oleh nenek moyang kita ratusan tahun yang lampau. Semoga dengan terbitnya komik ini semakin banyak masyarakat Indonesia yang sadar bahwa bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut yang tangguh. Mereka mengarungi ribuan mil hingga ke Afrika untuk berdagang dengan kapal layar bercadik yang sederhana. Semoga hal ini bisa mengilhami kita semua untuk bersama-sama mengembalikan kejayaan bahari Indonesia

Jalesveva Jayamahe!. Di lautan justru kita jaya !

@h_tanzil

Saturday 4 August 2007

The Boy in the Striped Pyjamas

Judul Asli : The Boy in the Striped Pyjamas
Judul Terjemahan : Anak Lelaki Berpiama Garis-Garis
Penulis : John Boyne
Penerjemah : Rosemary Kesauli
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Juli, 2007
Tebal : 240 hlm ; 20 cm

Pembantaian orang-orang Yahudi oleh hitler dalam kurun waktu 1942-1945 adalah persitiwa genosida terbesar dalam sejarah umat manusia. Peristiwa ini menjadi lembaran hitam, bukan saja bagi warga Yahudi di Eropa melainkan bagi seluruh umat manusia di bumi ini. Kamp Auschwitz yang terletak di bagian selatan Polandia adalah tempat dimana jutaan orang yahudi pernah diisolir, dijadikan esperimen biologis untuk kepentingan perang dan mati dalam kamar gas, kini masih tetap berdiri dan dijadikan museum sebagai saksi bisu atas peristiwa yang paling memilukan itu. Rudolf Hanz, komandan Kamp pernah bersaksi bahwa lebih dari 2,5 juta orang yahudi mati di Auschwitz.

Walau pahit untuk dikenang, namun peristiwa hitam itu terus menjadi inspirasi bagi para penulis untuk menuturkan kisah-kisah yang menggugah sisi kemanusiaan kita. Kisah yang paling terkenal ditulis oleh Anne Frank, gadis yahudi yang menuliskan peristiwa-peristiwa yang dialaminya sebelum diangkut kedalam kamp tahanan. Selain itu masih banyak kisah-kisah lain yang tertuang dalam berbagai kisah fiksi, memoar, dll dengan tema yang sama.

The Boy in the Stripped Pyjamas adalah salah satu novel yang mengambil setting waktu dimana orang-orang yahudi ditangkapi dan diisolir dalam kamp khusus di Austwitz. Kisahnya tentang seorang anak berusia sembilan tahun yang bernama Bruno. Bruno tinggal di Berlin bersama keluarganya, Gretel adalah kakak wanitanya yang berusia 14 tahun. Ibunya seorang wanta rumah tangga biasa, sedangkan ayahnya seorang komandan Nazi yang dekat dengan Hitler.

Suatu ketika keluarga Bruno mendapat kabar bahwa sang Furry (pelesetan dari Fuhrer/Hitler) dan istrinya, Eva Braunn akan berkunjung ke rumahnya untuk makan malam bersama. Rupanya kedatangan sang Furry selain untuk berkenalan dengan keluarga Bruno juga untuk menugaskan ayah Bruno untuk menjadi komandan di kamp Austwitz. Perintah Furry tentu saja tak bisa ditolak, dan merekapun segera bebenah untuk pindah ke tempat mengerikan itu.

Sesampai di Auschwitz (Bruno menyebutnya Out-With), Bruno merasakan suasana yang kontras dengan tempat tinggalnya di Berlin. Rumahnya sekarang memang memiliki pekarangan yang luas namun ia merasa kesepian dan karena tak memiliki teman yang bisa diajaknya bermain. Ketika baru saja tiba di Out-With, lewat jendela kamarnya dalam jarak sekitar 6 meter dari pekarangannya ia melihat sesuatu yang berbeda yang membuatnya merinding dan merasa tidak nyaman.

Bruno melihat sebuah pagar kawat besar selebar rumahnya, pagar itu memanjang di kedua sisinya hingga tak terlihat. Pagar yang disangga oleh tiang-tiang kayu besar itu lebih tinggi dari rumahnya. Di bagian atas pagar terdapat gulungan besar kawat berduri. Halaman dibalik pagar itu tak berumput, bahkan sama sekali tak ada tumbuhan. Tanahnya berpasir, ada pondok-pondok rendah serta bangunan berbentuk kotak yang saling berjejer.








Bruno juga melihat ada ratusan orang disana, tua muda, anak-anak, dan mereka memakai pakaian yang sama: sepasang piama kelabu bergaris-garis, dengan topi garis-garis di kepala mereka.

Satu-satunya cara untuk mencari tahu siapa orang-orang berpiama itu yaitu dengan menanyakan pada ayahnya. Namun jawaban yang diberikan ayahnya mengejutkannya

“Mereka sama sekali bukan orang, Bruno”…..”Tapi kau tidak perlu memikirkan soal mereka. Mereka tidak punya hubungan denganmu. Kau sama sekali tidak punya persamaan apapun dengan mereka…” (hal 64)

Bruno tak mendapat penjelasan lebih lanjut.. Alih-alih mendapat jawaban yang memuaskan hatinya ia malah disuruh membiasakan diri untuk tinggal di rumahnya yang baru. Bruno akhirnya harus membuat betah dirinya untuk tinggal di Out-With. Karena kesepian akhirnya Bruno melakukan petualangan dengan menyusuri pagar diseberang rumahnya. Ternyata pagar itu membentang hingga berkilo-kilo jauhnya. Tak seorangpun yang ia temui dibalik pagar hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang anak lelaki yang sepantaran dengannya dan mengenakan piyama kelabu bergaris-garis.

Anak lelaki itu bernama Shmuel, usianya 9 tahun, sama dengan Bruno, bahkan tanggal lahirnyapun sama. Bruno dan Shmuel akhirnya bersahabat. Setiap hari tanpa diketahui kedua orang tuanya Bruno bertemu dengan Smhuel dibalik pagar. Tak lupa Bruno membawakan sedikit makanan untuknya dan mengobrol banyak hal dengannya. Satu tahun berlalu sejak pertemuan pertamanya dengan Bruno. Sayangnya ketika persahabatan semakin erat, Bruno harus kembali ke Berlin. Namun sebelum ia meniggalkan Out-With, dalam benaknya telah tersmpan rencana besar untuk melakukan petualangan terakhir bersama Shmuel di balik pagar rumahnya.

Persahabatan antara Bruno dan Shmuel inilah yang menjadi inti dari novel karya penulis Irlandia, John Boyne (36 thn) . Dalam novel keempatnya yang diperuntukkan bagi anak-anak ini John menyuguhkan kisahnya dari sudut pandang Bruno yang berusia sembilan tahun. Persahabatan antara Bruno dan Shmuel mengajak pembacanya melihat paradoks kehidupan antara keduanya. Kehidupan normal keluarga Bruno diperhadapkan dengan kehidupan Shmuel yang pahit di sisi lainnya.

Bruno yang hidup secara normal tak dapat memahami apa yang sebenarnya dialami oleh Shmuel dan orang-orang dibalik pagar rumahnya. Mereka saling bercerita, membuka diri. Penderitaan yang dialami Shmuel membuat ia lebih dewasa dibanding Bruno. Sementara Bruno soorang anak yang polos dan kerap tidak mengerti ketika Shmuel menceritakan pahitnya perjalanan hidupnya mulai dari penangkapannya hingga sampai di Out-With. Bruno tak juga sadar bahwa pagar tinggi itu tak hanya memisahkan rumah mereka, melainkan memisahkan status mereka dimana Shmuel dan orang-orang dibalik pagar bukanlah manusia bebas. Hal ini tidak dimengerti oleh Bruno yang dengan kepolosannya mengajak Shmuel makan malam dirumahnya.

Walau novel ini mengambil setting kamp maut Auschwitz, namun tak ada deskripsi yang berlebihan mengenai penderitaan yang dialami oleh orang-orang Yahudi yang ditawan disana. Semua dideskripsikan melalui sudut pandang anak-anak. Namun justru disinilah keistimewaan novel ini. Cukup melalui tuturan seorang anak berusia sembilan tahun yang mengungkapkannya dengan bahasa yang sederhana dan polos inilah justru kemanusiaan kita terasa digedor-gedor untuk bangkit dan melawan ketidakadilan.

Perlahan tapi pasti, John Boyne membangun keharuan hingga sampai pada ending yang tak terduga dan membuat pembaca tenggelam dalam rasa haru dan marah pada-orang dewasa yang membuat kisah Bruno dan Shmuel harus berhenti di lembar terakhir buku ini.

Jody Setiawan dalam resensi buku ini di blognya (http://jodypojoh.blogdrive.com) mengungkap bahwa “..dalam buku ini, tidak ada penjelasan yang memadai untuk latar belakang cerita. Kemungkinan, pembaca anak-anak akan bingung dengan latar belakang historis yang digunakan”

Memang betul! Novel ini tak memiliki penjelasan sejarah yang memadai, padahal John Boyne menulis novel ini untuk pembaca anak-anak. Mungkinkah anak-anak dapat memahami novel ini? Mungkin Boyne menulis novelnya ini dengan asumsi anak-anak di Eropa telah memiliki kesadaran sejarah yang tinggi sehingga ia merasa tak perlu memasukkan lagi penjelasan mengenai latar sejarah pembantaian orang-orang Yahudi.

Bagaiamana dengan anak-anak Indonesia yang belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai latar balakang sejarah dalam novel ini ? Bukan tak mungkin mereka akan sama bingungnya dengan Bruno ketika melihat pemandangan dibalik pagar dan mendengar kisah Shmuel tentang perjalanan hidupnya yang kelam. Mungkin ini salah satu alasan mengapa Gramedia memberi label novel ini sebagai ‘novel dewasa’ padahal John Boyne membuat novel ini untuk pembaca anak-anak.

Namun bukan berarti novel ini tak dapat dibaca oleh anak-anak/remaja di Indonesia. Biarkan anak-anak membaca novel ini dan mencoba memahaminya lewat kacamatanya seperti Bruno mencoba memahami cerita Shmuel. Jika mereka bingung maka tugas kitalah sebagai orang tua untuk menjelaskan dengan bahasa yang sederhana mengenai fakta sejarah yang melatarbelakangi novel ini. Novel ini bisa digunakan sebagai pembuka jalan bagi para orang tua untuk menjelaskan tragedi kemanusiaan terbesar yang pernah terjadi di muka bumi ini. Sehigga sedari dini anak-anak/remaja disadarkan bahwa perang dan pengkotak-kotakkan manusia berdasarkan ras membawa dampak yang sangat buruk bagi ras yang dianggap paling hina.

Selain itu melalui novel ini anak-anak/remaja akan mendapat pelajaran bahwa sebenarnya ada ‘pagar’ yang seolah menghalangi persahabatan kita dengan orang lain. Mungkin itu pagar kekayaan, status sosial, jabatan, dll. Namun seperti Bruno dan Shmuel, mereka tak melihat pagar itu sebagai penghalang persahabatan mereka. Malahan Bruno berani menembus pagar itu untuk membantu kawannya. Sanggupkah kita melintasi ‘pagar’ dan mencoba memahami apa yang ada dibalik pagar itu walau dunia dibalik pagar itu sangat berbeda dengan kehidupan kita ?

Beberapa penghargaan

The Boys In The Stiped Pyjamas adalah karya John Boyne (36 thn) , penulis kelahiran Dublin, Irlandia. Novel ini merupakan karya keempatnya setelah The Thief of Time (2000), The Congress of Rough Riders (2001), dan Crippen (2004). Novel The Boys In The Stiped Pyjamas terbit pada tahun 2006. Novel ini masuk dalam New York Time Best Seller selama 57 minggu, dan menjadi no 1 di Irlandia, Australia, masuk dalam jajaran Top ten besseller di Inggris dan di negara-negara Eropa lainnya.

Sedangkan penghargaan yang pernah diraih oleh novel ini al :






CBI Awards untuk The Boys in the Stripped Pyjamas
yang diberikan pada tgl 14 Mei 2007 di No.6 Kildare Street, Dublin







AWARDS:
2007: Irish Book Award: People's Choice Award Book of the Year
2007: Irish Book Award: Children's Book of the Year
2007: CBI Bisto Children's Book of the Year
1995: Curtis Brown Prize

SHORTLISTED AWARDS:

2007: Holland: Flemish Young Readers Award
2007: Ireland: Irish Book Award: Novel of the Year
2007: Belgium: Prix Farmiente
2007: UK: British Book Award: Children's Book of the Year
2007: UK: Lancashire Book Award: Novel of the Year
2007: UK: Sheffield Book Award: Novel of the Year
2007: UK: Berkshire Book Award: Novel of the Year
2006: USA: Borders Original Voices Award
2006: Italy: Paolo Ungari Award
2006: UK: Ottakar's Children's Book Prize

LONGLISTED AWARDS:
2007: Carnegie Medal

Hingga kini novel The Boys In The Stiped Pyjamas telah diterjemahkan kedalam 32 bahasa antara lain Belanda, Perancis, Ibrani, China, Turki, Rusia, Korea, Indonesia, dll)


















(Ket foto : Edisi Catalan, Israel, Belanda)


Novel ini juga telah diadaptasi menjadi skenario film oleh Mark Herman. Tahap pengambilan gambar di Budapest telah dilaksanakan dari April hingga Juni 2007. Rencanaya Film yang diperankan oleh David Thewlis, Vera Farmiga, Asa Butterfield, dan Amber Beattie ini akan dirilis pada bulan Februari 2008.

@h_tanzil
 
ans!!